Anda di halaman 1dari 2

Judul: Sebuah Kaki Yang Baru

Karya: Sofa Nurul Hidayati

Prodi: S1 Kebidanan

“Suatu hari, negeri ini harus benar-benar berada di tangan kita. Tidak ada rezim dan
sayap-sayap keserakahan yang menjadikan kita sengsara. Di negeri kita ini, tidak boleh ada
nyawa yang dibayar murah.”

***

Setiap kali melihatnya, seperti ada anak panah yang melesat dan menembus dada lelaki
itu. Bagaimana bisa gadis yang dipandanginya itu tampak begitu luguwajahnya polos tanpa air
muka. Rambutnyayang entah kapan terakhir ia cuci tersibak-sibak oleh angin yang menderu.
Ingin sekali lelaki itu mendekapnya, menyentuh lembut hatinya dan bertanya “Apa yang
membuatmu terlihat begitu tegar, Nak?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya untuk menatap sekitar yang dipenuhi desakan-
desakan debu. Matahari telah padam menyisakan cahaya temaram dari langit yang berpendar.
Mereka yang terluka dan sebagian telah mati; meringkuk, terlentang dan tercincang di atas
bentala ini. Darah dan keringat mereka menyatu dengan tanah air tercinta. Sementara, lelaki itu
terkapar di atas bebatuan dengan kaki yang buntung; menyaksikan gadis malang itu berkeliaran
menyusuri jasad yang puruk-parak.

Kemudian, dunia seolah terbelah menjadi dua. Satu, dunia gadis itu yang cerlang diisi
dengan hamparan rembulan dan gemintang; dipenuhi lautan pepohonan; dan dihuni oleh rezim
yang berusaha untuk memajukan bangsanya. Sementara yang kedua, dunia lelaki itu, dipenuhi
gumpalan kabut yang menyebar menghalangi pendar. Dunia lelaki itu, dirancang oleh koloni
yang “merampas” jiwa dan harta.

Lelaki itu menangis tersedu-sedan ketika gadis kecil itu menghampirinya lantas
merengkuh dadanya. Gadis kecil itu tampak bahagia karena akhirnya menemukan sosok yang
sedari tadi ia cari di antara hamparan jasad-jasad.

“Ayah tidak perlu menangis, besok-besok aku akan mencarikan kaki yang baru untuk
Ayah, supaya nanti kita bisa jalan-jalan berdua,” ujarnya tanpa menunjukkan sedikit pun
kesakitan. Lihatlah! Bagaimana bisa gadis itu berucap dengan begitu tegarnya. Gadis itu masih
terlalu kecil ketika dunia memperlihatkannya peperangan. Usianya belum genap tujuh tahun,
tetapi gadis itu dengan tegar melihat semua kejadian ini dari sudut pandangnya.
“Kamu bisa berjalan tegak di atas tanah ini sendiri, Nak. Ayah dan yang lainnya telah
membuat tanah ini gembur oleh darah dan perjuangan. Kami semuanya tidak pernah mewariskan
negeri ini dengan harga yang murah. Jiwa kami adalah taruhannya. Beberapa langkah lagi, kamu
akan melihat negeri ini memiliki matahari sendiri yang bisa memberi kehidupan …” Lelaki itu
berhenti sebentar karena napasnya kian melemah.

“Kamu dan generasimu telah kami wariskan kemerdekaan yang tidak murah harganya,”
lanjutnya sembari terengah-engah.

Gadis kecil itu mengangguk dan menundukkan kepalanyamencoba menyembunyikan


bulir-bulir air matanya yang kian meranum. Ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis. Di
dalam hatinya, ia masih sangat ingin mencarikan sebuah kaki yang baru untuk ayahnya. Ia
berpikir jika sebuah kaki yang baru akan membuat ayahnya kembali bersemangat.

“Ayah sudah banyak melangkah, Nak. Kaki ayah sudah lelah, kini giliranmu. Kamu
harus melangkah di atas tanah ini dengan semangat. Kemana kakimu melangkah, maka kamu
akan menemukan tempat yang kamu tuju. Negeri ini perlu banyak orang-orang yang melangkah
dengan berani. Negeri ini harus memiliki cita-cita yang luhur.”

Lelaki itu kian menyipitkan matanya, dari kejauhan ia melihat sosok tinggi bercahaya
mendekatinya. Sosok itu membawa kantung besar yang telah diisi oleh banyak jiwa yang gugur.
Untuk terakhir kalinya, lelaki itu memegang jemari gadis kecilnya dengan tulus.

“Selamat tinggal, Nak,” ucapnya setengah berbisik.

Tangis gadis kecil itu kian genjah, ia memeluk ayahnya erat-erat. Dalam hatinya ia
kembali menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja ia bisa menemukan kaki yang baru untuk
ayahnya dengan cepat, mungkin sekarang ayahnya bisa berlari. Ia tidak akan kehilangan ayahnya
jika saja ia mampu memberikan kaki yang baru agar ayahnya bisa berlari.

Anda mungkin juga menyukai