Anda di halaman 1dari 14

MAKNA BUDAYA TRADISIONAL BELU BAGI

MULTIKULTURALISME: TINJAUAN FILSAFAT1

MEANING OF BELU TRADITIONAL CULTURE FOR


MULTICULTURALISM: PHILOSOPHY PERSPECTIVE

Endang Retnowati
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI
endretno@yahoo.com

Abstrak
Masyarakat Belu merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masih melestarikan kebudayaan
tradisional mereka. Walaupun sudah ada peraturan daerah untuk meneguhkan pelestarian budaya tradisional di
wilayah Belu, tetapi saat ini kebudayaan tradisional Belu dihadapkan pada tantangan budaya global. Apabila
masyarakat Belu masih mempraktikkan budaya tradisional di tengah perkembangan budaya global, apa makna
budaya tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Tulisan ini bertujuan untuk
mengungkapkan pemahaman mengenai makna budaya tradisional Belu bagi multikulturalisme di Indonesia dari
perspektif filsafat. Budaya tradisional Belu merupakan warisan nenek moyang beberapa suku bangsa yang
hidup di Belu dan luar Belu seperti Timor Leste, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Hingga kini
mereka memiliki kebebasan untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai di dalamnya di atas dasar
hukum. Sejak Indonesia merdeka para pendahulu kita melindungi budaya tradisional melalui konstitusi,
kemudian negara turut melindungi melalui beberapa peraturan, yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
hingga bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Belu.Budaya tradisional Belu merupakan salah satu budaya yang
memiliki andil bagi predikat multikulturalisme di Indonesia.Pada perkembangannya kini sebenarnya tantangan
terhadap budaya tradisional datang dari budaya global yang membangun nilai hedonis-konsumeris pada generasi
muda. Budaya global banyak menawarkan kemudahan-kemudahan. Dengan demikian apa makna budaya
tradisional Belu di tengah budaya global bagi multikulturalisme? Artikel ini disusun berdasarkan data pustaka
dan lapangan. Data kemudian ditata, dideskripsikan, dipahami, dan direfleksikan sesuai dengan kerangka
pemikiran.Atas dasar itu semua ditemukan bahwa makna budaya tradisional Belu adalah sebagai jalan merawat
multikulturalisme di tengah kehidupan global. Nilai-nilai di dalamnya mampu memelihara persatuan dan
kesatuan di antara mereka.Pelestarian budaya tradisional, dalam hal ini pelestarian nilai-nilai tradisional yang
memiliki kekuatan sebagai alat integrasi bangsa sama artinya dengan merawat multikulturalisme di tengah
kehidupan global. Di sini peran setiap anggota masyarakat sebagai homo religiosus sangat penting. Karena itu
pendidikan tentang budaya tradisional atau multikulturalisme perlu diberikan kepada generasi muda.
Kata kunci: budaya tradisional, eksistensi, multikulturalisme, budaya global

Abstract
The purpose of this study is to express an understanding of meaning of Belu's traditional cultural for
multiculturalism in Indonesia from a philosophical perspective. Belu traditional culture is the heritage of some
ancestors who live in Belu and outside Belu such as Timor Leste, Kalimantan, and other islands in Indonesia.
Until now they have the freedom to maintain and develop their values on the basis of the law. Since Indonesia's
independence our Bapak Pendiri protect the traditional culture through the Constitution, then the state protects
through several regulations, namely the Minister of Home Affairs Regulation to form the Regional Regulation of
Belu Regency. The traditional culture of Belu is one of the cultures that has contributed to the predicate of
multiculturalism in Indonesia. In its development is now actually a challenge to traditional culture comes from
global culture that is able to build a hedonic-consumtive values in the younger generation. Global culture offers
many conveniences. What is the meaning of Belu's traditional culture in the middle of a global culture for
multiculturalism? This article is based on library and field data. The data is then organized, described,
understood, reflected in accordance with the frame of thought. On the basis of it all found that the meaning of
Belu traditional culture is a way of caring for multiculturalism in the midst of global life. Values in it are able to
maintain unity and unity among them. Preservation of traditional culture, in this case the preservation of

1
Naskah ini merupakan pengembangan dari serpihan tulisan di buku laporan penelitian tentang “Peran
Bahasa dan Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas dan Nasionalisme di Kabupaten
Belu, Nusa Tenggara Timur” tahun 2016

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 175


traditional values that have the power as a tool of national integration is tantamount to caring for
multiculturalism in the middle of global life.Here the role of each member of society as homo religiosus is very
important. Therefore, education on traditional culture or multiculturalism should be given to the younger
generation.
Keyword: traditional culture, existensi, multiculturalism, global culture

Pendahuluan Budaya Masyarakat; dan Peraturan Bersama


Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan
Indonesia yang dihuni oleh berbagai
dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 tentang
suku bangsa memiliki satu bagian wilayah yang
Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
masih melestarikan budaya tradisional, yaitu
Kabupaten Belu yang beribukota di Atambua, Walaupun budaya tradisional Belu telah
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Belu mendapatkan perlindungan dari pemerintah,
memiliki wilayah seluas 1284.94 km2 (mencakup bukan berarti tidak ada tantangan. Tantangan
12 kecamatan, 12 kelurahan dan 69 desa),2 dan budaya tradisional adalah budaya global yang
berpenduduk 197.002 jiwa (Kabupaten Belu memiliki ciri-ciri yang cenderung konsumtif,
Dalam Angka 2014). terasing dari dirinya sendiri, dan hedonis-
egosentrik (Franz Magnis Suseno, 2008: 16-22).
Belu dihuni oleh banyak suku bangsa,
Hal itu berbeda dengan budaya tradisional yang
empat di antaranya dikenal sebagai penduduk
unsur-unsurnya berdasarkan pada pandangan
yang sudah turun-temurun hidup di Belu yaitu
dunia yang hampir selalu ditentukan oleh agama
suku bangsa Dawan, Tetun, Bunaq, dan Kemaq
(Franz Magnis-Suseno, 1995:247), dan cenderung
(Parera, 1971: 30-38). Pada masa kini mereka
memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Oleh
tersebar di berbagai wilayah Pulau Timor,
karena itu, apabila dua budaya tersebut dihadap-
termasuk wilayah Timor Leste, dan pulau-pulau
hadapkan maka akan terjadi ketegangan di antara
di luar pulau Timor, seperti pulau Kalimantan,
keduanya.
pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di wilayah
Indonesia. Walaupun mereka hidup berpencar, Pengaruh budaya global memiliki potensi
tetapi hingga kini mereka masih merawat untuk memasuki kesadaran mereka melalui
kekerabatan dan mempraktikkan budaya tradisional media massa, seperti televisi, surat kabar, dan
sebagaimana yang diwariskan oleh nenek berbagai fasilitas hidup seperti handphone dan
moyang mereka. mall. Masyarakat Belu memiliki kemungkinan
untuk mengakses budaya global dan memperoleh
Kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai
informasi melalui alat komunikasi yang sudah
tradisional mendorong pemerintah daerah melahirkan
tersedia seperti internet. Banyak anak muda di
peraturan untuk meneguhkan pelestarian budaya
Belu yang memiliki handphone, karena itu
tradisional di wilayah Belu, yaitu Peraturan
hampir setiap anak memiliki kesempatan untuk
Daerah Kabupaten Belu Nomor 5 Tahun 2009
melihat kebudayaan asing baik melalui televisi
tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan
maupun handphone yang memiliki banyak aplikasi.
Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Peraturan itu
Tanpa disadari, pengaruh yang memasuki kesadaran
mengacu pada beberapa peraturan yang lebih
masyarakat kemudian akan membentuk nilai
tinggi, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri
hedonis-konsumis, yang semakin lama akan
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan
menjadi ancaman bagi nilai-nilai tradisional yang
Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat,
telah lama dibangun dan dilestarikan oleh
Kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga
generasi tua. Melihat fakta tersebut, kemudian
Adat di Daerah; Peraturan Menteri Dalam
muncul satu pertanyaan. Apabila masyarakat
Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman
Belu masih mempraktikkan budaya tradisional di
Fasilitas Organisasi Kemasyarakatan Bidang
tengah perkembangan budaya global, apa makna
Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat Dalam
budaya tradisional Belu di tengah budaya global
Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah;
bagi multikulturalisme?
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan
Homo Religius sebagai Dasar Eksistensi:
Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial
Kerangka Pemikiran
Menurut van Peursen (1994: 10-11),
2
Sebanyak 8 kecamatan di antaranya terletak budaya merupakan manifestasi kehidupan setiap
di perbatasan dengan Timor Timur

176 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


orang dan sekelompok orang, yaitu meliputi melalui upacara seremonial, misalnya meminta
segala perbuatan manusia, seperti cara menghayati hujan atau menangkal penyakit melalui pementasan
kematian, cara mengolah makanan, cara bersopan kesenian beserta ritual-ritualnya. Di samping itu,
santun waktu makan, cara membuat alat-alat alam lingkungan juga memberi pengetahuan
untuk berburu, tradisi (pewarisan atau penerusan kepada manusia, seperti siang malam, perubahan
norma-norma, adat istiadat, harta benda), musim, dan pasang surut laut.
kesenian, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Manusia yang hidup dalam budaya mistik
Istilah tradisional berkaitan dengan oleh Mircea Eliade (Mangunhardjono, 1982: 37-
istilah tradisi. Menurut Kamus Besar Bahasa 38) disebuthomo religiosus yang digambarkan
Indonesia (1988: 959) salah satu arti istilah sebagai tipe manusia yang hidup di alam skaral,
tradisional adalah menurut tradisi (adat). Menurut alam yang penuh dengan nilai-nilai religius.
Bagus (2000: 115-116) tradisi adalah adat istiadat, Manusia dapat menikmati kesakralan yang ada
ritus-ritus, ajaran-ajaran moral, pandangan-pandangan, dan tampak pada alam semesta, alam materi,
nilai-nilai, aturan-aturan perilaku, dan sebagainya, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
yang diwariskan dari generasi ke generasi. Atas Pengalaman dan penghayatan manusia pada “yang
dasar itu, yang dimaksud budaya tradisional transenden” turut mempengaruhi dan menentukan
adalah budaya dalam kaitannya dengan pandangan corak serta cara hidupnya.
dunia, pandangan-pandangan (tentang manusia,
Homo religiosus memaknai dunia secara
alam dan lain-lain), adat istiadat, ritus-ritus,
berbeda dari orang modern. Menurut homo
ajaran moral, nilai-nilai, aturan perilaku, dan
religiosus dunia adalah sebagai lingkungan alam
lain-lainnya, yang hampir selalu ditentukan oleh
yang dikenal, dialami, dan akrab dengan
agama atau religi sebagai warisan dari generasi
kehidupannya, meliputi gunung-gunung, hamparan
sebelumnya.
tanah sebagai lahan pertanian/perkebunan, hutan-
Adapun istilah multikulturalisme terkait hutan, sungai-sungai, laut, dan tempat-tempat
dengan pengakuan terhadap keberadaan budaya yang mereka anggap suci dan mereka kunjungi.
yang beraneka ragam. Menurut Azra (2007: 15- Lingkungan alam atau dunia tersebut memiliki
16), multikulturalisme sudah lama hidup di keteraturan sehingga disebut kosmos.
Indonesia dan keberadaannya memerlukan perawatan.
Di samping dunia yang memiliki
Fakta bahwa negara bangsa Indonesia terdiri dari
keteraturan, dalam pandangan homo religiosus
sejumlah besar kelompok etnis, bahasa daerah,
ada pula dunia lain yang berupa daerah-daerah
agama, budaya, dan lainnya memungkinkan
yang dihuni oleh setan-setan, roh jahat, dan
negara bangsa Indonesia memperoleh sebutan
raksasa. Dunia itu disebut khaos. Homo religiosus
masyarakat multikultur.
hidup di dalam budaya tradisional di Asia,
Menurut sejarah, peradaban manusia Australia, Amerika Asli, Afrika dan Eropa
berlangsung seiring dengan perkembangan Kuno. Masyarakat Indonesia yang masih
pemikirannya. Peradaban itu oleh C.A. van Peursen mempraktikkan budaya tradisional yang bersifat
(1994: 34-109) dikategorikan menjadi tiga tahap. mitis dapat ditemui di wilayah-wilayah Nusa
Salah satunya adalah tahap budaya yang Tenggara Timur, Kalimantan, Sulawesi, Jawa
memiliki beberapa ciri, antara lain terdapat Barat dan wilayah-wilayah Indonesia lainnya
kepercayaan bahwa manusia dan alam merupakan (Mangunhardjono, 1982: 38).
satu kesatuan. Manusia beranggapan bahwa
Religi3 masyarakat tradisional merupakan
lingkungan alam merupakan obyek yang memiliki
bekal mereka dalam bereksistensi, yaitu cara
nilai sakral dan nilai profan. Alam lingkungan
menunjukkan keberadaan manusia di dunia. Itu
dianggap bernilai sakral karena alam menjadi
mengandung arti bahwa hidup harus selalu
tempat bersemayam kekuatan gaib sebagai orientasi
dan proyeksi bagi pelangsungan kehidupannya. 3
Menurut Driyarkara (1966: 167-168) arti
Karena itu manusia memiliki ketergantungan kata religi adalah ikatan atau pengikatan diri. Kata
pada kekuatan gaib untuk meraih keselamatan religi menyangkut pula mengenai gejala-gejala dalam
hidup dan menghindarkan diri dari petaka. lingkungan hidup primitif. Dalam pemikiran Driyarkara
Manusia merasa bahwa norma-norma yang istilah religi lebih bersifat personalistis, artinya langsung
berasal dari leluhur menjadi aturan yang harus mengenai dan menunjuk pribadi manusia. Karena itu
dipatuhi. Secara berkala atau dalam waktu tertentu arti religi bersifat dinamis, artinya menonjolkan eksistensi
manusia mewujudkannya atau mengekspresikannya manusia, menonjolkan kemungkinan-kemungkinan untuk
dikupas lebih lanjut.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 177


berarti, membuat dan menjalankan arti (Driyarkara, usia dini mulai belajar melalui internalisasi yang
2006: 1282-1284). dilakukan oleh keluarga, lingkungan sosial, dan
lembaga masyarakat, seperti lembaga adat dan
Sejak zaman Yunani Kuno, manusia
sekolah. Internalisasi yang sudah dilakukan oleh
dalam eksistensinya memiliki banyak sebutan
keluarga atau lembaga masyarakat sejak lama
untuk dirinya. Misalnya, manusia adalah hewan
dan secara turun-temurun akan membentuk
yang berbudi atau “animal rationale”. Filsafat
struktur, yang dalam pandangan Anthony Giddens
modern menyebut manusia sebagai “Geist in
(1986: 25, 29 &44) disebut sebagai rules and
Welt” (manusia berada di dunia, sebagai barang
resources, or sets of transformation of relations,
di dunia) atau “Esprit incare” (manusia bersifat
organized as properties of social systems.
jasmani) (Driyarkara, 1966: 91-92). Ketiga
rumusan ini masih mengandung kekurangan Struktur seperti itu berada dalam pola-
meskipun ada benarnya. Oleh karena itu, sebutan pola pikir yang berisi aturan-aturan dan berbagai
untuk manusia harus dilihat secara lebih luas. sumber seperti pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan praktis, yang diperoleh melalui
Pertama-tama kita melihat bahwa
sosialisasi (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto,
perkembangan manusia secara jasmani tidak
2005: 187). Pola tindakan dan praktik sosial
berbeda dengan makhluk lain. Namun,
menjadi wujud kesadaran praktis. Lambat laun
perkembangan manusia secara rokhani berbeda
kesadaran praktis membentuk struktur dan pada
dengan makhluk lainnya karena manusia
gilirannya struktur mengondisikan pola tindakan
merupakan makhluk yang memiliki kepribadian
atau praktik sosial individu/kelompok. Kondisi
yang selalu berkembang seiring dengan
tersebut berlangsung secara terus-menerus dan
perkembangan lingkungan sekitar dan kesadarannya.
selanjutnya antara struktur dan tindakan akan
Perkembangan kepribadian yang stabil dapat
membentuk dualitas struktur atau suatu bentuk
dicapai melalui pendidikan yang tidak hanya
hubungan timbal balik.
disampaikan melalui kelas, tetapi juga melalui
tingkah laku, ucapan-ucapan, keteladanan, yang Dalam pengertian Pierre Bourdieu struktur
semua dapat berasal dari orang tua dan guru- yang terbentuk diistilahkan sebagai habitus atau
guru, mulai dari tingkat taman kanak-kanak kebiasaan. Menurut Bourdieu (1995: 82-85),
sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Semua habitus merupakan produk dari kehidupan
itu dapat memberi gambaran tentang manusia bersama yang berlangsung dalam sejarah. Habitus
maupun cita-cita mengenai manusia (Driyarkara, menciptakan tindakan dan kegiatan yang sesuai
1966: 106-109). dengan skema (pola) yang ditimbulkan oleh
sejarah.
Eksistensi manusia tidak mungkin terpisah
dari suasana kemasyarakatan. Suasana kemasyarakatan
Internalisasi Budaya Tradisional Masyarakat
tidak mungkin terpisah dari suasana religius
Belu
karena hubungan dengan Tuhan merupakan
penentu bagi hidup manusiawi (Driyarkara, Pandangan van Peursen mengenai
1966: 116). Menurut Driyarkara (1966: 175) budaya mistik dan bentuk-bentuk yang terkait di
kehidupan religi itu bersifat sosial. Dalam religi dalamnya (termasuk budaya tradisional) masih
orang memandang dirinya sebagai makhluk dapat disaksikan pada budaya Belu meskipun
Tuhan, bersama-sama dengan orang lain dan mereka menganut agama Kristen. Generasi tua
semesta alam yang juga tergantung pada Tuhan. di Belu masih menginternalisasikan nilai-nilai
budaya mereka ke dalam jiwa generasi muda
Kehidupan sosial membutuhkan nilai-
melalui dua cara, yaitu pembiasaan dan mimesis.
nilai sebagai referensi tingkah laku manusia.
Pembiasaan yang dilakukan dalam lingkungan
Penerusan nilai-nilai itu dilangsungkan melalui
sosial tertentu akan menentukan habitus
pendidikan. Pendidikan pada anak kecil cenderung
seseorang atau kelompok. Begitu pula halnya
berlangsung dalam contoh atau keteladanan.
Penyampaian dengan cara ini dinamakan cara
mimesis (tiruan)4. Di samping itu, manusia sejak ideal.Dunia faktual merupakan wujud tiruan atau
kopian yang tidak sempurna dari dunia idea.Pada
masa sesudahnyamurid Plato yang bernama Aristoteles
4
Istilah mimesis pertama kali digunakan oleh (dalam Ernst Cassirer 1987: 209) melengkapi pendapat
seorang filsuf Yunani Kuno Plato (Peter A. Angeles gurunya dengan mengatakan bahwa meniru itu
1931) untuk menjelaskan bahwa ada hubungan antara merupakan hal yang wajar bagi manusia sejak masa
obyek-obyek dalam dunia faktual dengan dunia kanak-kanaknya.Manusia belajar melalui peniruan.

178 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


dengan pembiasaan praktik bersosial atau pada moralitas masyarakat tradisional Belu. Itu
berbudaya pada diri anak di lingkungan sosial terlihat pada cara adat, perayaan, dan ritual
Belu menentukan habitus seorang anak Belu budaya yang memberi makna pada nilai-nilai
atau kelompok sosial Belu. Misalnya, praktik moral. Masyarakat menghargai kehidupan bersama
untuk melakukan ritual menghormati leluhur melalui praktik budaya, sebagaimana terlihat
mereka yang sudah dilakukan oleh generasi tua pada praktik adat istiadat beserta ritualnya.
secara turun-menurun ternyata dapat bertahan Praktik budaya menuntut masyarakat selalu
dalam kehidupan masyarakat Belu. Apabila patuh pada tata cara yang berlaku dalam
habitus seseorang atau kelompok telah terbentuk kehidupan bersama. Mereka sejak kecil sudah
maka cara berfikir atau perilaku seseorang atau memperoleh pendidikan bagaimana mereka
kelompok masyarakat Belu akan terbentuk. harus bersikap, berperilaku, maupun berpenampilan
dalam segala momentum ritual adat istiadat.
Banyak tradisi di Belu yang telah
Salah satu contohnya adalah praktik gotong
menjadi habitus dalam pengertian Bourdieu atau
royong masyarakat ketika mereka melaksanakan
struktur dalam pengertian Giddens. Menurut
upacara kue pada bulan Oktober sebagai ungkapan
Emile Durkheim (dalam Roger M. Keesing,
syukur atas panen padi tahun bersangkutan dan
1981), secara teoritis suatu tradisi sangat berguna
mengharap agar panen padi tahun berikutnya
untuk mempertebal perasaan kolektif dan
mengalami keberuntungan (Retnowati, 2016:
integrasi sosial. Pemikiran itu dapat disimak
117-118).
pada realitas kehidupan di Belu, yaitu banyaknya
warga suku bangsa yang hidup terpencar, tetapi Praktik tradisi Belu lainnya yang
masih melestarikan kebersamaan mereka hingga diterima secara turun-temurun dari nenek moyang
kini (Retnowati, 2016: 104). orang Belu dan hingga kini masih dilakukan oleh
masyarakat Belu pada umumnya antara lain
Masyarakat Belu sangat percaya pada
adalah pemberian dan pelunasan belis (mas
nenekmoyang atau leluhurnya dan selalu patuh
kawin). Besaran belis dalam hitungan rupiah
pada norma-norma yang berasal dari leluhur.
bagi orang Belu pada umumnya dirasakan sangat
Misalnya, pandangan tentang hukum adat yang
besar. Belis terdiri dari rupa-rupa barang yang
melarang masyarakat untuk menebang pohon
harus dipenuhi apabila sudah disepakati oleh
tidak pada waktunya. Apabila hukum itu dilanggar,
kedua belah pihak, antara lain berupa kepingan
akan datang bahaya, misalnya badai atau banjir
emas, perak, binatang ternak, kain, dansejumlah
besar. Begitu pula apabila orang memasuki
uang. Uang yang diserahkan dalam hantaran
hutan adat, hal itu sama dengan menyerahkan
belis disebut dengan istilah uang sirih pinang.
nyawa.5 Pandangan demikian mengekspresikan
Sejumlah uang sirih pinang kemudian dibagikan
kepatuhan masyarakat pada norma-norma yang
kepada anggota suku yang berjumlah banyak.
dibangun atas dasar kepercayaan animisme dan
Maksud pembagian ini adalah untuk mengenalkan
mereka terima sebagai warisan dari leluhur yang
anggota baru kepada komunitas Bunaq (keluarga
bernilai positif. Salah satu norma yang diturunkan
besar suku Bunaq).
berfungsi sebagai perintah untuk memelihara
lingkungan alam seperti bagaimana masyarakat Makna dari itu semua adalah bergulirnya
bersikap pada hutan adat. Masyarakat Belu masih nilai kebersamaan atau gotong royong di dalam
memiliki hutan adat yang bermanfaat bagi kehidupan suatu suku bangsa. Di samping itu,
pemeliharaan ekosistem daerah Belu. tradisi membawa sirih pinang ketika bertamu
merupakan ungkapan rasa hormat hingga kini
Cara lain untuk menginternalisasikan
masih dapat dijumpai di Atambua (Retnowati,
nilai-nilai tradisional adalah melalui mimesis
2016: 107). Makna lain yang dapat dipahami
(peniruan). Sebagaimana dikemukakan oleh
adalah kesadaran dan kesediaan masyarakat Belu
Aristoteles (dalam Ernst Cassirer, 1987: 209),
untuk memelihara nilai-nilai tradisional demi
manusia belajar dari mimesis dan mimesis itu
keutuhan kekerabatan dan kebersamaan mereka.
merupakan hal yang wajar bagi manusia sejak
masa kanak-kanaknya. Atas dasar itu, internalisasi Gotong royong dan kebersamaan merupakan
budaya tradisional dapat dilakukan melalui dua hal yang selalu dapat ditemui dalam
mimesis. Tradisi tersebut masih melekat erat masyarakat tradisional. Pustaka antropologi menunjukkan
bahwa gotong royong banyak dipraktikkan oleh
masyarakat di pedalaman Indonesia. Menurut
5
Wawancara dengan bapak Ludokolo di Niels Mulder (1999), arti gotong royong adalah
Belu tahun 2015

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 179


usaha saling meringankan beban. Kebersamaan Tuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Driyarkara
yang meliputi hidup bersama, bekerja bersama, (Sudiarja, dkk.,2006: 455), kesadaran sebagai
dan berusaha bersama dibutuhkan oleh setiap mahkluk individu dan sosial mendorong manusia
orang agar setiap orang bisa hidup dengan untuk saling menghargai orang lain. Manusia
ringan. Pada dasarnya dengan bekerja sama sebagai makhluk individu tidak saja bekerja
warga masyarakat bisa merasakan makna untuk mengaktualisasikan diri, bekerja untuk
kebersamaan. Di sana pula ada aspek saling mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi
mengasihi antara sesama. Seringkali mereka juga memiliki kemampuan untuk merasakan
mempraktikkan kerjasama untuk kepentingan dirinya secara naluriah sebagai makhluk sosial,
bersama atas dasar moralitas dan motif yaitu dengan menyadari bahwa mereka saling
keagamaan. berhadapan dengan orang lain dan hidup
bersama dengan orang lain. Orang Belu
Tradisi pembayaran belis telah menghidupkan
mengaktualisasikan dirinya dengan bekerja di
sikap gotong royong yang telah lama dilakukan
kebun, di pasar (pedagang), menenun, di kantor,
oleh generasi tua. Gotong royong yang sudah
dan lain sebagainya. Di samping itu, mereka
berlangsung sejak lama dalam tradisi
tidak melupakan kegiatannya yang bersifat
pembayaran belis merupakan nilai yang sangat
religius maupun keagamaan secara rutin di
tinggi bagi kekerabatan dan persatuan semua
rumah adat atau di lingkungan tempat tinggal
suku bangsa di Belu. Saling meringankan beban
mereka.
dilakukan dengan cara menyumbang secara
bergantian atau timbal balik (resiprositas) bak Dalam rangka perawatan perannya
arisan keluarga dalam jangka waktu tidak sebagai makhluk sosial, pelestarian budaya
terbatas (Retnowati, 2016: 106-109). Dalam tradisional bukan hanya dilakukan oleh masyarakat
skala luas, tradisi gotong royong dapat seperti pelanggengan tradisi kekeluargaan,
membangun solidaritas bangsa. Pembangunan kekerabatan antarsuku.Namun, pemerintah Belu
solidaritas itu pada masa budaya global sangat juga mendukungnya dengan dasar hukum (Perda
membutuhkan perhatian agar kebersamaan atau yang mengacu pada Permen) dalam bentuk
persatuan bangsa dapat selalu dibangun. pelestarian kekayaan kolektif seperti sejarah,
tradisi dan seni (seperti hasil kerajinan tenun
Tradisi gotong royong lainnya yang
maupun pembangunan Lembaga Adat).6 Menurut
masih dimaknai oleh masyarakat Belu adalah
salah satu pejabat pemerintah Belu, pembangunan
gotong royong membangun rumah adat. Mereka
Lembaga Adat sangat diperlukan di wilayah
secara gotong royong mengumpulkan bahan
Belu agar pola perilaku masyarakat menuju
bangunan dan kebutuhan lainnya seperti bahan
masyarakat yang menjunjung kesatuan, kekeluargaan,
konsumsi yang dibutuhkan bagi para pekerja
gotong royong, taat pada hukum (baik hukum
meskipun para pekerja adalah anggota
adat maupun hukum negara), dan tidak
masyarakat adat, bukan tukang bangunan yang
menyimpang dari tatanan yang sudah ada.
sengaja disewa. Begitu pula ketika mereka
merayakan hari-hari tertentu secara adat mereka Berkaitan dengan kodrat manusia
berkumpul meskipun setiap harinya mereka sebagai makhluk Tuhan, budaya tradisional Belu
tinggal di Timor Leste sebagai warga negara menggambarkan bahwa ungkapan diri manusia
Timor Leste.Salah satu contohnya adalah suku sebagai homo religiosus tidak pernah diabaikan
Bunaq yang tinggal di Timor Leste. Mereka oleh masyarakat Belu. Bahkan, suku Matabesi
masih melanggengkan hubungan kekeluargaan. di Belu yang hingga kini belum memeluk agama
Dalam momen tertentu mereka saling mengunjungi apapun masih sangat ketat membentengi
satu sama lain. Mereka merasa hanya terpisah kehidupan mereka dengan nilai-nilai dan norma-
oleh negara bukan oleh prinsip kekeluargaan norma yang mereka terima secara turun-temurun
mereka. Mereka yang menetap di Belu tetap dari generasi sebelumnya. Dilihat pada budaya
merasa sebagai orang Indonesia dan mereka fisik, bagian tertentu dari rumah adat masyarakat
yang tinggal menetap di Timor Leste secara Belu misalnya, merupakan simbol hubungan
administrasi tetap sebagai warga negara Timor manusia dengan Tuhan atau kepercayaan
Leste (Retnowati, 2016: 109-110). animisme. Oleh karena itu, di setiap rumah
Dalam konteks itu semua, pada dasarnya
manusia bereksistensi sebagai makhluk sosial di
6
samping sebagai makhluk individu dan makhluk Narasumber Bapak Ludokolo, di Belutahun
2015.

180 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


warga suku Matabesi masih terdapat mesbah7 gadis dan penerima gadis, kelahiran bayi,
yang dipercaya sebagai media pemberi kekuatan kematian, pesta kenduri cukur rambut, perkawinan,
untuk kehidupan terutama dari wujud tertinggi, dan kematian. Upacara kematian merupakan titik
yaitu bumi dan air.8 puncak urusan-urusan resmi kedua keluarga.
Nilai religius yang menjadi referensi Kepercayaan animisme yang diterima
bagi kehidupan masyarakat Belu juga dapat secara turun temurun dari para leluhur sejak lama
ditelusuri sumbernya melalui cerita rakyat Belu. membangun kehidupan religius masyarakat Belu
Anak-anak atau generasi muda di Kabupaten Belu secara kuat. Kehidupan religi merupakan bentuk
hampir tidak ada yang tidak tahu soal sejarah asal kehidupan fundamental bagi kelangsungan hidup
usul orang Timor. Sejarah itu memberi sosial masyarakat Belu. Ikatan kekeluargaan
pengetahuan kepada masyarakat bagaimana terlihat pada kekompakan berbagai suku yang
manusia harus menghadapi alam, menjalani hidup tinggal di wilayah Belu dan di luar Belu
bermasyarakat dan menjadi pribadi religius. (Retnowati, 2016: 104).
Mereferensi Bourdieu mengenai habitusdan
Menurut sejarah, masyarakat yang tinggal
Giddens mengenai struktur, cerita rakyat di
di pulau Timor memiliki ikatan kekeluargaan
bawah dapat dipahami mengapa masyarakat
yang kuat. Sebagaimana dikemukakan oleh Pater
masih memiliki kebiasaan untuk mengunjungi
Gregor (Gregor Mambusu, 2016: 350-353),
tempat-tempat tertentu yang bersejarah dan
masyarakat Timor Leste merupakan bagian yang
mematuhi norma-norma yang telah dibuat oleh
sangat penting dan tidak terpisahkan dari warga
leluhur mereka mengenai suatu hal berkaitan
masyarakat Pulau Timor secara keseluruhan.
dengan perjalanan mereka menuju tempat
Semua warga Timor Leste, TTU, Kupang, Belu,
bersejarah dan bermakna bagi kelangsungan
Bobonaro, Atabe, dan Suai (Timor Leste) masih
hidup masyarakat.
memiliki ikatan kekerabatan yang kental.
Menurut sejarah yang dituturkan oleh Meskipun berbeda negara namun mereka berasal
Ormeling (dalam Parera, 1971: 80), pulau Timor dari sumber yang sama yaitu pusaka Pulau Timor.
dikenal dan terbuka bagi dunia luar sejak kayu Itu terlihat pada kesamaan adat istiadat, tradisi
cendana mulai dikenal dan digunakan untuk lisan dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan
berbagai kebutuhan, antara lain sebagai bahan yang tertanam dalam diri warga kedua wilayah.
minyak cendana, obat-obatan, atau pembakaran
Kelanggengan ikatan kekeluargaan seperti
dupa. Di samping itu, terdapat pula cerita rakyat
itu hingga kini masih dirawat oleh masyarakat
dan tradisi yang menarik untuk diungkapkan yang
Belu, antara lain melalui ritual Rosario secara
mengandung nilai-nilai religi dan nilai-nilai etis
bergiliran dalam lingkungan sosial (RT, RW)9,
yang dilestarikan oleh masyarakat Belu. Cerita
dan penceritaan melalui cerita rakyat yang
rakyat yang berisi sejarah hanya bisa didengar
disampaikan kepada generasi muda. Nilai religius
dari beberapa orang karena pada dasarnya sejarah
dan nilai kekerabatan menjadi dasar bagi
hanya boleh dikemukakan pada upacara-upacara
kesatuan masyarakat Belu.
tertentu oleh orang-orang tertentu pula. Ada
kepercayaan bahwa penyampaian sejarah yang Salah satu cerita rakyat dikisahkan oleh
salah dan di tempat yang salah juga akan Marsel Robot (2013: 8-21) yakni cerita tentang
menyebabkan leluhur murka. Sejarah macam ini Belu Mau, Sabu Mau, dan Tii Mau. Penggalan
berupa inti dari syair-syair adat tradisional yang kisah yang ditulisnya adalah sebagai berikut.
tidak mudah dimengerti karena menggunakan “Mereka sebenarnya tiga bersaudara. Mereka
bahasa tinggi dan metafor-metafor. Pada melakukan perjalanan dari India. Sesampainya
umumnya syair adat digunakan dalam upacara- di Belu ketiga bersaudara ini bermusyawarah.
upacara pertemuan resmi antara suku pemberi Ada yang ingin menetap di Belu, ada yang
melanjutkan perjalanan ke Sabu dan Rote.
Dari ketiganya tidak diketahui secara pasti
7
Mesbah adalah bangunan yang dipercaya siapa kakak dan siapa adik. Namun sebelum
sebagai tempat tinggal ruh, terletak di dekat rumah ketiganya berpisah, mereka melakukan
tempat tinggal dahulu. Karena itu bangunan mesbah perjanjian agar mereka di manapun berada
menggunakan material yang lebih bagus sehingga selalu saling mengingat sebagai saudara.”
bentuk bangunannya juga lebih bagus dari bentuk
rumah tempat tinggalnya (Humaedi, 2013: 127-128)
8 9
http://www.kampungide.com/2011/11/kam Wawancara dengan Ithok di Belu tahun
pung-unik-suku-matabesi-di-belu.html 2016.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 181


Cerita itu mengisahkan bahwa ketiga itu. Karena kesaktiannya, dia melahirkan empat
bersaudara itu diikat oleh sumpah adat dan orang anak, dua orang puteri bernama Elok Lua
mereka memiliki kesadaran sejarah yang sama Lorok dan Balok Lua Lorok serta dua putra
dan dikonstruksi untuk memfasilitasi keberagaman. bernama Atok Lakaan dan Taek Lakaan. Kedua
Dalam cerita itu terkandung nilai kekerabatan pasangan putera dan puteri itu kemudian
(persaudaraan), nilai kerukunan, nilai religius, dan dikawinkan karena di puncak gunung tidak ada
nilai yuridis. Sumpah mereka mengharuskan agar keluarga lain kecuali mereka. Atok Lakaan
mereka merawat persaudaraan karena mereka dikawinkan dengan Elok Lua Lorok dan Taek
berasal dari rai ahu nga temuni (terjemahan Lakaan dikawinkan dengan Balok Lua Lorok.
bebasnya: tanah yang sama dengan satu ikatan Dalam adat Tetun perkawinan mereka disebut
tradisi dari satu leluhur). Dan salah satu sumpah dengan istilah Karas Taka Mutu, Belan Rai
pengikat persaudaraan mereka adalah sebagai Libur (artinya Dada dirapatkan, Samping
berikut. disatukan).
“kita berasal dari satu orang, biarkan telah Atok Lakaan dan Elok Lua Lorok
berkembang biak tidak boleh berkelahi, sampai kemudian menetap di tempat yang lebih rendah
ke anak cucu, walaupun kamu sudah bertambah yaitu di Bukit Nanaet Dubesi, sebelah barat daya
banyak, jika berbuat salah akan mudah mati, Gunung Lakaan. Mereka memiliki empat orang
tidak akan beranak cucu dan tersesat (nasib anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
tidak beruntung dan terkutuk).”
Mereka menetap dan berkuasa di Mandeu
Menurut Marsel Robot ada tiga prinsip (Raimanuk sekarang), di Naetimu (Halilulik
yang hingga kini masih dipegang teguh oleh sekarang), di Lidak (Kota Atambua sekarang)
masyarakat Belu, yaitu: (1) Jangan berkelahi; (2) dan di Dualilu (Atapupu sekarang). Dan yang
Jangan adu ilmu gaib; (3) Jika saling berkunjung perempuan pergi dan menetap di Selaoan
jangan pernah minta bayaran. Jika prinsip itu (Silawan sekarang). Sedangkan Taek Lakaan
dilanggar, mereka percaya bahwa mereka tidak dan istrinya Balok Lua Lorok terus menetap di
akan berumur panjang, tidak mempunyai sekitar kawasan puncak Gunung Lakaan.
keturunan, atau mendapat malapetaka lain. Mereka memiliki empat orang anak, dua laki-
Prinsip itu membuat orang Belu dan Sabu pantang laki dan dua perempuan. Kempatnya kawin
berkelahi. menjadi dua pasangan. Satu pasangan pergi ke
tempat yang tidak diketahui sedangkan satu
Versi lain cerita rakyat mengenai asal-
pasang tetap tinggal di wilayah puncak Gunung
usul orang Belu adalah Cerita Gunung Lakaan.10
Lakaan. Mereka yang tinggal di wilayah Gunung
Menurut cerita orang tua-tua di Belu, pada
Lakaan kemudian mendirikan kerajaan yang
jaman dahulu kala, seluruh Pulau Timor masih
sekarang disebut kerajaan besar di Belu yang
digenangi air, kecuali puncak Gunung Lakaan,
disebut Fehalaran. Mereka dikaruniai banyak
di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara
anak. Mereka yang meninggalkan wilayah
Timur, yang merupakan gunung tertinggi di
Lakaan diperkirakan tinggal di kawasan timur
seluruh Kepulauan Timor. Karena itu adat Tetun
Gunung Lakaan, dan sebagian anak-cucu mereka
mengatakan bahwa Gunung Lakaan ibarat biji
kelak menyeberang ke ke Sabu dan Rote.11
mata ayam, bagaikan belahan pinang, laksana
segumpal nasi, seperti pusar uang perak. Dialah Salah satu makna dari cerita-cerita di
yang memulai, dialah yang awal, dialah tanah atas adalah pentingnya perawatan kehidupan
pusat, dialah tanah kaum kerabat, semua religius, perawatan kekeluargaan, dan kesatuan
saudara-saudari. antar suku di wilayah pulau Timor. Itu karena
asal usul mereka sama. Hingga sekarang pada
Pada suatu hari turunlah seorang putri
saat ilmu pengetahuan dan teknologi
dewata bernama Laka Lora Kmesak (Laka Loro
berkembang pesat, masyarakat Belu masih
Kmesak) di puncak Gunung Lakaan. Putri Laka
memelihara cerita-cerita mitos tersebut dan
Lora Kmesak memiliki nama julukan Nain
mereka merasa memiliki kewajiban untuk
Bilak-an, yang berarti berbuat sendiri dan
menjelma sendiri. Dia tinggal di puncak gunung

10
Cerita Gunung Lakaan, Jero Halilulik.
11
http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/cerita- http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/
gunung-lakaan.html cerita-gunung-lakaan.html

182 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


berkomunikasi dengan leluhur mereka di Gunung membutuhkan perhatian baik dari masyarakat
Lakaan pada momen tertentu.12 itu sendiri maupun dari pemerintah, khususnya
pemerintah daerah. Perhatian dari masyarakat
Budaya Global dan Politik Multikulturalisme dan pemerintah dalam bentuk pelestarian nilai-
nilai di dalam budaya tradisional sama artinya
Paparan di atas menunjukkan bahwa
dengan merawat multikulturalisme.
pewarisan nilai-nilai dalam praktik budaya dan
penceritaan tentang kehidupan moral religius Menurut Azyumardi Azra (2007: 13),
masih relatif hidup di wilayah Kabupaten Belu. ada dua pemahaman tentang multikulturalisme
Kesadaran generasi tua mengenai pentingnya yang dapat diterapkan untuk keragaman budaya
internalisasi nilai-nilai tradisional memberi Indonesia. Pertama, multikulturalisme dipahami
gambaran bahwa pelestarian nilai-nilai tradisional sebagai pandangan dunia yang dapat
oleh generasi muda dapat dilakukan. Meskipun diterjemahkan dalam berbagai kebijakan masyarakat
demikian, bukan berarti pelestarian itu tidak dan menekankan tentang penerimaan terhadap
mengalami tantangan, yaitu berupa budaya realitas keragaman, pluralitas, dan realitas
global. multikultural.Kedua, multikulturalisme dipahami
sebagai pandangan dunia yang mengakui eksistensi
Budaya tradisional menuntut masyarakat
kultural yang ada, terlepas dari besar kecilnya.
untuk memenuhi berbagai kewajiban sebagai-
mana diatur oleh hukum adat yang sudah sejak Kedua pandangan di atas dapat digunakan
lama diberlakukan, misalnya menyediakan mas untuk memahami Indonesia. Banyaknya suku
kawin (belis) dalam jumlah dan ragam tertentu. bangsa dan budaya tradisional yang dimiliki
Di sinilah letak perbedaan dengan budaya Indonesia berarti juga banyak kearifan lokal
global. Dalam budaya global kesadaran manusia yang dimiliki Indonesia. Kearifan lokal banyak
banyak diilhami oleh perhitungan untung rugi diekspresikan mereka melalui budaya tradisional
secara ekonomi. Penguasa sistem ekonomi yang mereka seperti kesenian rakyat, tarian rakyat,
disebut neoliberalisme akan selalu menggunakan upacara-upacara tradisi tertentu, cerita rakyat
kesadaran instrumentalnya untuk meraih keuntungan dan lain sebagainya. Menurut Azyumardi Azra
demi akumulasi modal. Pengaruh psikologis (2007:12),kearifan lokal berfungsi sebagai
yang tertanam dalam diri konsumen berwujud defense mechanism dan sekaligus early warning
pada sikap dan gaya hidup seperti trendy, instan, system sehingga masyarakat bisa mengantisipasi
mudah, dan nyaman. Semua itu akan membawa bahaya yang mengancam keutuhan tradisi dan
seseorang pada suasana kebahagiaan sehingga sistem kultural yang dapat memelihara integrasi
dia akan selalu memburunya demi kebahagiaan. dan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan.
Semakin lama seseorang akan memiliki sikap
Atas dasar itu, dapat dilihat dalam
mementingkan diri sendiri karena ingin selalu
kenyataan bahwa masyarakat Belu pada masa
memenuhi apa yang diinginkan dan sedapat
kini memandang kearifan lokal yang mereka
mungkin dapat menikmati hidup yang serba
miliki masih bermakna bagi kelangsungan hidup
mudah dan membahagiakan (Franz Magnis-
mereka sehingga masyarakat masih sangat
Suseno, 2008: 13-22). Jadi bagian dari budaya
memelihara tradisi mereka. Salah satunya adalah
global yang menantang budaya tradisional, yaitu
upacara persembahan. Tradisi itu dilakukan oleh
nilai-nilai hedonis-konsumis, yang merasuki
masyarakat (yang beranggotakan seluruh suku)
kesadaran masyarakat merupakan tantangan
pada waktu mereka hendak memetik jagung
yang serius.
untuk pertama kalinya. Mereka yang datang dan
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa turut serta pada upacara adalah seluruh suku
pada masa globalisasi ini masih banyak budaya yang hidup di desa yang bersangkutan dan yang
tradisional dapat ditemui di berbagai wilayah berasal dari tetangga desa. Upacara itu wajib
Indonesia. Itu merupakan suatu keberuntungan dilakukan, untuk menyampaikan rasa syukur
bagi bangsa Indonesia. Karena itu Indonesia kepada Tuhan dan para leluhur mereka. Upacara
sangat perlu memperhatikan tantangan seperti dilaksanakan pada waktu malam hari.
yang dipaparkan di atas. Keragaman budaya
Dalam upacara itu setiap keluarga
tradisional yang dimiliki oleh Indonesia
membawa jagung untuk persembahan. Jagung
dari semua yang hadir dikumpulkan untuk
12
Wawancara dengan anak-anak Sekolah didoakan melalui ritual upacara. Setelah jagung
Dasar Atambua tahun 2016. didoakan kemudian dibagikan kepada seluruh

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 183


kepala keluarga yang hadir. Sudah menjadi tentang pentingnya toleransi terhadap perbedaan-
kebiasaan, jagung yang diterima oleh setiap perbedaan dan ragam budaya yang berarti ragam
kepala keluarga disimpan sebagai bibit untuk suku bangsa, ragam bahasa yang semuanya
ditanam. Pada waktu upacara semacam itu dapat menjadi sumber ketenteraman. Hal itu
dilaksanakan mereka membawa kembali jagung bukan berarti bahwa budaya tradisional tempat
hasil tanam dari bibit yang diterima ketika siswa hidup harus menyesuaikan pada budaya
mengikuti upacara yang sama pada waktu berbagai suku. Apabila itu terjadi maka berarti
sebelumnya (Retnowati, 2016: 117). seseorang akan kehilangan budayanya sendiri
yang juga berarti kehilangan identitasnya sebagai
Menurut Azra (2007: 14-18), bangsa
suku tertentu dari daerah tertentu.
Indonesia tidak boleh membiarkan multikulturalisme
hidup begitu saja, tetapi harus dirawat. Atas Berkaitan dengan soal pentingnya
dasar itu, pemerintah dan masyarakat Belu yang pendidikan multikulturalisme, tidaklah keliru
masih memelihara budaya tradisional dinilai apabila mencermati Pembukaan UUD 1945
memiliki andil dalam merawat multikulturalisme alinea keempat yang menegaskan: "Kemudian
dan integrasi bangsa Indonesia. Budaya tradisional daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
mengandung nilai-nilai seperti persatuan, solidaritas, negara Indonesia yang melindungi segenap
gotong royong, dan kekerabatan. Pengembangan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
politik multikulturalisme dapat dilakukan melalui Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
pendidikan yang diselenggarakan oleh seluruh umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
lembaga pendidikan, baik formal maupun non- ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
formal dan bahkan informal dalam masyarakat berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
luas. Lembaga pendidikan formal sangat dibutuhkan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
perannya dalam turut serta membangun kesadaran kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
anak bangsa secara dini terkait dengan kekayaan Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk
Indonesia yang memiliki andil bagi multikulturalisme. dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
Alasannya adalah karena pendidikan formal memiliki yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
potensi untuk secara sistematis menyampaikan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
kepada siswa tentang kebudayaan nasional yang yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
di dalamnya termasuk kebudayaan tradisional. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
Pendidikan mengenai budaya tradisional
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
masing-masing daerah dan budaya nasional
rakyat Indonesia."
sangat penting disampaikan kepada para siswa
tanpa harus mengganti atau mengasimilasikan Kata “…mencerdaskan kehidupan
budaya asing. Bhikhu Parekh (2008: 265) bangsa…” yang tertulis dalam Pembukaan UUD
memandang bahwa di dalam budaya terdapat 1945 membutuhkan perhatian untuk dicermati
nuansa-nuansa dan pikiran-pikiran yang tidak secara serius berkaitan dengan persoalan
dapat diungkapkan atau diekspresikan dengan pendidikan di Indonesia. Menurut Mudji Sutrisno
mudah. Seseorang yang tidak terlahir dalam (2009: 23-24), kata “mencerdaskan” dapat
suatu budaya tertentu tidak akan dengan mudah dipahami sebagai jalan peradaban. Salah satunya
memiliki kepekaan-kepekaan secara mendalam melalui pendidikan. Pencerdasan kehidupan
sebagaimana diajarkan oleh budaya tempat dia bangsa merupakan sikap kultural mengingat
hidup. Oleh karena itu, tidaklah mudah untuk pengetahuan lokal dan tradisi religius sebagian
memasukkan nilai-nilai budaya baru ke dalam relatif banyak digunakan untuk komoditisasi,
budaya masyarakat yang sudah dilestarikan untuk ekonomisasi perdagangan pengetahuan.
secara turun-menurun. Pengetahuan tidak lagi digunakan untuk
kepentingan pencerahan dan pemerdekaan maupun
Pendidikan budaya tidak dimaksudkan
pencerdasan. Di samping itu banyak masyarakat
untuk mengganti atau mengasimilasikan budaya
yang tingkat perekonomiannya rendah masih
asing/luar daerah/luar suku secara formal, tetapi
mengalami kesulitan untuk menyekolahkan anak-
lebih untuk menambah pengetahuan para siswa
anak mereka. Pada zaman kapitalisme global ini
tentang berbagai macam budaya tradisional
pendidikan banyak mengalami de-humanisasi.
Indonesia. Dalam konteks Indonesia, dengan
Karena itu dunia pendidikan membutuhkan
pengetahuan mengenai ragam budaya pendidik
humanisasi agar supaya pencerdasan kehidupan
juga dapat menanamkan pada kesadaran siswa

184 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


bangsa dan pemerdekaan manusia dapat sebagainya. Nilai-nilai yang baik dari unsur-
diwujudkan. unsur asli dibutuhkan untuk membimbing ke
arah yang baik. Karena itu, apabila bentuk-
Semua itu memberi gambaran bahwa
bentuk budaya itu tidak bernilai ke arah yang
pelestarian budaya tradisional membutuhkan
baik maka tidak perlu digunakan sebagai materi
politik multikulturalisme dan peranan pemerintah.
pendidikan dan pengajaran.
Pendidikan juga membutuhkan persiapan matang,
terencana, terprogram, dan sistematis. Untuk itu, Dalam konteks ini, seyogianya budaya
politik multikulturalisme lebih tepat dijalankan yang dipilih adalah budaya yang dalam pandangan
melalui keluarga, masyarakat maupun sekolah. Ki Hadjar Dewantara merupakan puncak-puncak
Ketiganya mesti berlangsung secara bersamaan. kebudayaan. Menurut Driyarkara (Sudiarja, dkk.,
Dalam hal pendidikan anak, Parekh (2008:271) 2006: 430-431) yang dimaksud dengan puncak-
berpendapat bahwa anak-anak tidak hanya puncak kebudayaan adalah kebudayaan yang
diposisikan sebagai warga negara tetapi juga memuat nilai kemanusiaan. Budaya macam itu
sebagai manusia biasa yang menjadi anggota adalah budaya yang memimpin ke arah yang
dari komunitas kultural yang bersangkutan. baik. Pilihan itu merupakan wewenang dari
Orang tua dan komunitas kultural mempunyai instansi daerah karena instansi daerahlah yang
kepentingan dalam pendidikan anak sehingga memiliki pengetahuan tentang budaya yang
sekolah menjadi lembaga kebudayaan yang mengacu mengandung nilai kemanusiaan dan memimpin
pada wilayah “pribadi” atau kemasyarakatan. ke arah yang baik.
Ketika memposisikan anak sebagai warga negara
Salah satu contoh budaya yang bernilai
maka hendaknya sekolah diperlakukan sebagai
ke arah yang baik yang bisa disampaikan kepada
lembaga publik yang tunduk pada pengendalian
anak didik adalah seni tradisional Jawa yang
negara dan mengabaikan kebudayaan dan pilihan
disebut wayang. Kesenian ini sangat bermanfaat
orang tua; ketika memposisikan anak sebagai
untuk membangun kepribadian anak melalui
manusia dan anggota komunitas kultural maka ia
pemaparan tokoh-tokohnya seperti Bima, Arjuna,
akan tunduk pada pengendalian keluarga dan
Krisna dan lain sebagainya. Sifat tokoh-tokoh
masyarakat di mana dia menjalankan kehidupannya.
wayang bersifat umum, seperti penuh kasih
Mengacu pada pandangan Parekh sayang, jujur, religius, suka melakukan gotong
tersebut, maka dalam rangka merawat royong, suka melakukan kebaikan, dan lain
multikulturalisme, hendaknya negara melalui sebagainya yang semuanya dapat menginspirasi
lembaga pendidikan sekolah tetap mewajibkan anak-anak untuk melakukan apa yang dilakukan
materi budaya tradisional dari berbagai suku tokoh wayang tersebut dalam penceritaannya.
bangsa di Indonesia. Salah satu contoh adalah Kiranya masih banyak contoh budaya yang
mengenakan busana tokoh pejuang bertaraf bernilai baik yang dapat disampaikan kepada
nasional R.A. Kartini yang berasal dari Jawa. anak didik.
Untuk keperluan itu kostum yang patut
dikenakan pada peringatan itu kiranya berperan Penutup
dalam penanaman kesadaran sejarah tentang
Multikulturalisme di Indonesia tidak
perjuangan R.A. Kartini dalam turut memper-
dapat terlepas dari sifat dasar dan kedudukan
juangkan kemerdekaan Indonesia dari penindasan
dasar manusia sebagai makhluk individu,
bangsa asing. Karena itu untuk mendukungnya
pribadi, sosial dan makhluk Tuhan.Praktik religi,
sejarah tentang perjuangan R.A. Kartini perlu
agama dan sosial merupakan kegiatan penting
disampaikan ketika mendekati waktu peringatan
masyarakat Belu sejak zaman dahulu hingga
itu. Dengan demikian anak didik memahami
sekarang.Praktik-praktik yang sudah sejak dahulu
makna peringatan hari Kartini dan mengenakan
kala diinternalisasikan oleh nenek moyang mereka
pakaian ala R.A. Kartini.
ternyata sulit dihilangkan.Itu karena praktik-
Menurut Driyarkara (Sudiarja, dkk., 2006: praktek itu telah menjadi struktur atau mendarah
430-431), pendidikan mencakup pengajaran harus daging. Ternyata semua praktik budaya tradisional
menyertakan unsur-unsur asli karena unsur- yang berlangsung hingga masa sekarang sangat
unsur itu berdampak positif bagi anak didik. bermanfaat bagi keberlangsungan kesatuan masyarakat,
Unsur-unsur itu berguna untuk mengantisipasi kelanggengan multikultutralisme Indonesia, pelestarian
munculnya hal-hal negatif pada diri anak seperti lingkungan alam, pelestarian kekeluargaan,
keguncangan jiwa, krisis psikis, dan lain kegotongroyongan, kebersamaan dan kesatuan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 185


mereka. Semua itu menggambarkan bahwa http://www.kampungide.com/2011/11/kampung-
pelestarian nilai-nilai tradisional mereka yang unik-suku-matabesi-di-belu.html
berasal dari nenek moyang mereka memiliki
http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/03/cerita-
kemampuan untuk mempersatukan ikatan persatuan
gunung-lakaan.html
dan kesatuan mereka. Pelestarian budaya
tradisional, dalam hal ini pelestarian nilai-nilai Inwood, Michael. (1977). Heidegger. New York:
tradisional yang memiliki kekuatan sebagai alat Oxford University Press.
integrasi bangsa sama artinya dengan merawat Kabupaten Belu Dalam Angka (Belu in Figures).
multikulturalisme di tengah kehidupan global. (2014). Badan Statistik Kabupaten Belu.
Semua itu didasari oleh peran setiap anggota
masyarakat sebagai homo religiosus. Keesing, Roger M. (1981). Antropologi Budaya:
Suatu Perspektif Kontemporer, Jilid 2.
Pemerintah, khususnya pemerintah daerah (Terj.R.G. Soekadijo). Jakarta: Erlangga.
sangat diharapkan kepeduliannya pada keberlangsungan
budaya tradisional melalui pendidikan baik Magnis-Suseno, Franz. (1995).Filsafat Sebagai
pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Untuk menentukan budaya tradisional yang baik ……………………… (2008). Etika Kebangsaan
sebagai media pendidikan sekolah memerlukan Etika Kemanusiaan 79 Tahun sesudah
perhatian pemerintah daerah (institusi yang Sumpah Pemuda. Yogyakarta: Kanisius.
berwenang) di mana budaya tradisional itu
hidup. Mangunhardjono, “Homo Religiosus menurut
Mircea Eliade”, dalam Sastrapratedja,
Daftar Pustaka M. (1982). Manusia Multi Dimensional
Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: PT
Azra, Azyumardi. (2007). Merawat Kemajemukan Gramedia.
Merawat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.
Mombasu, Gregor. (2016). Citra Manusia
Bagus, Lorenz. (2000). Kamus Filsafat. Jakarta: Berbudaya. Sebuah Monografi tentang
PT Gramedias Pustaka Utama. Timor dalam Perspektif Melanesia.
Bourdieu, Pierre. (1995). Outline of A Theory of Jakarta: LKBN Antara.
Practice. (Translated by Richard Nice). Mulder, Niels. (1999). Pribadi dan Masyarakat
Cambrideg: Cambridge University Press. di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Cassirer, Ernst. (1987). Manusia dan Kebudayaan. Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism
(Terjemahan Agus Nugroho). Jakarta: Keberagaman Budaya dan Teori
PT. Gramedia. Politik,Yogyakarta: Kanisius.
Cerita Gunung Lakaan, Jero Halilulik. Parera, A.D.M. (1971). Sedjarah Politik
http://duniatalerun.blogspot.co.id/2012/0 Pemerintahan Asli (Sedjarah Radja-
3/cerita-gunung-lakaan.html Radja). Kupang: Departemen P Dan K
Drijarkara. (1966). Pertjikan Filsafat. Jakarta: Nusa Tenggara Timur.
PT Pembangunan Djakarta. Retnowati, Endang. Politik Kebudayaan Belu,
Giddens, Anthony. (1986). The Constitution of dalam John Haba, dkk.(2016). Peran
Society. Berkeley and Los Angeles: Bahasa dan Budaya Dalam Konteks
University of California Press. Keutuhan NKRI: Konstruksi Identitas
dan Nasionalisme di Kabupaten Belu,
Habba, John, dkk..(2016). Peran Bahasa dan Nusa Tenggara Timur.
Budaya Dalam Konteks Keutuhan NKRI:
Konstruksi Identitas dan Nasionalisme Ritzer, George. (2005). Teori Sosiologi Modern.
di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Jakarta: Kencana.
Timur. Robot, Marcel. (2013). Menjahit Perbedaan
Humaedi, Alie, dkk.(2013). Mekanisme Internal Dengan Cerita Analisis Nilai Kearifan
Pelestarian Bahasa dan Budaya Kafoa. Lokal (Local Wisdom) Cerita Aliensi
Jakarta: PT Gading Inti Prima. Belu Mau, Sabu Ma’u dan Ti’i Mau.
Dalam Optimisme, Jurnal Bahasa,

186 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017


Sastra dan Budaya. Edisi 6, Mei 2013. Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (Ed.).
FKIP Undana. (2009). Ranah-ranah Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Sudiarja, dkk.(Penyunting). (2006). Karya
Lengkap Driyarkara Esei-esei Filsafat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Pengembangan Bahasa. (1988). Kamus
Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: Balai Pustaka.
van Peursen, C.A. (1988). Strategi Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017 187


188 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 19 No. 2 Tahun 2017

Anda mungkin juga menyukai