Anda di halaman 1dari 5

Realitas Vaksinasi dan Hukumnya

26 Nov 2013 in Soal Jawab Amir HT, Tsaqofah Leave a comment

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas
Pertanyaan di akun Facebook Beliau

Jawaban pertanyaan: Realitas Vaksinasi dan Hukumnya

Kepada Sadiq Ali

Pertanyaan:

‫السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Saudari Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu
ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai berikut:

Saya seorang perempuan Chechnya yang tinggal di Belgia sejak 14 tahun lalu, di mana banyak
masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi
anak-anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi
jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya
komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini
adalah dharar dan tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu
bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan
bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang
vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka.

Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah al-
Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya? Perlu diketahui bahwa separo masyarakat
Muslim di kami tidak memvaksinasi anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya
hukum syara’ yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu, sesuai
yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan kaum
Muslimin.

‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Jawab:

‫وعليكم السالم ورحمة هللا وبركاته‬

Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:

ِ ُ‫» َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ دَا ًء إِاَّل أَ ْنزَ َل لَه‬


«‫شفَا ًء‬
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda:

«‫يب َد َوا ُء الدَّا ِء بَ َرأَ ِبإِ ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل‬


َ ‫ص‬ِ ُ‫ فَإِ َذا أ‬،‫»لِ ُك ِّل دَا ٍء د ََوا ٌء‬
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah
azza wa jalla

Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:

ِ ُ‫ إِاَّل قَ ْد أَ ْن َز َل لَه‬،‫» َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ دَا ًء‬


«ُ‫ َو َج ِهلَهُ َمنْ َج ِهلَه‬،ُ‫ َعلِ َمهُ َمنْ َعلِ َمه‬،‫شفَا ًء‬

Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang
yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya

Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya.
Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit
itu dengan izin Allah. Ini adalah anjuran dan bukan wajib.
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

َ ‫ فَتَد‬،‫ق الد ََّوا َء‬


«‫َاو ْوا‬ َ َ‫ َخل‬،‫ق الدَّا َء‬ ُ ‫»إِنَّ هَّللا َ َح ْي‬
َ َ‫ث َخل‬

Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah

Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah saw
dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku
duduk. Lalu seorang Arab Baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita
berobat?”” Rasul bersabda:

ِ ‫ َغ ْي َر دَا ٍء َو‬،‫ض َع لَهُ د ََوا ًء‬


‫اح ٍد ا ْل َه َر ُم‬ َ َ‫َاو ْوا فَإِنَّ هَّللا َ َع َّز َو َج َّل لَ ْم ي‬
َ ‫ض ْع دَا ًء إِاَّل َو‬ َ ‫»تَد‬
Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga
Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu

Yakni kematian.

Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw
menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan seruan kepada para hamba agar
berobat, karena Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di
dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan
tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi
yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang
menunjukkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak
berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan
dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:

« ‫ َو َعلَى َربِّ ِه ْم‬، َ‫ست َْرقُون‬


ْ َ‫ « ُه ُم الَّ ِذينَ اَل يَ ْكتَ ُوونَ َواَل ي‬:‫سو َل هللاِ؟ قَا َل‬
ُ ‫ َو َمنْ ُه ْم يَا َر‬:‫ قَالُوا‬،»‫ب‬
ٍ ‫سا‬ َ ‫يَد ُْخ ُل ا ْل َجنَّةَ ِمنْ أُ َّمتِي‬
َ ‫س ْبعُونَ أَ ْلفًا بِ َغ ْي ِر ِح‬
َ‫»يَت ََو َّكلُون‬

“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para sahabat) bertanya,
“Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan
kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”

Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata ….
(yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata:

ْ َ‫ أ‬: ْ‫ت َدع َْوتُ هَّللا َ أَنْ يُ َعافِيَ ِك» فَقَالَت‬


‫ إِنِّي‬: ْ‫ فَقَالَت‬،‫صبِ ُر‬ ِ ْ‫ َوإِن‬،ُ‫الجنَّة‬
ِ ‫ش ْئ‬ َ ‫ت َولَ ِك‬
ِ ‫صبَ ْر‬
َ ‫ت‬ ِ ْ‫ «إِن‬:‫ قَا َل‬،‫ع هَّللا َ لِي‬
ِ ‫ش ْئ‬ ْ ُ‫إِنِّي أ‬
ُ ‫ فَا ْد‬، ُ‫ َوإِنِّي أَتَ َكشَّف‬،ُ‫ص َرع‬
‫ «فَ َدعَا لَ َها‬، َ‫ع هَّللا َ ِلي أَنْ الَ أَتَ َكشَّف‬
ُ ‫ فَا ْد‬، ُ‫»…أَتَ َكشَّف‬

“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.”
Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga, dan jika engkau mau aku
berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”.
Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah
untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”

Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.

Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib.
Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari
Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu
adalah untuk mandub.

Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah
mandub. Namun jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak
atau membahayakan karena suatu sebab tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi
haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam
Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

ِ ‫ض َر َر َواَل‬
«‫ض َرا َر‬ َ ‫»اَل‬
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri

Hanya saja kondisi ini sangat sedikit …

Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan
hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunkan adalah yang bersih dari segala
kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.
﴿‫ين‬
ِ ِ ‫شف‬ ْ ‫﴾وإِ َذا َم ِر‬
ْ َ‫ضتُ فَ ُه َو ي‬ َ
dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)

Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah
termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw:

«‫سؤُو ٌل عَنْ َر ِعيَّتِ ِه‬


ْ ‫اع َو ُه َو َو َم‬
ٍ ‫»ا ِإل َما ُم َر‬
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya  (HR al-Bukhari dari
Abdullah bin Umar)

Ini adalah nas yang bersifat umum tentang tanggungjawab negara atas kesehatan dan pengobatan,
karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.

Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia,
berkata:

ٍ ‫سو ُل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم إِلَى أُبَ ِّي ْب ِن َك ْع‬
«‫ب طَبِيبًا فَقَطَ َع ِم ْنهُ ِع ْرقًا ثُ َّم ك ََواهُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫»بَ َع‬
ُ ‫ث َر‬
Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu tabib itu memotong nadinya dan
dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)

Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:

«‫ش َّد ِة ا ْل ِح ْميَ ِة‬ ُّ ‫ش ِديداً فَ َدعَا لِي ُع َم ُر طَبِيبا ً فَ َح َمانِي َحتَّى ُك ْنتُ أَ ُم‬
ِ ْ‫ص النَّ َواةَ ِمن‬ ِ ‫ان ُع َم َر بِنَ ا ْل َخطَّا‬
َ ً ‫ب َم َرضا‬ ِ ‫ضتُ فِي زَ َم‬
ْ ‫» َم ِر‬
Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu
memberi pantangan makannan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan

Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin
Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam.
Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari
kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat
yang memerlukannya.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

15 Muharram 1435

18 November 2013
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_30929

Anda mungkin juga menyukai