Anda di halaman 1dari 8

Izumi, Volume 4, No 2, 2015

p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

SERVICE OVERTIME DAN KAROSHI :


KONSEKUENSI DARI ETOS KERJA JEPANG
Arsi Widiandari
Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang, Universitas Diponegoro,
Jl. Prof. Soedarto, SH, Kampus Undip Tembalang, Semarang, Indonesia 50275

Abstrak
Meskipun mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, Jepang telah berhasil meningkatkan
perekonomian negaranya. Hal tersebut tak terlepas dari semangat masyarakat Jepang dalam
memulihkan kondisi perekonomian. Setiap perusahaan menanamkan nilai-nilai budaya kepada setiap
pekerja, yang tercermin dalam etos kerja Jepang. Nilai-nilai budaya tersebut diantaranya adalah
ideologi Metafora keluarga dalam perusahaan, Shushin Koyo Seido, Nenko Joretsu dan Kigyou betsu
Kumiai. Pelaksanaan dari nilai-nilai budaya dalam perusahaan Jepang memberikan dampak atau
konsekuensi baik dari sisi positive maupun negative. Tak diragukan lagi, hal tersebut memberikan
dampak positif seperti yang terlihat dalam perkembangan perekonomian Jepang. Akan tetapi, hal
tersebut juga menimbulkan masalah sosial terutama yang dialami oleh para pekerja.Service Overtime
dan Karoshi adalah contoh dari konsekuensi yang masih terjadi dalam pelaksanaan etos kerja hingga
saat ini. Para pekerja umumnya diharapkan untuk memberikan dedukasi dan loyalitas mereka pada
pekerjaan dan perusahaan. Penelitian ini akan mencoba menjelaskan mengenai konsekuensi dari
pelaksanaan etos kerja di Jepang.
Kata kunci: Service overtime, Karoshi dan Etos kerja Jepang

Abstract

After defeated on World War II, Japan economy has recover and become one of developed country in
Asia. One of the factor that give contribute to Japanese economy rising is Japanese spirit. Company
usually teached work culture to every worker that can be seen from Japanese work ethic. For example
ideology of Family Methaphore, Shushin Koyo seido (Lifetime employment) Nenko Joretsu ( Salary
based on seniority ) and Kigyou betsu Kumiai (Union based on corporation). The work culture
practice in Japan company has had positive and negative consequences. As we know, that it has great
contributed to Japanese economy development it self. But, it also bring a number of social problem
especially to many workers. Service overtime and Karoshi are the example of the consequences of
Japan work ethic practice until nowadays. Worker are expected to give their deducation and loyality to
job company. This paper will try to give explanation about the consequences of Japan work ethic
practice in Japan.

Keywords:Service overtime, Karoshi, Japan work ethict

1. PENDAHULUAN Keberadaan pekerja di Jepang telah


Keberhasilan perekonomian Jepang lama menjadi sorotan dunia seiring dengan
pasca PD II seringkali dikaitkan dengan etos kemajuan perekonomian Jepang pasca PD II.
kerja Jepang. Salah satu faktor yang Kemajuan perekonomian tersebut merupakan
dianggap berperan adalah sumber daya perpanjangan dari perubahan masyarakat
manusia Jepang yang masuk dalam industry pertanian menjadi masyarakat industri,
Jepang. dimana mayoritas masyarakat Jepang bekerja
di bidang industry dan menjadi salaryman.
Salaryman berasal dari kata salary yang
------------------------------------------------------------------
berarti gaji, dan man yang berarti orang,
*)
Penulis Korespondensi. singkatnya salaryman mempunyai arti yaitu
E-mail: arsi901@gmail.com
orang yang menerima gaji.

24 Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi
Pelaksanaan dari nilai-nilai etos kerja tentang nilai-nilai budaya yang ditanamkan
Jepang memang tak diragukan lagi pada perusahaan Jepang. Beberapa nilai
memberikan dampak positive terhadap budaya yang “khas” yang ditanamkan pada
kemajuan perekonomian negara Jepang perusahaan Jepang, antara lain adalah:
khususnya pasca kekalahan Jepang di Perang
Dunia II. Keberhasilan Jepang dalam 2.2.1 Metafora keluarga pada
meningkatkan perekonomian tak lepas dari perusahaan Jepang
semangat untuk maju dan juga manajemen Perusahaan Jepang cenderung
sumber daya manusia di berbagai industri. memasukkan unsur-unsur keluarga dalam
Meskipun mendapatkan sorotan dan filosofi mereka. Seorang pekerja akan
dianggap sebagai salah satu faktor dianggap menjadi bagian dari keluarga
kebangkitan Jepang pasca PD II, etos kerja perusahaan, mulai dari yang bekerja sebagai
Jepang tak lepas dari adanya kontroversi tukang sapu sampai pemilik perusahaan
akibat konsekuensi yang harus ditanggung berada pada satu payung yang sama. Hal ini
oleh para pekerja. Diantaranya adalah dapat terlihat dalam perkenalan dimana
Service Overtime ( sabisu zangyou ), dan seseorang cenderung akan menyebutkan
Death by overtime ( Karoshi ). dahulu afiliasi mereka daripada posisi
mereka dalam pekerjaan.
2. PEMBAHASAN Adanya unsur keluarga dalam
perusahaan Jepang, tak lepas dari konsep
2.1 Etos Kerja Jepang “kelompok” dalam masyarakat Jepang.
Dalam bukunya yang berjudul Japanese
Kemajuan ekonomi Jepang yang Society, Chie Nakane menyebutkan bahwa
begitu cepat pasca PD II, seringkali masyarakat Jepang adalah masyarakat yang
dihubungkan dengan etos kerja Jepang. Etos berkelompok dan mempunyai hirarki (tate
kerja Jepang seringkali tercermin dalam shakai). Tempat terbaik seseorang adalah
perilaku pekerja Jepang yang terlihat dari ketika ia berada dalam kelompoknya.
jumlah jam kerja yang panjang, dedikasi Dalam masyarakat, kelompok yang
pada perusahaan, serta loyalitas pekerja pada dimaksud bisa berarti keluarga, perusahaan
perusahaan. Maka tak jarang kita melihat bahkan yang paling besar adalah negara.
para pekerja umumnya bekerja dengan Bagaimana seseorang menempatkan dirinya
jumlah jam yang lebih lama dibandingkan dengan tempat yang sesuai dalam masing-
dengan pekerja dari negara lain, bahkan masing kelompoknya. masyarakat Jepang
seringkali terlihat mereka bekerja di hari mengenal istilah oya-bun dan ko-bun yang
libur seperti hari sabtu atau minggu tanpa menjelaskan status seseorang. Jika dalam
dihitung lembur. keluarga, yang menjadi oya-bun adalah
kepala keluarga, maka hal ini juga tercermin
2.2 Nilai Budaya pada Perusahaan dalam perusahaan. Para atasan tidak hanya
Jepang memberikan evaluasi atas kinerja
Etos kerja Jepang tak lepas dari nilai bawahannya, akan tetapi berperan dalam
nilai budaya yang ditanamkan oleh menjaga hubungan baik, dengan cara
perusahaan pada masing-masing pekerja. mendengarkan pendapat dan aspirasi, dan
Meskipun beberapa nilai budaya tersebut memberikan motivasi.
telah mengalami pergeseran, namun polanya Dalam perbincangan antar pekerja,
masih dapat terlihat pada kehidupan biasanya mereka akan menyebut perusahaan
masyarakat Jepang. Para pekerja di Jepang tempat mereka bekerja sebagai “uchi” dan
seringkali digambarkan sebagai pekerja yang perusahaan saingannya dengan nama “~san”.
penuh disiplin, berdedikasi tinggi, penuh Hal ini menunjukkan keterikatan yang kuat
loyalitas pada pekerjaan dan perusahaan. antara perusahaan dengan salaryman.
Maka, berikut ini penulis akan menjabarkan

Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X 25


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

Metafora ini menuntut loyalitas para Hubungan senpai (senior) kohai


pekerjanya. Untuk menanamkan nilai ini, (junior) begitu kuat dalam perusahaan
perusahaan umumnya akan memulai kegiatan Jepang, tercermin dari seorang karyawan
dengan chourei = apel pagi, yang tidak baru tetaplah seorang kohai bagi rekan
hanya bertujuan untuk mempersiapkan kerjanya yang telah lebih dahulu bekerja di
mengenai apa yang harus dicapai pada hari perusahaan tersebut. Dalam beberapa kasus,
tersebut, namun juga menanamkan filosofi A merupakan senior dari B ketika masih
perusahaan dengan membaca motto dan bersama-sama menempuh pendidikan
slogan perusahaan bersama-sama. Universitas. B terlebih dahulu bergabung
Disisi lain, perusahaan wajib dalam Perusahaan X, setahun kemudian A
memberikan penghargaan dan kemudahan juga bergabung dalam perusahaan X. Maka,
bagi para karyawannya, diantaranya adalah meskipun B jauh lebih junior dari sisi usia
dengan cara pemberian tunjangan anak dan dibandingkan dengan A, akan tetapi dalam
istri, kemudahan mencicil rumah, tunjangan struktur perusahaan A adalah junior dari B.
pendidikan anak, sampai pada jaminan hari Dari sisi perusahaan, sistem ini
tua. efektif dalam menanamkan nilai-nilai
keluarga dalam perusahaan, serta loyalitas
2.2.2 Shushin Koyo Seido dan Nenko karyawan terhadap perusahaan. Meskipun
Joretsu sistem ini memiliki kelebihan seperti adanya
Shushin Koyo Seido dapat diartikan rasa aman dari karyawan akan kenaikan gaji,
sebagai sistem kerja seumur hidup, yaitu namun sistem ini juga memiliki kekurangan
seseorang akan bekerja di suatu perusahaan yaitu dari sisi peningkatan motivasi kinerja
mulai dari lulus Universitas sampai dengan karyawan.
masa pensiun. Sistem ini booming ketika Dalam perkembangannya, sistem ini
Jepang mengalami masa kejayaan ekonomi. mempunyai sisi negative diantaranya
Dengan tumbuhnya banyak perusahaan besar menurunkan motivasi bagi para pekerja
khususnya manufaktur yang membutuhkan untuk dapat meningkatkan levelnya sehingga
banyak sumber daya manusia handal, beberapa perusahaan tidak lagi melaksanaan
perusahaan Jepang sadar bahwa karyawan sistem ini dan mulai menetapkan sistem
adalah asset perusahaan yang harus dididik, promosi dan kenaikan gaji berdasarkan
dilatih sehingga dapat memberikan kinerja untuk meningkatkan lagi kinerja para
kontribusi pada perusahaan. Meskipun pada karyawan.
akhirnya sistem ini mengalami pergeseran,
pasca resesi ekonomi yang melanda Jepang 2.2.3 Kigyo betsu kumiai
di tahun 1990, ketika banyak perusahaan
yang merubah sistem perekrutan karyawan Selain metafora keluarga dalam
dari regular ke non-regular, akan tetapi bagi perusahaan, serta lifetime employment,
beberapa perusahaan Jepang sistem ini masih hubungan antara pekerja dan perusahaan juga
dijalankan. semakin diperkuat dengan adanya serikat
Nenko Joretsu adalah sistem pekerja. Kigyo betsu kumiai adalah serikat
penggajian berdasarkan senioritas. Sistem ini pekerja berbasis korporasi menjamin setiap
menjamin bahwa gaji seseorang sudah pekerja yang bekerja dalam perusahaan.
ditetapkan sesuai masa kerjanya dalam Anggota dari serikat pekerja terdiri
perusahaan. Dengan sistem ini, maka dari semua lapisan dalam perusahaan mulai
perusahaan menjamin harmoni yang tetep dari level manajemen sampai dengan non-
terjaga antara pekerja baru dengan pekerja manajemen. Serikat pekerja melindungi dan
senior. menyuarakan aspirasi dari para pekerja,
bahkan pada beberapa perusahaan besar
serikat pekerja seringkali bertindak seperti
“pihak manajemen”. Serikat pekerja

26 Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi
bekerjasama dengan pihak manajemen Grafik 1. Perbandingan jumlah jam kerja
perusahaan perihal peningkatan Jepang dan negara-negara lain ( 2000-2007)
produktivitas, inovasi teknologi dan
restrukturisasi organisasi.
Mayoritas anggota dari serikat
pekerja adalah pekerja dari perusahaan besar.
Sedangkan pekerja dari perusahaan kecil
umumnya tidak tergabung dalam serikat
pekerja sehingga tidak dapat menyuarakan
pendapat mereka.

2.3 KONSEKUENSI ETOS KERJA


JEPANG

Setelah kita mengetahui nilai-nilai


budaya yang ditanamkan dalam perusahaan
Jepang maka selanjutnya kita akan
membahas mengenai konsekuensi dari etos
kerja Jepang. Disiplin waktu, dedikasi tinggi,
dan penuh target adalah cerminan dari
pekerja perusahaan Jepang.
Perusahaan sangat menyadari bahwa Pada grafik diatas merupakan
pekerja adalah asset yang sangat penting perbandingan jumlah jam kerja antara Jepang
untuk meningkatkan dan mengembangkan dan beberapa negara lain kurun waktu tahun
perusahaan itu sendiri. Tuntutan pekerjaan 2000 sampai dengan 2007. Pada grafik
yang dibebankan pada para pekerja seringkali tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah jam
diiringi dengan tingginya konsekuensi yang kerja di Jepang lebih tinggi jika
harus dibayar oleh pekerja itu sendiri. Hal ini dibandingkan dengan negara lain. Meskipun
sebenarnya bukan hanya terjadi di Jepang, jumlah jam kerja tersebut cenderung
namun juga di beberapa negara maju lainnya. mengalami penurunan, akan tetapi jumlahnya
Maka berikut ini penulis akan mencoba masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan
menjelaskan mengenai konsekuensi dari etos negara lain.
kerja yang ditanamkan pada perusahaan Undang-Undang Standar Tenaga
Jepang. Kerja yang diamandemenkan pada tahun
1993 menetapkan bahwa jumlah jam kerja di
2.3.1 Service Overtime Jepang adalah 40 jam / minggu atau 8 jam /
Pekerja Jepang dikenal sebagai hari. Dalam kenyataannya, mereka seringkali
pekerja keras, hal ini dapat terlihat dari bekerja melebihi jam kerja yang telah
tingginya jumlah jam kerja pekerja Jepang ditetapkan dalam Undang-undang, bahkan
jika dibandingkan dengan negara-negara lain. seringkali pulang larut malam, atau masuk
Perusahaan tidak menganggap hal tersebut pada hari sabtu dan minggu tanpa dihitung
sebagai overtime, tetapi dinilai sebagai lembur.
bentuk komitmen akan loyalitas karyawan Tingginya tuntutan dari perusahaan
terhadap perusahaan. Dengan demikian agar mereka dapat bekerja sesuai dengan
pekerja tidak mendapatkan penghargaan target, menimbulkan fenomena yang
lebih atas jam kerja yang melebihi standar kemudian dikenal dengan Service Overtime
yang ada. atau Sa-bisu Zangyou. Pada sebuah survey
yang dilakukan oleh Japan Institue Labor di
tahun 2002, golongan usia yang paling
banyak melakukan Service Overtime adalah

Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X 27


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

mereka yang masih tergolong usia produktif Seorang pekerja haruslah


dari 24 sampai dengan 34 tahun. Lalu pada bertanggungjawab atas pekerjaannya,
usia 34 tahun ke atas cenderung mengalami sehingga seringkali melakukan service
penurunan. overtime bahkan membawa pekerjaannya ke
rumah.
Grafik 2. Persentase Service Overtime
berdasarkan usia pekerja 2.3.2 Karoshi

Konsekuensi lain dari etos kerja


Jepang yang harus dihadapi oleh pekerja
Jepang adalah Karoshi. Dalam bahasa
Jepang, Karoshi 〔 過 労 死 〕 Berasal dari
kanji 過 yang berarti berlebihan, kanji 労
yang memiliki arti bekerja dan kanji 死 ang
berarti meninggal atau mati. Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa Karoshi
adalah fenomena dimana kematian seseorang
yang diakibatkan oleh kelelahan akibat kerja
berlebihan.
Istilah ini muncul pada tahun 1970-
an, dan tercatat pada tahun 1978 terdapat 17
kasus karoshi. Media massa
mengkategorikan istilah ini untuk
menjelaskan kondisi seseorang yang
Dalam wawancara yang dilakukan meninggal tiba-tiba akibat terlalu lelah
oleh Yomiuri Shinbun kepada sejumlah bekerja. Penyebab utama dari karoshi
pekerja yang melakukan Service Overtime, umumnya adalah serangan jantung, stroke,
mengatakan bahwa alasan mereka menjalani yang diakibatkan dari terlalu lelah dan lama
Service Overtime adalah karena tuntutan dari bekerja. Dengan kondisi perekonomian yang
perusahaan yang begitu tinggi, sehingga akhir-akhir ini mengalami penurunan,
tidak dapat menyelesaikan target pada saat masyarakat Jepang menganggap bahwa
jam kantor telah berakhir pada hari tersebut. untuk memulihkan perekonomian kembali,
Profersor Ogura dari Waseda University maka mereka harus bekerja lebih giat lagi.
mengutarakan pendapatnya bahwa hal Dengan demikian fenomena karoshi ini
tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa menjadi suatu permasalahan sosial yang
pekerja Jepang tidak bekerja secara efisien, terjadi di masyarakat Jepang khususnya di
namun seringkali pekerja tidak dapat antara para pekerja Jepang.
menyelesaikan pekerjaannya karena harus Awalnya karoshi banyak terjadi pada
menghadiri meeting perusahaan. Dalam mereka yang bekerja di sektor non
lingkungan bisnis Jepang, meeting tidak managerial seperti supir truk, buruh dari
hanya berarti untuk membuat keputusan, pedesaan. Namun, akhir-akhir ini kasus
namun juga sebagai sarana bertukar karoshi banyak juga ditemukan pada jenis
informasi yang akan membantu dalam pekerjaan managerial.
membuat keputusan.
Overtime umumnya diajukan kepada
atasan, namun seringkali bawahan tidak
mengajukan overtime kepada atasan mereka.
Supervisor dan manager baru mengetahuinya
setelah bawahan telah melakukan overtime.

28 Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi
Tabel. 1. Jumlah kasus Karoshi terkait jenis bekerja selama 34 jam berturut-turut
pekerjaan dalam lima bulan terakhir.
Apabila kita melihat contoh kasus
199 199 199 200 200 untuk pengkategorian karoshi, maka dapat
7 8 9 0 1 terlihat bahwa jumlah jam kerja adalah salah
Specialist 10 10 12 15 25 satu yang menjadi bahan pertimbangan
Manageria 27 26 20 20 26 apakah kematian seseorang dapat
l dikategorikan dalam Karoshi atau tidak.
Clerical 14 21 15 16 18 Kasus karoshi pertama adalah pada
Sales 1 3 5 3 5 tahun 1969 yang menimpa seorang pekerja di
Service 0 3 2 3 6 perusahaan surat kabar di bagian pengiriman,
Driver 9 7 12 12 30 meninggal akibat penyakit stroke. Media
Engineer 10 18 8 6 20 massa mulai mengangkat fenomena ini pada
Other 2 2 7 10 13 tahun 1980 setelah seorang pekerja yang
Total 73 98 81 85 143 bekerja di bagian top manajemen meninggal
Sumber: Ministry of Health, Labour and dunia tanpa adanya gejala penyakit.
Welfare Berdasarkan MHLW, pada tahun
2002 jumlah kematian yang disebabkan oleh
Secara hukum, karoshi sama seperti jam kerja yang panjang sejumlah 317
kecelakaan pekerjaan, dan bisa diajukan laporan, dan mengalami peningkatan jika
kepada pihak asuransi, tapi kenyataannya dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sulit membuktikan suatu kematian sebagai yaitu hanya mencapai angka 143 kasus.
karoshi. Hal tersebut dapat terlihat dari Selain karoshi yakni kematian yang
persentase jumlah kasus kematian yang disebabkan oleh kelelahan akibat terlalu lama
masuk dalam kategori Karoshi, yakni 1.498 bekerja, adapula jenis kematian yang
kasus yang diajukan, hanya 244 kasus yang disebabkan oleh tekanan pekerjaan sehingga
dianggap karoshi. menimbulkan tindakan untuk mengakhiri
Dalam Enforcement Regulations of hidupnya dari pekerja itu sendiri, yang
the Labour Standar Law, dijelaskan jenis- kemudian dikenal dengan istilah Karojisatsu.
jenis kasus yang dapat dikategorikan sebagai Seperti halnya karoshi, karojisatsu
karoshi. juga menjadi permasalahan yang terjadi
1. Mr A bekerja di sebuah perusahaan dalam masyarakat Jepang. Tuntutan
pengolahan makanan dengan jam kerja pekerjaan yang tinggi, seringkali
110 jam per minggu, dan meninggal menimbulkan kondisi dimana para pekerja
akibat serangan jantung pada usia 34 mengalami stress. Dalam bisnis Jepang,
tahun. Jenis kematian pada kasus ini pencapaian seorang pekerja dilihat dari
termasuk dalam kategori Karoshi. tercapainya target pekerjaan. Dengan
2. Mr B seorang pengemudi bis, bekerja
demikian, jika seseorang tidak mencapai
dengan jam kerja 3000 jam per tahun. target dalam pekerjaannya, maka akan
Tidak memiliki satu pun hari libur dalam dianggap tidak focus dalam bekerja.
15 tahun terakhir sebelum akhirnya Beberapa faktor yang dapat menimbulkan
meninggal karena penyakit stroke pada stress yang berakibat bunuh diri diantara lain
usia 37 tahun. :
3. Mr C bekerja pada sebuah perusahaan a. Jumlah jam kerja yang panjang, seringkali
percetakan besar di Tokyo. Sebelum seorang pekerja harus pulang larut malam
meninggal akibat penyakit stroke pada atau masuk di hari sabtu dan minggu.
usia 58 tahun, memiliki catatan jam kerja Ketika Jepang mengalami krisis ekonomi,
sebanyak 4320 jam per tahun. dan merubah sistem perekrutan karyawan,
4. Ms D, seorang perawat berusia 22 tahun hal tersebut bukan berarti menunjukkan
meninggal akibat serangan jantung setelah bahwa bisnis perusahaan menurun.

Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X 29


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi

Perusahaan seringkali membebankan banyak. Hal tersebut mengingat bahwa yang


pekerjaan kepada karyawan. Dengan kata dikategorikan sebagai Karoshi umumnya
lain, beban pekerjaan yang harus akan memperhatikan elemen jam kerja
ditanggung oleh seorang pekerja akan seseorang sebelum meninggal, tempat
meningkat jika dibandingkan dengan kejadian ketika seseorang tersebut
beban pekerjaan sebelumnya. dinyatakan meninggal, dan waktu kejadian
b. Perusahaan Jepang seringkali memberikan apakah pekerja tersebut meninggal persis
bebean pekerjaan yang tinggi pada para setelah bekerja atau tidak.
pekerjanya. Bahkan pasca resesi ekonomi
yang melanda Jepang di tahun 1990-an, 3. SIMPULAN
perusahaan meningkatkan ekspektasi dan
mengharapkan agar karyawannya dapat Tingginya etos kerja Jepang yang
bekerja lebih giat lagi. ditanamkan pada pekerja tercermin dalam
c. Konflik internal antar karyawan yang perilaku pekerja itu sendiri. Diantaranya
seringkali menimbulkan bullying. adalah tingginya jumlah jam kerja jika
Adapula konflik internal antar karyawan, dibandingkan dengan negara lainnya, disiplin
sehingga salah seorang secara tiba-tiba waktu bekerja, dedikasi pada perusahaan, dan
diminta untuk mengundurkan diri. loyalitas dalam bekerja.
d. Tekanan yang berlebihan bagi para Dalam mendidik dan membentuk
pekerja yang bekerja di posisi tengah- pekerja, perusahaan umumnya akan
tengah antara karyawan dengan menanamkan nilai budaya serta doktrin akan
perusahaan ( top managemen ). Bagi nilai-nilai perusahaan kepada para pekerja.
mereka yang berada di posisi pekerjaan Diantaranya adalah dengan memasukkan
seperti ini akan mendapatkan tekanan dari unsur keluarga pada perusahaan, sehingga
kedua belah pihak, yaitu karyawan dan para pekerja menyadari bahwa perusahaan
perusahaan ( top managemen ). adalah keluarga itu sendiri. Bagaimana
Berdasarkan laporan dari Health, mereka harus bekerja penuh dedikasi adalah
Labor and Welfare Ministry, pada tahun untuk meningkatkan perusahaan itu sendiri.
2013 sebanyak 1409 orang mendaftarkan diri Akan tetapi, bentuk loyalitas dari para
mereka untuk mengajukan kompensasi atas pekerja juga diiringi oleh konsekuensi dari
penderitaan yang diakibatkan oleh depresi di yang harus diterima oleh pekerja, diantaranya
tempat bekerja sebagai akibat dari tingginya adalah Service Overtime dan Karoshi.
jam kerja. Jumlah tersebut meningkat 152 Jumlah jam kerja yang begitu panjang
kasus jika dibandingkan dengan tahun melebihi standar yang telah ditetapkan
sebelumnya, namun hanya 436 yang seringkali merupakan bentuk loyalitas dan
mendapatkan kompensasi. tanggungjawab pekerja terhadap perusahaan.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi Fenomena ini menjadi permasalahan
tingginya jumlah orang yang mengajukan yang harus dihadapi oleh masyarakat Jepang
kompensasi atas kerusakan mental dan dan juga tantangan bagi perusahaan Jepang
kematian yang diakibatkan dari tingginya dalam mengelola sumber daya manusianya.
jumlah jam kerja, diantaranya adalah tekanan Metafora keluarga seringkali dijadikan dasar
dalam bekerja, pelecehan seksual, dan untuk meningkatkan loyalitas dan kinerja
bullying di tempat bekerja. pekerja terhadap perusahaan. Budaya
Meskipun jumlah keluarga yang korporasi yang tercermin dalam etos kerja
mengajukan kompensasi atas kematian yang Jepang, dilaksanakan semata-mata demi
disebabkan oleh terlalu banyak bekerja meningkatkan keuntungan perusahaan tanpa
begitu tinggi, namun jumlah kasus yang memperhatikan konsekuensi yang harus
dianggap sebagai Karoshi jumlahnya tidaklah dihadapi oleh pekerja itu sendiri.

30 Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X


Izumi, Volume 4, No 2, 2015
p-ISSN: 2338-249X
Tersedia online di http://ejournal.undip.ac.id/index.php/izumi
DAFTAR PUSTAKA

_______. 1986. Salaryman in Japan. Japan: www.eurofound.europe.eu


Japan Travel Bureau, Inc www.ilo.org/safework/info/publications/wcm
Nakane, Chie. 1970. Japanese Society. s_211571/lang-en/index.htm
London : Weidenfield & Nicolson www.jil.go.jp/archives/bulletin/documents/2
Sugimoto, Yoshio. An Introduction to 00302.pdf )
Japanese Society. Cambridgr
www.yomiuri.co.jp/adv.wol/dy/option/societ
University Press. 2003 y_120206.html
http://www.amrc.org.hk/content/karoshi-and- http://www.jil.go.jp/english/reports/documen
karojisatsu-japan) ts/jilpt-reports/no.7.pdf

Copyright @2015, IZUMI, ISSN 2338-249X 31

Anda mungkin juga menyukai