Anda di halaman 1dari 78

HUKUM

SUMBER DAYA ALAM

Diterbitkan Oleh
R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177
Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia
www.derozarie.co.id – 081333330187/0819671079
Hukum Sumber Daya Alam
© Juli 2014

Eklektikus: Dr. Kadarsyah, Drs., M.H.


Editor: Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H.
Master Desain Tata Letak: Krisna Budi Restanto

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176122


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau


direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal
penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan
menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap
sebagai sumber referensi.
Terima kasih

PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK


PRAKATA

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang


memiliki sumber daya alam melimpah tentu saja wajib menjaganya
dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Berawal dari
kegalauan tersebut, saya ingin menunjukkan eksistensi diri dalam
karya ilmiah berjudul “Hukum Sumber Daya Alam”. Di dalam karya
ilmiah ini, menyajikan konstelasi pemikiran yang dapat digunakan
dalam menyelesaikan pelbagai permasalahan terkait sumber daya
alam.
Saya berharap karya ilmiah ini bagai ex caelis oblatus.

Surabaya, Juni 2014

Penulis

i
SENARAI ISI

BAB I
PENDAHULUAN 1
BAB II
KAJIAN HUKUM TENTANG PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM 12
BAB III
PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA
ALAM 31
BAB IV
PENYELESAIAN KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER
DAYA ALAM 47
BAB V
PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM 56
BAB VI
KAJIAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
KAWASAN KONSERVASI 60
DAFTAR PUSTAKA 71

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pengantar
Sumber daya alam merupakan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai
kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya
alam wajib dikelolah secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan
secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang. Ketersediaan sumber daya alam baik
hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu
pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus
dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, maka pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi
kepada konservasi sumber daya alam (natural resource oriented) untuk
menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam,
dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan
terpadu.
Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan
sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan. Telah terjadi
banyak kerusakan atas sumber daya alam kita, yang ternyata
persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup)
yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan
Kebijakan atas sumber daya alam tersebut. Oleh karenanya dengan
melihat kondisi di atas, Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian
dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam di mana hal ini
sebagai mata kuliah baru di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Widya Gama. Pada dasarnya merupakan materi kuliah yang
mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atau
tentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untuk
dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan

1
hukum yang muncul dan melingkupi sumber daya alam di
Indonesia.

1.2. Istilah Dan Pengertian


Istilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat
ditemukan di Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan
Huruf H Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang
menyatakan “Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal,
serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-
undang”.
Demikian juga pada ketentuan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
khususnya Pasal 6 yang menyatakan “Menugaskan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau
mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini”.
Pengertian sumber daya alam sendiri secara yuridis cukup
sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian sumber
daya alam ini dari Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber
Daya Alam yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut
“Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi
alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah,
baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak
terbarukan”.
Demikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum
Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal
tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum
Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas)
adalah di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2000

2
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2001 (UU No. 35-2000), khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4.
Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup,
yang menyatakan “Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001
diantaranya adalah Penyusunan undang-undang sumber daya alam
berikut perangkat peraturannya”. Namun demikian penjelasan dan
pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35-
2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.
Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari
pendapat Siti Sundari Rangkuti, yang menyatakan “Pada
pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai
sarana pemenuhan kepentingan”. Berdasarkan kepentingan-
kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan
bagian-bagian hukum lingkungan:
Hukum Bencana (Ramperenrecht);
Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);
Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke
rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);
Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de
verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;
Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht)”.
Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum Sumber
Daya Alam merupakan bagian dari Hukum Lingkungan. Menurut
Rangkuti, Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai
(waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-
nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat
disebut “hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup”.
Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang
mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk
hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan sanksi.
Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan
sumber daya alam maka Hukum Sumber Daya Alam adalah hukum
yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur
hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya

3
dalam hal soal sumber daya alam, yang apabila dilanggar dapat
dikenakan sanksi.

1.3. Bidang Sumber Daya Alam Dan Kelembagaan Pengelolaannya


Bidang-bidang yang terkait dan melingkupi persoalan sumber
daya alam di Indonesia antara lain adalah:
Q Bidang Agraria yang telah diatur oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UU No. 5-1960);
Q Bidang Pertambangan yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan
(UU No. 11-1967);
Q Bidang Pengairan yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (UU No. 7-2004);
Q Bidang Perikanan yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU
No. 31-2004);
Q Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang
telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya (UU No. 5-1990);
Q Bidang Kehutanan yang telah diatur oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU
No. 41-1999).
Masing-masing bidang itu secara kelembagaan dikelolah oleh
lembaga-lembaga sektoral yang berada di lingkup departemen yang
menanganinya diantaranya adalah Departemen Dalam Negeri
melalui Badan Pertanahan; Departemen Pertambangan dan Energi;
Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Perikanan dan Kelautan;
dan Departemen Kehutanan.
Padahal idealnya kelembagaan yang mengatur soal sumber
daya alam tidak diatur dan dikelolah secara sektoral namun
dikelolah secara terpadu di bawah koordinasi lembaga yang memang
berwenang untuk itu. Adapun lembaga yang dimaksudkan adalah
Kementerian Lingkungan Hidup (Menteri Lingkungan Hidup).
4
Hal ini sebagaimana amanat yang diatur di dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23-1997) Pasal 8 hingga
Pasal 11. (Kenyataannya sampai hari ini persoalan sumber daya alam
masih secara sektoral, oleh karena itu kemudian sekarang sedang
diupayakan bahwa sumber daya alam dikelolah secara terpadu dan
diatur tidak lagi secara sektoral. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sedang menggodok undang-undang pengelolaan sumber daya alam
yang mengatur sumber daya alam secara terpadu).

1.4. Kondisi Faktual Sumber Daya Alam Di Indonesia


Sumber daya alam selain dapat dikategorikan dalam bentuk
modal alam (natural resources stock) seperti daerah aliran sungai,
danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain. Juga dalam bentuk
faktor produksi atau komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan,
dan lain-lain. Upaya pelestarian kedua kategori sumber daya alam
tersebut sangat ditentukan oleh daya dukungnya, karena memiliki
keterbatasan untuk menghasilkan komoditas secara berkelanjutan.
Selain itu, sumber daya alam dapat dikategorisasi menjadi sumber
daya alam yang terbarukan dan tidak terbarukan, sehingga
pemanfaatan sumber daya alam perlu ada perlakuan yang berbeda
sesuai dengan karakteristiknya.
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang
melimpah. Di sektor kelautan dan perikanan, total garis pantai
mencapai 81 ribu km. Total perairan darat seluas 5.500.000 km
persegi, sedangkan total perairan laut seluas 5.800.000 km persegi.
Potensi maksimum perikanan laut sebesar 6.700.000 sampai 7.700.000
metrik ton sedangkan untuk perikanan darat sebesar 3.600.000 metrik
ton dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 30%. Terumbu karang di
Indonesia mengandung lebih dari 70 (tujuh puluh) genus dan
merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman karang
(coral) paling tinggi di dunia.
Di sektor pertambangan, Indonesia memiliki sumber daya
mineral yang cukup besar seperti emas, tembaga, perak, nikel,
batubara, bauksit dan sebagainya. Saat ini Indonesia merupakan
salah satu produsen emas, tembaga dan batubara terpenting di
dunia. Produksi batubara Indonesia yang pada awal tahun 1970-an

5
kurang dari 1.000.000 ton per tahun, pada akhir tahun 1990-an telah
mencapai kurang lebih 80.000.000 ton per tahun. Produksi
pertambangan yang lain seperti emas, tembaga, dan nikel juga
meningkat dengan tajam. Dengan demikian, pertumbuhan produksi
di bidang pertambangan merupakan sektor yang tertinggi dari
seluruh industri primer dalam lima tahun terakhir.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran
telah mengubah bentang alam yang selain merusak tanah juga
menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas
pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga
hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah
tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan
pertambangan. Dalam kurun waktu tiga dekade sejarah
pertambangan banyak diwarnai konflik dengan masyarakat lokal
karena ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Salah satu
penyebabnya adalah sistem perijinan pertambangan yang dikelolah
secara tersentralisasi, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi
masyarakat adat/lokal. Manajemen pertambangan yang sentralistis
juga menimbulkan benturan kepentingan antara pertambangan
dengan sektor lain. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada
para investor melalui sistem kontrak karya sebagian besar terletak
dalam kawasan hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman
nasional, sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan
taman nasional.
Dalam kondisi krisis, pemerintah mengharapkan ekspor
pertambangan di pasar global akan menambah pendapatan negara
dan menstabilkan nilai tukar asing serta mengontrol defisit. Namun
dari pengelolaan pertambangan di Indonesia saat ini, akan sukar
untuk mengandalkan industri pertambangan yang eksis saat ini.
Peningkatan pendapatan negara hanya akan terjadi jika industri yang
ada saat ini meningkatkan produksi atau profit. Artinya, akan terjadi
berbagai implikasi yang terkait dengan lingkungan.
Peningkatan aktivitas pertambangan tentunya akan
menambah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya
akibat eksploitasi pertambangan yang berlebihan. Pertambangan
skala kecil hanya akan memberi masukan pencemaran lingkungan
dibandingkan hasilnya. Kesulitan pengawasan dan lemahnya

6
pengaturan untuk pertambangan skala kecil ini akan mempercepat
kerusakan lingkungan. Selain itu juga dengan adanya pemotongan
biaya di setiap departemen akan berimplikasi pada pengawasan
aktivitas pertambangan serta penegakan hukum yang mengabaikan
aspek lingkungan.
Untuk sumber daya hutan, hutan tropis Indonesia sejak tahun
1967 telah dieksploitasi untuk meningkatkan pendapatan dan
menghasilkan devisa negara, sehingga laju kerusakan hutan di
Indonesia mencapai 1.800.000 ha per tahunnya. Kawasan hutan yang
sudah ditebang oleh para pemegang HPH mengalami kerusakan
mencapai 55% atau hampir mencapai 23.000.000 ha.
Selain itu, kerusakan hutan juga terjadi di kawasan hutan
konservasi, sehingga Indonesia yang dikenal sebagai negara yang
memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia, yaitu 10.000 jenis
tumbuh-tumbuhan, 1.500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis
reptil, 65 jenis ikan air tawar, pada satu dekade terakhir ini terancam
semakin punah. Kebakaran hutan tahun 1997-1998 akibat pembukaan
lahan (konversi hutan) untuk perkebunan besar kelapa sawit dengan
cara bakar, mencapai hampir 5 ha luas hutan dengan kerugian
ekonomi sebesar US$ 8 milyar.
Di Sumatera, total penurunan luas kawasan hutan dari
23.000.000 ha menjadi 16.000.000 ha di mana Sumatera Selatan dan
Jambi tercatat sebagai wilayah yang tercepat penurunan luas
hutannya. Di Kalimantan, total penurunan luas kawasan hutan dari
40.000.000 ha menjadi 30.000.000 ha, di mana Kalimantan Timur
memiliki tingkat konversi hutan tertinggi. Sedangkan di Sulawesi
laju penurunan luas hutan tergolong rendah, namun lebih karena
konversi hutan sudah dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an.
Dari tiga pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dari
kurang lebih 69.000.000 ha luas hutan, saat ini hanya sekitar
57.000.000 ha. Artinya terjadi pengurangan kawasan hutan lebih dari
12.000.000 ha. Menurut World Bank (2000), jika pengelolaan sumber
daya hutan tidak berubah, maka Sumatera akan kehilangan hutannya
pada tahun 2005 dan Kalimantan 2010. Kondisi kehutanan semakin
memprihatinkan, ketika ditemukan bahwa dari US$ 51.5 milyar
utang swasta, ternyata US$ 4.1 milyar adalah utang industri

7
kehutanan, dimana US$ 2.7 milyar masuk ke dalam kelas non
performing.
Di sektor perikanan, hampir 70% terumbu karang mengalami
rusak berat akibat endapan erosi, pengambilan batu karang,
penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun, dan
pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan bakau seluas
3.000.000 ha, hanya terdapat 36% yang hidup dalam kondisi baik.
Sedangkan sisanya telah mengalami kerusakan yang serius akibat
penebangan untuk kayu bakar dan telah dikonversi menjadi tambak.
Di bawah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22-1999),
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU No. 23-2014), Menteri Kehutanan
dilanjutkan kewenangannya untuk mengelolah seluruh kawasan
lindung seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan
kawasan buru. Pemerintah daerah dilibatkan dalam alokasi dan
pengelolaan kawasan hutan lainnya, seperti daerah resapan air dan
perlindungan hutan, hutan produksi dan kawasan lindung terbatas
untuk konservasi, seperi taman hutan raya dan taman wisata.
Banyak kawasan lindung mencakup wilayah yang sangat
luas, seperti dikemukakan oleh T N Lorentz luasnya 2.500.000 ha,
hampir 60% mencakup wilayah administrasi satu kabupaten. Dengan
adanya desentralisasi, maka tanggung jawab pemeliharaan kawasan
lindung tersebut ada pada pemerintah daerah. Persoalan di
pemerintah daerah adalah menambah anggaran bagi biaya
operasional kawasan tersebut.
Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
yang dilaksanakan sejauh ini belum didasarkan pada prinsip
keadilan, keberlanjutan dan demokrasi, karena lebih diorientasikan
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga kurang
memperhatikan kaidah-kaidah keadilan, pelestarian, konservasi, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
Persoalan lainnya adalah limbah industri dan limbah
domestik (rumah tangga) serta penggunaan pestisida yang tidak
terkendali telah menimbulkan pencemaran hampir seluruh sungai di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Menurut hasil penelitian yang

8
dilakukan JICA, ternyata 73% sumur penduduk telah terkontaminasi
oleh zat kimia amoniak yang bersumber dari limbah industri.
Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga terhitung tinggi
di sebagian besar sumur penduduk, karena sekitar 13% dari sumur-
sumur penduduk yang diperiksa di wilayah Jakarta Selatan
mengandung zat kimia jenis merkuri, yang berasal dari bakteri coli
dan amoniak dari limbah tinja, organo chloride dan organo phospor yang
berasal dari pupuk kimia, detergen, pestisida, limbah bahan beracun
dan berbahaya (B3) dari industri.
Kondisi lingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian
besar air sungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dan
diproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan BAPEDAL
terhadap kualitas air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari
polutan yang mencemari air sungai ternyata berasal dari industri-
industri yang membuang limbahnya ke sungai. Setiap tahun
diperkirakan lebih dari 2.200.000 ton limbah B3 telah dibuang ke
sungai-sungai di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.
Sampai satu dekade ke depan, perekonomian Indonesia
masih akan tergantung pada sektor sumber daya alam, seperti hutan,
tambang, perikanan, yang tentunya akan menjadi peluang maupun
risiko. Dalam situasi krisis ekonomi dan ketidakpastian politik serta
banyaknya pelanggaran hukum, risiko yang mungkin terjadi dengan
adanya desentralisasi di bidang sumber daya alam akan
mempercepat penurunan kualitas lingkungan.
Dengan adanya kewenangan baru yang diberikan kepada
pemerintah daerah maka kecenderungannya pemerintah daerah
mengabaikan atau akan lebih intensif meningkatkan pendapatan asli
daerah tanpa melihat keseimbangan dan keamanan lingkungan.
Kurangnya kapasitas teknis pengelolaan serta ketidakberpihakan
pada kebutuhan masyarakat lokal akan akses sumber daya alam,
kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya sumber daya
alam dan kerusakan dalam jangka panjang dan mungkin juga tidak
dapat dipulihkan bagi kebutuhan dasar akan sumber daya alam
daerah tersebut.
Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan hidup sebagaimana diuraikan di atas selain dipicu oleh
kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik,

9
juga karena pendekatan yang digunakan bersifat sektoral. Kebijakan
Pemerintah yang bercorak sentralistik dan pendekatan yang bersifat
sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam pada pokoknya
memiliki kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut:
1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor
(misalnya kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian). Pola ini
tidak menghargai peran sumber daya alam sebagai fungsi publik
misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan kualitas dan
keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin rendah keragaman
pangan menyebabkan semakin rendah keamanan pangan. Secara
inheren, pendekatan sektoral merupakan pendekatan reduksionis
sehingga memiliki cacat bawaan karena ukuran kinerja
pembangunan dirumuskan secara parsial. Dalam kondisi yang
demikian, seandainya setiap sektor berhasil pun berbagai
kebutuhan publik yang diperlukan seperti aspek lingkungan
hidup, kebutuhan antar generasi, dan lain-lain tidak akan mampu
terpenuhi.
2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada equity
yang berakibat minimnya perhatian terhadap penyelesaian
masalah-masalah tenurial, terjadinya kesenjangan penyediaan
infrastruktur ekonomi antar wilayah dan antar desa kota, dan
rendahnya perhatian terhadap berbagai dampak negatif
pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
merupakan replikasi dari pendekatan sektor di daerah dengan
orientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah. Di sisi lain,
pemerintah pusat yang memegang fungsi-fungsi pengendalian
dengan kriteria, standar, dan pedoman yang ditetapkan secara
sentralistik akan kehilangan sifat komprehensif, apabila fungsi-
fungsi pengendalian tersebut didasarkan pada kepentingan
masing-masing sektor.
4. Pola ini makin diperburuk oleh kondisi di mana tidak terdapat
departemen yang mengkoordinasikan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam, sehingga setiap departemen
berjalan sesuai dengan visi sektoralnya masing-masing tanpa
memperhatikan dan memperhitungkan pelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam.

10
5. Kebijakan hukum pengelolaan sumber daya alam yang bercorak
sentralistik seperti yang digunakan sampai saat ini selain tidak
memberikan perlindungan bagi kelestarian dan keberlanjutan
fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup, juga kurang
memberi ruang bagi akses, kepentingan, dan hak-hak masyarakat
adat atas penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber
daya alam.
Implikasi dari kondisi-kondisi seperti diuraikan di atas dari
segi politis telah mengabaikan fakta pluralisme hukum dalam
pengelolaan sumber daya alam; dari segi ekonomi menghilangkan
sumber-sumber kehidupan masyarakat adat; dari segi kehidupan
sosial-budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan,
teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat adat; dan secara
ekologi telah menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas
sumber daya alam; sehingga kemudian selain muncul konflik-konflik
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, juga terjadi proses
pemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat lokal.

11
BAB II
KAJIAN HUKUM TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

2.1. Peraturan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam


Sebagaimana yang telah disinggung di atas, undang-undang
yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah UU
No. 5-1960; UU No. 11-1967; UU No. 7-2004; UU No. 31-2004; UU No.
5-1990; dan UU No. 41-1999.
Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji
untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek
keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi
publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber
daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain,
penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.
1. UU No. 5-1960
UU No. 5-1960 adalah produk hukum nasional pertama yang
mengatur tentang sumber daya alam. UU No. 5-1960 mengartikan
sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa “seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional”.
Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul
pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya itu
harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling
terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber
daya alam yang bisa dikuasai dan dikelolah secara terpisah? Dalam
hubungan ini, UU No. 5-1960 memang tidak secara tegas membahas
mengenai keutuhan dan salingterkaitan antara sumber daya alam ini,
namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban
pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UU No. 5-1960 menyatakan
12
bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk
mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada
diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang
diatur oleh undang-undang.
UU No. 5-1960 lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar
penguasaan sumber daya alam.Hanya ada satu pasal yang mengatur
tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14
yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan
pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan
pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara,
peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan
masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan,
perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan
pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian
pengelolaan sumber daya alam, UU No. 5-1960 hanya menyebutkan
di Pasal 15 bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-
tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonominya lemah.”
Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan
pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak
sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam,
terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak
dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate),
kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan
spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah
ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi
sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik
vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan
pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi
penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/lokal
dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
UU No. 5-1960 yang secara tegas menyatakan berlandaskan
hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5
disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan

13
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU No. 5-1960 dan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu
yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum
agama.
Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum
agraria nasional dilakukan mengingat UU No. 5-1960 dimaksudkan
sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum
rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat
Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UU No. 5-1960
memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam
perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang
kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan
hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan
masyarakat dalam konteks negara modern dan hubungan negara
dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan
umum III angka 1).
Dalam kenyataannya tanpa kriteria yang jelas, kepentingan
bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan
beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan
(pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan
negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber
dari hukum adat sering diabaikan.
Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UU No. 5-1960 dikatakan
sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks
kesesuaiannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara
yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan
peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru
mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun UU No. 5-1960 memberikan pengakuan yang
mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga
negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak
individual atas tanah. Pasal 16 UU No. 5-1960 memberikan berbagai
peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik,

14
hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan
sebagainya.
UU No. 5-1960 menganut pandangan bahwa urusan agraria
pada dasarnya adalah urusan pemerintah pusat. UU No. 5-1960 tidak
mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah
daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari
tugas pembantuan.
Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat
menempati peran strategis dalam UU No. 5-1960. Dengan demikian
dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam
undang-undang ini.
Penegakan hukum dalam UU No. 5-1960 utamanya diarahkan
pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang
hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan
hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan
pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UU No. 5-1960 tidak
memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan
pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya
pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak
terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam
UU No. 5-1960.

2. UU No. 11-1967
Pemahaman tentang sumber daya alam dalam UU No. 11-
1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat
sebagai komoditi. UU No. 11-1967 mengartikan sumber daya
tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan
yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.
Pada saat ini UU No. 11-1967 telah diganti dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Batu Bara (UU No. 4-2009).
Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, UU
No. 11-1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-
oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang. Undang-
undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu
pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan.

15
Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca
penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai
melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan,
pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan
mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya”.
Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang
memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan
lingkungannya.
Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan negara yang dilakukan dengan
mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini
sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital
oriented).
UU No. 4-2009 ini juga bersifat sentralistik. Penguasan,
pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan
umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan).
Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara
dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C
seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai
ekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan
B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara,
timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan
pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang
bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses
pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan
sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan
sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang
ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan
dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan
dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan.
Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber
daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.
Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan
dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini
menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan

16
pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh
hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat
adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat
dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat
hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat)
merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang
yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata
menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup.
Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah,
air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur
kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi
ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi,
reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan
hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah
kemungkinan timbulnya penyakit.

3. UU No. 7-2004
Air yang dimaksudkan dalam UU No. 7-2004 ini adalah
semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
hujan, dan air laut yang berada di darat. Meski tergolong relatif baru
semangat yang ada di dalam UU No. 7-2004 ini adalah penguasaan
air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamya yang masih berpusat pada negara, semangat
ini kemudian mendorong munculnya semangat privatisasi air yang
lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini
lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, hak-hak masyarakat termasuk didalamnya masyarakat adat
tidak diakomodatif.
Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan
bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang
pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah. Pelaksanaan oleh pemerintah daerah didasarkan

17
atas prinsip oronomi dan desentralisasi sebagaimana diatur dalam
UU No. 31-2004.

4. UU No. 31-2004
UU No. 31-2004 ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang
pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara optimal
dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu aspek yang diatur dalam UU No. 31-2004 ini adalah
wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah
pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan
air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan
ikan.Dilihat dari sisi ini, cakupan UU No. 31-2004 ini sudah cukup
memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua
kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU No. 31-2004 ini.
Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan
perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar
internasional yang diterima secara umum. Ciri sumber daya
perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif.
Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan
menentukan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Kerja sama
internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat
mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam
pengelolaan sumber daya perikanan di masa mendatang.
Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan
ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu
maka UU No. 31-2004 ini telah mengakomodasi dengan baik masalah
kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting
yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai
kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumber
daya perikanan. Dengan demikian UU No. 31-2004 telah secara baik
mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa
ini dalam dunia perikanan.
Aspek lain yang menarik dalam UU No. 31-2004 ini adalah
pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta

18
masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Ayat
sebelumnya dalam Pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan
perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk
tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta
terjaminnya kelestarian sumber daya ikan.
Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa
konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31-2004 ini adalah memakai
prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang
sesungguhnya. Pada saat yang sama UU No. 31-2004 ini juga sangat
berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini
UU No. 31-2004 ini merupakan undang-undang yang sangat terbarui
dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan
kecenderungan internasional yang ada.
UU No. 31-2004 juga mengatur ketentuan tentang usaha
perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan
sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi,
produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain
dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan
dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang
menarik adalah bahwa UU No. 31-2004 tidak hanya mengatur aspek
produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan
pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan
dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.
Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek
pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang
terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan
instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan
produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya
koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan
usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan
menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.
Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU No.
31-2004 juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan
nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini
diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab

19
pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen,
penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi
nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU No. 31-2004 juga mengatur
usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-
kelompok nelayan kecil dalam suatu kerja sama yang
menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pun diberikan
akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelolah kegiatan
perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU No. 31-2004 disusun
dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa
mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan
ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar
pengalaman pahit dalam pengelolaan sumber daya hutan yang justru
menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal
ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit
dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi
pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan
pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak
dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat
yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun
para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumber daya
perikanan.
Selain dari aspek-aspek itu, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (UU No. 45-2009)
juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal
yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan
pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara
tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Perikanan, Perwira Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta
berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap Undang-Undang Perikanan ini.
Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan
unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan manfaat dari sumber daya perikanan belum
sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah

20
membawa kerugian banyak kepada negara, dan diperkirakan jumlah
kerugian yang diakibatkan oleh IUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per
tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk memberantas
kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup kuat
dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya
berjalan sangat lamban dan bertele-tele.
Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin
dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang
mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 31-2004
baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan,
pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup
berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan
dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat
hukum untuk berlindung dibalik ketiadaan dan kekurangkuatan
landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan
IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumber
daya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi
bagi masyarakat dan pemerintah. Meski UU No. 31-2004 ini cukup
akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya
masih bersifat sektoral.

5. UU No. 5-1990
Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan
sumber daya alam tampak dalam UU No. 5-1990. UU No. 5-1990 ini
mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di
alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan
sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non
hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada
dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling
mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur
akan berakibat terganggunya ekosistem.
UU No. 5-1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada
pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya

21
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan kegiatan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.
Pasal 4 UU No. 5-1990 menyebutkan bahwa konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung
jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian
terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran
pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam
Bab IX Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh
pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan
berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka
peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat
(genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan
pemerintah pada rakyat.
Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah
menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah
perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan
pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan
pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak
dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan;
menetapkan dan mengelolah kawasan suaka alam (cagar alam dan
suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran
pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan
kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. UU No. 5-
1990 tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat
adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat mempunyai
pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya
alam.
Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara

22
pada sumber daya alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34
ayat (1)). Karena itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat
tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih
menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak
pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara,
perusahaan swasta dan perorangan.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam
pandangan UU No. 5-1990 ini adalah urusan negara yang kemudian
dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat
menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang
ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah
pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak
ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung
jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini.
Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam
hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga
menginterpretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan
dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.
UU No. 5-1990 sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak
memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks
pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada
rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-
larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

6. UU No. 41-1999
UU No. 41-1999 mendefinisikan hutan sebagai kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya
hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi
tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.
Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada
manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan,
dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap
pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial budaya dan

23
ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan
mengalokasikan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan
lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur
pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan
ini dimaksudkan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh
karena itu, UU No. 41-1999 ini merinci berbagai perbuatan yang
dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan,
menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan
hukumnya.
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah
memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan
sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamya dikuasai oleh
negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan
oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat)
untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan
dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status
wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta
perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan,
pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian,
pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin,
perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus
pengawas.
Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak
menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UU No. 5-1960.
Hak menguasai negara menurut UU No. 5-1960 bisa dilimpahkan
kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu.
Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma
pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based
forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun
masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap.
Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma
pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan
pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya,

24
paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat
(community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai
pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah
hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk
mendukung proses tersebut.
Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh
negara dalam UU No. 41-1999 tampak jelas dalam pengaturan
tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak
mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya.
UU No. 41-1999 hanya mengakui hutan negara dan hutan hak
sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat
dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam
wilayah dan dikelolah oleh masyarakat adat. Sehubungan dengan
itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan
sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah
sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada
dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya
hak masyarakat adat ditetapkan dengan peraturan daerah yang
disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar
hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi
terkait.
Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari
keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya
kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk
mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak
menentukan kehidupannya sendiri (self-determination).
UU No. 41-1999 juga mengingkari hak asasi masyarakat adat
untuk memiliki sumber daya alamya. Hak-hak masyarakat adat yang
diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan
mengelolah dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.
Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, UU
No. 41-1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta
masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan
antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan,
mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan

25
informasi kehutanan, memberikan informasi dalam pembangunan
kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak
langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan
perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan
merugikan kehidupan masyarakat.
UU No. 41-1999 belum mampu sepenuhnya menerjemahkan
gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata
rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan
hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang
dimiliki pemerintah (mayoritas isi UU No. 41-1999 mengatur
pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan
hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat.
Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi (produksi,
lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah
sebagaimana dikenal masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap
terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang
sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk
mengembangkan perekonomiannya seperti dipersepsikan oleh
pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini secara nyata
mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan
adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.
Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk
menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama
antara masyarakat adat/lokal dan antara masyarakat adat/lokal
demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada
umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat
adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai
kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak
dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat
yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan,
merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.
UU No. 41-1999 ini justru memperteguh cara penetapan
kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81
menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara

26
itu, pada bagian menimbang huruf c disebutkan bahwa pengurusan
hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta
masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional.
Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan
kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah
satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma
hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai
budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara
penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam
pasal-pasal UU No. 41-1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal,
karena mengingkari pernyataan dalam huruf c konsiderans undang-
undang tersebut.
Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat
dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan
pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada
pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu
hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan
umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah
daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat.
Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan
Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU
No. 22-1999).
Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan
kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi
hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan
penguasaan tanah tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan
perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan
perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan
antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam
wilayah yang sama.
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam UU No. 22-1999
ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan
administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa

27
kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan,
tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar
pengadilan (alternative dispute resolution).

2.2. Esensi Peraturan Perundang-Undangan Sumber Daya Alam


Dari hasil kajian peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki
karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:
; Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-
oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata
digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan
devisa negara.
; Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada
pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan
akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi
perekonomian masyarakat lokal.
; Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam
berpusat pada negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam
bercorak sentralistik.
; Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat
sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem
ekologi yang terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan
dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi
dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor
yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-
sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.
; Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional
mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam penguasaan,
pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah
menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka
dilakukan upaya-upaya untuk membuat undang-undang dan atau
meratifikasi konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam
dan lingkungan hidup yang lebih bercorak responsif. Hal ini dapat
diindikasikan dari diberlakukannya undang-undang seperti berikut:
28
7 UU No. 5-1990;
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (UU No. 24-1992);
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai
Keanekaragaman Hayati) (UU No. 5-1994);
7 UU No. 23-1997.
Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-
undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya
kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan
mengenai hal-hal sebagai berikut:
€ Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan
pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).
€ Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan
sumber daya alam yang masih lemah.
€ Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan
sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.
€ Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang
masih terbatas.
€ Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan
keputusan yang belum diatur secara utuh.
€ Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan
sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.
Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan
hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah
meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi
UU No. 5-1994, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU No. 39-1999); dan (2) UU No. 22-1999, maka prinsip-
prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam
yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan
diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber
daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.
Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya
untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam

29
sebagaimana termuat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan
antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor,
ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam,
kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam ini berangkat dari kesadaran bahwa
pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas
lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai
konflik.Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam
yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
diharap memberikan arah yang dimaksud.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan landasan peraturan
perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam.
Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini
menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber
daya alam. Atas dasar itulah maka Majelis Permusyawaratan Rakyat
menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden
untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah
dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Pasal 6 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

30
BAB III
PENGUASAAN NEGARA TERHADAP
SUMBER DAYA ALAM

3.1. Latar Belakang


Penguasaan Negara atas sumber daya alam berajak dalam
penjabaran usaha perekonomian nasional yang ada dalam sejumlah
undang-undang di bidang sumber daya alam. Dengan dasar yuridis
formal undang-undang tersebut menunjuk Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3), UUD 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, menjadi pilar dasar berpikir, dengan
meletakan perekonomian sebagai dasar bidang ekonomi, dalam
hubungan Negara dan masyarakat terhadap sumber daya alam yang
ada, sebagai komponen ekonomi .
Jika dikontruksikan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, untuk menjawab bagaimana konsep
penguasaan Negara atas sumber daya alam itu; bagaimana sumber
daya alam itu ditujukan untuk menjamin kemakmuran rakyat dan
bagaimana peran swasta/modal/investor dalam perekonomian
berkaitan dengan sumber daya alam. Pasal 33 ini pada level supra
struktur politik akan mengarahkan perdebatan yang membenturkan
konsep penguasaan publik dengan konsep kepemilikan perdata dari
negara terhadap sumber daya alam, beserta konsekuensi hubungan
hukumnya.
Hak Menguasai Negara (HMN), yaitu suatu hak yang dimiliki
negara secara mutlak dalam menguasai sesuatu. Dalam konteks
sumber daya alam, HMN yang dimaksud adalah hak negara untuk
menguasai bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana termaktub
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Kewenangan negara terhadap
sumber daya alam itu, pada masa pemerintahan orde lama.
Ditafsirkan dengan dikeluarkan UU No. 5-1960.

31
Tujuan utama dari UU No. 5-1960 adalah untuk melakukan
redistribusi tanah dan melakukan pemerataan penguasaan tanah
bagi rakyat. Menurut Mahfud M D, UU No. 5-1960 merupakan
produk hukum yang sangat responsif, berwawasan kebangsaan,
mendobrak watak kolonialis yang masih mencengkeram bangsa
Indonesia hingga 15 tahun menjadi bangsa dan negara merdeka
(tahun 1945 hingga tahun 1960). Pada masa itu, UU No. 5-1960 adalah
aturan utama sebagai landasan pengaturan pertanahan, air, hutan,
perkebunan, dan pertambangan.
Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah berusaha
menata perekonomian dengan berkiblat kepada kepentingan modal.
Hal ini terlihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1967),
kemudian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5-1967), UU No. 11-
1967. Dalam ketiga undang-undang tersebut, pemerintah
menempatkan prioritas modal asing.
Hak menguasai Negara dalam sumber daya alam, khususnya
pertambangan dan kehutanan, dijadikan alat untuk melegalisasi
kekuasaan pemerintah terhadap sumber daya alam yang berlebihan
terutama untuk mendukung kelompok-kelompok kepentingan
modal asing waktu itu. Di sisi lain pemerintah tidak mengakui
pentingnya perlindungan fungsi dan daya dukung ekosistem sumber
daya alam. Lahirnya UU No. 5-1967 dan UU No. 4-2009, dimaknai
sebagai satu bentuk pemisahaan pengaturan tersendiri pada sumber
daya alam, tidak berpangkal pada UU No. 5-1960.
Dalam perundang-undangan sumber daya alam tersebut,
spealisasi itu diwujudkan menjadi sektrolisasi sumber daya alam
yang secara objektif (alam dan lingkungan dieksploitasi) dinilai
dengan kuantitatif dan spesifik yang diurus oleh instansi pemerintah
secara khusus. Hal ini kemudian menghadirkan konflik antar
depertemen yang mengurusi sumber daya alam (ego sektoral).
Karena adanya ruang sumber daya alam yang tumpang tindih dalam
pengaturan dan pengolahaan sumber daya alam antar instansi
seperti BPN, Kementerian Lingkungan, Kehutanan, Pertambangan,
dan lain-lain.

32
Fungsi penguasaan negara dalam menguasai sumber daya
alam dalam UU No. 5-1960, penguasaan negara atas sumber daya
alam dilembagakan dengan konsep HMN. Konsep tersebut
memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk:
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan;
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air, dan ruang angkasa.
Ini dasar yang penting dalam pengertian penguasaan negara
atas sumber daya alam, dan menarik dikaji dalam hubungannya
dengan putusan penguji Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (UU No. 20-2002).
Mahkamah Konstitusi mengkonstruksikan makna ”dikuasai
negara” pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan melihat 5 (lima) fungsi
negara dalam hal menguasai cabang-cabang produksi penting yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamya, antara lain:
O Pengaturan (regelandaad);
O Pengelolaahan (beheersdaad);
O Kebijakan (beleid);
O Pengurusan (bestuursdaad); dan
O Pengawasan (toezichthouensdaad).
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, konsep
penguasaan negara atas sumber daya alam lahir dari konsep
hubungan publik. Konsepsi penguasan negara merupakan hukum
publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik
di bidang politik maupun ekonomi.
Dengan demikian paham kedaulatan rakyat itu, seharusnya
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus

33
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai
dengan doktrin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sedangkan konsep keperdataan penguasaan negara atas
sumber daya alam, dalam hal ini melegalkan hubungan keperdataan.
Hubungan keperdataan itu, tidak berarti bahwa pemerintah dapat
menjual sumber daya alam kepada pihak swasta/investor, melainkan
melakukan hubungan kontrak atau perjanjian dengan pihak swasta
berkaitan dengan peralihan hak atas sumber daya alam. Di dalam
hubungan keperdataan yang bersifat konsensual dari perjanjian atau
kontrak antara kedua pihak atau lebih.
Konsep penguasaan negara atas sumber daya alam harus
dilihat sebagai bagian dari sistem hak atas sumber daya alam. Hak
dalam kontruksi politik, maka ia bersifat relasional yang mengaitkan
seluruh pengembangan hak dalam suatu sistem hak.
Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila
mengarah kepada satu tujuan. Tujuan yang digariskan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga rakyat adalah subjek
yang seharusnya terlibat secara partisipatif dan menentukan dalam
penguasaan serta pengeloalan sumber daya alam yang ada.
Rakyat dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang utama dalam upaya untuk
mendapatkan kemakmuran, dalam tataran ini setiap penguasaan
terhadap sumber-sumber hajat orang banyak, dan penguasaan
sumber daya alam. Rakyat yang seharusnya didepankan dalam
konteks negara. Namun pasca orde baru, pergantian kepimpinan dan
perubahan di berbagai sektor semangat refomasi berlangsung, terjadi
perubahan yang mendasar.
Eskalasi perubahan untuk level hukum yang tertinggi terjadi
dalam paket perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Untuk perubahaan di level undang-undang
dan kebijakaan dibawahnya. Di bidang peraturan perundang-
undangan sumber daya alam, masih mempertahankan pola
fragmentasi dalam berbagai peraturan bergaya orde baru tetap
dilanjutkan dan bersifat masif.
Dalam artian pada level di bawah undang-undang terdapat
peraturan yang banyak disorot, dan jadi polemik di masyarakat

34
diantaranya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan
Pembangunan Di luas Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada
Depertemen Kehutanan (PP No. 2-2008).
Ini mensyaratkan, bahwa peraturan yang dibuat dalam di
bidang sumber daya alam, memberi ruang yang terbuka terjadinya
kapalitas modal yang memandang sumber daya alam sebagai
komoniti yang dijualbelikan untuk kepentingan investasi dan asing.
Penguasaan sumber daya alam yang menguasai hajat orang banyak
seperti air, listrik, panas bumi, minyak dan gas bumi, kehutanana,
perkebunanan, perikanan dan penanaman modal. Dalam level
undang-undang telah melegalisasikan sumber-sumber daya alam
yang dikuasai negara, pada hakekitnya menjadi urusan privat dan
pemilik modal. Penguasaan sumber daya alam yang dikuasai oleh
korporat atau perusahaan swasta/asing, telah menyampingkan hak-
hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang selama
ini dikelolahnya. Kemudian rakyat yang menjadi korban atas
kebijakan penguasaan negara atas sumber daya alam. Masyarakat
diusir, digusur, dipinggirkan dan dijauhkan dari hidupnya dengan
sumber alam yang ada.
Negara dalam hal ini gagal melindungi kepentingan rakyat
dalam hubungan publik, negara telah menjual sumber daya alam ini
pada korporat/swasta, mengarah pada hubungan privat antara
negara. Sementara rakyat tidak terlibat didalamnya, akibatnya
kemiskinan, masalah ekologi, dan bencana.1
Dasar hukum asas hak menguasai negara. Hak menguasai
tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada
negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah

1http://polhukam.kompasiana.com/hukum/2010/07/08/hak-penguasaan-negara-atas-

sda-di-kaltim-188213.html.
35
pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara
konstitusional negara memiliki legitimasi yang kuat untuk
menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan
tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara,
terdapat pada Pasal 2 UU No. 5-1960 yang menyatakan bahwa bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. asas ini sebenarnya memiliki
semangat pengganti asas domein verklaring yang berlaku pada masa
kolonial belanda, yang ternyata hanya memberikan keuntungan pada
pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Hak menguasai dari
negara memberi wewenang kepada negara untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut
dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-
undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :
Penatagunaan tanah;
Pengaturan tata ruang;
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut
dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-
undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti:
Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai
(land reform),
Pengaturan hak pengelolaan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan
perbuatan hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan
dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti

36
Pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Hak tanggungan, berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU
No. 4-1996), hak tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak
guna usaha dan hak guna bangunan. Hak tanggungan dapat
digolongkan ke dalam hubungan hukum antar orang dan
perbuatan hukum atas tanah, karena pada dasarnya hak
tanggungan adalah merupakan ikutan (asesoris) dari suatu
perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang
dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.
Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah
penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu
untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki
hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat
fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan
perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan
hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan
negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.
Dinamika pembangungan nasional, sering kali menuntut
negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk
pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat
untuk menyerahkan tanahnya kepada negara untuk dipergunakan
bgai kepentingan umum.Pembangunan prasarana jalan raya,
kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di
antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam
pengambilalihan tanah masyarakat.

37
Turunan dari UU No. 5-1960 yang secara eksplisit dibunyikan
pada undang-undang lainnya tentang hak menguasai dari negara,
antara lain tercantum pada:
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5-1967).
Pasal 5 ayat (2) UU No. 5-1967, redaksi dan konstruksinya persis
seperti pasal 2 ayat (2) UU No. 5-1960, hanya saja tidak
menggunakan UU No. 5-1960 sebagai salah satu referensinya.
% Pada Pasal 1 angka 1 UU No. 11-1967 yang mengatur mengenai
penguasaan bahan galian
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1972 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi (UU No. 3-1972).
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan (UU No. 11-1974).
% UU No. 23-1997.
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No. 22-2001).
% Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UU No. 25-2007).
Maria S W Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan
negara ini harus dibatasi dua hal yaitu pertama, oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa hal-
hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak
asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu
kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah
satu bentuk pelanggaran tersebut.
Seseorang yang melepas haknya harus mendapat
perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan
tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti
peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang
hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta
karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi
pelayanan.

38
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari
masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya
tidak dimungkinkan.
Dari uraian diatas, maka kita mendapat dengan mengetahui
bahwa ada unsur keadilan dalam sudut pandang Hobbes dengan
adanya penguasaan oleh negara. Menurut beliau, tidak ada keadilan
alamiah yang lebih tinggi daripada hukum positif. Jika dikaitkan
lebih jauh dengan teori keadilannya Hobbes dengan hak menguasai
negara terhadap pertambangan yang tercantum pada Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut, maka akan semakin jelas titik tautnya pada suatu konsep
belaiu “Untuk tercapainya perdamaian dan ketertiban dalam
masyarakat, orang-orang harus menyerahkan kebanyakan hak-hak
alamiahnya kepada suatu kekuatan yang berdaulat dalam negara”.
d. Implementasi di masyarakat
Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber
dari undang-undang dasar atau konstitusi negara. Pengertian yang
secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat
secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak
kemerdekaannya untuk diatur oleh negara dan dikembalikan lagi
kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan
kemakmuran rakyat. Negara atau pemerintah harus memiliki sense of
public service, sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public
obedience. Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan
penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara
memperoleh legitimasi politik dan legitimasi sosial.2
Otoritas negara, dalam hal ini Negara Republik Indonesia
dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana
dalam pembukaan atau mukadimah undang-undang dasar
dinyatakan bahwa salah satu tugas negara yang membentuk
Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia.
Kemudian, dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan dan dideklarasikan

2Humambalya. 2011. Hak Menguasai Negara (yang menggila). Diakses dari


http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-
menggila/Januari 2014.
39
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya
adalah dikuasai oleh negara. Pasal tersebut tidak mengikutkan
wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum
internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian tertentu
adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu
negara.
Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan
kuasa baik kepada badan usaha maupun perorangan untuk
melakukan pengusahaan/pengelolaan atas bahan galian dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk
pembuatan kontrak karya pertambangan yang memuat kedudukan
seimbang antara negara selaku pemilik bahan galian (prinsipal)
dengan investor (kontraktor pertambangan). Oleh karena itu,
kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten sebagai
wakil negara tidak sebatas dalam bentuk pemberian izin saja,
melainkan juga turut serta mengawasi semua bentuk pengusahaan
pertambangan.3
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan konsep penguasaan negara Pan Mohamad Faiz.
Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan
politik ekonomi Indonesia karena didalamya memuat ketentuan
tentang hak penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hiduporang banyak;
dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya
yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada
yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya
ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut sama
persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Berarti dalam

3http://civicsedu.blogspot.com/2012/06/asas-hak-menguasai-negara-hukum-

agraria.html.
40
hal ini, selama 60 tahun Indonesia merdeka, selama itu pula ruang
perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga memperoleh tafsiran
yang seragam.
Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep
penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu
tentang beberapa teori kekuasaan negara. Diantaranya yaitu:
Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi
dari bangsa yangdiberi kekuasaan untuk mengatur segala-
galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki
kewenangan untuk peraturan hukum. Dalam hal ini kekuasaan
negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan.
Sedangkan menurut J J Rousseau menyebutkan bahwa
kekuasaan negara sebagaisuatu badan atau organisasi rakyat
bersumber dari hasil perjanjian masyarakat yang esensinya
merupakan suatu bentuk kesatuan yang membeladan
melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik
setiap individu.
Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan,
namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas,
sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti
hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada
semua bangsa. Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara
teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari
rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini,
dipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga
masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau
kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi)
pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam
wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyatakan mewujudkan kewajiban negara
sebagai berikut:
® Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang
didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
® Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu

41
yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat.
® Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi
tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus
memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara
hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan
(beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Berikut ini adalah
beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi “dikuasai oleh
negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara
lain yaitu:
Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai
oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri
menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan
bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna
kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula
penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal
Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara
termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk
memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan
koperasi.
Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan
pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:
a Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan
berpedoman keselamatan rakyat;
a Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah
orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin
besar mestinyapersertaan pemerintah;
a Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara; dan
a Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

42
Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh
negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:
(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara
melalui Pemerintahadalah satu-satunya pemegang wewenang
untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk disini
bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya,
(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan,
(3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk
usaha-usaha tertentu
Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan
fungsi negara menurut W Friedmann, maka dapat kita temukan
kajian kritis sebagai berikut:
1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin
kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas
sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan
bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus,
karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membenarkan negara
untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan
public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis
(semangat dasar dariperekonomian ialah usaha bersama dan
kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah
monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara),
ekonomi (efesiensi dan efektivitas), dan demi kesejahteraan umum
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung
beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan
itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara
melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan
penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam
lingkup mengatur, mengurus, mengelolah, dan mengawasi
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

43
Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting
bagi negara dan menguasai hajatorang banyak, karena berkaitan
dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum
(public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh
pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati
oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana
kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penafsiran
mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga
dapat kita cermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber daya
alam. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan
Perkara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU No. 22-2001), Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
(UU No. 20-2002), dan UU No. 7-2004 menafsirkan mengenai “hak
menguasai negara” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi
dalampengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan
(beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan
(bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan
pengawasan (toezichthoundendaad)
Dengan demikian, makna hak menguasai negara terhadap
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan
kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima
peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di atas masih
tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah
memang tidak atau belum mampu melaksanakannya.
Seperti penafsiran Mohammad Hatta yang kemudian
diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 1977 yang
menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelolah
ayat (2) dan (3) Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara
dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai
cukup dana untuk membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam

44
dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa
diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar
productionsharing conditionally constitutional.
Catatan bagi UU No. 7-2004 mengenai perkara judicial review
UU No. 7-2004 yang diajukan oleh sekelompok warganegara
Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu
pertimbangan khusus didalam putusannya yaitu ketentuan
mengenai conditionally constitutional. Ketentuan ini tentunya masih
asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan
ketentuan conditionally constitutional, yang merujuk pada
perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia
hukum peradilan Indonesia
Secara garis besar, ketentuan tersebut mempunyai pengertian
bahwa apabila undang-undang, dalam hal ini UU No. 7-2004, dalam
pelaksanaannya ditafsirkan berbeda dengan apa yang ditafsirkan
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusannya,
maka terhadap undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan
untuk dapat diajukan pengujian kembali.
Dengan adanya pertimbangan ini, sepertinya dapat kita
artikan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak saja menilai atas segala
sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan
hukumnya, tetapi juga mencoba untuk membuat pertimbangan
sehingga mengeluarkan putusan yang bervisi ke masa depan,
khususnya dalam mengawal pelaksanaan undang-undang tersebut
agar tetap sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Terlepas dari isi Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang sumber daya air yang menyatakan bahwa
permohonan pemohon ditolak, yang jelas keberadaan ketentuan
tersebut sempat menjadi perdebatan hangat.
Sebagai konsekuensi logis atas putusan Mahkamah Konstitusi
dalam permohonan judicial review UU No. 7-2004 tersebut, berbagai
peraturan pemerintah yang harus dan akan dibuat atas perintah dari
dan untuk melaksanakan UU No. 7-2004 harus betul-betul
memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusan dimaksud. Sebab apabila tidak, besar kemungkinan akan
terkena conditionally constitutional warning dari Mahkamah Konstitusi,
yang untuk kedua kalinya akan “berijtihad” setelah menyatakan

45
Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24-2003) tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat) dengan membuka
kemungkinan dapat diajukannya kembali pengujian UU No. 7-2004
dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 60 UU No. 24-2003 yang
menyatakan “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali”.

46
BAB IV
PENYELESAIAN KONFLIK
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
4.1. Sejarah
Selalu berulang. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa
tahun 1965 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan rekonsiliasi?
Tahun 1965 dalam konteks konflik sumber daya alam di Indonesia
masa kini dan yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa
kemiripan di antara keduanya, dan bertolak dari situ tulisan ini
merumuskan agenda gerakan.
Dalam buku Moral Economy of Peasant Rebellion in South East
Asia disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa
pemberontakan petani di Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma,
Indonesia, dan Filipina. Prakondisi sosial-ekonomi yang
melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi dan
krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak
yang diberlakukan kepada para petani.
Beberapa dekade kemudian, kaum pergerakan di masing-
masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula
nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus
berusaha merespon eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh para
penjarah di kawasan ini. Indonesia sendiri merdeka sekitar satu
setengah dekade sesudahnya.
Pasca kemerdekaan tahun 1945, di bawah Soekarno, Republik
Indonesia melakukan gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing antara tahun 1957-1959. Politik nasionalisasi ini berhasil
memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan
pemerintah Republik Indonesia, 62% nilai perdagangan luar negeri,
dan sekitar 246 (dua ratus empat puluh enam) pabrik, perusahaan
pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa.
Zaman terus bergulir, pada tahun 1965, dalam kondisi perang
dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang
merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti
oleh Jenderal Soeharto yang disokong oleh Amerika Serikat. Dan
sejak saat itulah, secara perlahan kekuatan kapital internasional
47
semakin mencengkeramkan kuku-kukunya untuk menjarah hampir
seluruh penjuru negeri hingga saat ini.
Peristiwa tahun 1965 telah menyebabkan hilangnya pekerja-
pekerja kebudayaan terbaik di masanya. Lazimnya dalam semua
peradaban, dimana para pekerja kebudayaan adalah penantang
terdepan setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan
mereka secara massal telah memuluskan rezim birokratik-militeristik
otoriter Orde Baru untuk berkuasa penuh selama 32 (tiga puluh dua)
tahun dengan cara menumpuk hutang luar negeri dan melego
kekayaan alam.

4.2. Konflik Sumber Daya Alam Di Indonesia


Konflik di bidang sumber daya alam adalah salah satu
permasalahan besar di Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun
2013 telah terjadi 232 (dua ratus tiga puluh dua) konflik sumber daya
alam di 98 (sembilan puluh delapan) kabupaten kota di 22 (dua
puluh dua) provinsi. Pada setiap konflik ini selalu yang diiring
dengan jatuhnya korban yang sebagian besar dari kalangan kaum
tani. Dari sebanyak 232 (dua ratus tiga puluh dua) konflik sumber
daya alam yang melibatkan petani ini, 69% di antaranya dengan
korporasi (swasta), Perhutani 13%, taman nasional 9%, pemerintah
daerah 3%, instansi lain 1%, dan sisa 5% lainnya tidak dijelaskan oleh
Kompas.
Tema sentral kertas kerja yang ditawarkan panitia tentang
penyelesaian Konflik Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di
Daerah, merupakan tema cerdas yang saat sekarang menjadi
permasalahan krusial pada era otonomi. Tujuan Pembangunan
sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana pri
kehidupan bangsa yang aman, tentram,tertib dan damai.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, agar tercipta suasana
kehidupan yang aman, tertib dan damai diperlukan perangkat
peraturan yang dapat memberikan rasa keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat merasa aman dan

48
tenang dalam melakukan aktivitas aktivitasnya, memanfaatkan
potensi dan sumber daya yang ada guna peningkatan
Kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan
keseimbangan lingkungan dan kelestarian alam serta memperhatikan
kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam konstilasi wilayah
nasional. Dalam era otonomi daerah, dinamika pluralitas yang
demikian harus direspon melalui model kebijakan publik yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sertarasa keadilan
masyarakat
Dalam desentralisasi lebih menjamin adanya pluralitas dan
kearifan kultural serta tidak menggunakan pendekatan yang
seragam, karena menghindari dominasi suatu kekuasaan
berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu.
Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai dengan
kebutuhannya. Berlakunya otonomi daerah yang ditandai dengan
lahimya UU No. 22-1999, dan diganti dengan UU No. 32-2009,
memberikan keleluasaan bagi Pemerintah Daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan atas dasar prakarsa, kreativitas dan
partisipasi aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan
memajukan daerahnya.
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur,
mengurus dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan
kepentingan dan potensi daerahnya. Sumber daya alam yang
merupakan potensi daerah diharapkan mampu didayagunakan dan
ditumbuh-kembangkan dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam hubungannya
dengan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam, proses
implementasi secara makro harus dapat mensinergikan antara (3)
tiga model pendekatan, yaitu:
Sumber daya alam adalah untuk pembangunan ekonomi;
Sumber daya alam untuk kebutuhan manusia;
Sumber daya alam untuk kepentingan lingkungan.
Memperhatikan ketiga pendekatan tersebut, apabila kita
cermati seksama maka pengelolaan sumber daya alam saat sekarang
ini lebih dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah
dengan kecenderungan menguras sumber daya alam tanpa

49
memperhatikan keberlanjutannya serta kurang memperhatikan
aspek sosial, kerusakan, pencemaran dan bahkan terjadi degradasi
lingkungan secara massal.
Padahal dalam pembangunan dan pemanfaatan sumber daya
alam yang berkelanjutan, senantiasa harus dapat memadukan antara
kepentingan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi jangka
panjang dengan prinsip-prinsip keberlanjutan hidup manusia
sekarang dan yang akan datang. Pengutamaan manusia dalam
pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
berkelanjutan ini bukan berarti berkarakter antroponsentris, namun
lebih merupakan perpaduan dari 3 (tiga) pendekatan diatas.
Di mana pembangunan hendaknya ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup.Tuhan
telah menganugerahkan kekayaan sumber daya alam, kemajemukan
masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan, untuk dimanfaatkan
bagi kesejahteraan manusia, namun untuk itu kita dituntut tanggung
jawab untuk melestarikannya dan menjaga keserasian sosial
(menghindari konflik). Oleh karena itu sesuai dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, sudah
sepantasnya kesejahteraan sosial dibangun secara terintegrasi dengan
pembangunan ekonomi dan lingkungan sosial.
Dalam konsep pelestarian yang modem, pemeliharaan dan
pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana.
Konsep ini jika kita perhatikan, pada hakikatnya mengandung 2
(dua) aspek:
 Kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan sumber daya yang
didasarkan pada inventarisasi yang akurat.
 Kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk
menjamin agar sumber daya tidak habis. Dari kedua aspek
tersebut, penetapan dan pengelolaan kawasan yang dilindungi
adalah salah satu cara terpenting untuk dapat menjamin agar
sumber daya alam dapat dilestarikan, sehingga sumber daya ini
dapat lebih memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di
masa mendatang.
Namun kegiatan manusia semakin lama sernakin rnengurangi
kapasitas daya dukung planetnya. Peningkatan jumlah penduduk
serta konsumsinya memperbesar permintaan akan sumber daya

50
alam, kombinasi antara sebagian besar penduduk miskin yang
berjuang untuk dapat hidup bersama dengan sejumlah kecil
masyarakat kaya yang mengkonsumsi sebagian besar sumber daya
alam secara berlebihan inilah yang dampaknya merusak pondasi
tempat bertumpunya kehidupan seluruh umat manusia.
Dalam tataran imperik, permasalahan krusial kita jumpai
bersama dalam mewujudkan konsep pembangunan dan
pernanfaatan sumber daya alam adalah tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan eksistensi desentralisasi, kesan yang tampak,
terjadi perebutan kewenangan dan terjadi upaya maksimalisasi
pencapaian kebutuhan ekonomi sesaat, sehingga dalam pengelolaan
sumber daya alam sarat dengan potensi konflik, latent maupun
terbuka.
Meminjam istilah John Naisbitt, tingginya resistensi dalam
mengaktualisasikan desentralisasi merupakan konsekuensi proses
paradoksal, ketika kran kebebasan dan globalisasi merambah, orang
bebas untuk mengutarakan aspirasi.
Pada saat yang demikian, menguatlah gejala tribalisme
(kesukuan) Akibatnya persinggungan antar identitaspun sangat
rentan untuk terjadi. Tentu saja paradoks ini melambangkan suatu
konflik yang berkarakter manifestasi, misalnya konflik kewenangan
antar daerah, konflik masyarakat yang merebutkan sumber daya
alam dan lain sebagainya. Bahkan ironisnya konflik yang terjadi
terkadang diekspresikan dalam bentuk-bentuk kekerasan.
Bentuk kekerasan seperti ini, sebagaimana yang dijelaskan
Johan Galtung, telah melembaga dan bersifat sistemik. Galtung
percaya bahwa mobilitas sosial, geografis, tekanan ekonomi,
persinggungan sosial kultur dan inovasi politik akan melahirkan
semacam tekanan sistemik yang mendorong lahirnya aktivitas
destruktif.
Dalam perspektif yang demikian, tentunya kita tidak ingin
terjebak dalam konstantasi paradoksalnya John Naisbitt atau
aktivitas destruktifnya Galtung. Yang kita inginkan dalam
pembangunan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
adalah dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat, tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang berkelanjutan serta tereliminasinya konflik.

51
Sebagai ilustrasi, kiranya perlu kita pertimbangkan prinsip-
prinsip utama dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya
alam berkelanjutan yaitu:
1. Keadilan antar generasi
Berangkat dari suatu gagasan bahwa generasi sekarang menguasai
sumber daya alam yang ada sebagai titipan untuk dipergunakan
generasi mendatang. Keadaan demikian menuntut tanggung
jawab kepada generasi sekarang untuk memelihara peninggalan
(warisan) seperti halnya kita menikmati berbagai hak untuk
menggunakan bumi ini dari generasi sebelumnya. Elemen kunci
dari prinsip ini adalah:
^ Masyarakat antar satu generasi dengan generasi lainnya adalah
mitra;
^ Generasi sekarang tidak memberikan beban ekstemalitas
pembangunanpada generasi selanjutnya;
^ Setiap generasi mewarisi kekayaan sumber daya alam serta
kualitas habitat yang kurang lebih ekuivalen secara fisik,
ekologis, sosial serta ekonomi.
2. Prinsip keadilan dalam suatu Generas
Merupakan prinsip yang berbicara tentang keadilan di antara satu
sama lain generasi, termasuk didalamya keberhasilan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar atau tidak terdapatnya kesenjangan
antara individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat
tentang pemenuhan akan sumber daya alam;
3. Prinsip pencegahan dini
Mengandung suatu pengertian apabila terdapat ancaman adanya
kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, tidak ada
alasan untuk menunda upaya pencegahan. Dalam prinsip ini
kebijakan publik harus dilandasi oleh:
c Evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal
mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan;
c Penilaian dengan melakukan analisa risiko dengan
mempergunakan berbagai pilihan.
4. Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme intensif
Pentingnya penekanan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan di
mana pengelolaan sumber daya alam merupakan reaksi dan
dorongan dari pasar. Biaya lingkungan dan sosial harus dapat

52
terintegrasi secara maksimal Sedangkan mekanisme intensif
berupa program untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai dalam
masyarakat yang dapat mendorong terwujudnya pembangunan
dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Akomodasi prinsip-prinsip utama di atas, diharapkan secara
sosiologis dapat mengeliminasi terjadinya disfungsionalisasi
penataan sosial dalam sumber daya alam, yang disebabkan oleh:
Ć Belum responsifnya produk-produk hukum sebagai pedoman
bersama dalam mengatur perilaku dibidang pengelolaan
sumber daya alam;
Ć Belum menentunya status dan peran sosial masyarakat di
lingkungan pengelolaan sumber daya alam;
Ć Belum terbangunnya hubungan sosial antara sesama, bahwa
sumber daya alam merupakan tanggung jawab bersama.
5. Alternatif solusi untuk mengeliminasi konflik dalam pengelolaan
sumber daya alam. Dalam bidang sumber daya alam, otonomi
daerah berarti:
U Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dengan ekosistem setempat;
U Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan
masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam;
U Tidak berdasarkan batas administrasi tetapi berdasarkan batas
ekologi.
6. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat
dan bukan menghancurkan daya dukung ekosistem dengan
eksploitasi yang melewati daya dukung. Untuk itu upaya strategis
yang perlu segera mendapatkan pertimbangan adalah:
U Melakukan upaya kegiatan menciptakan suatu regulasi yang
dapat menciptakan atau merajut bersama-sama aturan-aturan
untuk dipergunakan bersama dengan segera meninggalkan
egoisme kewenangan sektoral antar daerah;
U Kebersamaan dalam mencipta regulasi yang demikian
membuka peluang kepada semua pihak untuk tahu akan hak
dan kewajiban, tahu bersikap dan bertindak, sehingga tercipta
relasi sosial yang anggun, selaras, serasi dan seimbang.
U Melakukan restrukturisasi dan pengorganisasian peran-peran
sosial di dalam masyarakat dalam rangka pengelolaan sumber
53
daya alam, dengan titik berat pelibatan secara aktif masyarakat
adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling
berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam.
Dalam upaya memformulasikan regulasi yang dapat
mengakomodasi sasaran diatas, perlu juga dipertimbangkan untuk
mengubah cara pandang dan pemaknaan desentralisasi sumber daya
alam yaitu dengan cara menitikberatkan basis otonomi sektor sumber
daya alam bukan pada tingkat kabupaten, melainkan pada tingkat
propinsi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan:
1. Kemungkinan munculnya kebijakan di daerah tertentu yang
akanmempengaruhi atau merugikan daerah lainnya yang berada
pada ekosistem sumber daya alam yang sama. Ini bisa terjadi
karena selama ini pembagian wilayah kabupaten atau kota lebih
didasarkan pada pertimbangan administratif, padahal di banyak
tempat wilayah pengelolaan sumber daya alam selalu lebih luas
dari wilayah administratif. Oleh karena itu setiap regulasi hukum
mengenai pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang terkotak-kotak demikian justru melahirkan konflik.
2. Titik berat basis otonomi sumber daya alam pada daerah
Kabupaten, dapat meningkatkan laju eksploitasi sumber daya
alam, karena orientasinya lebih hanya mengejar pendapatan asli
daerah. Akibatnya terjadi pengelolaan sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan aspek pembangunan lingkungan yang
berkelanjutan. Upaya antisipatif melalui formulasi regulasi di atas,
setidak-tidaknya akan dapat memberikan harapan pada kita
bersama, untuk lebih arif dan bijak dalam menyelesaikan konflik
pengelolaan sumber daya alam. Kita menyadari memang sering
dihadapkan pada permasalahan problematik dalam pengelolaan
sumber daya alam, antara kepentingan dan kewenangan sering
kali tidak bersinergi. Untuk itu di samping regulasi yang
responsif, diperlukan penanganan penyelesaian konflik secara
win-win solution, melalui budaya harmoni, yang titik beratnya
bukan terletak pada asumsi keutamaan formalisme kalah menang
atau berwenang atau tidak berwenang, yang akhimya
menyandarkan pada egosentris ke-aku-an dengan justifikasi yang
mengedepankan kepentingan sesaat.

54
Dalam konteks yang demikian, lembaga dan prosedur
penyelesaian sengketa dalam pengelolaan sumber daya alam,
idealnya dapat muncul dalam bentuk yang beragam, sebagian dapat
bersifat formal atau informal dan bahkan terkadang bisa menyatu
dalam bentuk yang kompleks formal dan informal. Sebab apabila
hanya mengandalkan formalisme dan prosedural teknis semata,
dikhawatirkan akan sulit untuk mengakomodasi keragaman
persoalan dan aspirasi masyarakat dalam memperoleh keadilan
dalam menyelesaikan konflik pengelolaan sumber daya alam. Apa
yang dikatakan Mac Gallanter, kiranya dapat dipergunakan sebagai
bahan pertimbangan dan sekaligus renungan dalam rangka
menentukan forum penyelesaian konflik sumber daya alam.
Menurutnya, keadilan dan kedamaian terdapat di berbagai
ruang, untuk itu para pengambil kebijakan harus berpikir lebih jemih
dalam memformulasikan bentuk keadilan dalam penyelesaian
konflik sumber daya alam. Kiranya hal ini, dapat dijadikan wacana
tambahan dalam mereaktualisasikan dan meredefinisikan tentang
suatu model penyelesaian konflik,

55
BAB V
PERAN KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
5.1. Latar Belakang
Sebelum mempelajari lebih mendalam tentang peran
kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam, mari mengigat
kembali pengertian dan pengelompokan sumber daya alam yang
dapat dibaca di artikel ini. Pola pengelolaan sumber daya alam,
meliputi aktivitas-aktivitas sebagai berikut merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi
sumber daya alam, pendayagunaan sumber daya alam, dan
pengendalian sumber daya alam.
Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan prinsip
keterpaduan dalam pengelolaan yang diselenggarakan secara
bersama dengan memperhatikan wewenang dan tanggung jawab
instansi masing-masing, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pola pengelolaan sumber daya alam disusun secara terkoordinasi
diantara instansi-instansi terkait, berdasarkan:
1. asas kelestarian yaitu asas keseimbangan fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi, asas kemanfaatan umum, asas keterpaduan
dan keserasian;
2. asas keadilan yaitu asas kemandirian serta asas transparansi dan
akuntabilitas.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, lembaga-lembaga terkait
dibagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu operator, regulator, dan kontrol.

5.2. Lembaga Operator Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam


Apa peran kelembagaan operator dalam pengelolaan sumber
daya alam? Lembaga operator merupakan lembaga yang secara
langsung melaksanakan pengelolaan terhadap sumber daya alam.
Kegiatan yang dilakukan, meliputi pengambilan sumber daya alam,
pengolahan, dan pemasaran. Bentuk-bentuk dari lembaga operator,
adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta, dan
Koperasi. Untuk memahami seluk beluk ketiga bentuk lembaga
tersebut, mari kita pelajari uraian berikut:
56
Peran Kelembagaan dalam Pengelolaan sumber daya alam
Macam-macam Badan Usaha Milik Negara di Indonesia Sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (UU No. 19-2003) adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan
negara yang dipisah. Atau dengan kata lain, Badan Usaha Milik
Negara merupakan badan usaha yang menjadi kepemilikan negara
sehingga modal dan keuntungan yang diperoleh menjadi milik
negara. Para pegawai Badan Usaha Milik Negara merupakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang digaji oleh negara. Badan Usaha
Milik Negara dapat berbentuk Perusahaan UMUM (Perum) dan
Perusahaan Perseroan (Persero). Di Indonesia Perseroan juga dikenal
dengan istilah syirkah. Sektor penting yang dikelolah oleh Badan
Usaha Milik Negara, meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan,
pertambangan, manufaktur, keuangan, pos dan telekomunikasi,
transportasi, listrik, perdagangan, industri, dan konstruksi. Contoh-
contoh Badan Usaha Milik Negara antara lain adalah PT Dirgantara
Indonesia, PT Perkebunan Nusantara (persero), Perum Perhutani
(persero), PT Timah (persero) Tbk, dan lain sebagainya. Secara
umum, Badan Usaha Milik Negara memiliki peran mengelolah
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Sebagai pengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamya, secara efektif dan efisien. Sebagai alat bagi pemerintah
untuk menunjang kebijakan di bidang ekonomi. Menyediakan
lapangan kerja bagi penduduk Indonesia, sehingga dapat menyerap
tenaga kerja.
Peran Lembaga regulator dalam pengelolaan sumber daya
alam adalah menyusun kebijakan dan peraturan. Tujuan
pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk kesejahteraan
manusia, jangan sampai malah merusak keseimbangan lingkungan.
Keseimbangan lingkungan yang terganggu akan dapat menimbulkan
berbagai macam bencana yang merugikan manusia.

57
Terdapat 2 (dua) macam lembaga regulator, yaitu pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
1) Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk membuat
peraturan dan regulasi agar roda perekonomian negara dapat
berjalan dengan baik. Peraturan yang dibuat pemerintah, mencakup
keseluruhan lembaga operator, baik itu Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Swasta, maupun Koperasi.Pada akhirnya, dengan
dibuatnya peraturan yang mendukung dunia usaha dan rakyat
sebagai konsumen, terciptalah kesejahteraan yang mengantarkan
kepada tujuan pembangunan nasional.
Kebijakan yang merupakan usaha untuk mendorong dan
memajukan dunia usaha dan perdagangan, adalah sebagai berikut:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (UU No. 25-1992), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU No. 7-1992)
mengatur tentang Usaha Perbankan Mengubah bentuk Perusahaan
Negara, seperti Perum Pos dan Giro menjadi PT Pos Indonesia,
Perusahaan Jawatan Pegadaian menjadi Perusahaan Umum
Pegadaian.
Kebijakan impor untuk melindungi dan meningkatkan daya
saing produk dalam negeri.Kebijakan ekspor untuk memperluas
pasar produk dalam negeri.Meningkatkan pembangunan sarana dan
prasarana umum.Kebijakan menyalurkan kredit kepada pengusaha
kecil dan petani.Kebijakan untuk memperlancar distribusi hasil
produksi.
2) Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk membuat
kebijakan pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.Wewenang
tersebut adalah bagian dari hak otonomi daerah. Berikut ini adalah
contoh dari kebijakan daerah.
3) Lembaga Kontrol (Pemerintah dan Non Pemerintah)
Bagaimana peran kelembagaan kontrol dalam pengelolaan
sumber daya alam? Kebijakan dan peraturan yang telah dibuat dan
disepakati, harus dilaksanakan oleh semua pihak agar proses
pengelolaan sumber daya alam berjalan teratur dan kondusif. Dalam
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut, diperlukan suatu lembaga

58
yang mengontrol dan mengawasi. Untuk itulah, diperlukan lembaga
kontrol yang terbagi menjadi Lembaga Pemerintah dan Non
Pemerintah.
1) Lembaga Pemerintah
Pemerintah menjadi pihak penting dalam mengontrol pelaksanaan
kebijakan yang berlaku. Jika terdapat pelanggaran pada
pelaksanaannya, maka pemerintah dapat melaporkan ke lembaga
yudikatif untuk diberikan sanksi.
2) Lembaga Non Pemerintah
Selain pemerintah, lembaga bukan pemerintah juga bisa menjadi
lembaga kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Lembaga
Swadaya Masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup, World
Wide Fun For Nature dan Greenpeace. Masyarakat umum juga dapat
melakukan kontrol, melalui kearifan lokal setempat. Kearifan lokal
dapat menjadi peran dalam mengontrol dan mengendalikan
eksploitasi sumber daya alam.
3) Peran Kelembagaan dalam Fungsi Kontrol Pengelolaan sumber
daya alam
Berikut adalah peran lembaga kontrol dalam pengelolaan sumber
daya alam: Mengontrol pengelolaan sumber daya alam agar sesuai
dengan asas keberlanjutan. Mengawasi pengelolaan sumber daya
alam agar sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Mengevaluasi pengelolaan sumber daya
alam agar kinerjanya meningkat dikemudian hari. Melakukan
kontrol dalam setiap pengelolaan sumber daya alam agar sesuai
dengan asas keberlanjutan.Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Memberikan sanksi kepada
pelanggar peraturan perundang-undangan.

59
BAB VI
KAJIAN HUKUM DAN KEBIJAKAN
PENGELOLAAN KAWASAN
KONSERVASI
6.1. Kebijakan
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan
pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan konservasi
merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan
hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari
kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam. Sebagaimana
diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan
merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini
kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih
harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan
MPR dan Garis-garis Besar Haluan Negara, ataupun pernyataan
pejabat negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan
masyarakat.Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum
dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-
garis Besar Haluan Negara yang berisikan konsepsi dan arah
pembangunan, Garis-Garis Besar Haluan Negara kemudian
dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan
Lima Tahun atau REPELITA. Ketetapan-ketetapan MPR tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara selama beberapa periode telah
memberikan arah yang cukup jelas bagi pengelolaan lingkungan
hidup, termasuk pengembangan kebijakan konservasi.
60
Apa yang terdapat di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
terakhir (1988-2003) misalnya, menekankan bahwa pembangunan
lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap
berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan
dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang
dinamis antara system ekologi, sosial, ekonomi dan sosial budaya
agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Dalam bagian lain juga disebutkan bahwa pembangunan
yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (sustainable
ecologically development) ditujukan bagi penataan ruang, tata guna
lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya
alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya
sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis. Garis-Garis Besar
Haluan Negara tersebut juga memberikan perhatian terhadap peran
serta masyarakat. Namun tidak disinggung kemungkinan
dikembang kannya desentralisasi dalam pengelolaan kawasan
konservasi.
Kendatipun Garis-Garis Besar Haluan Negara 1988-2003 tidak
memiliki legitimasi hukum menyusul dibubarkannya Pemerintahan
Suharto pada Bulan Mei 1998, yang dengan sendirinya Garis-Garis
Besar Haluan Negara tersebut juga tidak lagi berlaku, namun dari
konsepsi yang dimiliki tampak bahwa perhatian terhadap
lingkungan hidup sebagai pendukung dan penyangga eksositem
kehidupan cukup besar.
Secara nilai, upaya untuk mengembangkan pembangunan
nasional yang berwawasan lingkungan dan memperhatikan
keserasian telah dikembangkan di dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara 1998-2003. Namun kajian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan serta kebijakan pembangunan pemerintah
selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan kekayaan
yang terkandung di dalamya dikuasai oleh negara dan digunakan
untuk kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan
masyarakat. Justru yang paling menonjol adalah penerjemahan HMN
dimana sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak
oleh negara.

61
Tanah-tanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di
Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda seakan menjadi hapus
apabila Negara menghendaki. Hal ini dapat dilihat di dalam UU No.
5-1960, UU No. 41-1999, UU No. 11-1967 yang menyatakan bahwa
tanah adat dapat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan
dengan kepentingan Nasional, namun pengakuan tersebut hampir
tidak pernah terjadi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (PP No. 21-
1970) bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat
Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan
yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan
sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan.
Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam
rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk
memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari
berbagai ancaman dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya
alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi.
Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya
untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di
sekitar mereka. Secara lebih nyata – dalam kaitannya dengan
pengelolaan kawasan konservasi, HMN diterjemahkan sebagai hak
negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik masyarakat
yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung.Hal ini
misalnya terjadi di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai
kawasan konservasi seperti di Haruku, Maluku, dan di Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang telah
ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas
pertambangan.
Sampai saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di
satu sisi dengan Pemerintah dan perusahaan di sisi lain. Sidang
Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember
1998 menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia Di dalam Tap MPR No. XV/1998

62
tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi Daerah
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana
penyeleng garaan tersebut dilaksanakan dengan prinsip demokrasi
dan memperhatikan keanekaragaman daerah. Di dalam pasal 5,
ditekankan bahwa Pemerintah Daerah berwenang mengelolah
sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan.
Hal ini,tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi.
Tap MPR No.XV/1998 tersebut menunjukkan suatu kesadaran
mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan kaitannya dengan
pengelolaan sumber daya alam. Hendaknya departemen terkait tidak
lagi menterjemahkan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan
kepentingan atau ego sektoral masing-masing.Dalam upaya
mempercepat realisasi Otonomi Daerah tersebut sudah saatnya
instansi terkait melakukan koordinasi untuk menyamakan visi dan
persepsi.
Peraturan perundang undangan telaahan terhadap peraturan
perundang-undangan, yang berjumlah cukup besar sekitar 157
(seratus lima puluh tujuh) peraturan – baik peraturan yang secara
langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi
maupun yang tidak secara langsung mengatur namun berkaitan –
menunjukkan adanya beberapa persoalan, yaitu , Pertama , tidak
adanya istilah yang baku terhadap kawasan yang dilindungi.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Keppres No. 32-1990),
menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu UU No. 5-
1990 cenderung menggunakan istilah konservasi. Direktorat yang
memiliki tanggungjawab perlindungan sumber daya alam misalnya
menggunakan istilah
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (Ditjen PHPA), kendatipun sehari-hari mereka menggunakan
istilah konservasi dan bukan perlindungan atau pelestarian. Baru-
baru ini, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 192
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 61

63
Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Departemen (Keppres No. 192-1998) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 144 Tahun 1998 (Keppres No. 144-1998).
Pemerintah menggunakan nama baru untuk Ditjen PHPA yaitu
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Perbedaan
istilah ini tentu saja dapat memberikan konsekuensi hukum tertentu.
Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah yang di satu sisi
berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan
menetapkannya sebagai kawasan konservasi,namun di sisi lain
membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi.
Hal ini dapat ditemukan di dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan (PP No. 28-1985), di dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung (Keppres No. 32-1990) dan di dalam SKB Menteri
Pertambangan dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/08/MPE/1989
dan Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan
Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan
Hutan, yang hingga kini masih berlaku.
SKB dua Menteri tersebut bahkan menegaskan bahwa di
Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan,
termasuk di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman
Nasional. Jika sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka
kawasan tambang tersebut dikeluarkan dari penetapan taman
nasional. Padahal, UU No. 5-1990 secara tegas menyebutkan bahwa
di dalam Cagar Alam dan Taman Nasional tidak dibolehkan adanya
kegiatan budi daya, yaitu kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan Cagar Alam maupun Taman
Nasional.
Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan
konservasi adalah UU No. 5-1990, karena berdasarkan hierarki
undang-undang merupakan aturan yang paling tinggi.Apabila
terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan
acuan dan berlaku adalah undang-undang.
Ketiga, adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement)
terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi.Berbagai

64
aktivitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak
kawasan konservasi sering kali tidak dikenakan peringatan ataupun
sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas pertambangan
di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, Taman Nasional
Lorentz (sebelumnya Cagar Alam), Taman Nasional Bunaken dan
sebagainya.
Keempat, kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi
dan ijin yang diberikanoleh Departemen Pertambangan untuk
aktivitas pertambangan, baik di Taman Nasional Lorentz maupun
Taman Nasional Kutai, kendatipun UU No. 5-1990 melarangnya.
Dengan adanya kebijakan yang mendua, penggunaan istilah yang
tidak baku, lemahnya penegakan hukum dan begitu kuatnya
egosektoral, maka jelas ada persoalan mendasar di dalam kebijakan
besar pengelolaan sumber daya alam kita.
Persoalan mendasar tersebut adalah tidak adanya visi dalam
pengelolaan sumber daya alam, termasuk visi pengelolaan kawasan
konservasi. Disinilah kelihatan adanya gap antara konsepsi yang
bagus di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara atau UU No. 5-
1990, dengan tidak adanya impelementasi yang konkrit. Das sein
tersebut ternyata tidak tampak di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada. Bahkan sebaliknya berbagai
peraturan dibuat mendua atau justru mendukung upaya eksploitasi
kawasan konservasi yang semestinya dijaga kelestariannya.
Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat di
Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Akar dari berbagai
persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam
adalah ketidakadilan dalam alokasi sumber daya alam itu sendiri. Di
sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi
Pemerintah Daerah – termasuk peluangnya untuk mengembangkan
daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya
hak dasar masyarakat untuk mengelolah sumber daya alam yang
terdapat di sekitar mereka.
Ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil sumber daya alam
yang dilandasi oleh system politik yang represif dengan, menarik
aset-aset lokal tersebut ke Pusat, telah memberikan hasil yang sangat
tidak signifikan terhadap daerah. Berbagai propinsi yang kaya akan
sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, Aceh, Riau, ataupun

65
Irian Jaya justru merupakan daerah-daerah yang miskin dan
pembangunan daerahnya paling tertinggal. Sehingga tidak
mengherankan munculnya tuntutan akan perimbangan keuangan
Pusat- Daerah, otonomi penuh bahkan keinginan untuk berpisah dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di sisi lain, pengakuan dan hak-hak masyarakat adat
terhadap sumber daya alam tidak lagi mereka peroleh dan semakin
dipinggirkan oleh pemerintah, melalui berbagai paket peraturan
perundang-undangan sumber daya alam. Secara institusi,
masyarakat adat telah dihapuskan dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa (UU No. 5-1979), yang menghapuskan sistem
pemerintahan adat seperti Marga, Nagari ataupun bentuk-bentuk
lain dan membuat unifikasi sistem pemerintahan Desa.
Kajian mengenai Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta
Masyarakat di Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi tidak dapat
dipisahkan dari peta politik pemerintahan Pusat-Daerah-Desa
tersebut. Oleh karena pada dasarnya Kawasan Konservasi tidak
dapat dilepaskan dari pengelolaan sumber daya alam pada
umumnya. Sebagaimana halnya dengan pengelolaan sumber daya
alam – selain tambang Galian C seperti pasir, batu dan sebagainya,
kebijakan pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya masih
bersifat sentralistik.
Dengan perkataan lain pengelolaan kawasan konservasi
masih dilakukan dari pusat. Kendatipun terdapat aturan umum
penyerahan urusan di bidang konservasi sumber daya alam tetapi
peraturan pelaksananya belum dikembangkan. Dari kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada, pemerintah masih tampak
setengah hati untuk mengembangkan desentralisasi. UU No. 5-1990
misalnya, menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pemerintah
dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintah Daerah (UU No. 5-1974). Ketentuan lebih lanjut akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun delapan (8) tahun UU
No. 5-1990 berjalan Peraturan Pelaksana tersebut belum juga dibuat.

66
Sementara itu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (PP No. 28-1995)
tidak membuka peluang desentralisasi sama sekali. Bahkan untuk
kebakaran hutan, pencegahan dan pemadamannya masih bertumpu
pada instansi-instansi kehutanan yang merupakan perpanjangan
tangan Pemerintah Pusat seperti Kanwil Kehutanan, Dinas
Kehutanan, Unit Perum Perhutani dan Unit Pelaksana Teknis di
Lingkungan Departemen Kehutanan.
Demikian juga halnya dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung (Keppres No. 32-1990), Pemerintah Daerah diberi
kewenangan untuk menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan
lindung di dalam daerahnya masing-masing, tapi tidak untuk
pengelolaannya.
Pada Tahun 1998 Pemerintah meluncurkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan
Kepada Daerah (PP No. 62-1998). Di dalam PP ini disebutkan bahwa
Kepada Kepala Daerah Tingkat I diserahkan urusan Pemerintah yang
meliputi Pengelolaan Taman Hutan Raya dan Penataan Batas Hutan.
Sementara itu kepada Kepala Daerah Tingkat II diserahkan
urusan Pemerintah yang meliputi penghijauan dan konservasi tanah
dan air, persuteraan alam, perlebahan, pengelolaan hutan
milik/hutan rakyat, pengelolaan hutan lindung, penyuluhan
kehutanan, pengelolaan hasil hutan non-kayu, perburuan tradisional
satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru, perlindungan
hutan dan pelatihan keterampilan masyarakat di bidang
kehutanan.Terdapat beberapa catatan yang dapat diberikan terhadap
PP No. 62-1998 tersebut yaitu,
W PP tersebut adalah turunan atau aturan tindak lanjut dari UU No.
41-1999, dan bukan dari UU No. 5-1990,
W PP tersebut juga memuat bidang-bidang tertentu yang merupakan
bagian dari pengelolaan kawasan konservasi untuk diserahkan
kepada Pemerintah Daerah, namun tidak kawasan seperti Taman
Nasional, Cagar Alam dan sebagainya,

67
W Penguasaan hutan yang banyak dituntut oleh banyak pihak, yang
seharusnya dimuat di dalam PPNo. 62-1998 ini, justru tidak
tercantum.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin pemerintah pusat
mampu mengelolah kawasan konservasi yang demikian luas, yang
mencakup 16.200.000 ha kawasan konservasi darat, dan 3.200.000 ha
kawasan konservasi laut.
Berbagai data empirik menunjukkan bahwa pengelolaan yang
sentralistik tersebut mengalami banyak hambatan. Oleh karena itu
pengelolaan kawasan-kawasan konservasi oleh Pemerintah Daerah
yang cenderung lebih memahami wilayahnya, berada dekat dengan
objek konservasi itu sendiri lebih memungkinkan untuk melakukan
secara lebih baik.
Namun demikian terdapat dua persyaratan penting apabila
pengelolaan kawasan konservasi yang diberikan kepada Pemerintah
Daerah dapat berjalan dengan baik, yakni sekaligus dengan
memberikan Daerah kewenangan untuk mengelolah pengusahaan
hutan, serta melibatkan masyarakat lokal atau adat dan
memposisikan mereka secara kemitraan.
Di sisi lain, pengembangan peran serta masyarakat di dalam
pengelolaan kawasan konservasi juga belum mendapat perhatian
yang serius dari pemerintah. Dari berbagai peraturan yang ada –
yang mencantumkan peran serta – tampak bahwa pemerintah belum
memahami apa esensi dari peran serta masyarakat itu sendiri.
Berbagai pasal tentang peran serta sering kali menyebutkan peran
serta dalam bentuk yang tidak langsung seperti maka rakyat
diikutsertakan, atau konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya merupakan tanggungjawab dan kewajiban pemerintah
dan masyarakat, atau pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan
sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (Pasal 37 ayat
(2) UU No. 5-1990).
Berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat
peran serta masyarakat, kecuali UU No. 23-1997 menunjukkan –
bahwa peran serta masyarakat itu tidak penting. masyarakat bahkan
dilihat sebagai bagian yang tidak mengerti tentang pengelolaan
sumber daya alam termasuk konservasi, sehingga disebutkan bahwa

68
peran serta tersebut akan ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui
pendidikan dan penyuluhan. Padahal, tidak ada yang dapat
membantah bahwa justru masyarakat Adat Dayak, masyarakat Adat
Haruku, dan berbagai masyarakat adat lainnya di berbagai wilayah
di Indonesia dikenal secara turun-temurun memiliki konsepsi
konservasi yang luar biasa, dan menerapkannya. Diakomodirnya
peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan.
Dengan luasnya sebaran kawasan konservasi, terbatasnya
institusi pengelola dan sumber daya manusia, serta dana yang
minim, adalah tidak mungkin pengelolaan kawasan konservasi tanpa
peran serta masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan
masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu
sendiri. Bagi masyarakat adat atau lokal, keterlibatan dalam
pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai
sebuah tugas, akan tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki,
dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan
konservasi itu sendiri.

6.2. Faktor Pendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam


Beberapa faktor yang mendukung efektifnya pengelolaan
kawasan konservasi dengan dilibatkannya masyarakat, termasuk
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah,
T kedekatan masyarakat dengan kawasan konservasi,
T adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi,
ekologi maupun ekonomi, dan
T komitmen dan kepedulian (seperti yang ditunjukkan oleh LSM
maupun kelompok pecinta lingkungan hidup).
Salah satu contoh peran penting keterlibatan masyarakat
adalah dalam kasus kebakaran hutan 1997-1998 yang terakhir,
dimana posko-posko didirikan yang melibatkan lembaga swadaya
masyarakat, organisasi masyarakat dan masyarakat umum.
Sebaliknya, sebagaimana yang dilaporkan di dalam buku
“Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia, Dampak Faktor dan
Evaluasi”, menunjukkan betapa pemerintah ternyata memiliki
keterbatasan dalam menanggulangi bencana skala besar. Hal ini
69
dibuktikan dengan lumpuhnya mekanisme kerja yang mengatur
hubungan antara instansi dalam usaha penanggulangan dan
pemadaman di tingkat Pusat maupun Daerah.

70
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2005, Kebijaksanaan Perlindungan Hutan Dalam


Pengamanan Tumbuhan Dan Satwa Liar Direktorat Penyidikan Dan
perlindungan Hutan Departemen Kehutanan Jakarta.
Konvensi Tentang Perdagangan Internasional Jenis Jenis Flora
Dan Fauna Terancam Punah di tanda Tangani di Wasington D.C
Pada Tanggal, 3 Maret 1973 di ubah di Bonn tanggal, 22 Juni 1979.
Sutisna Wartaputra, 1993, Kebijaksanaan Strategi Pemba-
ngunan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya,
Direktorat Jemnderal PHKA Departemen Kehutanan Jakarta.
Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan Kebijak-
sanaan, Pokja Kebijaksanaan Konservasi USAID, Dari Rakyat Ame-
rika.
Otto Soemarwoto, 2001, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Cet. 9, Djambatan, Jakarta.
R.M. Gatot P. Soemartono, 1996, Hukum Lingkungan Indo-
nesia, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta.
Mohammad Taufik Makarao, 2004, Aspek-Aspek Hukum
Lingkungan, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Ed. 3, Cet. Ke-1, Alumni,
Bandung.
I Made Arya Utama, “Sanksi Hukum Dalam Memberikan
Perlindungan Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup” Kertha Patrika
Vol. 29 No. 2, Juli 2004.
Alam Setia Zain, 1996, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan
Dan Segi-Segi Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Koesnadi Hardja Soemantri, 1993, Hukum Perlindungan
Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Ed. 1, Cet. Ke-2, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
http://ovalhanif.wordpress.com/2009/04/23/pengelolaan-
sumber daya-alam-yang-berbasis-kepada-karakteristik-masyarakat-
adat/.
http://ovalhanif.wordpress.com/2009/04/23/pengelolaan-
sumber daya-alam-yang-berbasis-kepada-karakteristik-masyarakat-
adat/.
http://trit0824.student.ipb.ac.id/2010/06/20/analisis-kebija-
kan-pemerintah-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-yang-berke-
lanjutan/.

71
Wallhi, 2001, Konsorsium Pembaruan Argaria, Pelaksanaan
Pembauran Argaria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Adil
Dan Berkelanjutan.

72
CATATAN

73
CATATAN

74

Anda mungkin juga menyukai