Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS INDONESIA

UJIAN TENGAH SEMESTER


MATA KULIAH HUKUM ACARA PIDANA

oleh:
Marion Mutiara Matauch
NPM 1906385613
Hukum Acara Pidana Reguler B

FAKULTAS HUKUM
DEPOK, 2021
PENDAHULUAN

Konkritnya, hukum acara pidana adalah pasal-pasal ketentuan prosedural yang


dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur tentang acara peradilan pidana. 1
Sedangkan secara ketentuan normatif, hukum acara pidana adalah arti kecil dari
Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai konsep hukum secara dasar teori, filosofi, dan
konsep yang memiliki arti yang lebih luas dari hukum acara pidana. Dalam
perkembangannya terkhusus di Indonesia, pengertian hukum acara pidana diuraikan
oleh Luhut M.P Pangaribuan bahwa hukum acara pidana adalah rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana aparatur penegak hukum yang sudah
ditentukan bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum
pidana.2 Sedangkan, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa hukum acara pidana
berhubungan erat dengan adanya hukum pidana sehingga merupakan suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara badan pemerintah berkuasa yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan yang harus bertindak untuk mencapai tujuan negara.3
Dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pelaksanaan hukum acara pidana
berorientasi pada suatu sistem kerjasama aparatur, yakni penyidik, penuntut umum,
dan hakim untuk memberantas maupun mencegah kejahatan di masyarakat.
Sejauh ini, konsep SPP yang dianut di Indonesia adalah perkara pidana
merupakan suatu sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa
itu akan diselesaikan oleh negara (pemerintahan) sebagai wakil dari publik. Konsep
ini terpengaruh dari civil law system yang merupakan rujukan dari hukum acara
pidana di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga menganut sistem adversarial yang
bertitik tolak dari suatu doktrin bahwa subjek mempunyai kedudukan yang sama

1 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana (Surat Resmi Advokat di Pengadilan),
(Jakarta: Paspas Sinar Sinanti, 2013), hlm. 13
2 Ibid.
3 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sumur
Bandung, 1967), hlm. 13.
dengan negara. Sistem ini memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia
setinggi-tingginya sehingga meminimalisir kemungkinan dituntutnya orang yang
nyata-nyata tidak bersalah. Hal itu sebenarnya sudah menjadi spirit dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia (KUHAP). Fungsi, wewenang,
dan kekuasaan yang diberikan oleh KUHAP kepada masing-masing penegak hukum,
diseimbangkan dengan pemberian hak yang sah dan legal kepada setiap tersangka
atau terdakwa.4 Hal ini harus diresapi oleh semua jajaran aparat penegak hukum agar
seluruh tindakan yang diberikan benar-benar sesuai dengan tujuan hukum pidana itu
sendiri, yaitu mencegah dan memberantas kejahatan di masyarakat. Oleh karena itu,
hadirnya lembaga praperadilan di indonesia timbul karena dorongan bahwa tidak
tersediannya lembaga yang memiliki fungsi untuk mengawasi dan menilai upaya noa
paksa yanin HAM di dalam HIR.

PERBANDINGAN PRAPERADILAN INDONESIA DENGAN FILIPINA

Sumber hukum acara pidana di negara Filipina adalah konstitusi, revisi


hukum pidana tahun 1930, Peraturan Pengadilan Baru tahun 1964, undang-undang
khusus, dan perintah presiden tertentu dan surat perintah. Hal tersebut tentunya
mengatur seluruh pembelaan, praktik, dan prosedur semua pengadilan baik secara
konsep dan praktik. Sama halnya seperti Indonesia yang berusaha melindungi Hak
Asasi Manusia dalam setiap proses dalam sistem peradilan pidananya, hak-hak
terdakwa berdasarkan hukum Filipina dijamin berdasarkan Pasal 3 konstitusi 1987.
Kemudian sistem peradilan pidana filipina juga mengakui adanya proses pra
peradilan (pre-trial) yang diatur oleh Criminal Procedure of Philipine tepatnya Rule
118 dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut;
1. Konferensi Pra-peradilan (Pre-Trial Conference):5

4 M. Yahya Harahap, S.H.,”Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


(Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika,2000), hlm 8.
a. Pembayaran atau kesepakatan, penentuan dari tanggung jawab sipil.
b. Penilaian bukti, penetapan fakta-fakta, pelepasan hak, penentuan dari tanggung
jawab sipil.
2. Perintah Pre-Trial:
a. Putusan.
b. Persidangan (Trial).

Ada dua ciri sistem Peradilan Pidana Filipina yang membuat praperadilan
pertama gagasan tentang "pelanggaran yang tidak dapat dijamin" yang merupakan
kejahatan modal atau kejahatan keji yang diidentifikasi oleh Kongres Filipina (Narag,
2017). Kejahatan seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan perdagangan narkoba,
misalnya, dianggap sebagai pelanggaran yang tidak dapat dijamin. Hakim pengadilan
adalah diamanatkan oleh hukum untuk secara otomatis menolak jaminan dalam jenis
pelanggaran ini. Sedangkan tergugat diberikan pemulihan dengan mengizinkan
mereka untuk mengajukan petisi untuk jaminan, petisi ini harus dilakukan secara
terbuka pengadilan dan harus didengar serta diperdebatkan tentang manfaat yang
serupa dengan pengadilan besar-besaran.6 Tentunya dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia terutama yang diatur dalam KUHAP tidak memberikan pengecualian
terhadap perkara tindakan pidana apa yang dapat diajukan dalam praperadilan.
KUHAP lebih memilih untuk menjadikan dasar kewenangan penyidik dan
penyelidik atas upaya paksa sebagai alasan dapat diterimanya permohonan dari
terdakwa/tersangka kepada praperadilan itu atau ditolaknya oleh pengadilan.

5 Ramon Mabutas, Jr., Criminal Justice System in Philippines, dalam Criminal Justice
Profiles of Asia: Investigation, Prosecution, and Trial, United Nations Asia and Far East Institute,
Tokyo, 1995.
6 Raymund Narag, “Exploring the consequences of prolonged pretrial incarceration: evidence
from a local jurisdiction in the Philippines”, Jurnal Komparasi dan Pelaksanaan Hukum Pidana.
https://www.rappler.com/voices/thought-leaders/analysis-lengthy-pretrial-detention-philippines-little-
dark-secret
Kemudian, dalam SPP Filipina praperadilan merupakan hal yang wajib dalam
kasus pidana.7 Sedangkan dalam SPP Indonesia, upaya praperadilan bukanlah hal
yang wajib dilakukan melainkan lebih memberikan hak kebawa tersangka/terdakwa
apabila selama proses dari penyelidikan hingga penetapan tersangka adakah hak-hak
asasi manusia yang dilanggar atau tidak sesuai dengan prosedural KUHAP. Urutan
proses praperadilan di Filipina mempertimbangkan hal-hal berikut:
(a)tawar-menawar pembelaan;
(b) penetapan fakta;
(c) penandaan untuk identifikasi bukti para pihak;
(d) pengabaian keberatan untuk diterimanya bukti;
(e) modifikasi urutan persidangan jika terdakwa mengakui dakwaan tetapi
mengajukan pembelaan yang sah; dan
(f) hal-hal lain yang akan mendorong persidangan yang adil dan cepat dari aspek
pidana dan perdata dari kasus tersebut.
Dalam, Perjanjian pra-sidang di Filipina, semua perjanjian atau pengakuan
yang dibuat atau dimasukkan selama konferensi pra-sidang harus dikurangi secara
tertulis dan ditandatangani oleh terdakwa dan penasihat hukum, jika tidak, mereka
tidak dapat digunakan untuk melawan terdakwa. Perjanjian yang mencakup hal-hal
yang disebut dalam bagian 1 aturan ini harus disetujui oleh pengadilan.8 Jika
penasihat terdakwa atau jaksa penuntut tidak hadir dalam konferensi pra-sidang dan
tidak menawarkan alasan yang dapat diterima atas kurangnya kerjasamanya,
pengadilan dapat menjatuhkan sanksi atau hukuman yang pantas. Sedangkan dalam
praperadilan di Indonesia, praktek peradilan dilakukan dengan pendaftaran di
kepaniteraan, pemeriksaan perkara praperadilan sebagaimana yang diatur Pasal 82

7 Criminal Procedure of Philipine https://www.lawphil.net/courts/rules/rc_110-


127_crim.html)
8 Filiphines, THE REVISED RULES OF CRIMINAL PROCEDURE,
https://www.lawphil.net/courts/rules/rc_110-127_crim.html
dan 83 KUHAP. Praperadilan di Indonesia juga dilaksanakan secara cepat dan
selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. Kemudian,
sama halnya di Filipina, pemeriksaaan hakim praperdilan di Indonesia juga
mendengar keterangan baik dari tersangka ataupun pemohon yang diwakili oleh
kuasanya masing-masing. Terakhir, hasil pemeriksaan praperadilan dituangkan dalam
suatu putusan.
Dalam, Perintah pra-sidang Filipina. Setelah konferensi pra-sidang,
pengadilan akan mengeluarkan perintah yang menyebutkan tindakan yang diambil,
fakta yang ditetapkan, dan bukti yang ditandai. Perintah tersebut akan mengikat para
pihak, membatasi persidangan pada hal-hal yang tidak diselesaikan, dan mengontrol
jalannya tindakan selama persidangan, kecuali diubah oleh pengadilan untuk
mencegah ketidakadilan yang nyata. Proses tersebut memiliki kemiripan di SPP
Indonesia bahwa hakim di pengadilan dalam peradilan pidana bertindak aktif dengan
memberikan perintah permintaan tindakan, fakta, bukti, dan juga memimpin atau
mengontrol jalannya persidangan praperadilan.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, didapatkan kesimpulan mengenai perbedaan
antara pengaturan mengenai ___ di Indonesia dengan ___. Salah satu hal yang
mempengaruhi juga disebabkan oleh sistem hukum yang dianut antara kedua
Indonesia dan __ berbeda.

JAWABAN KASUS

a.Berdasarkan kronologi kasus hukum acara pidana khususnya dalam hal upaya
paksa, terdapat sejumlah permasalahan hukum, yakni sebagai berikut:
A. PENANGKAPAN
Terdapat dua subjek hukum yang memiliki pengaturan yang berbeda
dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012)
Pelaku atas inisial “B” yang masih berusia 12 tahun dikategorikan sebagai
anak yang berkonflik dengan hukum. Pada Pasal 3 UU 11/2021 proses
peradilan pidana pelaku B dipisahkan dari orang dewasa dengan melakukan
sidang Anak maka terdapat ketentuan yang berbeda dengan pelaksanaan
peradilan pidana untuk pelaku A yang diatur oleh KUHAP.
Penangkapan Pelaku A
Berdasarkan pasal 1 angka 20 KUHAP penangkapan didefinisikan
sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara tersangka
atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan/atau peradilan. Selanjutnya, Pasal 36 Perkap Nomor
14 Tahun 2012, disebutkan tindakan penangkapan dilakukan dengan
pertimbangan telah adanya bukti permulaan yang cukup dan tersangka telah
dipanggil dua kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.
Berdasarkan Putusan MK bernomor 21/PUU-XII/2014, syarat minimum
penangkapan adalah apabila ditemukannya dua alat bukti dan pemeriksaan
calon tersangka untuk transparansi. Maka, penangkapan yang dilakukan oleh
Polda Metro Jaya adalah sah secara hukum apabila sebelumnya sudah
ditemukan dua alat bukti berupa laporan polisi atau alat bukti yang sah yang
menjadikan pelaku diduga keras melakukan tindak pidana dan sebelumnya
harus dilaksanakan juga pemeriksaan calon tersangka. Dalam penangkapan
juga harus dilakukan dengan melakukan pemanggilan terlebih dahulu,
memperlihatkan surat tugas penangkapan dan salinan tugas perintah
penangkapan yang ditembuskan kepada keluarga tersangka setelah
penangkapan dilakukan sebagaimana yang diatur pada pasal 18 KUHAP.
Selain itu, pemeriksaan (interograsi) yang dilakukan dihari yang sama
merupakan tindakan yang sah demi hukum. Penggeledahan dilaksanakan
dalam rangka mencari dan menemukan barang bukti dan/atau penangkapan
tersangka. Prosedur penggeledahan harus memperoleh surat izin ketua
pengadilan negeri setempat, surat perintah penggeledahan, kehadiran saksi
dalam penggeledahan rumah, pembuatan berita acara penggeledahan.
Kemudian, dalam menggeledah rumah pun harus dalam kondisi menunggu
tersangka keluar dari dalam rumah. Namun dalam kasus ini tidak dijelaskan
apakah penyidik telah melaksanakan prosedur penggeledahan tersebut. Sebab
untuk sampai ke tahap penahanan sebagaimana pasal 21 KUHP harus
berdasarkan kekhawatiran terhadap seorang terdakwa bahwa diduga keras
akan melakukan tindak pidana, melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan/ atau mengulangi tindak pidana. Sedangkan dalam kasus
tersebut tidak dijelaskan secara lebih lanjut apakah penyidik telah memenuhi
syarat tersebut dan melakukan prosedur penahanan seperti menggunakan surat
perintah dan penyampaian salinan perintah atau tidak. Untuk jangka waktu
penahanan, khususnya dalam tahap penyidikan, penyidik berwenang
melakukan penahanan maksimal waktu 20 hari dan dapat diperpanjang oleh
penuntut umum selama 40 hari. Untuk tahap penuntutan, penuntut umum
berwenang melakukan penahanan untuk paling lama 20 hari dan dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 30 hari. Akumulasi
seluruh total penahan tersebut hingga penuntutan, hanya selama 70 hari. Maka
dari itu, penyidikan yang melakukan penahanan oleh tersangka selama 100
hari tentunya melanggar Pasal 24, Pasal 25 KUHAP. Kemudian, penahaanan
pelaku B yang masih dibawah umur juga melanggar pasal 32 UU 11/2012
yang menyatakan bahwa penahan terhadap anak hanya dapat dilakukan
dengan syarat anak telah berumur 14 tahun.
Selama penyidikan dan penuntutan, diketahui tersangka tidak pernah
didampingi dan dibantu oleh siapa pun. Mengingat bahwa terdapat tersangka B yang
masih bawah umur, tindak tersebut melanggar Pasal 6 dan Pasal 23 UU 11/2012
bahwa setiap anak dalam proses peradilan anak berhak memperoleh bantuan hukum
secara efektif, advokasi sosial, dan pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercaya oleh anak.

b.Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah praperdilan sebagaimana yang diatur
pada Bab X pasal 1 angka 10 KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang
menyatakan bahwa terdakwa atau tersangka dapat melakukan permintaan kepada
Pengadilan Negeri atas kewenangan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan/atau penahanan. Sebab terdapat kekurangan pemenuhan
persyaratan prosedural dalam hal penangkapan, penggeledahan dan penyitaan dan
penahanan. Dan juga terlanggarnya jangka waktu penahanan yang dilakukan oleh
penyidik di tingkat penyidikan dan penuntutan dan tidak dilakukannya proses
peradilan anak untuk pelaku yang masih dibawah umur. Maka berdasarkan Pasal 79
KUHAP, terdakwa/tersangka melalui kuasa hukumnya dalam memberikan surat
rersmi permintaan pemeriksaan dipengadilan serta menyebutkan alasan-asalan untuk
mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan.

c. Berdasarkan Pasal 45A ayat (2) Undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang
peubahan atas undang-undang noor 5 tahun 2004 tentang MA dan Lampiran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, upaya peninjauan kembali dan tidak dapat
diajukan kasasi terhadap putusan praperadilan dilarang. Dan juga mengingat apabila
perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, kewenangan pengadilan negeri
untuk memeriksa permohonan praperadilan menjadi gugur sebagaimana pasal 82 ayat
(1) KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2016. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana & Kitab Undang
- Undang Hukum Acara Pidana. Cet. 20. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harahap, Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Cet 15. Jakarta: Sinar Grafika.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana.,
Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia.
Pangaribuan, Luhut. 2015. Hukum Acara Pidana (Surat Resmi Advokat di
Pengadilan). Cet 1. Jakarta: Paspas Sinar Sinanti.
Raymund Narag, “Exploring the consequences of prolonged pretrial
incarceration: evidence from a local jurisdiction in the Philippines”, Jurnal Komparasi
dan Pelaksanaan Hukum Pidana. https://www.rappler.com/voices/thought-
leaders/analysis-lengthy-pretrial-detention-philippines-little-dark-secret
Filiphines, THE REVISED RULES OF CRIMINAL PROCEDURE,
https://www.lawphil.net/courts/rules/rc_110-127_crim.html
Criminal Procedure of Philipine
https://www.lawphil.net/courts/rules/rc_110-127_crim.html)
Ramon Mabutas, Jr., Criminal Justice System in Philippines, dalam Criminal Justice Profiles
of Asia: Investigation, Prosecution, and Trial, United Nations Asia and Far East Institute, Tokyo,
1995.

Anda mungkin juga menyukai