Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR SERVICAL

Oleh :

Qibtiyatul Hasanah

Nim.20020070

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL (JIS)

2021
1.1 PENGERTIAN

Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitastulang, sedangkan


menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000)fraktur
adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin
(1993) berpendapat bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang
normal yang terjadikarena tekanan pada tulang yang berlebihan.
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang
servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau
fraktur vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis
daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari
tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan
tulang vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).
Cedera servikal adalah cedera tulang belakang yang paling sering
dapat menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian ternyata
terdapat korelasi tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas,
artinya semakin tinggi tingkat cedera servikal maka semakin tinggi pula
morbiditas dan mortalitasnya.

1.2 ETIOLOGI

a. Fraktur akibat peristiwa trauma


Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat
yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan
fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan bendalain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari
atau calon tentarayang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung
yang mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui
kemampauan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya.
Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
- Kecelakaan lalulintas
- Kecelakaan olahraga
- Kecelakaan industry
- Jatuh dari pohon/bangunan
- Luka tusuk
- Luka tembak
- Kejatuhan benda kera

1.3 MANISFESTASI KLINIS

a. Lesi C1-C4 
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis
dan tidak ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah
transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3
meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan
sensori diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan
sehari-hari seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4
biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat
dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung
pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun
dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
b. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan.
Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan
pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja
penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di
bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi  ada pada daerah leher dan
triagular anterior dari daerah lengan atas.
c. Lesi C6
Pada lesi segmen C6 distres pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik,
dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak
terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.
d. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori
untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas
mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan
biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
1.4 PATOFISIOLOGI
1.5 PATHWAY
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b. CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis.
e. Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,
anterlektasis).
f. GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

1.7 DIAGNOSA BANDING

a. Fraktur medula spinasil

1.8 KOMPLIKASI

Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :


a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung
sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta
ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan
tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal
bawah atau torakal atas.
d. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

1.9 PENATALAKSANAAN

a. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)


b. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin
lip, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang
(hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
c. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
d. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 -
C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan
rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
e. Menyediakan oksigen tambahan.
f. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse
oksimetri.
g. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
h. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh
dari hipotensi dan bradikardi.
i. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
j. Berikan antiemboli
k. Tinggikan ekstremitas bawah
l. Gunakan baju antisyok.
m. Meningkatkan tekanan darah
n. Monitor volume infus.
o. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
p. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika
terjadi gejala bradikardi.
q. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
r. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
s. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan
spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih
dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
- Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran
pasien.
- Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan
aspirasi jika ada indikasi.
- Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
- Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
- Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
- Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara
konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
- Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan
1.10 KONSEP KEPERAWATAN

a. Pengkajian
Data Umum
1. Identitas Pasien Meliputi: nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, suku/bangsa, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat, tanggal
MRS, diagnosa medis, ruangan, golongan darah, dan sumber
informasi.
2. Identitas Penanggung Jawab Meliputi: nama, umur, jenis kelamin,
suku/bangsa, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat, dan hubungan
dengan pasien
Riwayat Kesehatan Saat Ini
1. Keluhan Utama
2. Alasan Masuk Rumah Sakit
3. Riwayat Penyakit
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
1. Penyakit yang pernah dialami ( Riwayat perawatan, Riwayat operasi,
Riwayat pengobatan ).
2. Kecelakaan yang pernah dialami
3. Riwayat Alergi
b. Diagnose keperawatan
1. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
ditandai dengan dispnea (sesak nafas)
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai
dengan mengeluh nyeri
3. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuscular ditandai dengan mengeluh sulit menggerakan
ekstermitas
c. Intervensi

Diagnosa
No Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
keperawatan
1. Pola Nafas Tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 Manajemen jalan nafas
Efektif b.d dengan jam diharapkan pola nafas klien efektif .
sindrom Observasi
hipoventilasi kriteriahasil: Pola nafas (L.01004) - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha
(D.0005) nafas)
Kriteria Hasil s.a s.t - Monitor bunyi nafas tambahan
Dyspnea 5
Frekuensi nafas 5 Terapeutik
- Posisikan semi-fowler atau fowler
Keterangan : - Berikan minum hangat
1 = meningkat - Berikan oksigen , jika perlu
2 = cukup meningkat
3 = sedang Edukasi
4 = cukup menurun - Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
5 = menurun kontraindikasi

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian brongkodilator,
ekspektoran, molitik, jika perlu

2 Nyeri Akut b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 Manajemen Nyeri
jam diharapkan tidak terjadi gangguan pertukaran gas
agen pencedera
Observasi
fisik Kriteria hasil: Tingkat Nyeri (L.08066) - Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, nyeri
- Identifikasi skala nyeri
(D0077) - Identifikasifaktor yang memperberat dan
Kriteria Hasil s.a s.t memperingan nyeri
Keluhan nyeri 5
Meringis 5 Terapeutik
Frekuensi nadi 5 - Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
Pola napas 5 rasa nyeri (mis. Kompres hangat/dingin)
Tekanan darah 5 - Fasilitasi istirahat dan tidur

Keterangan : Edukasi
1 = meningkat - Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
2 = cukup meningkat nyeri
3 = sedang
4 = cukup menurun Kolaborasi
5 = menurun - Kolaborasi pemberian analgesik

3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Dukungan Mobilisasi


Mobilitas Fisik b.d jam, Intoleransi aktifitas teratasi. Observasi
gangguan - Identifikasi toleransi fisik melalkukan pergerakan
neuromuscular kriteriahasil: Mobilitas fisik (L.05042) - Monitor kelelfrekuensi jantung dan tekanan darah
(D 0054) sebelum memulai mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan
Kriteria Hasil s.a s.t
mobilisasi
Pergerakan ekstermitas 5
Kekuatan otot 5
Terapeutik
Rentang gerakan 5
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
(ROM)
(mis. Pagar tempat tidur )
Keterangan : - Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
1 = meningkat meningkatkan pergerakan
2 = cukup meningkat
3 = sedang Edukasi
4 = cukup menurun - jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
5 = menurun - Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. Duduk ditempat tidur )
DAFTAR PUSTAKA

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan
Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien, EGC, Jakarta

Milby AH, Halpern CH, Guo W, Stein SC. Prevalence of cervical spinal injury in
trauma. Neurosurg Focus. 2008;25(5):E1–10.

Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Persyarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Ning GZ, Yu TQ, Feng SQ, Zhow XH, Ban DX, Liu Y, dkk. Epidemiology of
traumatic spinal cord injury in Tianjin, China. Spinal Cord. 2011;49(3):386–
90.
Patel Pradip R. Lecture Notes Radiologi, Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. 2007
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan
Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Saanin, Syaiful. 2009. Cedera Sistema Saraf Pusat Traumatika Dan Nontraumatika.
PDF Jurnal. Diakses tanggal 3 Agustus 2015.

Anda mungkin juga menyukai

  • LP Trauma Abdomen
    LP Trauma Abdomen
    Dokumen20 halaman
    LP Trauma Abdomen
    Muhammad Farid Ariful Hadi
    Belum ada peringkat
  • LP Cos
    LP Cos
    Dokumen22 halaman
    LP Cos
    Muhammad Farid Ariful Hadi
    Belum ada peringkat
  • LP Apb
    LP Apb
    Dokumen13 halaman
    LP Apb
    Muhammad Farid Ariful Hadi
    Belum ada peringkat
  • LP Abses Hepar Fix
    LP Abses Hepar Fix
    Dokumen23 halaman
    LP Abses Hepar Fix
    Muhammad Farid Ariful Hadi
    100% (1)