Anda di halaman 1dari 2

Alvia Saputri Mulia

D4 TLM
Hilang
Suara dentuman kembali terdengar, disusul teriakan yang memekakkan telinga. Lagi-
lagi aku hanya bisa membekap mulutku, dan menahan napas agar para pria di luar sana tidak
menyadari tubuh kecilku ini. Rasa sakit di lututku tidak sebanding dengan rasa takut yang
menyelimuti pikiranku. Sangat lama kupejamkan mata, sampai akhirnya suara Ibu
menyadarkanku.
“kita harus pergi!” ucapnya sambil menarik kerah bajuku yang kumal. Kutatap tubuh
tinggi Ibu yang sedang menuntunku pergi dari rumah sederhana kami. “Ayah mana bu?”
tanyaku polos.
Dia tidak menjawab apapun. Gelapnya malam ditambah tidak ada sedikitpun cahaya
yang menemani perjalanan kami menambah ketakutan dalam diriku. Siapa sangka seorang
anak kecil kumal sepertiku akhirnya harus merelakan masa kecilnya demi kabur dari mereka
yang selalu kami sebut penjajah itu. Lama rasanya Ibu menyeretku membelah hutan gelap ini.
Lagi-lagi air mataku tumpah, tapi tanganku tak berani lepas dari tempat sebelumnya.
“Jangan menangis! kita akan segera sampai ” ucap Ibu lagi. Walau wajah cantiknya
itu harus tertutup gelapnya malam, tapi aku sangat yakin kalau dibalik itu ada rasa takut yang
sama seperti yang kurasakan.
“Ayah mana?” tanyaku lagi, kali ini sebuah rengekan berhasil lolos dari mulut
kecilku. Seketika Ibu berhenti dan berjongkok dihadapanku. Tatapannya yang sendu seakan
memberikan sinyal kalau kami akan baik-baik saja. “ayahmu mati karena mereka nak.
Sekarang hanya kita berdua” balasnya.
Setelah sekian lama kami berlari, akhirnya secercah cahaya terlihat di tengah hutan.
Semakin lama cahaya itu terlihat bertambah banyak. “Cepat sembunyi! Untuk sekarang
tentara Jepang tidak akan menemukan kalian di sini” suara seorang laki-laki tua menuntun
kami untuk masuk ke dalam sebuah rumah.
Entah harus bersyukur atau ketakutan saat melihat banyak orang yang meringis
kesakitan di sini. Darah sudah seperti genangan air sehabis hujan. Aku semakin meremas
baju ibu yang sedari tadi kupegang. “kalian bisa beristirahat” ucap laki-laki tua itu lagi.
Malam berganti pagi. Aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak sedikitpun.
Bahkan beberapa kali aku harus terganggu saat dentuman senapan itu terdengar sangat dekat
dengan rumah ini. “Ibu mana?” hanya itu yang bisa kuucapkan saat tampat Ibu tidur tadi
malam sudah kosong tak ada siapapun. Sementara Wanita dihadapanku hanya menatapku
kosong.
Akhirnya aku berdiri dengan kaki yang penuh goresan ranting tajam tadi malam.
Kondisinya masih sama, penuh orang-orang yang merintih kesakitan dengan darah yang
menyelimuti tubuhnya.
“Ibu…” panggilku.
“ibu….” Lagi dan lagi. Tapi tidak ada satupun yang mirip dengan ibu di sini. Rasa
takut itupun muncul. Tiba-tiba saat ditengah ketakutan yang menguasai diriku, sebuah tangan
terulur dan menarikku ke arahnya. “kamu yang datang tadi malam?” aku mengangguk pelan
saat melihat mata coklatnya yang indah.
Wanita inipun menyuruhku duduk di dekat kakinya yang terluka. Dia memberikan
sepotong roti secara diam-diam. Mungkin tadi malam dia mencurinya, hingga dia takut
dilihat orang lain. “Aku tau kamu lapar, tadi malam ada pembagian makanan dan aku
menyisakan ini untuk Ibumu. Tapi.. tadi Ibumu menyuruhku untuk memberikannya padamu.”
Jelasnya. Ibu? Dia melihat Ibuku!
“Ibu dimana?” tanyaku. Namun lagi-lagi tak ada balasan. “aku janji, nanti sore Ibumu
akan Kembali” ucap wanita itu akhirnya membuat sebuah senyuman terukir tipis di wajahku.
Pagi berganti siang. Hingga akhirnya mataku melihat matahari yang ternggelam di
ufuk Barat. Ibu akan pulang! Aku terus menatap pintu rumah dengan hanya ditemani obor
kecil ditanganku. Hening, hanya itu yang bisa kudengar selain rintihan kesakitan.
“Suamiku bilang kita berjuang untuk merdeka. Apa kamu mengerti apa itu merdeka?”
suara wanita tadi membuyarkan lamunanku. dia duduk disampingku, “aku belum sempat
bertanya apa itu arti merdeka padanya. Tapi aku yakin itu adalah hal yang menyenangkan”
lanjutnya.
Merdeka? Iya, itu terdengar menyenangkan. “Berapa umurmu?” tanyanya lagi. Aku
menatap jari-jariku “ayah bilang.. tujuh” jawabku sementara wanita itu hanya tersenyum
manis. Ditengah obrolan kecil kami, tiba-tiba seorang pria berlari ke arah rumah.
Kukira itu Ibu. Tapi ternyata segerombolan maut yang menyapa ditengah gelapnya
malam. Sedetik setelah itu, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Dengan cepat aku
berlari untuk bersembunyi, itu yang ayah dan ibu ajarkan padaku. Dan seperti dugaanku,
suara dentuman dan teriakan pedih lagi-lagi menari di telinga.
……
Akhirnya wanita paruh baya di hadapanku menutup ceritanya. Akupun
menghembuskan napas lega. Sudah hampir enam jam kami habiskan di dalam ruangan panti
jompo ini. Kagum rasanya bisa mendengar cerita perjuangan yang diturunkan para pejuang
sebelum beliau. Walau satu pertanyaan masih tersimpan di dalam otakku, kemana ibu dari
anak itu? Hanya kata semoga yang bisa menjawabnya.
Kututup buku jurnalku. Lalu berdiri untuk pamit. Tak lupa senyuman manis
kuberikan sepada seorang wanita yang kini hanya bisa duduk di atas kursi rodanya.
Jalanan kota Bandung di tahun 2021 ini terlihat sepi karena pembatasan, apalagi kalau
tidak untuk memutus rantai penularan virus Covid-19 yang sampai sekarang belum juga
hilang. Aku memejamkan mataku sejenak saat sinar hangat menembus kacamata minusku.
Tahun ini, perjuangan kami para pemuda belum juga usai. Masih banyak PR yang
harus kami benahi. Masih banyak nyawa yang harus kami tolong. tanggal 17 Agustus nanti,
akan menjadi saksi betapa kerasnya perjuangan bangsa untuk melawan penjajahan, sekali
lagi. Walau yang berbeda, mereka bangsa kami sendiri. Masa bodoh dengan semua
perubahan jaman yang terjadi. Karena tujuan kami tetap satu, merdeka.

Anda mungkin juga menyukai