GAMBARAN UMUM
TENTANG HUKUM KETENAGAKERJAAN
a. Pengertian Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja, ditambah awalan
“ke” dan akhiran “an”. Dengan demikian ketenagakerjaan berarti hal-hal yang
berkaitan dengan tenaga kerja. Pasal 2 ayat (2) UU. No. 13 Tahun 2013,
menyatakan, bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang
sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik didalam maupun diluar
hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat
Secara umum, tenaga kerja adalah : “setiap orang yang mampu bekerja,
kecuali :
a. Anak-anak di bawah umur 14 tahun;
b. Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh
c. Orang yang kerena sesuatu hal tidak mampu bekerja.
Anak-anak di bawah umur 14 tahun berarti tidak tergolong atau tidak termasuk
tenaga kerja, tetapi dalam hal-hal tertentu oleh Undang-undang No. 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan anak-anak dapat dipekerjakan dengan beberapa ketentuan yang
akan diuraikan pada bab VI dari buku ini.
Ad. 2. Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh.
Orang yang masih bersekolah dalam jangka waktu yang penuh maksudnya
adalah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas. Namun kita ketahui di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ada jenis Sekolah
Kejuruan, yang mana sekolah ini pada kelas II atau kelas III (terakhir) selalu
mengadakan Praktik Kerja Lapangan Bagi Siswanya. Praktik Kerja Lapangan bisa
dilakukan di instansi pemerintahan dan bisa juga di perusahaan-perusahaan swasta.
Disini anak anak sekolah dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan
dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Orang yang karena sesuatu hal tidak mampu bekerja maksudnya ada hal-hal
tertentu yang tidak memungkinkan orang yang bersangkutan melakukan hubungan
hukum/hubungan kerja dengan pihak lain. Misalnya karena yang bersangkutan :
2. Narapidana.
1. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang
pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga
kerja dan tenaga kerja.
2. Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas
tanggung jawab dan risiko sendiri.
3. Menurut Soetikno, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi
ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-
keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja
tersebut.
4. Menurut Iman Sopomo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian saat seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
5. Menurut M.G. Levenbach, hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan
dengan hubungan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan
penghidupan yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja itu.
6. Menurut N.E.H. Van Esveld, hukum perburuhan adalah tidak hanya meliputi
hubungan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi juga
meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung jawab dan
risiko sendiri.
7. Menurut Halim, hukum perburuhan adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak
buruh/pekerja maupun pihak majikan.
8. Menurut Daliyo, hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh
dan majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasa.
9. Menurut Syahrani, hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh
dan majikan dengan perintah (penguasa).
Dari berbagai pengertian di atas nampaknya ada 2 (dua) hal yang dapat
disimpulkan, yaitu :[2]
Pertama : Hukum Perburuhan hanya mengenai kerja sebagai akibat adanya hubungan
kerja. Berati bekerja di bawah pimpinan orang lain. Dengan demikian hukum
perburuhan tidak mencakup :
a. Kerja yang dilakukan seseorang atas tanggungjawab dan risiko sendiri,
b. Kerja yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang didasarkan tas
kesukarelaan.
b. Peraturan tentang keadaan hamil dan melahirkan anak bagi buruh wanita.
Unsur yang dapat kita petik dari rumusan yang penyusun kemukakan di atas
adalah sebagai berikut :
1. Serangkaian peraturan.
2. Segala kejadian
1. Serangkaian peraturan.
Segala kejadian yang dimaksudkan adalah kejadian yang berkaitan dengan masa
penempatan (bekerjanya) seseorang pada pihak lain. Selama seseorang bekerja pada
orang lain banyak hal yang bisa saja terjadi, misalnya :
Bekerjanya seseorang pada orang lain maksudnya adalah seorang bekerja dengan
bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengurusnya, sehingga orang
tersebut harus tunduk pada orang lain yang memberikannya pekerjaan tersebut.
Orang yang bekerja pada pihak lain disebut dengan istilah : Pekerja/ Buruh. Istilah
Pekerja/Buruh muncul sebagai pengganti istilah Buruh. Pada zaman feodal atau zaman
penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah orang-orang
pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain. Orang-orang ini oleh
Pemerintah Belanda dahulu disebut dengan Blue Collar (berkerah biru), sedangkan
orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang
bisa duduk di meja disebut dengan White Collar” (berkerah putih). Biasanya orang-
orang yang termasuk golongan ini adalah para bangsawan yang bekerja di kantor dan
juga orang-orang Belanda dan Timur asing lainnya[3].
Istilah ”buruh” sejak itu selalu berkonotasi yang ”kurang mengenakkan”.
Menyebut ”buruh” selalu kita beranggapan sebagai pekerja kasar yang tidak duduk di
depan meja. Padahal selama seseorang bekerja di perusahaan swasta, mereka akan
”dilindungi” oleh undang-undang di bidang ketenagakerjaan/Perburuhan, oleh karena
itu sekalipun seseorang itu ”berdasi” kalau bekerja di perusahaan swasta tetap dia
adalah ”buruh”
Kelima : Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964, Pasal 1 ayat (2) huruf a
menegaskan : ”Pemutusan hubungan kerja dilarang selama buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus”
Kedua : Peraturan Menteri tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-
01/MEN/1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh, Pasal 1 huruf a menegaskan :
”Organisasi buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara
sukarela yang berbentuk serikat buruh maupun gabungan serikat buruh”
Ketiga : Peraturan Menteri tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor PER-
02/MEN/1978 tentang peraturan perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian
Perburuhan, Pasal 2 ayat (1) menegaskan : ”Setiap perusahaan yang mempekerjakan
sejumlah dua puluh lima orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.
Akhirnya sejak diadakan Seminar Hubungan Perburuhan Pancasila pada tahun 1974
istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah Pekerja. Usulan
penggantian ini didasari pertimbangan istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah
teknis biasa saja, telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan.
Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok tenaga kerja dari
golongan bawah yang mengandalkan otot. Pekerja administrasi tentu saja tidak mau
disebut buruh. Disamping itu dengan dipengaruhi oleh faham Marxisme, buruh
dianggap suatu kelas yang selalu menghancurkan pengusaha/ majikan dalam
perjuangan. Oleh karena itu penggunaan kata buruh telah mempunyai motivasi yang
kurang baik, hal ini tidak mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana
kekeluargaan, kegotong-royongan dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
perusahaan sehingga dirasakan perlu diganti dengan istilah baru. Untuk mendapatkan
istilah baru yang sesuai dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus
kembali dalam UUD’1945 yang pada penjelasan pasal 2 disebutkan, bahwa “yang
disebut golongan-golongan ialah Badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan
lain-lain badan Kolektif”. Jelas disini UUD’45 menggunakan istilah “Pekerja” untuk
pengertian buruh. Oleh karena itu disepakati Penggunaan kata “Pekerja” sebagai
pengganti kata “Buruh” karena mempunyai dasar hukum yang kuat.[5]
Namun istilah ”pekerja” ini oleh ”kaum” akademisi tidak bisa diterima, karena
dari segi bahasa istilah ”pekerja” mempunyai makna yang luas, yaitu : ”Orang yang
bekerja”. Dan orang-orang yang bekerja ini sudah mempunyai istilah-istilah sendiri.
Orang yang bekerja di laut, disebut dengan istilah ”nelayan”. Orang yang
bekerja disawah, disebut dengan istilah ”petani” dan lain-lain.
Lalu dengan UU. No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja
digandengkan dengan istilah buruh, sehingga menjadi istilah Pekerja/Buruh, tanpa
menjelaskan apa sebabnya harus dengan penggandengan pekerja/buruh. Menurut
Undang-undang 13 Tahun 2003 pekerja/buruh adalah : “Setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. (Pasal 1 angka 3 UU. 13
Tahun 2003).
Dalam hal-hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja/buruh diperluas.
Misalnya dalam hal kecelakaan kerja, dalam UU. No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Pasal 8 ayat (2), ditentukan bahwa :
a. magang dan murid yang bekerja pada perusahan baik yang menerima upah maupun
tidak;
1. orang yang bekerja atas risiko sendiri, misalnya seorang dokter yang membuka
praktik diluar.
Kemudian menurut UU. No. 3 Tahun 2003 istilah yang dipergunakan adalah :
“Pemberi Kerja”.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan).
Dengan adanya istilah “perseorangan” dalam pengertian Pemberi Kerja oleh UU.
No. 13 Tahun 2003 ini nampaknya memberikan nuansa baru dalam ketenagakerjaan.
Nuansa baru tersebut akan mencakup “Ibu Rumah Tangga” dalam istilah Pemberi
Kerja, sehingga Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dipekerjakannya haruslah
mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Pengusaha adalah :
2. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
a. Hukum yang mengatur atau disebut hukum volunteer, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antar-individu yang baru berlaku apabila yang bersangkutan tidak
menggunakan alternatif lain yang dimungkinkan oleh undang-undang.
b. Hukum yang memaksa atau disebut hukum kompulser, yaitu hukum yang tidak
dapat dikesampingkan, baik berdasarkan kepentingan publik maupun berdasarkan
perjanjian, dan bersifat mutlak yang harus ditaati. Misalnya :
2) Sengaja atau lalai memenuhi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak,
sehingga dipaksakan oleh hakim untuk memenuhinya atau dengan ganti kerugian.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka sifat Hukum Ketenagakerjaan juga bersifat
mengatur dan memaksa.
1. Mengatur
Ciri utama dari Hukum ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur ditandai
dengan adanya aturan yang tidak sepenuhnya memaksa, dengan kata lain boleh
dilakukan penyimpangan atas ketentuan tersebut dalam perjanjian. Contoh : dalam
pembuatan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
Dikategorikan sebagai pasal yang sifatnya mengatur oleh karena tidak harus/wajib
perjanjian kerja itu dalam bentuk tertulis dapat juga lisan, tidak ada sanksi bagi mereka
yang membuat perjanjian secara lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis
bukanlah hal yang imperative/memaksa;
2. Memaksa
Contoh
1. Dalam hal-hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam menangani masalah-
masalah perburuhan, misalnya dalam penyelesaian perselisihan dan/atau pemutusan
hubungan kerja.
********
[1]Gunawi Kartasapoetra dkk. Hukum Perburuhan Indonesia Berlandaskan
Pancasila. Cet. IV. Sinar Grafika - Jakarta. hal. 15.
[3]Pemerintah Hindia Belanda membedakan antara Blue Collar dengan White Collar ini
semata-mata untuk memecah belah golongan Bumiputra, dimana oleh Pemerintah
Belanda antara White Collar dengan Blue Collar diberikan kedudukan dan status yang
berbeda. Orang-orang White Collar dikatakannya adalah orang-orang yang terhormat
yang pantang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, sedangkan orang-orang Blue
Collar adalah kuli kasar yang hampir sama kedudukan dengan “budak” yang harus
tunduk dan patuh, hormat kepada orang-orang White Collar. Disinilah letak kelicikan
penjajah belanda untuk memecah belah bangsa kita sesuai dengan prinsip “devide et
empranya” yang terkenal itu.
A. Pekerja/buruh
Istilah Pekerja/Buruh muncul sebagai pengganti istilah Buruh. Pada zaman
feodal atau zaman penjajahan Belanda dahulu yang dimaksudkan dengan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain. Orang-orang ini
oleh Pemerintah Belanda dahulu disebut dengan Blue Collar (berkerah biru), sedangkan
orang-orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” seperti pegawai administrasi yang
bisa duduk di meja disebut dengan White Collar” (berkerah putih). Biasanya orang-
orang yang termasuk golongan ini adalah para bangsawan yang bekerja di kantor dan
juga orang-orang Belanda dan Timur asing lainnya.
Pemerintah Hindia Belanda membedakan antara Blue Collar dengan White
Collar ini semata-mata untuk memecah belah golongan Bumiputra, dimana oleh
Pemerintah Belanda antara White Collar dengan Blue Collar diberikan kedudukan dan
status yang berbeda. Orang-orang White Collar dikatakannya adalah orang-orang yang
terhormat yang pantang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, sedangkan orang-orang
Blue Collar adalah kuli kasar yang hampir sama kedudukan dengan “budak” yang harus
tunduk dan patuh, hormat kepada orang-orang White Collar. Disinilah letak kelicikan
penjajah belanda untuk memecah belah bangsa kita sesuai dengan prinsip “devide et
empranya” yang terkenal itu.
Pada awalnya sejak diadakan Seminar Hubungan Perburuhan Pancasila pada
tahun 1974 istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah Pekerja. Usulan
penggantian ini didasari pertimbangan istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah
teknis biasa saja, telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan.
Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok tenaga kerja dari
golongan bawah yang mengandalkan otot. Pekerja administrasi tentu saja tidak mau
disebut buruh. Disamping itu dengan dipengaruhi oleh faham Marxisme, buruh
dianggap suatu kelas yang selalu menghancurkan pengusaha/majikan dalam perjuangan.
Oleh karena itu penggunaan kata buruh telah mempunyai motivasi yang kurang baik,
hal ini tidak mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana kekeluargaan, kegotong-
royongan dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perusahaan sehingga
dirasakan perlu diganti dengan istilah baru. Untuk mendapatkan istilah baru yang sesuai
dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus kembali dalam
UUD’1945 yang pada penjelasan pasal 2 disebutkan, bahwa “yang disebut golongan-
golongan ialah Badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan
Kolektif”. Jelas disini UUD’45 menggunakan istilah “Pekerja” untuk pengertian buruh.
Oleh karena itu disepakati Penggunaan kata “Pekerja” sebagai pengganti kata “Buruh”
karena mempunyai dasar hukum yang kuat. (Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992 : 7).
Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi
pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Demikian pula telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia Konvensi ILO No. 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan Konvensi ILO
No. 98 mengenai berlakunya Dasar-dasar Untuk berorganisasi dan untuk Berunding
Bersama. Kedua konvensi tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi pekerja/buruh
untuk berorganisasi dengan mendirikan serikat pekerja/serikat buruh.
Disamping itu dimaklumi bahwa pekerja/buruh sifatnya lemah, baik dari segi
ekonomi, maupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya terhadap Pengusaha. Karena
itu maka akibatnya pekerja/buruh tersebut tidak mungkin bisa memperjuangkan hak-
haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa mengorganisir dirinya dalam suatu
wadah untuk dapat mencapai tujuannya. Wadah yang dimaksudkan itu sekarang disebut
Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana yang telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. (Pasal 1 Angka 17 UU. no. 23 Tahun
2003, jo Pasal 1 angka 1 UU. No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja//Serikat
Buruh).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu Serikat
Pekerja/Serikat Buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab.
¨ Terbuka, ialah bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja/buruh
tidak membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin.
Tujuan keluar yaitu meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh
dan keluarganya, misalnya dengan mendirikan koperasi pekerja/ buruh, sedangkan
tujuannya ke dalam adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan
pekerja/buruh dari pengusaha.
Setiap serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha,
jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja/buruh. Demikian pula dengan
pembentukan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Konfederasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut sekurang-
kurangnya harus memuat : (Pasal 11 ayat (2) UU. No. 21 Tahun 2000)
d. tempat kedudukan;
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk diwajibkan untuk
memberitahukan pembentukannya untuk dicatat kepada pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja) setempat.
Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis dan harus dilampiri dengan :
Dengan diterimanya pemberitahuan, Dinas Tenaga Kerja wajib mencatat dan
memberi nomor pencatatan terhadap serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat
pekerja/serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. Pencatatan dan
pemberian nomor pencatatan dapat ditangguhkan, bahkan dapat ditolak apabila serikat
pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/ serikat buruh dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh tersebut :
Dan serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
mempunyai kewajiban sebagai berikut : (Pasal 27 UU. No. 21 Tahun 2000)
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak dan memperjuangkan
kepentingannya;
KISI-KISI
5. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-sifat
yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
6. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari satu
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang berhak
sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT
Bag. B
A. Pemberi kerja/Pengusaha
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 4 UU. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Dengan adanya istilah “perseorangan” dalam pengertian Pemberi Kerja oleh
UU. No. 13 Tahun 2003 ini nampaknya memberikan nuansa baru dalam
ketenagakerjaan. Nuansa baru tersebut akan mencakup “Ibu Rumah Tangga” dalam
istilah Pemberi Kerja, sehingga Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dipekerjakannya
haruslah mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Pengusaha adalah :
2. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
Dalam pengertian pengusaha ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus
perusahaan (orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam
pengertian pengusaha, artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha
(orang/pemilik perusahaan). Lalu bagaimana hubungan hukum antara pengurus
perusahaan dengan pemilik perusahaan tersebut ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu sedikit kita melihat teori-teori yang
terdapat dalam Hukum Dagang. Di dalam bukunya HMN. Poerwosutjipto, “Pengertian
Pokok Hukum Dagang” ada disebutkan pembantu-pembantu dalam perusahaan.
Diantara pembantu-pembantu dalam perusahaan ini ada yang disebut pimpinan
perusahaan (manajer) yaitu pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan.
(1981 : 44).
Menurut hemat penyusun orang yang menjalankan sendiri perusahaan yang
bukan miliknya menurut Pasal 1 angka 5 UU. No. 13 Tahun 2003 di atas adalah sama
dengan pimpinan perusahaan yang dimaksudkan oleh HMN. Poerwosutjipto. Menurut
beliau sifat hubungan hukum yang terjadi antara pemilik perusahaan dengan pengurus
(pimpinan perusahaan) adalah sebagai berikut :
b. Hubungan Pemberian Kuasa, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam Pasal 1792
KUH. Perdata. Pengusaha (pemilik perusahaan) merupakan pemberi kuasa, sedangkan
si pimpinan perusahaan merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri
untuk menjalankan perintah pemberi kuasa, sedangkan pemberi kuasa mengikatkan diri
untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.
1. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara
yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
B. Organiasi Pengusaha.
Dalam Pasal 105 UU. No. 13 Tahun 2003, mengenai oraganisasi pengusaha ini
ditentukan :
Dalam bukunya Lalu Husni, SH.M.Hum (2000 ; 44-67) diuraikan secara
lengkap tentang 2 (dua) oraganisasi pengusaha yang ada, yaitu Kadin dan Apindo.
1. KADIN.
KADIN adalah kependekan dari Kamar Dagang dan Industri yang dibentuk oleh
pemerintah berdasarkan UU. No. 49 Tahun 1973 dan yang beranggotakan para
pengusaha yang ada di Indonesia.
2. APINDO.
Menurut Lalu Husni (2000 : 45), organisasi pengusaha yang khusus mengurus
masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi Penguasa Indonesia
(APINDO). Menurut Lalu Husni, tujuan APINDO dalam Pasal 7 Anggaran Dasarnya
adalah :
Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
Dalam Pasal 106 UU. No. 13 Tahun 2003 ditentukan, bahwa “setiap perusahaan
yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk
lembaga kerja sama bipartit”.
Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit ini terdiri dari unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis
untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Lembaga kerja sama tripartit menurut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata
Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit, terdiri dari :
Susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional terdiri dari :
2. 3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Nasional paling banyak 45 (empat puluh lima) orang yang penetapannya
dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, dengan perbandingan 2 (dua) unsur
Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha, masing-masing paling banyak 15 (lima
belas) orang, dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi
pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur
atau lebih tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya
maka perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.
5. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan
6. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.
2. Meninggal dunia;
3. Mengundurkan diri;
Susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama Tripartit propinsi terdiri dari :
2. 3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
3. Sekretaris merangkap anggota, dijabat oleh anggota yang mewakili unsur
Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan; dan
Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Propinsi paling banyak 27 (dua puluh tujuh) orang yang penetapannya
dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, masing paling banyak 9 (sembilan) orang,
dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi pengusaha,
dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur atau lebih
tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya maka
perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.
5. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan
6. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.
2. 3 (tiga) Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing dijabat oleh anggota
yang mewakili unsur Pemerintah yang berasal dari instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh;
Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan Lembaga Kerja Sama
Tripartit Kabupaten/Kota paling banyak 21 (dua puluh satu) orang yang penetapannya
dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi
Pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, masing-masing paling banyak 7 (tujuh)
orang, dengan perbandingan 1 (satu) unsur Pemerintah, 1 (satu) unsur organisasi
pengusaha, dan 1 (satu) unsur serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal salah satu unsur
atau lebih tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan dengan unsur lainnya
maka perbandingan keterwakilan ini tidak berlaku.
5. Anggota atau pengurus organisasi pengusaha, bagi calon anggota yang berasal dari
unsur organisasi pengusaha; dan
6. Anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, bagi calon anggota yang
berasal dari unsur serikat pekerja/serikat buruh.
Keanggotaan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Sektoral Nasional, LKS
Tripartit Sektoral Propinsi dan LKS Tripartit Kabupaten/Kota adalah :
a. 15 (lima belas) orang untuk LKS Tripartit Sektoral Nasional;
KISI-KISI
5. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-sifat
yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
6. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari satu
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang berhak
sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
8. Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan.
Topik 4
Bagian C
A. Dewan Pengupahan.
Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga non struktural yang bersifat tripartite,
yang keanggotaanya terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Pengusaha, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2004
tentang Dewan Pengupahan, Dewan Penguapahan ini terdiri dari :
Keanggautaan Depenas terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh, dengan komposisi keanggotaan 2 : 1 : 1. Sedangkan
komposisi keanggotaan dari Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan, dengan ketentuan keseluruhan keanggotaan Depenas berjumlah gasal.
d. Anggota.
Keanggotaan Depenas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan harus
memenuhi syarat :
a. Unsur Pemerintah dan/atau unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan/ atau unsur
organisasi pengusaha dan/atau unsur Perguruan Tinggi atau piker menyiapkan
bahan/pokok pokok pikiran untuk dibahas dalam Depenas.
b. Pokok-pokok pikiran tersebut disampaikan kepada Pemerintah dalam bentuk
rekomendasi sebagai saran dan pertimbangan dalam rangka perumusan kebijakan
pengupahan.
Keanggautaan Depeprov terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, dengan komposisi keanggotaan 2 : 1 : 1. Sedangkan komposisi
keanggotaan dari Perguruan Tinggi dan Pakar jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan, dengan ketentuan keseluruhan keanggotaan Depeprov berjumlah gasal.
Keanggotaan Depeprov diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Pimpinan
Satuan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang bertanggung jawab dalam bidang
Ketenagakerjaan dengan 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan harus memenuhi syarat :
4. Anggota.
B. Pemerintah.
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, sampai saat ini memang belum ada
kepastian apakah Hukum Kerja telah tergeser dari Hukum Privat ke Hukum Publik,
yang jelas menurut Iman Soepomo (1983 : 9) : "“setengah oang mengatakan bahwa
Hukum Perburuhan sifatnya bukanlah lagi Privaatrechtelijk (soal perdata) , melainkan
Publiekrechtelijk”
Bentuk campur tangan Negara dalam soal-soal ketenagakerjaan nampak jelas
dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal-soal bekerjanya tenaga
kerja.
Di Indonesia, campir tangan Negara dalam soal-soal ini telah ada sejak zaman
pra-kemerdekaan, yaitu sekitar Tahun 1921 didirikanlah apa yang dinamakan Kantor
van Arbeid dengan Stb. Nomor : 813 Tahun 1921. Kantor van Arbeid ini bernaung
dibawah Departemen Kehakiman (Departement van Justitie) mula-mula terdiri dari tiga
bagian yaitu :
3. Gerakan Buruh.
Kalau diperhatikan bagian-bagian dari Kantor van Arbeid tersebut diatas, maka
ada satu yang perlu kita acungi jempol buah Pemerintah Hindia Belanda adalah dengan
adanya bagian pengawasan perburuhan untuk Jawa dan Madura. Dengan adanya bagian
pengawasan tersebut tentunya peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
ketenagakerjaan (termasuk didalamnya peraturan yang mengatur saat bekerjanya
pekerja/buruh) yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu betul-betul
dilaksanakan dengan konsekwen. Lalu bagaimana dengan pengawasan di luar Jawa dan
Madura ?.
Untuk pengawasan di luar Jawa dan Madura jauh sebelum Kantor van Arbeid itu
telah berdiri, pada tahun 1904 sudah didirikan Instansi Pengawasan Perburuhan di
Sumatera Timur. Instansi ini berada di bawah lingkungan Departemen Dalam Negeri
(Departemen Binnenland Bestuur). Setelah Kartor van Arbeid berdiri, maka pada tahun
1923 instansi Pengawasan Perburuhan di Sumatera Timur tersebut dimasukkan menjadi
bagian Kantor van Arbeid dengan nama : Pengawasan Perburuhan untuk luar Jawa dan
Madura.
- Tahun 1925 Bagian pengawasan untuk Jawa dan Madura dihapuskan. Kemudian
didirikan apa yang disebur Bagian Pengawasan Keselamatan Kerja.
- Tahun 1930 Bagian Gerakan Buruh dihapuskan. Bagian Pengawasan untuk Jawa
dan Madura diadakan lagi, dan bagian Gerakan Buruh dimasukkan menjadi salah satu
sub. Bagiannya.
- Tahun 1933 bagian pengawasan untuk Jawa dan Madura dan bagian Pengawasan
untuk luar Jawa dan Madura digabung menjadi satu bagian dengan nama baru, yaitu
Bagian Pengawasan Perburuhan.
Kemudian dengan Surat Penetapan Menteri Sosial tanggal 18 Juni 1947 nomor :
S/15/9, mulai tanggal 1 Juli 1947 Bagian Perburuhan dipindahkan dari Kementerian
Sosial dan dijadikan Jawatan Perburuhan yang berdiri sendiri di bawah lingkungan
Kementerian Sosial dan terdiri atas :
b. Jaminan Sosial;
c. Perselisihan Perburuhan;
d. Organisasi Buruh;
g. Transmigrasi; dan
Sejak organisasi pemerintahan tidak lagi disebut Kemeterian tetapi disebut
dengan Departemen maka soal-soal ketenagakerjaan diurus oleh Departemen Tenaga
Kerja, Transmigrasi dan Koperasi, dengan tugas sebagai berikut :
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Pegawai
Pengawas berwenang :
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
Kisi-Kisi
A. Soal 1
1. Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.
2. Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh
3. Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.
4. Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.
5. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-
sifat yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
6. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari
satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang
berhak sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
7. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha ?.
8. Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan.
B. Soal 2
1. Apa yang dimaksud dengan tenaga kerja ?.
2. Apa pula yang dimaksud dengan pekerja/buruh
3. Sebutkan perbedaan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.
4. Sebutkan tugas pokok dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
5. Sebutkan pula tugas dari Dewan Pengupahan Propinsi.
6. Sebutkan pula sifat Hukum Ketenagakerjaan.
7. Apa yang dimaksud dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan sebutkan sifat-
sifat yang terkandung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut.
8. Salah satu tugas dan fungsi Serikat/Serikat Buruh adalah sebagai pihak dalam
pembuatan Perjanjian Kerja Bersama. Jika dalam satu perusahaan ada lebih dari
satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat Pekerja/SerikatBuruh manakah yang
berhak sebagai pihak yang membuat Perjanjian Kerja Bersama.
9. Apa yang dimaksud dengan Pengusaha ?.
10. Apakah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat di suatu perusahaan induk bisa
berlaku di perusahaan cabangnya ?. Jelaskan.