Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) Tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan “Pendidikan adalah uapaya nyata
yang teroganisir sehingga terciptanya suasana belajar dan proses pembelajaran
secara aktif sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan
negara”.1
Tujuan pendidikan dirumuskan dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, sehingga terbentuk generasi muda yang tangguh, memiliki tanggung
jawab dan dapat diandalkan bagi masa depan bangsa. Generasi muda yang
cerdas saja belum cukup bagi masa depan bangsa karena mentalitasnyapun
harus dibina , sehingga melalui proses pendidikan diberikan juga materi ahlak
mulia yang bersumberkan dari agama. Dalam kerangka dasar dan struktur
kurikulum terdapat kelompok mata pelajaran Agama dan ahlak mulia yang
dengan uraian cakupan dimaksud untuk membentuk peserta didik  manusia
yang beriman dan bertakwa  kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan
berahlak mulia mencakup etika, budi pekerti atau moral sebagai perwujudan
dari pendidikan agama.
Guru adalah pendidik profesional yang secara implisit telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang
terpikul di pundak para orang tua.2 Jika orang tua bertanggung jawab
terhadap pendidikan anak di lingkungan keluarga, maka guru bertanggung
jawab terhadap pendidikan di lingkungan sekolah. Tanggungjawab
pendidikan telah dijelaskan oleh Allah Swt dalam QS al-Thu>r/52: 21.

1
Redaksi Citra Umbara, Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta :
Citra Umbara, 2006), h. 72
2
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2006),
h.39.
11
‫اه ْم ِم ْن َع َملِ ِه ْم ِم ْن َش ْي ٍء ۚ ُك ُّل‬ ِ‫هِب‬ ٍ
ُ َ‫ين َآمنُوا َواتََّب َعْت ُه ْم ذُِّريَُّت ُه ْم بِِإميَان أَحْلَ ْقنَ ا ْم ذُِّريََّت ُه ْم َو َم ا أَلَْتن‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
‫ني‬ ِ ‫ام ِر ٍئ مِب ا َكس‬
ٌ ‫ب َره‬ َ َ َ ْ
Artinya: Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari
pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya.3

Didasarkan pada ayat tersebut di atas, maka setiap orang terikat atau
bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Tanggung jawab dilihat dari segi
ajaran Islam, secara implisit mengandung pula tanggung jawab pendidikan,
sehingga pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang
dewasa, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok social.4
Sehubungan dengan itu, maka penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah merupakan tanggung jawab setiap guru agama, baik sebagai
individu maupun berkelompok, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah
swt. dalam QS al-Taubah/9: 122.

ٌ‫ َف لَ ْو اَل نَ َف َر ِم ْن ُك لِّ فِ ْر قَ ٍة ِم ْن ُه ْم طَ ائِ َف ة‬Bۚ ً‫ون لِ َي ْن ِف ُر وا َك افَّة‬ َ ُ‫ان الْ ُم ْؤ ِم ن‬


َ ‫َو َم ا َك‬
ِ ِ ِ ِّ‫لِ ي ت َف قَّه وا يِف الد‬
‫ون‬
َ ‫َّه ْم حَيْ َذ ُر‬ ُ ‫ين َو ل ُي ْن ذ ُر وا َق ْو َم ُه ْم إِ ذَ ا َر َج عُ وا إِ لَ ْي ِه ْم لَ َع ل‬ ُ ََ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.5

Pekerjaan guru bukan semata mengajar atau menyelenggarakan


pembelajaran, melainkan juga harus mengerjakan berbagai hal yang
bersangkut-paut dengan pendidikan peserta didik.6 Jadi tugas pokok guru
bukan hanya mengajar atau memindahkan ilmu pengetahuan kepada peserta

3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:
Thoha Putra, 2002), h. 866
4
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, h.45
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 301-302
6
Zakiah Daradjat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), h. 262

2
didik, tetapi yang lebih utama adalah menyelenggarakan pendidikan untuk
mendidik peserta didik.
Pendidikan dalam arti luas, mencakup seluruh proses hidup dan
segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, sedangkan
pendidikan dalam arti terbatas dapat merupakan salah satu proses interaksi
belajar-mengajar dalam bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran
(pembelajaran).7 Jelaslah, bahwa pembelajaran merupakan salah satu kegiatan
pendidikan yang terbatas dalam bentuk formal yang menjadi tugas guru.
Dalam proses pembelajaran peran guru sangat penting yang tidak tak
dapat digantikan oleh perangkat lain terutama untuk peserta didik pada usia
pendidikan dasar, sebab peserta didik pada usia tersebut sedang berkembang
dan memerlukan bimbingan dan arahan orang dewasa.8 Implikasinya, guru
harus mampu membimbing dan membantu peserta didik dalam mengalami
perkembangan pada seluruh aspek kepribadiannya.
Berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam, maka guru agama
merupakan orang dewasa yang berfungsi sebagai penerus pendidikan agama
bagi anak yang tidak menerima pendidikan agama di lingkungan keluarga
sehingga terbentuk jiwa keagamaan dalam diri anak tersebut. Berdasar pada
salah satu fungsi guru agama diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
seorang guru agama (Islam) harus mampu membentuk prilaku peserta
didiknya kearah yang lebih baik agar menerima pendidikan agama yang
diberikannya.9
Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan manapun akan
memberi pengaruh bagi pembentukan keagamaan peserta didik. Namun
demikian, besarnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai
faktor, antara lain ditentukan oleh mutu guru agama Islam.

7
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan: Perangkat Sistem Pengajaran
Modul (Cet, IX; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 22-23
8
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2008),h. 198
9
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
prinsip Psikologi (Cet. XVII; Jakarta: Rajawali Pers, 2015),h. 258

3
Ruang lingkup pendidikan agama islam tingkat SD Meliputi: (1) Al-
Qur’an dan Hadits, (2)Aqidah, (3) Akhlak, (4) Fiqih, (5) Tarikh dan
Kebudayaan Islam.10
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat islam. Al-Qur’an tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Sejak diturunkan sampai
sekarang Al-Qur’an dibaca, dihafal, dipelajari, dan diamalkan sebagian umat
Islam dimana saja berada. Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu sarana
ibadah bagi umat islam, di samping sebagai sarana untuk mempelajari dan
melestarikannya.
Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang diberikan Allah
subbahanawata’ala kepada Rasulullah Saw. Yang kekal dan abadi, serta
menjadi bukti penguat dan membenarkan segala sesuatu yang disampaikan
oleh beliau. Sebagai bukti atas kemukjizatan al-Qur’an, kitab ini telah
menentang orang-orang kafir untuk mendatangkan yang semisalnya jika
mereka mampu. Sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk memperbanyak
membaca al-Qur’an. Sebab, membaca al-Qur’an dapat mengangkat derajat,
menghapus segala kejelekan, mendidik akhlak serta mencerahkan jiwa.
Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir atau berangsur-angsur memiliki
beberapa hikmah diantaranya,:(1) Meneguhkan dan menguatkan hati
Rasulullah Saw dalam mengadapi rintangan dalam berdakwah; (2) Sebagai
bentuk tahapan untuk mendidik ummat; (3) menjawab pertanyaan ummat; (4)
Sebagai penetapan hukum atas suatu perkara dan kejadian yang diperselisihkan
oleh ummat; (5) Sebagai pelajaran bagi orang-orang mukmin atas semua
kesalahan mereka, sehingga mereka tidak mengulanginya lagi; (6) Sebagai
petunjuk untuk kembali kepada sumber al-Qur’an dan menegaskan
bahwasanya al-Qur’an adalah kalam Allah Swt; (7) Agar al-Qur’an mudah
dihafal11.
Al-Quran Tidak hanya untuk membaca, tetapi kita juga diperintahkan
untuk menjaganya. Baik secara lisan maupun tulisan. Para sahabat menuliskan
10
Departemen Pendidikan Nasional, Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar Tingkat
SD Mata pelajaran Agama Islam, (Direktorat Jenderal Mandikdasmen 2007) hal. 2
11
Thanthawi Ulumul Qur‟an Teori Dan Metodologi. (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013)h.59- 85

4
ayat-ayat al-Qur’an pada bahan-bahan pada masa itu, seperti kulit-kulit dan
tulang hewan, permukaan batu yang kasar dan halus, serta pelepah-pelepah
kurma.12
Menghafal al-Qur’an ialah perbuatan yang sangat mulia. Menurut Abdul
Aziz Abdul Rauf, definisi tahfidz atau menghafal adalah membaca atau
mendengar bacaan secala berulang-ulang dalam proses memperbaiki bacaan.
Apapun yang dilakukan secara berulang-ulang, pasti menjadi hafal.13
Dari pengertin tahfidz dan al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa
menghafal al-Qur’an ialah suatu proses yang bertujuan untuk memelihara,
menjaga dan melestarikan kemuliaan al-Qur’an yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw. Di luar kepala agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan
serta dapat menjaga dari kelupaan baik secara keseluruhan maupun
sebagiannya.
Menghafal al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah jika tidak
diniatkan dalam hati, kesadaran diri, keinginan yang kuat serta keyakinan yang
teguh. Segala sesuatu jika diniatkan untuk Alloh Swt maka Alloh Swt akan
memudahkannya. Karena menghafal al-Qur’an bukan pekerjaan yang mudah
maka, perlu adanya metode menghafal al-Qur’an agar bisa cepat hafal dan
tidak ada problematika.
Metode dalam membaca dan menghafal al-Quran itu sangat banyak
diantaranya:
1. Metode membaca al-Quran

Dalam pengajaran membaca Al-Qur’an terdapat beberapa


metode yang dapat dilaksanakan dalam proses pengajaran membaca
bagi pemula. Masing-masing  metode  tersebut  memiliki kelebihan
dan kekurangan, metode tersebut antara lain yaitu:

12
Fatihuddin, Sejarah Ringkas Al-Qur‟an Kandungan Dan Keutamaannya. (Jogjakarta:
Kiswatun Publishing, 2015) hal.23
13
Zakaria assyafi’i, Menjadi Sahabat Al-Qur‟an Panduan Step By Step. (Jogjakarta:
Pustaka Pesantren, 2018), h 10

5
a. Metode Harfiyah
Metode ini disebut juga metode hijaiyah atau alfabaiyah
atau abajadiyah. Dalam pelaksanaanya, seorang guru mengajarkan
pengajaran huruf hijaiyah satu persatu. Disini seorang murid
membaca huruf dengan melihat teks/ huruf tertulis dalam buku.
Selain itu, siswa membaca potongan-potongan kata.
b. Metode Shoutiyah
Metode ini terdapat kesamaan dengan metode  harfiyah
dalam hal tahapan yang  dilakukan,  yaitu  mengajarkan  potongan-
potongan  kata atau kalimat namun dapat perbedaan yang menonjol
yaitu:  dalam metode harfiyah seorang guru dituntut untuk
menjelaskan nama, misalkan huruf shod, maka seorang guru harus
memberitahukan bahwa huruf itu adalah shod, berbeda
dengan shoutiyah, yaitu  seorang guru ketika berhadapan  dengan
huruf  shod dia  mengajarkan bunyi yang disandang huruf tersebut
yaitu sha, bukan mengajarkan hurufnya.
c. Metode Maqthaiyah
Metode ini merupakan metode yang dalam memulai
mengajarkan membaca diawali dari potongan-potongan kata,
kemudian dengan kata dilanjutkan dengan kata-kata uang ditulis
dari potongan kata tersebut. Dalam mengajarkan membaca, harus 
didahului dengan huruf-huruf yang mengandung mad. Mula-mula
siswa dikenalkan alif , wawu, dan ya’, kemudian  di  kenalkan
dengan  pada  kata  sepeti  saa, sii, suu, (terdapat bacaan mad),
kemudian  dengan  potongan  kata  tersebut dirangkai dengan
potongan kata yang lain, seperti saro, siirii, saari, siiroo, siisrii,
dan seterusnya. Terkadang menggunakan metode ini lebih baik
dari  metode harfiyah  atau metode shoutiyah,karena metode 
maqthoiyah dimulai dari seperangkat potongan kata, bukan satu
huruf atau satu suara.

6
d. Metode Kalimah
Kalimah berasal dari bahsa Arab yang yang berarti kata.
Disebut metode kalimah karena  ketika siswa  belajar  membaca 
mula-mula langsung dikenalkan dengan bentuk kata. Kemudian
dilanjutkan dengan menganalisis huruf–huruf yang terdapat pada
kata-kata  tersebut. Metode ini  kebalikan dengan metode  metode 
harfiyah  dan metode shoutiyah yang mengawali dari huruf atau
bunyi kemudian beralih kepada mengajarkan kata. Dalam 
pelaksanaanya, seorang guru menunjukkan sebuah kata dengan
konsep yang sudah sesuai, kemudian pengajar  menggunakan kata 
tersebut  nenerpa  kali  setelah itu diikuti siswa. Setelah itu guru
menunjukkan yang siswanya berupaya mengenalnya atau
membacanya. Setelah siswa tesebut  mampu membaca kata,
kemudian guru mengajak untuk menganalisis  huruf-huruf yang
ada pada kata-kata tersebut.
e. Metode Jumlah
Kata jumlah berasal dari bahsa Arab berarti kalimat.
Mengajarkan membaca dengan metode ini adalah dengan cara  
seorang guru menunjukkan sebuah kalimat singkat pada sebuah
kartu  dengan cara dituliskan dipapan tulis, kemudian guru
mengucapkan  kalimat tersebut dan  setelah  itu  diulang  oleh 
siswa  beberapa  kali.  Setelah itu, guru menambahkan satu kata
pada kalimat tersebut lalu  membacanya dan ditirukan lagi oleh
siswa, seperti: Dzahaba al-walad,  dzahaba al-walad. Kemudian
dua kalimat tersebut  dibandingkan  agar siswa mengenal kata-kata
yang sama dan kata yang tidak sama. Apabila siswa telah
membandingkan, maka guru mengajak untuk menganalisis kata
yang ada sehingga sampai pada huruf-hurufnya. Dari sinilah dapat
diketahui bahwa metode jumlah dimulai dari kalimat, kemudian
kata, sampai pada hurufnya.

7
f. Metode Jama’iyah
Jamaiyah berarti keseluruhan, metode jama’iyah berarti
menggunakan metode yang telah ada, kemudian menggunakan
sesuai dengan  kebutuhan karena  setiap  metode mempunyai 
kelebihan  dan kelemahan. Karena itu, yang lebih tepat adalah
menggunakan seluruh metode yang ada tanpa harus terpaku pada
satu metode saja.14
2. Metode Menghafal al-Quran

Sedangkan dalam memahami metode menghafal Al-Qur’an


yang efektif, pasti kekurangan-kekurangan yang ada akan diatasi.
Ada beberapa metode menghafal Al-Qur’an yang sering dilakukan
oleh para penghafal, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Metode Wahdah, Yang dimaksud metode ini, yaitu menghafal
satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak dihafalnya. Untuk
mencapai hafalan awal, setiap ayat dapat dibaca sebanyak sepuluh
kali atau dua puluh kali atau lebih, sehingga proses ini mampu
membentuk pola dalam bayangannya.
b. Metode Kitabah, Kitabah artinya menulis. Metode ini
memberikan alternatif lain dari pada metode yang pertama. Pada
metode ini penulis terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan
dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuk
dihafal. Kemudian ayat tersebut dibaca sampai lancar dan benar,
kemudian dihafalkannya.
c. Metode Sima’i, Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud
metode ini adalah mendengarkan sesuatu bacaan untuk
dihafalkannya. Metode ini akan Sangat efektif bagi penghafal
yang mempunyai daya ingat extra, terutama bagi penghafal yang
tuna netra atau anak-anak yang masíh dibawah umur yang belum

14
M.Samsul Ulum, Menangkap Cahaya Al-Qur’an, (Malang:UIN
Malang Press, 2007), hal.82-85

8
mengenal baca tulis Al-Qur’an. Cara ini bisa mendengar dari guru
atau mendengar melalui kaset.
d. Metode Gabungan. Metode ini merupakan gabungan antara
metode wahdah dan kitabah. Hanya saja kitabah disini lebih
mempunyai fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang
telah dihafalnya. Prakteknya yaitu setelah menghafal kemudian
ayat yang telah dihafal ditulis, sehingga hafalan akan mudah
diingat.
e. Metode Jama’, Cara ini dilakukan dengan kolektif, yakni ayat-
ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama,
dipimpin oleh instruktur. Pertama si instruktur membacakan
ayatnya kemudian siswa atau siswa menirukannya secara
bersama-sama15
Sedangkan menurut Sa’dulloh macam-macam metode menghafal
adalah sebagai berikut:
a. Bi al-Nadzar, Yaitu membaca dengan cermat ayat-ayat Al-Qur’an
yang akan dihafal dengan melihat mushaf secara berulang-ulang.
b. Tahfidz, Yaitu menghafal sedikit demi sedikit Al-Qur’an yang telah
dibaca secara berulang-ulang tersebut.
c. Talaqqi, Yaitu menyetorkan atau mendengarkan hafalan yang baru
dihafal kepada seorang guru.
d. Takrir, Yaitu mengulang hafalan atau menyima’kan hafalan yang
pernah dihafalkan/sudah disima’kan kepada guru.
e. Tasmi’, Yaitu mendengarkan hafalan kepada orang lain baik kepada
perseorangan maupun kepada jamaah
f. Tahsin yaitu memperbaiki, membaguskan, menghiasi, mempercantik,
membuat lebih baik dari semula.16

15
Ahsin Sakho Muhammad, Kiat-kiat Menghafal Al-Qur’an, (Jawa Barat : Badan
Koordinasi TKQ-TPQ-TQA, t.t.), hal. 63-65
16
Sa’dulloh, S. Q. S.Ag, 9 Cara Praktis Mengafal Al-Qur’an(Yogyakarta: Gema Insan,
hal. 52-54

9
Dari beberapa metode menghafal alquran diatas maka penelitian peneliti
ini fokus kepada tiga metode yakni metode tasmi’, taqrir dan tahsin.
Sedangkan Permasalahan pembelajaran tahfidz yang dialami di SD
Pertiwi 3 dapat ditinjau dari :
(1) Sudut peserta didik : kurang minat kurang apresiasi, tidak punya
tradisi atau pengalaman baca tulis al- Qur’an,
(2) Sudut pendidik/guru : bukan bidang/ spesialisasinya, motifnya
hanya pemecahan tugas/ bukan ibadah,
(3) Sudut metode pembelajaran : metodenya konvensional /monoton,
perencanaan/pengelolaan yang kurang,
(4) Sudut dukungan lingkungan: sarana,suasana lingkungan, dukungan
orang tua yang kurang kondusif
SD Pertiwi 3 Padang adalah sekolah yang menggunakan kurikulum
nasional. Dengan program unggulannya diantaranya marcing band, seni tari
dan pembelajaran al-Qur’an. Pembelajaran al-Qur’an dilakukan dengan
membaca, menghafal dan memperbaiki bacaan al-Qur’an. Untuk mengatasi
permasalahan yang ditemukan tersebut diperoleh suatu model dalam
menghafal al-Qur’an.
Berdasarkan hasil obervasi awal dan wawancara dengan guru tahfidz
yang bernama Syahrial, S. IQ, S. Pd.I, diperoleh informasi bahwa metode yang
digunakan di SD Pertiwi 3 Padang dalam belajar tahfidz adalah Tasmi’, Taqrir
dan Tahsin. Pembelajaran al-Qur’an dilaksanakan setiap hari Senin sampai
Kamis dari jam 13.30 WIB sampai jam 15.00 WIB.
Melalui hasil wawancara juga diperoleh i n f o r m a s i bahwa lulusan/
tamatan SD Pertiwi 3 Padang hafalan 1 sampai dengan 2 Juz, juznya jus 1 dan
juz 30.

Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik untuk meneliti


judul “Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin Dalam Menghafal
al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang.”.

10
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan awal dan wawancara dengan guru tahfidz
Sekolah Dasar Pertiwi 3 Padang, Maka diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut :
1. Keinginan peserta didik untuk menghafal al-Qur’an rendah, mengakibatkan
sewaktu belajar tahfidz peserta didik sering izin keluar dengan berbagai
alasan
2. Metode dalam pembelajaran tidak menarik yang mengakibatkan peserta
didik sewaktu belajar tahfidz kurang semangat
3. Perencanaan program terhadap pelaksanaan tahfidz tidak tercapai
4. Kurangnya dukungan dari orang tua peserta didik
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini terfokus dan tidak mengarah kemana-mana, maka
penulis membatasi pada ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana meningkatkan minat peserta didik dalam menghafal al-Qur’an
dengan penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin pada Kelas Tinggi di
SD Pertiwi 3 Padang?
2. Bagaimana perencanaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin
Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang.?
3. Bagaimana pelaksanaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin
Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang?.
4. Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat Penerapan Metode
Tasmi’, Taqrir dan Tahsin Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi
Di SD Pertiwi 3 Padang?.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakan masalah dan identifikasi masalah di atas, maka
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

11
1. Bagaimana meningkatkan minat peserta didik dalam menghafal al-Qur’an
dengan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin Pada Kelas Tinggi
Di SD Pertiwi 3 Padang.?
2. Bagaimana Perencaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin
Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang.?
3. Bagaimana Pelaksanaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin
Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang.?
4. Aapakah Faktor pendukung dan penghambat Penerapan Metode Tasmi’,
Taqrir dan Tahsin Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD
Pertiwi 3 Padang.?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui cara meningkatkan minat peserta didik dalam menghafal
al-Qur’an dengan menggunakan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan
Tahsin dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi di SD Pertiwi 3
Padang.
2. Untuk mengetahui perencanaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan
Tahsin Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3
Padang..
3. Untuk mengetahui pelaksanaan Penerapan Metode Tasmi’, Taqrir dan
Tahsin Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas Tinggi Di SD Pertiwi 3
Padang..
4. Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat Penerapan
Metode Tasmi’, Taqrir dan Tahsin Dalam Menghafal al-Quran Pada Kelas
Tinggi Di SD Pertiwi 3 Padang..
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian berguna untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi penulis, khususnya dalam bidang tahfidz.
2. Kegunaan Pragmatis

12
Penelitian ini berguna menjawab permasalahan manajemen sumber
daya manusia di sekolah yaitu memberikan informasi kepada guru
Pendidikan Agama Islam, pimpinan sekolah dan dinas terkait mengenai
tahfidz.

13

Anda mungkin juga menyukai