Anda di halaman 1dari 5

Hakikat Ilmu Hukum Dalam Perspektif Islam

 fiqh, hukum

SUDUT HUKUM | Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya


sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah
pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut tidak sekedar membuat pernyataan,tetapi harus dikaji dan dianalisis
berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan.

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab (‘ilm), bahasa Latin (science) yang berarti tahu atau mengetahui
atau memahami. Ditinjau dari sudut istilah ilmu (science), menyandang dua makna, yaitu sebagai
produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji
kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem.

Hakikat Ilmu Hukum Dalam Perspektif Islam

Sebagai proses, ilmu memiliki dua pengertian, yaitu pertama memperoleh pengetahuan dalam
bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat
pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu; kedua, mengamati gejala-gejala (gegevens) yang
relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuan-nya terbuka
untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang
dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan.

Sedangkan kata “hukum” berasal dari kata Arab hukm (kata jamaknya ahkaam) yang berarti
“putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command),
“pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentence) dan lain-lain
(Wehr, 1980). Kata kerjanya, hakama, yahkumu, berarti “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”,
“memerintahkan”, “memerintah”, “menghukum”, dan “mengendalikan”. Asal usul kata hakama
berarti “mengendalikan dengan satu pengendalian” (Al-Ashfahani, tt.). Jadi ilmu hukum adalah ilmu
pengetahuan yang objeknya ilmu hukum.
Pembahasan berikutnya diarahkan tentang hukum Islam dalam perspektif Islam. Kata “hukum
Islam” tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, yang ada dalam Al-
Qur’an adalah istilah syariat, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengan dengannya atau yang biasa
digunakan dalam literatur hukum dalam Islam adalah syariat Islam, fiqh Islam, dan hukum syara’.
Dengan demikian, hukum Islam adalah istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara
harfiah dari terma Islamic law dari literatur Barat. Istilah hukum Islam bukan merupakan terjemahan
dari syariat, sebab Islamic law sangat berbeda dengan syariat, baik filosofis, sumber pengambilan,
dan tujuan (Ismatullah, 2011).

Kata hukm dalam Al-Qur’an sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap permasalahan yang
“diputuskan” atau “ditetapkan” (hukima), di samping berhubungan dengan perbuatan Allah, juga
berhubungan dengan perbuatan manusia. Dengan kata lain, hukum ada yang berasal dari ketentuan
Allah dan ada yang berhubungan dengan ketentuan manusia (Ka’bah, 1998).

Selanjutnya Rifyal Ka’bah menjelaskan, bahwa hukum menyangkut perbuatan Allah adalah
keputusan yang akan diberikan di hari akhirat terhadap permasalahan yang diperdebatkan di
kalangan manusia (Ka’bah, 1998). Misalnya, keputusan menyangkut perselisihan antara ummat
Kristen dengan Yahudi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 113), antara pengikut Nabi Isa tentang status kematian
beliau (Q.S. Ali Imran [3]: 55), antara orang-orang munafik dan umat Islam (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 141),
dan antara sesama manusia (Q.S. al-Hajj [22]: 56). Keputusan atau ketetapan hukum Allah tersebut
juga berlaku di dunia (Q.S. ar-Ra’d [13]: 41). Di sini dapat dilihat hubungan erat antara hukum
dengan konsep jaza’ (pembalasan, sanksi) dari satu sisi, dan antara hukum dan keadilan dari sisi lain.

Sedangkan hukum yang menyangkut perbuatan manusia adalah hukum sebagai perintah dari Allah
supaya manusia memutuskan perkara atau urusan (di dalam atau di luar pengadilan, dan dalam
masyarakat pada tingkat kehidupan orang perorang atau pemerintahan pada tingkat kehidupan
bernegara) berdasarkan keadilan (Q.S. al-Maidah [5]: 5, an-Nisaa’ [4]: 58) dan sesuai dengan yang
diajarkan oleh Allah (Q.S. an-Nisaa’ [4]: 105).

Jadi, hukum dalam perspektif Islam adalah ketetapan, keputusan dan perintah yang berasal dari
Allah dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan pribadi,
masyarakat dan negara. Sebagai ketetapan yang berasal dari perintah Allah yang Maha Tahu
kemaslahatan hambaNya, maka hukum ilahi berisikan keadilan seluruhnya. Sebagai ketetapan yang
berasal dari legislasi manusia, hukum manusia harus berdasarkan kepada hukum ilahi dan rasa
keadilan yang paling tinggi (Ka’bah, 1998).

Sementara itu, Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa apabila kata “hukum” dihubungkan
dengan “Islam”, hakikat hukum Islam adalah “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah
hukum yang berdasarkan wahyu” (Syarifuddin, 1990).
Definisi hukum Islam pun berbeda di kalangan para ulama dan ahli hukum Islam di Indonesia. Hasbi
Ash-Shiddieqy memberikan definisi dengan , “Koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat” (As-Shiddieqy, 1982). Pengertian hukum Islam dalam
definisi ini sama dengan atau sekurang-kurangnya mendekati pada makna fiqh.

Dengan demikian, hukum Islam menurut beberapa pengertian di atas, mencakup hukum syariat dan
hukum fiqh. Dengan kata lain, hukum Islam lebih luas meliputi syariat dan fiqh. Akan tetapi, jika
istilah hukum Islam merupakan adopsi dari istilah Islamic law, hukum Islam istilah yang sangat
berbeda dengan syariat dan fiqh. Sebab dalam Islam, baik syariat, fiqh, maupun hukum Islam
merupakan bagian dari ajaran Islam.

Sekalipun demikian, perbedaan definisi hukum Islam yang telah dikemukakan oleh kedua ahli
hukum tersebut di atas, hanya terletak pada cakupan yang dlingkupinya. Pendapat pertama, hukum
Islam dimaksudnya pada makna syariat dan kadang dapat juga digunakan untuk makna fiqh.
Sedangkan dalam pendapat kedua, membatasi pengertian hukum Islam hanya pada makna fiqh.
Jadi, perbedaan itu bukan subtansinya, apalagi ketika dikaitkan dengan kemungkinan dapat tidaknya
hukum Islam itu berubah dan diubah.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah ada yang mengatakan bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan
tetap, maksud kata “hukum Islam” di sini adalah syariat atau hukum syara’, yaitu ajaran Allah yang
kebenarannya bersifat mutlak yang telah lengkap serta sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum
Islam itu berubah dan dapat dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan
zaman, itu merupakan hukum Islam bermakna fiqh, sebagai hasil ijtihad dan interpretasi manusia
(mujtahid) terhadap syariat.

Keabadian hukum Islam yang yang bermakna syariat dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an terakhir
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW pada masa haji wada’ (perpisahan), yaitu sebagai
berikut:

 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3)
Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu termasuk hukum yang merupakan
bagian yang tidak terpisah dari agama secara keseluruhan. Dalam Al-Qur’an, kata “syariat”
senantiasa dihubungkan dengan Allah sehingga ulama ushul fiqh memahami konsep syariat sebagai
teks-teks kalamullah yang bersifat syar’i, yakni sebagai an-Nashush al-muqaddasah yang tertuang
dalam bacaan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang sifatnya tetap atau tidak mengalami perubahan
(Ismatullah, 2011).

Dalam al-Qur’an pun terdapat kata “syariat” yang sepadan dengan kata ad-din (agama)
sebagaimana dalam firman Allah berikut:

 Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-
Kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah
kamu perselisihkan itu,” (Q.S. Al-Maidah [5]: 48).

Pada ayat di atas, kata “syariat” artinya aturan atau hukum. Oleh karena itu, ayat di atas
berhubungan (munasabah ayat) dengan ayat sebelumnya, yakni dalam Al-Maidah ayat 45 berikut:

 Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 45)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum Islam bermakna syariat yang di dalamnya terdapat
berbagai aturan yang diperuntukkan bagi manusia. Hukum atau syariat berkaitan dengan kehidupan
ritual atau sosial. Al-Maududi (1990), mengatakan bahwa syariat sebagai ketetapan Allah dan
RasulNya yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal,
yang diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, dan muamalat.

Dalam surat Al-Jaatsiyah, Allah SWT juga berfirman:

 Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(Q.S Al-Jaatsiyah [45]: 18)

Ayat tersebut di atas, memaparkan pengertian syariat yang identik dengan seluruh ajaran Islam.
Semua diseru untuk mengikuti syariat-syariatNya dan melarang mengikuti hukum di luar syariat yang
disebut dengan “hawa nafsu”. Syariat merupaka konsep subtansial dari seluruh ajaran Islam.
Dengan demikian, berdasarkan uraian penjelaskan tentang hakikat hukum Islam di atas, dapat
dipahami bahwa hakikat ilmu hukum Islam dalam perspektif Islam adalah ilmu pengetahuan yang
mengkaji syariat atau sering disamakan dengan istilah fiqh sebagai ilmu yang memahami tentang
hukum-hukum syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang
bersifat amaliah atau praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dalam rangka menghasilkan
hukum Islam yang diambil dari kedua sumber tersebut.[*]

Anda mungkin juga menyukai