Anda di halaman 1dari 2

Saya dan Kedua

Mengapa nama SD dinisbatkan ke nama desa, sedangkan SMP dan SMA ke angka? Pertanyaan ini
menggoda pikiran kita untuk mencari jawabannya. Tentu pemerintah punya alasan membedakan cara
penyebutan nama sebagai identitas suatu sekolah.

Jawaban pertanyaan ini bisa beragam. Untuk menjawabnya, kita bisa kembali pada sejarah bertaburnya
sekolah di Indonesia.

Jauh tahun sebelum menetapkan program Wajib Belajar (wajar) Sembilan Tahun, pemerintah Indonesia
telah membuat program Wajar enam tahun. Ketika baru bebas dari cengkraman penjajah, kemampuan
finansial pemerintah sangat terbatas. Pemerintah hanya mampu membangun sedikit sekolah. Satu desa,
satu SD. Bahkan, banyak desa yang tak memiliki sekolah.

Sekolah SD itu diberi nama sesuai dengan desanya. SD yang ada di desa Kapedi diberi nama SDN Kapedi,
tanpa embel I, II, dan seterusnya karena di satu desa hanya ada satu sekolah.

Seiring dengan kemampuan keuangan yang lebih baik, walaupun hasil berhutang, pemerintah
berencana menambah jumlah sekolah. Diterbitkanlah Instruksi Presiden (inpres) tentang pembangunan
sekolah SD yang jumlahnya sangat banyak. SD yang dibangun berdasar inpres ini dikenal dengan SD
Inpres.

Entah ada cumi-cumi di balik karang atau tidak, inpres ini telah menabur SD di desa. Satu desa dibangun
beberapa SD. Bahkan, keberadaan sekolah terkadang bertumpuk. Sekolah satu dengan yang lain berada
dalam satu halaman.

SD pertama yang diberi nama sesuai dengan nama desanya ditambah angka I. SDN Kapedi menjadi SDN
Kapedi I. Kalau menjadi SDN I Kapedi, akan mengubah namanya bukan menambah.

Dengan menisbatkan nama sekolah kepada nama daerahnya membuat penyebutan lebih khusus.
Dengan menyebut SDN Kapedi saja, pendengar tahu maksudnya SDN yang ada di Kapedi. Pilihannya
hanya sedikit, I , II, atau III. Berbeda dengan menyebut SDN I yang pilihannya bisa ratusan bahkan ribuan
karena setiap desa ada SDN I nya.

Anda mungkin juga menyukai