Anda di halaman 1dari 7

JUMP 1

1. Secondary survey :
Penilaian terhadap keadaan umum pasien gawat darurat setelah dilakukan primary
survey untuk melakukan klasifikasi. Dilakukan dari atas ke bawah (Head to toe).
JUMP 3

1. Jenis Fraktur
a. Definisi dan tanda-tanda fraktur
Trauma pada tulang menimbulkan fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang, rawan sendi serta epifise pada anak. Kerusakan tulang ini biasa disertai
kerusakan jaringan lunak dan pembuluh darah, ada kalanya menimbulkan lesi
saraf.

b. Manifestasi klinis
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas
dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3) Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5
sampai 5,5 cm
4) Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan
lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa
jam atau beberapa hari setelah cedera.
6) Kurang / hilang sensasi.
7) Pergerakan abnormal.
(Smeltzer, Suzanne C. 2001)
c. Jenis-jenis fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) :
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur :
a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
 Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma :
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
Berdasarkan posisi fraktur :
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
Berdasarkan kontak dengan udara luar :
1) Fraktur terbuka (open/compound). Bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka
terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
Derajat I :
a) Luka <1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
d) Kontaminasi minimal
Derajat II :
a) Laserasi >1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III
terbagi atas:
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
 Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
 Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.
Fraktur terbuka tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan
operasi secepatnya untuk mengurangi risiko infeksi yang sebaiknya dilakukan
dalam 6-8 jam pertama. Dikatakan dalam 2 jam pertama sesudah terjadi
cedera, sistem pertahanan tubuh berusaha mengurangi pertumbuhan bakteri
yang berlangsung dalam jumlah besar. Dalam 4 jam berikutnya, jumlah
bakteri relatif konstan oleh karena jumlah pertumbuhan bakteri baru sama
dengan jumlah bakteri yang dimatikan oleh tubuh. Enam jam pertama ini
disebut sebagai golden period, dimana sesudah periode ini, dengan adanya
jaringan nekrotik yang luas, mikroorganisme akan bereplikasi sampai tercapai
kondisi infeksi secara klinis.
2) Fraktur tertutup. Ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement (Iwan, 2012).
JUMP 7
2. EMFISEMA SUBKUTIS

a. Etiologi
Emfisema subkutis disebabkan oleh trauma tumpul maupun trauma tajam
pada dindingthorax. Ketika lapisan pleura berlubang akibat trauma tajam, udara
dapat berpindah dari paru-paru menuju otot dan jaringan subkutan pada dinding
dada. Ketikan terjadi ruptur pada alveoli,misalkan pada laserasi jaringan paru,
udara dapat berpindah sepanjang pleura visceralis menuju hilum paru-paru,
kemudian menuju trachea, leher dan dindingdada. Hal tersebut di atas bisa pula
terjadi pada fraktur costae yang melukai jaringan paru. Sebab fraktur costa dapat
merobek pleura parietalis yang bisa menyebabkan udara berpindah dari paru ke
jaringan subkutis dinding dada.

b. Patofisiologi
Terdapatnya udara di lemak subkutan dinamakan emfisema subkutan.
Udara dapat dari luar,dari paru menembus pleura visceralis dan parietalis masuk
ke subkutis atau udara dari paru kemediastinum dan ke subkutis tanpa ada
kerusakan pleura. Harus diingat bahwa pnumothorax sering disertai emfisema
subkutan, dan emfisemaseringkali disertai pneumothorax. Emfisema subkutan
perlu tidakan bila emfisema sifatnya progresif atau adanya tanda-tanda penekanan
pembuluh darah balik dada ke atas.Progresif biasanya karena adanya kerusakan
bronchus atau trachea, suatu keadaan yang memerlukan tindakan pembedahan
segera untuk repair kerusakan yang terjadi,olehkarena itu dicari penyebab bila
progresif. Penekanan pembuluh darah balik karena udaramasuk ke rongga
perikardium atau di sarung pembuluh darah di leher sehingga menghambat darah
yang kembali ke jantung, suatu keadaan yang sama seperti pada tamponade
jantung.

c. Tanda dan gejala


Gelembung udara di jaringan subcutan, berupa nodul yang mobil yang
dapat denganmudah digerakkan. Terkadang disertai dengan pembekakan
leher,nyeri dada,kesulitan menelan, wheezing dan kesulitan bernafas. Dari foto
thorax bisa diketahui adanya udara di cavum mediastinum. Pada kasus-kasus
tertentu, emfisema subkutan dapat dideteksi dengan meraba kulit di daerah
tersebut. Pada perabaan tersebut akan terasa seperti kertas tisu. Saat diraba
gelembung tersebut dapat berpindah dan terkadang menimbulkan suara. Emfisema
subkutan biasanya disertai pembengkakan jaringan di sekitarnya. Begitu pula
dengan wajah pasien.

d. Tata laksana
Emfisema subkutis tidak memerlukan terapi khusus. Tindakan dilakukan
apabila jumlahudara dalam jaringan subkutis sangat banyak dan mempengaruhi
pernafasan pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memasang chest tube
dan memastikan chest tubetersebut berfungsi baik (bila penyebabnya dalah
pneumothorax). Pemasangan kateter atau insisi kecil pada kulit dapat membantu
mengeluarkan udara dari jaringan subkutan.
DAFTAR PUSTAKA :
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth. Jakarta; EGC.
Iwan. 2012. Asuhan Keperawatan Kline dengan Frktur. Medical Bedah III.
Stikes Kusuma Husada

Anda mungkin juga menyukai