Anda di halaman 1dari 52

Topik 1

GAMBARAN UMUM

TENTANG HUKUM KETENAGAKERJAAN

a. Pengertian Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja, ditambah awalan
“ke” dan akhiran “an”. Dengan demikian ketenagakerjaan berarti hal-hal yang
berkaitan dengan tenaga kerja. Pasal 2 ayat (2) UU. No. 13 Tahun 2013,
menyatakan, bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang
sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik didalam maupun diluar
hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat
Secara umum, tenaga kerja adalah : “setiap orang yang mampu bekerja,
kecuali :
a. Anak-anak di bawah umur 14 tahun;
b. Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh
c. Orang yang kerena sesuatu hal tidak mampu bekerja.

Ad. 1. Anak-anak di bawah umur 14 tahun.

             Anak-anak di bawah umur 14 tahun berarti tidak tergolong atau tidak termasuk
tenaga kerja, tetapi dalam hal-hal tertentu oleh Undang-undang No. 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan anak-anak dapat dipekerjakan dengan beberapa ketentuan yang
akan diuraikan pada bab VI dari buku ini.

Ad. 2. Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh.

             Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh maksudnya
adalah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas. Namun kita ketahui di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ada jenis Sekolah
Kejuruan, yang mana sekolah ini pada kelas II atau kelas III (terakhir) selalu
mengadakan Praktik Kerja Lapangan Bagi Siswanya. Praktik Kerja Lapangan bisa
dilakukan di instansi pemerintahan dan bisa juga di perusahaan-perusahaan swasta.
Disini anak anak sekolah dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan syarat:

a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan
dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Ad. 3. Orang yang kerena sesuatu hal tidak mampu bekerja.

             Orang yang karena sesuatu hal tidak mampu bekerja maksudnya ada hal-hal
tertentu yang tidak memungkinkan orang yang bersangkutan melakukan hubungan
hukum/hubungan kerja dengan pihak lain. Misalnya karena yang bersangkutan :

1.     Sakit yang berkepanjangan atau cacad tetap total.

2.     Narapidana.

3.     Milisi, atau menjalankan perintah negara untuk menjalankan kedaulatan negara.

A. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan

Di dalam berbagai literatur dikemukakan, apa yang dimaksudkan dengan Hukum


Perburuhan adalah :[1]

1. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang
pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga
kerja dan tenaga kerja.
2. Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas
tanggung jawab dan risiko sendiri.
3. Menurut Soetikno, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi
ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-
keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja
tersebut.
4. Menurut Iman Sopomo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
5. Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan
dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.
6. Menurut N.E.H. Van Esveld, hukum perburuhan adalah tidak hanya meliputi
hubungan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi juga
meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung jawab dan
risiko sendiri.
7. Menurut Halim, hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak
buruh/pekerja maupun pihak majikan.
8. Menurut Daliyo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh
dan majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasa.
9. Menurut Syahrani, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh
dan majikan dengan perintah (penguasa).

             Dari berbagai pengertian di atas nampaknya ada 2 (dua) hal yang dapat
disimpulkan, yaitu :[2]

Pertama  :   Hukum Perburuhan hanya mengenai kerja sebagai akibat adanya hubungan
kerja. Berati bekerja di bawah pimpinan orang lain. Dengan demikian hukum
perburuhan tidak mencakup :
a.     Kerja yang dilakukan seseorang atas tanggungjawab dan risiko sendiri,

b.     Kerja yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang didasarkan tas
kesukarelaan.

c.     Kerja seorang pengurus atau wakil suatu perkumpulan.

Kedua     :   Peraturan peraturan-peraturan tentang keadaan penghidupan yang langsung


bersangkutpaut dengan hubungan kerja, di antaranya  adalah :

a.     Peraturan-peraturan tentang keadaan sakit dan haria tua buruh.

b.     Peraturan tentang keadaan hamil dan melahirkan anak bagi buruh wanita.

c.     Peraturan-peraturan tentang menganggur.

d.     Peraturan-peraturan tentang organisasi-organisasi buruh/majikan dan tentang


hubungannya satu sama lian dan hubungannya dengan Pemerintah dan sebagainya.

             Dengan demikian dari berbagai pengertian di atas, penyusun dapat


menyimpulkan, bahwa Hukum Perburuhan adalah serangkaian peraturan yang mengatur
tentang segala kejadian sewaktu angkatan kerja bekerja pada orang lain dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

             Unsur yang dapat kita petik dari rumusan yang penyusun kemukakan di atas
adalah sebagai berikut :

1.     Serangkaian peraturan.

2.     Segala kejadian

3.     Angkatan kerja yang bekerja pada orang lain.

4.     Dengan meneripah upah atau imbalan dalam bentuk lain.

 
1. Serangkaian peraturan.

Serangkaian peraturan yang dimaksudkan adalah sumber hukum dimana kita


menemukan peraturan yang berkaitan dengan masalah Hukum Ketenagakerjaan.
Peraturan-peraturan tersebut, bukannya terkodifikasi dalam satu buku, seperti Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, tetapi tersebar dalam berbagai perundang-undangan.

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikatagorikan sebagai sumber


Hukum Ketenagakerjaan, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.


(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3889)
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279).
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Undang-undang ini mencabut :
1) Undang-undang Nonor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan
Lembaran negara Nomor 1227);  dan
2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686);
3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
4) Undang Undang No. 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial.
5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention
No. 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For The
Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour (Konvensi ILO No. 182
Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak)
6) Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention
No. 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour (Konvensi ILO
Mengenai Penghapusan Kerja Paksa)
7) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 tentang  Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pada Mahkamah Agung.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan
Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit.
9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 2008 : Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2005 Tentang Tata Kerja dan
Susunan Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit.
10) Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2005 Tentang Tata Kerja dan Susunan
Organisasi Lembaga Kerjasama Tripartit
11) Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas PP No.
14 Tahun 1989 Tentang Penyelenggaraan Program Jamsotek.
12) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
13) Keppres No. 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan
14) Keppres No. 83 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 87
Mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk
Berorganisasi.
15) Kepmenakertrans : KEP. 355/MEN/X/2009  Tentang Tata Kerja Lembaga
Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional
16) Kepmenakertrans Nomor : KEP. 49/MEN/2004 Tentang Ketentuan Struktur
dan Skala Upah
17) Kepmennakertrans No. KEP. 268/ MEN/ XII/ 2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Tahun 2009
18) Kepmenakertrans No. KEP. 102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja
Lembur dan Upah Kerja Lembur.
19) Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/2004  Tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama
20) Kepmenakertrans No. KEP. 255/MEN/2003 Tentang Tata Cara
Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit.
21) Kepmenakertrans No.KEP.235/MEN/2003 Tentang Jenis - Jenis Pekerjaan
yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
22) Kepmenakertrans No. KEP. 234/MEN/2003 Tentang Waktu Kerja dan
Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Meneral pada Daerah
Tertentu.
23) Kepmenakertrans No. KEP. 233/MEN/2003 Tentang Jenis dan Sifat
Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus.
24) Kepmenakertrans No. KEP. 232/MEN/2003  Tentang Akibat Hukum
Mogok Kerja Yang Tidak Sah.
25) Kepmenakertrans No. KEP.231/MEN/2003 Tentang Tata Cara
Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

2.      Peraturan tersebut mengatur segala kejadian.

Segala kejadian yang dimaksudkan adalah kejadian yang berkaitan dengan masa
penempatan (bekerjanya) seseorang pada pihak lain. Selama seseorang bekerja pada
orang lain banyak hal yang bisa saja terjadi, misalnya :

a. yang bersangkutan sakit,


b. hamil/bersalin,
c. kecelakaan,
d. menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.
e. cuti, dan
f. diputuskan hubungan kerjanya. Dan lain lain kejadian yang perlu
pengaturannya dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Kesemuanya itu haruslah tercakup dalam peraturan ketenagakerjaan, yaitu hukum yang
mengatur tenaga kerja dalam masa bekerja.

3.   Adanya orang  yang bekerja pada pihak lain.

Bekerjanya seseorang pada orang lain maksudnya adalah seorang bekerja dengan
bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengurusnya, sehingga orang
tersebut harus tunduk pada orang lain yang memberikannya pekerjaan tersebut.

Orang yang bekerja pada pihak lain disebut dengan istilah : Pekerja/ Buruh. Istilah
Pekerja/Buruh muncul sebagai pengganti istilah Buruh. Pada zaman feodal atau zaman
penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang
pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain. Orang-orang ini oleh
Pemerintah Belanda dahulu disebut dengan Blue Collar (berkerah biru), sedangkan
orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang
bisa duduk di meja disebut dengan White Collar” (berkerah putih). Biasanya orang-
orang yang termasuk golongan ini adalah para bangsawan yang bekerja di kantor dan
juga orang-orang Belanda dan Timur asing lainnya[3].

             Istilah ”buruh” sejak itu selalu berkonotasi yang ”kurang mengenakkan”.
Menyebut ”buruh” selalu kita  beranggapan sebagai pekerja kasar yang tidak duduk di
depan meja. Padahal selama seseorang bekerja di perusahaan swasta, mereka akan
”dilindungi” oleh undang-undang di bidang ketenagakerjaan/Perburuhan, oleh karena
itu sekalipun seseorang itu ”berdasi” kalau bekerja di perusahaan swasta tetap dia
adalah ”buruh”

             Abdul R. Budiono[4] menulis seluruh undang-undang di bidang perburuhan


dari tahun 1947 sampai dengan sebelum tahun 1969 menggunakan istilah ”buruh”.
Berikut ini adalah contoh undang-undang yang menggunakan istilah ”buruh”.
Pertama  :   Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33, Pasal 1 ayat (1)
menegaskan : ”Di perusahaan yang diwajibkan memberikan tunjangan majikan
berwajib membayar ganti kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan
berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan
dalam undang-undang ini”

Kedua     :   Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan,


Pasal 3 ayat (1) menegaskan : ”Majikan atau wakilnya, demikian pula buruh yang
bekerja pada majikan itu, atas permintaan dan dalam waktu sepantasnya yang
ditentukan oleh pegawai-pegawai yang tersebut pada Pasal 2 ayat (1) wajib memberi
semua keterangan yang sejelas-jelasnya, baik dengan lisan maupun tertulis, yang
dipandang perlu olehnya guna memperoleh pendapat yang pasti tentang hubungan kerja
dan keadaan perburuhan pada umumnya di dalam perusahaan pada waktu itu atau/dan
pada waktu yang telah lampau”.

Ketiga     :   Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan


antara Serikat Buruh dan Majikan, Pasal 5 menegaskan : ”Majikan dan buruh yang
terikat oleh Perjanjian Perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu dengan sebaik-
baiknya”.

Keempat  :   Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Perselisihan Perburuhan,


Pasal 1 ayat (1) huruf a menegaskan : ”Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan
dengan buruh ialah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”.

Kelima     :   Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964, Pasal 1 ayat (2) huruf a
menegaskan : ”Pemutusan hubungan kerja dilarang selama buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus”

             Kemudian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang juga


menggunakan istilah ”buruh” sampai tahun 1983. Contohnya adalah :
Pertama  :   Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,
dalam Pasal 1 huruf a menegaskan : ”Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada
pengusaha dengan menerima upah”.

Kedua     :   Peraturan Menteri tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-
01/MEN/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh, Pasal 1 huruf a menegaskan :
”Organisasi buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara
sukarela yang berbentuk serikat buruh maupun gabungan serikat buruh”

Ketiga     :   Peraturan Menteri tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-
02/MEN/1978 tentang peraturan perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian
Perburuhan, Pasal 2 ayat (1) menegaskan : ”Setiap perusahaan yang mempekerjakan
sejumlah dua puluh lima orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.

Akhirnya sejak diadakan Seminar Hubungan Perburuhan Pancasila pada tahun 1974
istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah Pekerja. Usulan
penggantian ini didasari pertimbangan istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah
teknis biasa saja, telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan.
Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok tenaga kerja dari
golongan bawah yang mengandalkan otot. Pekerja administrasi tentu saja tidak mau
disebut buruh. Disamping itu dengan dipengaruhi oleh faham Marxisme, buruh
dianggap suatu kelas yang selalu menghancurkan pengusaha/ majikan dalam
perjuangan. Oleh karena itu penggunaan kata buruh telah mempunyai motivasi yang
kurang baik, hal ini tidak mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana
kekeluargaan, kegotong-royongan dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
perusahaan sehingga dirasakan perlu diganti dengan istilah baru. Untuk mendapatkan
istilah baru yang sesuai dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus
kembali dalam UUD’1945 yang pada penjelasan pasal 2 disebutkan, bahwa “yang
disebut golongan-golongan ialah Badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan
lain-lain badan Kolektif”. Jelas disini UUD’45 menggunakan istilah “Pekerja” untuk
pengertian buruh. Oleh karena itu disepakati Penggunaan kata “Pekerja” sebagai
pengganti kata “Buruh” karena mempunyai dasar hukum yang kuat.[5]       
             Namun istilah ”pekerja” ini oleh ”kaum” akademisi tidak bisa diterima, karena
dari segi bahasa istilah ”pekerja” mempunyai makna yang luas, yaitu : ”Orang yang
bekerja”. Dan orang-orang yang bekerja ini sudah mempunyai istilah-istilah sendiri.

             Orang yang bekerja di laut, disebut dengan istilah ”nelayan”. Orang yang
bekerja disawah, disebut dengan istilah ”petani” dan lain-lain.

             Lalu dengan UU. No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja
digandengkan dengan istilah buruh, sehingga menjadi istilah Pekerja/Buruh, tanpa
menjelaskan apa sebabnya harus dengan penggandengan pekerja/buruh. Menurut
Undang-undang 13 Tahun 2003 pekerja/buruh adalah : “Setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. (Pasal 1 angka 3 UU. 13
Tahun 2003).

          Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas.
Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU. No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa :

“termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakaan Kerja ialah :

a.     magang dan murid yang bekerja pada perusahan baik yang menerima upah maupun
tidak;

b.    mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan;

c.     narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Kemudian tidak tercakup dalam Hukum Ketenagakerjaan :

1.     orang yang bekerja atas risiko sendiri, misalnya seorang dokter yang membuka
praktik diluar.

2.     Bekerjanya seseorang secara sukarela untuk kepentingan orang lain atau


masyarakat.
a.       Bekerjanya seorang karena melaksanakan suatu sanksi, seperti narapidana

b.       Bekerjanya seseorang untuk melaksanakan kewajiban negara,  misalnya


seseorang yang terkena mobilisasi militer.

             Kemudian menurut UU. No. 3 Tahun 2003 istilah yang dipergunakan adalah :
“Pemberi Kerja”.

             Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan).

          Dengan adanya istilah “perseorangan” dalam pengertian Pemberi Kerja oleh UU.
No. 13 Tahun 2003 ini nampaknya memberikan nuansa baru dalam ketenagakerjaan.
Nuansa baru tersebut akan mencakup “Ibu Rumah Tangga” dalam istilah Pemberi
Kerja, sehingga Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dipekerjakannya haruslah
mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.

          Pengusaha adalah :

1.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu


perusahaan milik sendiri;

2.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;

3.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.

(Pasal 1 angka 5 UU. No. 13 Tahun 2003).

4.  Adanya upah atau imbalan dalam bentuk lain.


Upah adalah merupakan unsur terpenting dalam bekerjanya seseorang kepada orang
lain. Oleh karena itu, jika seseorang bekerja pada orang lain tanpa mendapatkan upah
tidaklah tergolong Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.

Mengenai upah pengupahan akan diuraikan pada bab berikutnya.

B.  Sifat Hukum Ketenagakerjaan

             Mengenai kekuatan berlakunya atau sifatnya, maka hukum dibedakan menjadi


hukum yang mengatur dan hukum yang memaksa[6].

a.     Hukum yang mengatur atau disebut hukum volunteer, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antar-individu yang baru berlaku apabila yang bersangkutan tidak
menggunakan alternatif lain yang dimungkinkan oleh undang-undang.

Misalnya, ketentuan dalam pewarisan ab-intestato (pewarisan berdasarkan undang-


undang) baru dimungkinkan untuk dilaksanakan jika tidak ada surat wasiat dari pewaris.
Pewarisan menurut undang-undang bahwa semua harta warisan jatuh kepada
ahliwarisnya dapat dilaksanakan, apabila pewaris tidak membuat surat wasiat (Hibah)
atas harta benda yang ditinggalkan sehingga wasiat tadi harus dilak-sanakan yang
menyebabkan berkurangnya bagi para ahli waris. Namun surat wasiat tidak boleh
melebihi sepertiga dari keseluruhan harta warisan untuk melindungi bagian mutlak
(legitim porsi) para ahli waris yang sah.

b.     Hukum yang memaksa atau disebut hukum kompulser, yaitu hukum yang tidak
dapat dikesampingkan, baik berdasarkan kepentingan publik maupun berdasarkan
perjanjian, dan bersifat mutlak yang harus ditaati. Misalnya :

1)       Melakukan kejahatan (pembunuhan) yang dipaksakan sanksinya oleh negara.

2)       Sengaja atau lalai memenuhi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak,
sehingga dipaksakan oleh hakim untuk memenuhinya atau dengan ganti kerugian.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka sifat Hukum Ketenagakerjaan juga bersifat
mengatur dan memaksa.

1. Mengatur

             Ciri utama dari Hukum ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur ditandai
dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa, dengan kata lain boleh
dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian. Contoh : dalam
pembuatan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.

a. Pasal 51 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan tidak tertulis.

Dikategorikan sebagai pasal yang sifatnya mengatur oleh karena tidak harus/wajib
perjanjian kerja itu dalam bentuk tertulis dapat juga lisan, tidak ada sanksi bagi mereka
yang membuat perjanjian secara lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis
bukanlah hal yang imperative/memaksa;

b. Pasal 60 ayat (1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3
(tiga) bulan. Ketentuan ini juga bersifat mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk
menjalankan masa percobaan atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak
tertentu/permanen.
c. Pasal 10 ayat(1) Undang‐Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
bagi pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
Merupakan ketentuan hukum mengatur oleh karena ketentuan ini dapat dijalankan
(merupakan hak) dan dapat pula tidak dilaksanakan oleh pengusaha.

2. Memaksa

             Dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah‐masalah tertentu diperlukan


campur tangan pemerintah. Campur tangan ini menjadikan hukum ketenagakerjaan
bersifat publik. Sifat publik dari Hukum Ketenagakerjaan ditandai dengan ketentuan‐
ketentuan memaksa (dwingen), yang jika tidak dipenuhi maka negara/pemerintah dapat
melakukan aksi tertentu berupa sanksi. Artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak,
tidak boleh dilanggar.

Contoh

1.     Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang


ketenagakerjaan.

2.     Adanya kewajiban memenuhi syarat‐syarat dan masalah perizinan, misalnya:

 Perizinan yang menyangkut Tenaga Kerja Asing;


 Perizinan menyangkut Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia;
 Penangguhan pelaksanaan upah minimum dengan izin dan syarat tertentu;
 Masalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan
kerja;
 Syarat mempekerjakan pekerja anak, dan sebagainya.

             Berkaitan dengan Sifat Hukum Ketenagakerjaan, Iman Soepomo menulis,


bahwa pada umumnya peraturan-peraturan di bidang Hukum Ketenagakerjaan
merupakan perintah atau larangan dengan memberikan saksi. Dengan demikian maka
Hukum ketenagakerjaan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula bersifat publik,
karena :[7]

1.     Dalam hal-hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam menangani masalah-
masalah perburuhan, misalnya dalam penyelesaian perselisihan dan/atau pemutusan
hubungan kerja.

2.     Adanya sanksi  pidana dalam setiap peraturan perundang-undangan perburuh-an.

********
[1]Gunawi Kartasapoetra dkk. Hukum Perburuhan Indonesia Berlandaskan
Pancasila. Cet. IV. Sinar Grafika - Jakarta. hal. 15.

[2]Abdul Rachman Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, cert. III, PT.


RadjaGrafindo Persada, 1999, hal. 7.

[3]Pemerintah Hindia Belanda membedakan antara Blue Collar dengan White Collar ini
semata-mata untuk memecah belah golongan Bumiputra, dimana oleh Pemerintah
Belanda antara White Collar dengan Blue Collar diberikan kedudukan dan status yang
berbeda. Orang-orang White Collar dikatakannya adalah orang-orang yang terhormat
yang pantang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, sedangkan orang-orang Blue
Collar adalah kuli kasar yang hampir sama kedudukan dengan “budak” yang harus
tunduk dan patuh, hormat kepada orang-orang White Collar. Disinilah letak kelicikan
penjajah belanda untuk memecah belah bangsa kita sesuai dengan prinsip “devide et
empranya” yang terkenal itu.

[4]Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Cet. I, PT. Indeks, Kembangan – Jakarta


Barat, 2009, hal. 5 dst. Ditambah oleh penyusun.

[5]Hartono Widodo dan Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial. Rajawali Press, 1992, hal.  7.

[6]H. Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum…Op.Cit, hal. 30

[7] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan..Op.Cit, hal 5


PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT

DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN 

A.  Pekerja/buruh
            Istilah Pekerja/Buruh muncul sebagai pengganti istilah Buruh. Pada zaman
feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain. Orang-orang ini
oleh Pemerintah Belanda dahulu disebut dengan Blue Collar (berkerah biru), sedangkan
orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang
bisa duduk di meja disebut dengan White Collar” (berkerah putih). Biasanya orang-
orang yang termasuk golongan ini adalah para bangsawan yang bekerja di kantor dan
juga orang-orang Belanda dan Timur asing lainnya.

            Pemerintah Hindia Belanda membedakan antara Blue Collar dengan White
Collar ini semata-mata untuk memecah belah golongan Bumiputra, dimana oleh
Pemerintah Belanda antara White Collar dengan Blue Collar diberikan kedudukan dan
status yang berbeda. Orang-orang White Collar dikatakannya adalah orang-orang yang
terhormat yang pantang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, sedangkan orang-orang
Blue Collar adalah kuli kasar yang hampir sama kedudukan dengan “budak” yang harus
tunduk dan patuh, hormat kepada orang-orang White Collar. Disinilah letak kelicikan
penjajah belanda untuk memecah belah bangsa kita sesuai dengan prinsip “devide et
empranya” yang terkenal itu.
            Pada awalnya sejak diadakan Seminar Hubungan Perburuhan Pancasila pada
tahun 1974 istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah Pekerja. Usulan
penggantian ini didasari pertimbangan istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah
teknis biasa saja, telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan.
Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok tenaga kerja dari
golongan bawah yang mengandalkan otot. Pekerja administrasi tentu saja tidak mau
disebut buruh. Disamping itu dengan dipengaruhi oleh faham Marxisme, buruh
dianggap suatu kelas yang selalu menghancurkan pengusaha/majikan dalam perjuangan.
Oleh karena itu penggunaan kata buruh telah mempunyai motivasi yang kurang baik,
hal ini tidak mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana kekeluargaan, kegotong-
royongan dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perusahaan sehingga
dirasakan perlu diganti dengan istilah baru. Untuk mendapatkan istilah baru yang sesuai
dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus kembali dalam
UUD’1945 yang pada penjelasan pasal 2 disebutkan, bahwa “yang disebut golongan-
golongan ialah Badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan
Kolektif”. Jelas disini UUD’45 menggunakan istilah “Pekerja” untuk pengertian buruh.
Oleh karena itu disepakati Penggunaan kata “Pekerja” sebagai pengganti kata “Buruh”
karena mempunyai dasar hukum yang kuat. (Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992 : 7).

            Namun kemudian dengan diundangkannya UU. No 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh, sehingga menjadi
istilah Pekerja/Buruh. Menurut Undang-undang 13 Tahun 2003 pekerja/buruh adalah :
“Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
(Pasal 1 angka 3 UU. 13 Tahun 2003). Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam
pengertian pekerja/buruh diperluas. Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU.
No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan
bahwa : “termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakaan Kerja ialah :
a. magang dan murid yang bekerja pada perusahan baik yang menerima upah maupun
tidak;

b. mereka yang memborong pekerjaan, kecuali yang memborong adalah perusahaan;


c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

B. Serikat Pekerja/SerikaSERIKATt Buruh.

            Pekerja/buruh sebagai warganegara mempunyai persamaan kedudukan dalam


hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan
pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota
serikat pekerja/serikat buruh.

            Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi
pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Demikian pula telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia Konvensi ILO No. 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO
No. 98 mengenai berlakunya Dasar-dasar Untuk berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi pekerja/buruh
untuk berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.            

            Disamping itu dimaklumi bahwa pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi
ekonomi, maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap Pengusaha. Karena
itu maka akibatnya pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-
haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisir dirinya dalam suatu
wadah untuk dapat mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut
Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

            Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. (Pasal 1 Angka 17 UU. no. 23 Tahun
2003, jo Pasal 1 angka 1 UU. No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja//Serikat
Buruh).
            Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu Serikat
Pekerja/Serikat Buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab.

¨     Bebas, maksudnya bahwa sebagai oraganisasi dalam melaksanakan hak dan


kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh tidak dibawah pengaruh dan tekanan dari pihak lain.

¨     Terbuka, ialah bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja/buruh
tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.

¨     Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan dan mengembangkan organisasi


ditentukan oleh kekuatan sendiri tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.

¨     Demokratis, ialah bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,


memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai
dengan prinsip demokrasi.

¨     Bertanggungjawab, ialah bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan


kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat dan negara.

            Selain pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam UU. 21 Tahun 2000


disebutkan pula pengertian Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

            Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan Serikat Pekerja/Serikat


Buruh sedangkan  Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah gabungan federasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

1.     Asas, Tujuan dan Fungsi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi Serikat


Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
            Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan
Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh harus menerima Pancasila sebagai Dasar
Negara dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu maka asas pendirian suatu Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD’1945 tersebut.

            Sedangkan tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi Serikat


Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan
kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

            Dengan demikian tujuan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi Serikat


Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di atas dapat
dikatakan mempunyai tujuan keluar dan ke dalam.

            Tujuan keluar yaitu meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh
dan keluarganya, misalnya dengan mendirikan koperasi pekerja/ buruh, sedangkan
tujuannya ke dalam adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan
pekerja/buruh dari pengusaha.

            Dan fungsi dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Federasi Serikat Pekerja/Serikat


Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah : (Pasal 4 ayat (2) UU. No.
21 Tahun 2000)

a.     Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian


perselisihan industrial.

b.     Sebagai wakil pekerja/buruh  dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan


sesuai dengan tingkatannya.

c.     Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan


berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.     Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya.

e.     Sebagai perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f.      Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di


perusahaan.

2.     Pembentukan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

            Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja/serikat buruh (Pasal 5 UU. No. 21 Tahun 2000). Oleh karena itu, serikat
pekerja/serikat buruh bebas dibentuk oleh minimal 10 (sepuluh) orang pekerja/ buruh
atas kehendak yang bebas, tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah,
dan pihak manapun.

            Setiap serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha,
jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja/buruh. Demikian pula dengan
pembentukan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.

            Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya


5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dapat dibentuk oleh sekurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh.

            Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut sekurang-
kurangnya harus memuat : (Pasal 11 ayat (2) UU. No. 21 Tahun 2000)

a.     nama dan lambang;

b.     dasar negara, asas dan tujuan;


c.     tanggal pendirian;

d.     tempat kedudukan;

e.     keanggotaan dan kepengurusan;

f.      sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan

g.     ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.

            Serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk diwajibkan untuk
memberitahukan pembentukannya untuk dicatat kepada pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja) setempat.
Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis dan harus dilampiri dengan :

a.     daftar nama anggota pembentuk;

b.     anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

c.     susunan dan nama pengurus.

            Dengan diterimanya pemberitahuan, Dinas Tenaga Kerja wajib mencatat dan
memberi nomor pencatatan terhadap serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat
pekerja/serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. Pencatatan dan
pemberian nomor pencatatan dapat ditangguhkan, bahkan dapat ditolak apabila serikat
pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh tersebut :

1.     bertentangan dengan Pancasila dan UUD’1945;

2.     dibentuk oleh kurang dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh untuk serikat


pekerja/serikat buruh, atau kurang dari 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh untuk
federasi serikat pekerja/serikat buruh, dan kurang dari 3 (tiga) federasi serikat
pekerja/serikat buruh untuk konfederasi serikat pekerja/serikat buruh;
3.     nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat
buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang diberitahukan sama dengan
nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat.

            Pencatatan dan pemberitahuan nomor pencatatan harus sudah dilakukan


selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima
pemberitahuan. Sedangkan penangguhan pencatatan dan pemberian nomor pencatatan
harus diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat
pekerja/ serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan
beserta alasan-alasannya harus dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya pemberitahuan.

            Serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan


konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
mempunyai hak sebagai berikut : (Pasal 25 UU. No. 21 Tahun 2000)

a.     membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;

b.     mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;

c.     mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;

d.     membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha


peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; dan

e.     melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku.

            Dan serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
mempunyai kewajiban sebagai berikut : (Pasal 27 UU. No. 21 Tahun 2000)
a.     melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak dan memperjuangkan
kepentingannya;

b.     memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; dan

c.     mempertanggungjawabkan kegiatan organisasinya sesuai dengan anggaran dasar


dan anggaran rumah tangga.

KISI-KISI

1.    Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.

2.    Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh

3.    Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.

4.    Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.

5.    Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-sifat
yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.

6.    Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari satu
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang berhak
sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT

DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN

Bag. B

A. Pemberi kerja/Pengusaha

            Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

            Dengan adanya istilah “perseorangan” dalam pengertian Pemberi Kerja oleh
UU. No. 13 Tahun 2003 ini nampaknya memberikan nuansa baru dalam
ketenagakerjaan. Nuansa baru tersebut akan mencakup “Ibu Rumah Tangga” dalam
istilah Pemberi Kerja, sehingga Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dipekerjakannya
haruslah mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.

            Pengusaha adalah :

1.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu


perusahaan milik sendiri;

2.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;

3.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.

(Pasal 1 angka 5 UU. No. 13 Tahun 2003).

            Dalam pengertian pengusaha ini  dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus
perusahaan (orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam
pengertian pengusaha, artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha
(orang/pemilik perusahaan). Lalu bagaimana hubungan hukum antara pengurus
perusahaan dengan pemilik perusahaan tersebut ?.

            Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu sedikit kita melihat teori-teori yang
terdapat dalam Hukum Dagang. Di dalam bukunya HMN. Poerwosutjipto, “Pengertian
Pokok Hukum Dagang” ada disebutkan pembantu-pembantu dalam perusahaan.
Diantara pembantu-pembantu dalam perusahaan ini ada yang disebut pimpinan
perusahaan (manajer) yaitu pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan.
(1981 : 44).

            Menurut hemat penyusun orang yang menjalankan sendiri perusahaan yang
bukan miliknya menurut Pasal 1 angka 5 UU. No. 13 Tahun 2003 di atas adalah sama
dengan pimpinan perusahaan yang dimaksudkan oleh HMN. Poerwosutjipto. Menurut
beliau  sifat hubungan hukum yang terjadi antara pemilik perusahaan dengan pengurus
(pimpinan perusahaan) adalah sebagai berikut :

a.     Hubungan Perburuhan, yaitu hubungan yang bersifat subordinasi antara pengusaha


dengan pekerja/buruh, yang memerintah dan yang diperintah. Pengurus perusahaan
(pimpinan perusahaan) mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan
sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan dirinya untuk membayar
upahnya. (lihat Pasal 1601a KUH. Perdata)

b.     Hubungan Pemberian Kuasa, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam Pasal 1792
KUH. Perdata. Pengusaha (pemilik perusahaan) merupakan pemberi kuasa, sedangkan
si pimpinan perusahaan merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri
untuk menjalankan perintah pemberi kuasa, sedangkan pemberi kuasa mengikatkan diri
untuk memberi upah  sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.

            Selanjutnya yang dimaksudkan dengan Perusahaan adalah :

1.     setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara
yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;

2.     usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

(Pasal 1 Angka 6 UU. No. 13 Tahun 2003).

B. Organiasi Pengusaha.

            Dalam Pasal 105 UU. No. 13 Tahun 2003, mengenai oraganisasi pengusaha ini
ditentukan :

(1)    Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha;

(2)    Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan yang berlaku.

            Sedangkan mengenai bagaimana keterkaitannya dalam bidang ketenaga kerjaan


UU. 13 Tahun 2003 tidak menentukan sama sekali. Oleh karena itu maka dalam
membahas organisasi pengusaha ini perlu disimak organisasi pengusaha yang ada di
Indonesia.

            Dalam bukunya Lalu Husni, SH.M.Hum (2000 ; 44-67) diuraikan secara
lengkap tentang 2 (dua) oraganisasi pengusaha yang ada, yaitu Kadin dan Apindo.

1.     KADIN.

            Kadin adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak di bidang


perekonomian, dengan tujuan :

a.     Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan dan kepentingan pengusaha


Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta dalam
kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan
kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasar Pasal 33
UUD 1945;

b.     Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan


keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan
secara secara effektif dalam pembangunan nasional.

            KADIN adalah kependekan dari Kamar Dagang dan Industri yang dibentuk oleh
pemerintah berdasarkan UU. No. 49 Tahun 1973 dan yang beranggotakan para
pengusaha yang ada di Indonesia.

2.     APINDO.

            Menurut Lalu Husni (2000 : 45), organisasi pengusaha yang khusus mengurus
masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi Penguasa Indonesia
(APINDO). Menurut Lalu Husni, tujuan APINDO dalam Pasal 7 Anggaran Dasarnya
adalah :

1.     Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan


kepentingannya di dalam bidang sosial ekonomi;

2.     Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja


dalam dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan;

3.     Mengusahan peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif


untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual dan
materiil;

4.     Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan


kebijaksanaan/ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan dengan
kebijaksanaan pemerintah.
C.  Lembaga Kerja sama Bipartit dan Tripartit.

            Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

            Dalam Pasal 106 UU. No. 13 Tahun 2003 ditentukan, bahwa “setiap perusahaan
yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk
lembaga kerja sama bipartit”.

            Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit ini  terdiri dari unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis
untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

            Lembaga kerjasama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan


musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Tujuan lembaga
kerjasama ini adalah untuk tercapainya kerjasama diantara mereka guna mencapai
masyarakat yang adil dan makmur pada umumnya, dan khususnya untuk memecahkan
persoalan-persoalan di bidang sosial ekonomis, terutama di bidang
ketenagakerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebur lembaga kerjasama ini harus :

1. Mengadakan konsultasi dengan Pemerintah, Organisasi Pekerja/Buruh


dan Organisasi Pengusaha dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya.
2. Mengolah keinginan-keinginan, saran-saran, usul-usul dan konsepsi
Pemerintah, Pekerja/buruh dan Pengusaha.
3. Membina kerjasama sebaik-baiknya dengan pemerintah, pekerja/buruh
dan Pengusaha dalam  memberikan bantuan kepada penyelenggaraan
tugas Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan khususnya dan sosial
ekonnomi pada umumnya.
4. Membuat keputusan bersama yang dapat dijadikan pedoman bagi ketiga
pihak.

            Lembaga kerja sama tripartit menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata
Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit, terdiri dari :

a.     Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.

            Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional dibentuk dan bertanggungjawab kepada


Presiden, dengan keanggotaanya terdiri dari unsur Pemerintah, oerganisasi pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh. Tugas Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional
memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Presiden dan pihak yang terkait
dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan secara nasional.

            Susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional terdiri dari :

1.     Ketua merangkap anggota, oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang


ketenagakerjaan;

2.     3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;

3.     Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang mewakili unsur


Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan; dan

4.     Beberapa anggota sesuai kebutuhan.


(Pasal 5 PP. 46 Tahun 2008)

            Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Nasional paling banyak 45 (empat puluh lima) orang yang penetapannya
dilakukan dengan  memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, dengan perbandingan 2 (dua) unsur
Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, masing-masing paling banyak 15 (lima
belas) orang, dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi
pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur
atau lebih tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya
maka perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.

            Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit


Nasional, seorang anggota harus memenuhi persyaratan :

1.     Warga Negara Republik Indonesia;

2.     Sehat jasmani dan rohani;

3.     Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Atas (SMA/ sederajat)

4.     Merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang


bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan/atau instansi Pemerintah terkait lain
bagi calon anggota yang berasal dari unsur Pemerintah;

5.     Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan

6.     Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.

(Pasal 12 PP. No. 46 Tahun 2008)


            Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional diangkat untuk 1 (satu)
kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. Dan keanggotaan-nya dapat berakhir apabila
anggota yang bersangkutan :

1.     Tidak memenuhi persyaratan lagi sebagaimana dikemukakan di atas;

2.     Meninggal dunia;

3.     Mengundurkan diri;

4.     Menderita sakit yang menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugasnya;

5.     Melalaikan atau tidak melaksanakan tugasnya; dan

6.     Dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan


pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

b.     Lembaga Kerjasama Tripartit Propinsi.

            Lembaga Kerjasama Tripartit propinsi dibentuk dan bertanggungjawab kepada


Gubernur, dengan keanggotaanya terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh.

            Susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit propinsi terdiri dari :

1.     Ketua merangkap anggota, dijabat oleh Gubernur;

2.     3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
3.     Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang mewakili unsur
Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan; dan

4.     Beberapa anggota sesuai kebutuhan.

(Pasal 25 PP. No. 46 Tahun 2008)

            Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Propinsi paling banyak 27 (dua puluh tujuh) orang yang penetapannya
dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, masing paling banyak 9 (sembilan) orang,
dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha,
dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur atau lebih
tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya maka
perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.

            Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit


Propinsi, seorang anggota harus memenuhi persyaratan :

1.     Warga Negara Republik Indonesia;

2.     Sehat jasmani dan rohani;

3.     Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Atas (SMA/ sederajat)

4.     Merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan organisasi perangkat daerah


propinsi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan/atau instansi
Pemerintah terkait lain bagi calon anggota yang berasal dari unsur pemerintah propinsi;

5.     Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan
6.     Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.

(Pasal 32 PP. No. 46 Tahun 2008)

c.     Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota.

            Lembaga Kerjasama Tripartit Kabupaten/Kota dibentuk dan bertanggungjawab


kepada Bupati/Wali Kota, dengan keanggotaanya terdiri dari unsur Pemerintah,
organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

            Susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit kabupaten/Kota terdiri dari

1.     Ketua merangkap anggota, dijabat oleh Bupati/Wali Kota;

2.     3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;

3.     Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang mewakili unsur


Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan; dan

4.     Beberapa anggota sesuai kebutuhan.

(Pasal 43 PP. No. 46 Tahun 2008)

            Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Kabupaten/Kota paling banyak 21 (dua puluh satu) orang yang penetapannya
dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, masing-masing paling banyak 7 (tujuh)
orang, dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi
pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur
atau lebih tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya
maka perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.

Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit


Kabupaten/Kota, seorang anggota harus memenuhi persyaratan :

1.     Warga Negara Republik Indonesia;

2.     Sehat jasmani dan rohani;

3.     Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Atas (SMA/ sederajat)

4.     Merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan satuan organisasi perangkat daerah


kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan/atau instansi
Pemerintah terkait lain bagi calon anggota yang berasal dari unsur pemerintah
kabupaten/kota;

5.     Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan

6.     Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.

(Pasal 50 PP. No. 46 Tahun 2008)

            Selain Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota di


atas dapat juga dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral Nasional, LKS
Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Kabupaten/Kota yang tata cara pendirian
dan keanggotannya sama dengan ketentuan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional,
Propinsi, Kabupaten/Kota.

            Keanggotaan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Sektoral Nasional, LKS
Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Kabupaten/Kota   adalah :
a.       15 (lima belas) orang untuk LKS Tripartit Sektoral Nasional;

b.    12 (dua belas) orang untuk LKS Tripartit Sektoral Propinsi; dan

c.    12 (dua belas) orang untuk LKS Tripartit Sektoral Kabupaten/Kota.

KISI-KISI

1.    Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.

2.    Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh

3.    Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.

4.    Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.

5.    Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-sifat
yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.

6.    Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari satu
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang berhak
sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.

7.     Apa yang dimaksud dengan Pengusaha ?.

8.     Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan.
Topik 4

Para Pihak Yang Terkait

Bagian C

A.  Dewan Pengupahan.

            Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartite,
yang keanggotaanya terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.

            Menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004
tentang Dewan Pengupahan, Dewan Penguapahan ini terdiri dari :

1.       Dewan Pengupahan Nasional (selanjutnya disebut Depenas) dibentuk oleh


Presiden.

2.       Dewan Pengupahan Provinsi (selanjutnya disebut Depeprov) dibentuk oleh


Gubernur.

3.       Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut Depekab/ Depeko)


dibentuk oleh Bupati/Walikota

1.       Dewan Pengupahan Nasional.

            Depenas bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah


dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan pengupahan
nasional. Dalam melaksanakan tugas ini, Depenas dapat bekerja sama, baik dengan
instansi Pemerintah maupun swasta dan pihak terkait lainnya jika dipandang perlu.

            Keanggautaan Depenas terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh, dengan komposisi keanggotaan 2 : 1 : 1. Sedangkan
komposisi keanggotaan dari Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan, dengan ketentuan keseluruhan keanggotaan Depenas berjumlah gasal.

            Susunan keanggotaan Depenas terdiri dari :

a. Ketua, merangkap anggota dari unsur Pemerintah;

b.     Wakil Ketua, sebanyak 2 (dua)  orang merangkap anggota masing-masing dari


unsur serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.

c.     Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsure Pemerintah yang mewakili


instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjan;

d.     Anggota.

Keanggotaan Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan harus
memenuhi syarat :

1.     Warga Negara Indonesia;

2.     Berpendidikan paling rendah Strata 1 (S1)

3.     Memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan


sumber daya manusia.

Tata kerja Depenas, dapat dirinci sebagai berikut :

1.       Pembahasan rumusan saran dan pertimbangan di Depenas dilakukan melalui


tahapan :

a.   Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/ atau unsur
organisasi pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi atau piker menyiapkan
bahan/pokok pokok pikiran  untuk dibahas dalam Depenas.
b.   Pokok-pokok pikiran tersebut disampaikan kepada Pemerintah dalam bentuk
rekomendasi sebagai saran dan pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan
pengupahan.

2.       Depenas bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 bulan.

2.       Dewan Pengupahan Provinsi.

            Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov) bertugas :

a. membrikan saran-saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka :

1.      Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).

2.      Penetpan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral


(UMS).

b. Menyaipkan bahan perumusan pengembangan system pengupahan nasional.

Keanggautaan Depeprov terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, dengan komposisi keanggotaan 2 : 1 : 1. Sedangkan komposisi
keanggotaan dari Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan, dengan ketentuan keseluruhan keanggotaan Depeprov berjumlah gasal.

            Susunan keanggotaan Depeprov terdiri dari :

1. Ketua, merangkap anggota dari unsur Pemerintah;


2. Wakil Ketua, sebanyak 2 (dua)  orang merangkap anggota masing-masing dari unsur
serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
3. Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsure Pemerintah yang mewakili instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjan;
4. Anggota.

Keanggotaan Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul  Pimpinan
Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab dalam bidang
Ketenagakerjaan dengan 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan harus memenuhi syarat :

1.       Warga Negara Indonesia;

2.       Berpendidikan paling rendah Strata 1 (S1)

3.       Memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan


sumber daya manusia.

3        Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.

            Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depakab/Depeko) bertugas :

a.       Memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota dalam rangka

(1)        Pengusulan Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) dan/atau Upah Minimum


Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK);

(2)        Penerapan system pengupahan di tingkat kabupaten /Kota.

b.       Menyiapkan bahan dan perumusan pengembangan system pengupahan nasional.

Keanggautaan Depekab/Depeko terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha dan


serikat pekerja/serikat buruh, dengan komposisi keanggotaan 2 : 1 : 1. Sedangkan
komposisi keanggotaan dari Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan, dengan ketentuan keseluruhan keanggotaan Depe berjumlah gasal.

            Susunan keanggotaan Depenas terdiri dari :

1.       Ketua, merangkap anggota dari unsur Pemerintah;

2.       Wakil Ketua, sebanyak 2 (dua)  orang merangkap anggota masing-masing dari


unsur serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.
3.       Sekretaris, merangkap sebagai anggota dari unsure Pemerintah yang mewakili
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjan;

4.       Anggota.

Keanggotaan Depekab/Depeko diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas


usul Pimpinan Satuan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan, dengan 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga)
tahun dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan harus
memenuhi syarat :

·         Warga Negara Indonesia;

·         Berpendidikan paling rendah lulus Diploma-3 (D-3)

·         Memiliki pengalaman atau pengetahuan bidang pengupahan dan pengembangan


sumber daya manusia.

B. Pemerintah.

            Campur tangan Negara (Pemerintah) dalam soal-soal ketenagakerjaan adalah


merupakan faktor yang sangat penting, karena  dengan adanya campur tangan Negara
inilah maka Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja itu akan menjadi adil.

            Tapi masalahnya sekarang, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan


Kerja  sebagaimana diketahui termasuk dalam ruang lingkup Hukum Privat. Oleh
karenanya, dengan adanya campur tangan Negara ini tidaklah telah menjadi pergeseran
dari Hukum Privat ke Hukum Publik ?. Dan bagaimana pula bentuk campur tangan
Negara itu ?.

            Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, sampai saat ini memang belum ada
kepastian apakah Hukum Kerja telah tergeser dari Hukum Privat ke Hukum Publik,
yang jelas menurut Iman Soepomo (1983 : 9) : "“setengah oang mengatakan bahwa
Hukum Perburuhan sifatnya bukanlah lagi Privaatrechtelijk (soal perdata) , melainkan
Publiekrechtelijk”

            Bentuk campur tangan Negara dalam soal-soal ketenagakerjaan nampak jelas
dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal-soal bekerjanya tenaga
kerja.

            Di Indonesia, campir tangan Negara dalam soal-soal ini telah ada sejak zaman
pra-kemerdekaan, yaitu sekitar Tahun 1921 didirikanlah apa yang dinamakan Kantor
van Arbeid dengan Stb. Nomor : 813 Tahun 1921. Kantor van Arbeid ini bernaung
dibawah Departemen Kehakiman (Departement van Justitie) mula-mula terdiri dari tiga
bagian yaitu :

1.     Perundang-undangan Perburuhan dan Statistik;

2.     Pengawasan Perburuhan untuk Jawa dan Madura;

3.     Gerakan Buruh.

            Kalau diperhatikan bagian-bagian dari Kantor van Arbeid tersebut diatas, maka 
ada satu yang perlu kita acungi jempol  buah Pemerintah Hindia Belanda adalah dengan
adanya bagian pengawasan perburuhan untuk Jawa dan Madura. Dengan adanya bagian
pengawasan tersebut tentunya peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
ketenagakerjaan (termasuk didalamnya peraturan yang mengatur saat bekerjanya
pekerja/buruh) yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu betul-betul
dilaksanakan dengan konsekwen. Lalu bagaimana dengan pengawasan di luar Jawa dan
Madura ?.

            Untuk pengawasan di luar Jawa dan Madura jauh sebelum Kantor van Arbeid itu
telah berdiri, pada tahun 1904 sudah didirikan Instansi Pengawasan Perburuhan di
Sumatera Timur. Instansi ini berada di bawah lingkungan Departemen Dalam Negeri
(Departemen Binnenland Bestuur). Setelah Kartor van Arbeid berdiri, maka pada tahun
1923 instansi Pengawasan Perburuhan di Sumatera Timur tersebut dimasukkan menjadi
bagian Kantor van Arbeid dengan nama : Pengawasan Perburuhan untuk luar Jawa dan
Madura.

            Selanjutnya berturut-turut terjadi perubahan pada kantor van arbeid sebagai


berikut :

-         Tahun 1925 Bagian pengawasan untuk Jawa dan Madura dihapuskan. Kemudian
didirikan apa yang disebur Bagian Pengawasan Keselamatan Kerja.

-         Tahun 1930 Bagian Gerakan Buruh dihapuskan. Bagian Pengawasan untuk Jawa
dan Madura diadakan lagi, dan bagian Gerakan Buruh dimasukkan menjadi salah satu
sub. Bagiannya.

-         Tahun 1931 didirikan bagian Penempatan Tenaga Pusat.

-         Tahun 1933 bagian pengawasan untuk Jawa dan Madura dan bagian Pengawasan
untuk luar Jawa dan Madura digabung menjadi satu bagian dengan nama baru, yaitu
Bagian Pengawasan Perburuhan.

            Dengan perubahan-perubahan dan penambahan di atas maka sampai dengan


tahun 1933 Kantor van Arbeid terdiri dari :

1.     Bagian Perundang-undangan dan Statistik;

2.     Bagian Pengawasan, yang terdiri dari :

a. Sub Bagian Pengawasan Keselamatan Kerja;


b. Sub Bagian Gerakan Buruh.

3.     Bagian Penempatan Tenaga Pusat.

            Selanjutnya di awal kemerdekaan soal-soal ketenagakerjaan/perburuhan


dijadikan salah satu bagian dari Kementerian Sosial, dengan nama bagian Perburuhan,
yang terdiri dari 2 (dua) sub bagian, yaitu :
1.     Sub bagian Pusat Pengawasan Perburuhan;

2.     Sub bagian Pusat Keselamatan Kerja.

            Kemudian dengan Surat Penetapan Menteri Sosial tanggal 18 Juni 1947 nomor :
S/15/9, mulai tanggal 1 Juli 1947 Bagian Perburuhan dipindahkan dari Kementerian
Sosial dan dijadikan Jawatan Perburuhan yang berdiri sendiri di bawah lingkungan
Kementerian Sosial dan terdiri atas :

1.     Bagian Perburuhan Umum;

2.     Kantor Pengawasan Perburuhan;

3.     Kantor Pengawasan Keselamatan Kerja.

            Namun belum Jawatan Perburuhan itu mulai melaksanakan tugasnya terjadilah


krisis kabinet. Kabinet yang lama diganti dengan kabinet yang baru, dimana di dalam
kabinet yang baru diadakan Kementerian Perburuhan tersendiri, dengan SK. Trimurti
sebagai menterinya. Kepada Menteri Perburuhan diserahi tugas penyelenggaraan urusan
yang meliputi : (Wiwoho Soedjono, 1983 : 61)

a.     Perlindungan Tenaga Kerja Buruh dan Keselamatan Kerja;

b.     Jaminan Sosial;

c.     Perselisihan Perburuhan;

d.     Organisasi Buruh;

e.     Pemberian pekerjaan dan sokongan bagi pengangguran;

f.      Pendidikan tenaga kerja;

g.     Transmigrasi; dan

h.     Kewajiban bekerja dan pengerahan kerja.


            Berdasarkan perkembangan selanjutnya, maka dengan Penetapan Pemerintah
No. 2 Tahun 1948 Kementerian Perburuhan dihapuskan dan diganti dengan
Kementerian Pembangunan dan Pemuda dengan tugas yang sama. Dan dengan terjadi
perubahan kabinet Presidentiiil ke kabinet Parlementer maka soal-soal ketenagakerjaan
dimasukkan lagi ke dalam Kementerian Perburuhan dan Sosial, dengan menteri R.
Koesnan.

            Dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat, Republik Indonesia sebagai


salah satu negara bagian yang beribukota di Jogjakarta mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1950, yang menentukan urusan-urusan perburuhan
dimasukkan ke dalam Kementerian Perburuhan dengan menterinya dr. A. Naas.
Sedangkan di Jakarta (Ibukota Republik Indonesia Serikat) dibentuk Kementeriaan
Perburuhan dengan Mr. Wilopo sebagai menterinya.

            Setelah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus


1950 Kementeri Perburuhan Republik Indonesia Jogjakarta dengan Kementerian
Perburuhan Republik Indonesia Serikat digabungkan menjadi satu menjadi Kementerian
Perburuhan NKRI, dengan menterinya RP. Soeroso.

            Sejak organisasi pemerintahan tidak lagi disebut Kemeterian tetapi disebut
dengan Departemen maka soal-soal ketenagakerjaan diurus oleh Departemen Tenaga
Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, dengan tugas sebagai berikut :

-        Penyedian dan penggunaan tenaga kerja;

-        Pengembangan dan perluasan kerja;

-        Pembinaan keahlian dan kejuruan tenaga kerja;

-        Pembinaan hubungan ketenagakerjaan;

-        Pengurusan syarat-syarat kerja dan jaminan sosial;

-        Pembinaan norma-norma perlindungan kerja; dan


-        Pembinaan norma-norma keselamatan kerja.

            Sekarang urusan-urusan ketenagakerjaan berada di bawah Departemen Tenaga


Kerja, dengan salah satu tugas utamanya adalah melakukan pengawasan di bidang
ketenagakerjaan.

            Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya akan


melindungi buruh secara yuridis saja dan tidak akan mempunyai arti bila dalam
pelaksanaannya tidak diawasi oleh seoranng ahli, yang harus mengunjungi tempat kerja
pekerja/buruh pada waktu-waktu tertentu.

            Ada 3 (tiga) tugas pokok dari Pengawas ketenagakerjaan :

1.     Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan


perundang-undangan ketenagakerjaan sudah dilaksanakan, dan jika tidak mengambil
tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaanya.

2.     Membantu baik pekerja/buruh maupun pengusaha dengan jalan memberi


penjelasan-penjelasan tehnik dan nasehat yang mereka perlukan agar mereka
memahami apakah yang dimintakan peraturan dan bagamanakah melaksanakannya.

3.     Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan dan mengumpulkan bahan-bahan yang


diperlukan untuk penyusunan peraturan perundangan ketenagakerjaan dan penetapan
pemerintah.

            Dengan demikian pengawasan bukanlah sebagai alat perlindungan, melainkan


suatu cara untuk menjamin terlaksananya peraturan perundangan ketenagakerjaan.

            Pelaksanaan pengawasan dilakukan berdasarkan UU. No. 23 Tahun 1948


tentang Pengawasan Perburuhan (salah satu undang-undang yang tidak ikut dicabut oleh
UU. No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan), dilakukan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
            Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya, wajib :
(Pasal 181 UU. No. 13 Tahun 2003)

a.     merahasiakan segala sesuai yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;

b.     tidak menyalahgunakan kewenangannya.

            Selain sebagai Pegawai Pengawas, pegawai Dinas Ketenagakerjaan tersebut


dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan UU.
NO. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,

            Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Pegawai
Pengawas berwenang :

a.     melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak


pidana di bidang ketenagakerjaan;

b.     melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di


bidang ketenagakerjaan;

c.     meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

d.     melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

e.     melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;

f.      meminta bantuan tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;

g.     menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan


tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
(Pasal 182 UU. No. 13 Tahun 2003)

Kisi-Kisi

A. Soal 1
1. Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.
2. Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh
3. Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.
4. Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.
5. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-
sifat yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
6. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari
satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang
berhak sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
7. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha ?.
8. Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan. 
B. Soal 2
1. Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.
2. Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh
3. Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.
4. Sebutkan tugas pokok dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
5. Sebutkan pula tugas dari Dewan Pengupahan Propinsi.
6. Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.
7. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-
sifat yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
8. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari
satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang
berhak sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
9. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha ?.
10. Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan.

Anda mungkin juga menyukai