FRAKTUR
OLEH :
2. Epidemiologi/Insidensi Kasus
Menurut Doenges (2014), penyebab fraktur antara lain:
a. Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsungberada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali atau progresif.
2) Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
4) Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
Etiologi fraktur menurut Muttaqin, A (2008), fraktur dapat terjadi akibat adanya
tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang
dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan
membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang
menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat
menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau
fraktur buckle pada anak-anak.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak,
dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki,
biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Pada
orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan
dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone pada
menopause.
3. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Price (2006), patah tulang biasanya terjadi karena benturan
tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
Fraktur dapat disebabkan oleh Traumatik (jatuh), patologis (osteoporosis, tumor
tulang, infeksi) sehingga dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau disebut fraktur. Fraktur dapat mengakibatkan terjadi
beberapa gangguan seperti dapat mengakibatkan cidera pada sel yang dapat mengakibatkan
degranulasi selt mast sehingga terjadi pelepasan mediator kimia dari sel yang akan
mempengaruhi medula spinalis dan korteks serebri sehingga dapat mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri. Cedera juga mengakibatkan terjadinya gangguan mobilitas fisik pada
pasien.
Fraktur juga mengakibatkan terjadinya diskontinuitas fragmen tulang yang
mengakibatkan lebasnya lipid pada sumsum tulang sehingga terabsorpsi masuk ke
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan terjadinya emboli yang mengakibatkan oklusi
jaringan paru yang mengakibatkan nekrosis jaringan paru sehingga luas permukaan paru
berkurang yang mengakibatkan penurunan laju difusi sehingga terjadi gangguan pertukaran
gas. Apabila fraktur mengakibatkan terjadinya luka terbuka dapat menimbulkan gangguan
integritas kulit dan dapat juga menimbulkan terjadinya infeksi atau resiko terjadi infeksi.
Selain itu juga dapat menimbulkan peradangan atau reaksi peradagangan yang
mengakibatkan terjadinya udema sehingga terjadi penekanan jaringan vaskuler sehingga
aliran darah menurun sehingga timbul masalah keperawatan resiko disfungsi neurovaskuler
(Donna D, 2012).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan
sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.Fagositosis
dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma
fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru.Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur femur umumnya antara lain (Helmi, 2012):
a. Nyeri
Terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirncang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Kehilangan fungsi
c. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah kekuatan otot
menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
d. Pemendekan ekstermitas karena kontraksi otot.
Terjadi pada fraktur panjang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah
tempat fraktur.
e. Krepitasi.
Akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
f. Pembengkakan.
g. Perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur.
5. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara
lain:
a. Pemeriksaan rontgen: untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
b. Scan tulang, tomogram, CT–scan/MRI: memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau
cedera hati.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan konservatif, merupakan penatalaksanaan non pembedahan agar
immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
1) Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah
trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas
atau tongkat pada anggota gerak bawah.
2) Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya menggunakan plaster of
paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal. Metode ini
digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses
penyembuhan.
3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan gips.
Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan
local. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips
untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai
dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi yang bertahap dan imobilisasi.
a. Penatalaksanaan pembedahan.
1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire (kawat
kirschner), misalnya pada fraktur jari.
2) Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF : Open Reduction internal Fixation).
3) Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF : Open reduction Eksternal Fixation).
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif
(hancur atau remuk).
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap Pengkajian merupakan dasar utama dalam
Data obyektif: pasien tampak meringis, ada perdarahan, tampak bengkak pada luka atau
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut pasien pre operasi fraktur
1) Nyeri akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik (mis. abses, amputasi,
terpotong, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi / kekhawatiran mengalami
kegagalan dalam tindakan operasi.
4) Resiko Hipovolemia berhubungan dengan Trauma / perdarahan.
5) Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma
Data obyektif: adanya luka post operasi, terpasang drain, demam yang terus menerus,
pasien tampak meringis pada saat bergerak, pasien tampak lemas, adanya
pendarahan, intake dan output tidak seimbang (intake < output), adanya
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI pada penderita post
operasi adalah :
1) Nyeri akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik mis. abses, amputasi,
terpotong, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur infasif / peningkatan paparan
organisme pathogen lingkungan.
4) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi / kekhawatiran mengalami
kegagalan dalam tindakan operasi.
5) Resiko luka tekan berhubungan dengan edema, fraktur tungkai, imobilisasi fisik.
2. Perencaanaan
Pada perencanaan diawali dengan prioritas diagnosa. Adapun prioritas masalah pada
pasien berdasarkan atas ancaman kehidupan dan kesehatan menurut Griffth – Kenney
Christensen, yaitu (Tarwoto & Wartonah, 2006) :
a. pre operasi :
1) Nyeri akut
2) Perfusi perifer tidak efektif
3) Resiko perdarahan
4) Resiko Hipovolemia
5) Gangguan mobilitas fisik
6) Ansietas
b. Post Operasi
1) Nyeri akut
2) Resiko infeksi
3) Resiko luka tekan
4) Ansietas
5) Gangguan mobilitas fisik
3. Rencana Tindakan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Perencanaan
Keperawatan (SIKI)
a Nyeri Akut Setelah dilakukan Management nyeri
Definisi: tindakan keperawatan Observasi
Pengalaman sensorik atau selama .... X .... jam □ Identifikasi lokasi,
emosional yang berkaitan diharapkan Tingkat karakteristik, durasi,
dengan kerusakan jarigan Nyeri Menurun frekuensi, kualitas,
actual atau fungsional, dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
dengan onset mendadak atau Tingkat nyeri : □ Identifikasi skala
lambat dan berintensitas □ Keluhan nyeri nyeri
ringan hingga berat yang menurun □ Identifikasi respson
berlangsung kurang dari 3 □ Meringis nyeri non verbal
bulan. menurun □ Identifikasi factor
Penyebab: □ Sikap protektif yang memperberat
Agen pencedera menurun dan memperingan
fisiologis (mis. □ Gelisah nyeri
Inflamai,iskemia, menurun □ Identifikasi
neoplasma □ Kesulitan tidur pengetahuan dan
Agen pencedera menurun keyakinan tentang
kimiawi (mis. □ Frekuensi nadi nyeri
Terbakar, bahan membaik □ Identifikasi pengaruh
kimia iritan) □ Pola napas nyeri pada kualitas
Agen pencedera fisik membaik hidup
(mis. Abses, □ Tekanan darah □ Monitor efek
amputasi, terbakar, membaik samping penggunaan
terpotong, □ Pola tidur analgetik
mengangkat berat, membaik Terapiutik
prosedur operasi, □ Berikan teknik non
trauma, latihan fisik Kontrol Nyeri farmakologis untuk
berlebih) □ Melaporkan mengurangi rasa
Gejala dan Tanda Mayor nyeri terkontrol nyeri.
Subjektif meningkat □ Kontrol lingkungan
Mengeluh nyeri □ Kemampuan yang memperberat
Objektif mengenali onset rasa nyeri
Tampak meringis nyeri meningkat □ Fasilitasi istirahat
Bersikap protektif □ Kemampuan dan tidur
(mis. Waspada, mengenali □ Pertimbangkan
posisi menghindari penyebab nyeri jenis dan sumber
nyeri) meningkat nyeri dalam
pergerakan Edukasi
Anoreksia Edukasi
Palpitasi Jelaskan
meningkat Informasikan
meningkat mengenai
diagnosis,pengoba
Tekanan darah
tan dan prognosis
Meningkat
Anjurkan keluarga
Diaforesis
untuk tetap
Tremor
bersama pasien
Muka Tampak Pucat
Anjurkan
Suara Bergetar
mengungkapkan
Kontak Mata Buruk
perasaan dan
Sering berkemih
persepsi
Berorientasi pada
Latih teknik
masa lalu
relaksasi
Kondisi Klinis terkait
Kolaborasi
Penyakit akut
Kolaborasi
Hospitalisasi
pemberian obat
Rencana Operasi
antiansietas
g Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
Definisi : asuhan keperawatan Observasi
Berisiko mengalami selama ………x…….. Monitor tanda dan
peningkatan terserang kemampuan untuk gejala infeksi
organisme patogenik mencegah local dan sistemik
Faktor resiko mengeleminasi Terapeutik
Efek prosedur ancaman kesehatan Batasi jumlah
invasive meningkat dengan pengeunjung
Peningkatan paparan kriteria hasil : Berikan
organism pathogen perawatan kulit
lingkungan Kemampuan pada area edema
Kerusakan integritas mengidentifikasi Cuci tangan
kulit faktor resiko sebelum dan
Penurunan meningkat sesudah kontak
hemoglobin Kemampuan dengan pasien dan
Kondisi Klinis terkait melakukan strategi lingkungan pasien
Luka bakar control resiko Pertahankan
Tindakan invasive meningkat teknik aseptic
AIDS pada pasien
PPOK beresiko tinggi
Edukasi
Jelaskan tanda
dan gejala infeksi
Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
Ajarkan cara
memeriksa
kondisi luka atau
luka operasi
Anjurkan
Meningkatkan
asupan nutrisi
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
imunisasi , jika
perlu
h Resiko Luka Tekan Setelah dilakukan Pencegahan Luka
Definisi : asuhan keperawatan Tekan
Beresiko mengalami cedera selama ………x…….. Observasi
local pada kulit dan/ atau kemampuan untuk Periksa Adanya
jaringan , biasanya pada mencegah Luka Tekan
tonjolan tulang akibat mengeleminasi sebelumnya
tekanan dan / atau gesekan ancaman kesehatan Monitor suhu
Faktor resiko meningkat dengan kulit yang
Penurunan mobilisasi kriteria hasil : tertekan
Penurunan perfusi Monitor ketat area
jaringan Kemampuan yang memerah
Kulit kering mengidentifikasi Monitor sumber
Edema faktor resiko tekanan dan
Fraktur tungkai meningkat gesekan
Riwayat luka tekan Kemampuan Monitor mobilitas
Imobilisasi fisik melakukan strategi dan aktivitas
Gesekan permukaan control resiko individu
kulit meningkat Monitor kulit di
Kondisi Klinis terkait atas tonjolan
Anemia tulang atau titik
Imobilisasi Terapeutik
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukkan pada
nursing order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor – fakTor yang
mempengaruhi masalah kesehatan pasien.
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dan memfasilitasi koping. Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat
dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan (Nursalam, 2001).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, meskipun tahap evaluasi
diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap
tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan apakah
informasi yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah prilaku yang diobservasi
sudah sesuai. Diagnosa juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya.
Tujuan dan intervensi dievaluasi adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat
dicapai secara efektif (Nursalam, 2001). Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan
terdiri dari dua jenis yaitu:
1) Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan
tujuan tercapai.
2) Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Appley, G. A. 2005.Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta: Widya Medika.
Baradero, Mary. 2008. Keperawatan perioperatif .Jakarta : EGC.
Grace, Pierce A., dan Borley, Neil R., 2006. Nyeri Abdomen Akut. Dalam: Safitri, Amalia, ed.
At a Glance Ilmu Bedah.Edisi ketiga.Jakarta : Erlangga.
Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada tanggal 14 September
2016
Lukman & Ningsih, Nurma.(2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medik
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan SistemMuskuloskeletal.
EGC: Jakarta.
Noor Helmi, Zairin, 2012.Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1, Jakarta: Salemba
Medika
Price, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Ed. 6, volume 1&2.
EGC: Jakarta.
Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner
& Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.