Anda di halaman 1dari 18

15

BAB II

PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HUKUM

ANAK LUAR KAWIN

A. MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

1. Pengertian Anak Sah dan Anak Luar Kawin

Seorang anak yang sah adalah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah

antara ayah dan ibunya.10

Berpedoman pada pasal 250 KUHPerdata yang disebutkan berikut ini :

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan ,

memperoleh si suami sebagai bapaknya.”

Sesuai dengan pasal di atas maka dapat diketahui bahwa yang termasuk anak sah

adalah setiap anak yang lahir dan tumbuh sepanjang perkawinan dimana dia akan

mendapatkan suami ibunya sebagai ayahnya.

Ketentuan ini sangat luas pengertiannya, karena seorang anak yang lahir dari

hubungan yang dilakukan sebelum perkawinan antara lain dengan perzinahan

seorang isteri dengan orang lain dapat dikatakan sebagai anak sah.

Hal tersebut diperjelas dalam pasal 252 KUHPerdata :

“Suami boleh mengingkari keabsahan si anak, apabila dapat membuktikan,


bahwa sejak tiga ratus sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahirnya

10
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1994), hal 48.
16

anak itu, baik karena perpisahan maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan,
berada dalam ketakmungkinan yang nyata, untuk mengadakan hubungan
dengan isteinya.
Dengan menunjuk pada ketakmampuan yang nyata, suami tak dapat
mengingkari, bahwa anak itu adalah anaknya.”
Berhubungan dengan hal tersebut, Undang-undang menetapkan suatu

tenggang kandungan yang lama, yaitu 300 hari dan tenggang kandungan yang

paling pendek , yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah

perkawinan orang tuanya dihapuskan adalah anak yang tidak sah.11

Disebutkan dalam pasal 251 KUHPerdata, suami dapat menyangkal

sahnya anak apabila anak tersebut dilahirkan sebelum lewat 180 hari sejak hari

perkawinan orang tuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu,

kecuali :

1. Jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan

dilangsungkan.

2. Jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat tersebut turut

ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah dianggap telah

menerima dan mengetahui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.

3. Jika si anak meninggal tak kala dilahirkannya.

Jikalau seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah hari

pernikahan orang tuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu,

kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa isterinya mengandung sebelum

pernikahan dilangsungkan atau ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan

11
Ibid, hal. 48.
17

surat kelahiran ini turut ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah

dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya

sendiri. Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya

atau dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan

apakah anak itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu

seorang anak yang lahir mati tidak perlu disangkal sahnya.12

Apabila istri dituduh berzinah dengan lelaki lain dan kelahiran anak

tersebut disembunyikan terhadapnya. Maka disini suami harus membuktikan

bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain dalam waktu 180 dan 300 hari

sebelum kelahiran anak tersebut Ps. 253 BW.

Suami juga dapat menyangkal sahnya anak apabila anak itu dilahirkan

300 hari setelah adanya keputusan perpisahan meja dan tempat tidur ; kecuali

apabila si istri dapat membuktikan dengan menunjuk segala peristiwa bahwa

suamilah bapak anak itu Ps. 254 BW.

Suami dapat menyangkal sahnya anak apabila ia dapat membuktikan

bahwa sejak 300 hari sampai dengan 180 hari sebelum lahirnya anak tersebut,

baik karena perpisahan maupun karena suatu hal, berada dalam

ketidakmungkinan untuk mengadakan hubungan dengan istrinya Ps. 252 BW.

Menyangkal sahnya anak dapat dilakukan dengan beberapa cara, yang

diterangkan dalam Pasal 256 sampai dengan Pasal 260 KUHPerdata, yang secara

singkat sebagai berikut :


12
Ibid, hal. 48-49
18

1. Seorang suami yang hendak menyangkal sahnya anak, harus mengajukan

gugatan melalui hakim dalam waktu satu bulan apabila ia berdiam di tempat

kelahiran si anak/ sekitarnya.

2 Apabila suami tidak hadir atau tidak berada ditempat ketika anak dilahirkan,

gugatan harus diajukan 2 bulan setelah kembalinya suami.

3 Apabila kelahiran tersebut disembunyikan oleh istrinya kepadanya, maka

gugatan harus diajukan 2 bulan setelah suami mengetahui tipu muslihat.

4 Semua akta yang dibuat di luar hakim yang berisi penyangkalan tentang

sahnya anak, harus diikuti dengan gugatan dimuka hakim dalam waktu 2

(dua) bulan ; dan apabila dalam jangka waktu tersebut suami meninggal

dunia, maka gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli waris dalam waktu 2(dua)

bulan setelah meninggalnya suami (Ps 256 BW).

5 Tuntutan yang diajukan oleh suami menjadi gugur, apabila para ahli waris

tidak melanjutkannya dalam waktu 2 bulan setelah meninggalnya suami (Ps.

257 BW).

6 Hakim yang menerima gugatan penyangkalan tersebut harus menunjuk

seseorang yang istimewa yang akan mewakili anak yang disangkal itu, yang

paling banyak mengetahui tentang keadaan anak tersebut dan paling

berkepentingan, harus dipanggil secara sah.

Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya atau

dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan apakah


19

anak itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu seorang

anak yang lahir mati tidak perlu disangkal sahnya.13

Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang

diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat

kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak

keluar, menunjukkan adanya hubungan seperti antara anak dengan orang tuanya.14

Pasal 280 KUHPerdata/B.W. yang mengatakan bahwa :

“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,

timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya”

Berdasarkan pasal tersebut ada kemungkinan seorang anak tidak mempunyai ibu

dan tidak mempunyai ayah, dalam arti antara si anak dengan ibunya dan ayahnya

tidak mempunyai hubungan hukum dan anak luar kawin hanya dapat mempunyai

hubungan hukum dengan orang yang mengakuinya, misalnya ibu dari anak

tersebut maka anak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja.

Menyimpulkan dari pasal 272 BW maka dapat ditarik bahwa Hukum

Perdata Barat juga mengenal anak luar kawin, yang dapat dibagi lagi menjadi 3

(tiga), yaitu :

1. Anak Alam, adalah seorang anak yang lahir di luar perkawinan karena

hubungan biologis antara seorang pria dan seorang wanita yang belum kawin

dan mereka dapat melakukan perkawinan di kemudian hari.

13
Ibid, hal. 48-49
14
Ibid, hal. 49
20

2. Anak Zina, adalah seorang anak yang lahir di luar perkawinan dan kedua

orang tuanya tidak dapat melakukan perkawinan karena salah satunya masih

terikat dalam suatu perkawianan.

3. Anak Sumbang, yaitu seorang anak yang lahir di luar perkawinan dan kedua

orang tuanya tidak dapat melakukan perkawinan, karena masih adanya

hubungan darah diantara mereka. Kecuali dalam hal tertentu yang

mendapatkan dispensasi dari Presiden sesuai dengan Pasal 283 Jo Pasal 273

KUHPerdata.

Hubungan hukum antara seorang perempuan dan seorang anak yang

dilahirkan di luar perkawinan baru ada apabila si ibu mengakui anak itu sebagai

anaknya dan pengakuan demikian itu harus ia lakukan dengan cara tertentu yaitu

menurut Pasal 281 B.W., yaitu dalam akta kelahiran si anak atau dalam akta

perkawinan si ibu dengan seorang lelaki atau bapak biologis di muka pegawai

catatan sipil/secara otentik notaris tersendiri.

Perlu diterangkan, bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan Pasal 283 tidak membolehkan pengakuan terhadap

anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (“overspel”) atau yang dilahirkan

dari hubungan dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.15

2. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin dengan Adanya Pengakuan dan

Pengesahan

Sesuai dengan asal 280 KUHPerdata yang mengatakan bahwa :


15
Ibid. hal. 50
21

“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,

timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya”

Menurut hukum Perdata Barat, pengakuan merupakan suatu perbuatan untuk

merelakan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya yang mengakuinya.

Menurut sistem yang dianut oleh B.W. dengan adanya keturunan di

luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan

orang tuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu pertalian

kekeluargaan dengan akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang

tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan

keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada.16

Pengakuan ini biasanya dilakukan oleh ibu pada saat anak itu

didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, yang juga dicantumkan dalam akta kelahiran.

Selain pada saat didaftarkan, pengakuan juga dapat dilakukan dengan akta otentik

yang dibuat, kemudian oleh Pegawai Catatan Sipil atau Notaris pengakuan juga

dapat dilakukan pada saat perkawinan kedua orang tuanya yang membawa akibat

pengesahan anak tersebut.

Pengakuan harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan

dicantumkan dalam akta kelahiran. Meski ada ketentuan yang memungkinkan

seorang laki-laki atau bapak melakukan pengakuan anak, namun pengakuan itu

hanya bisa dilakukan dengan persetujuan ibu. Pasal 284 KUHPerdata menyatakan

16
Ibid. hal. 50
22

bahwa suatu pengakuan terhadap anak luar kawin, selama hidup ibunya, tidak

akan diterima jika si ibu tidak menyetujui. Pasal 278 KUHPidana pun mengatur

tentang ancaman pidana bagi orang yang mengakui anak luar kawin yang bukan

anaknya. Hal sebaliknya dengan si ibu, si ibu dapat melakukan pengakuan tanpa

persetujuan dari ayah terlebih dahulu, seorang ayah yang hendak melakukan

pengakuan harus telah mencapai usia 18 tahun dan pengakuan itu dilakukan

bukan karena paksaan, khilaf, tipuan atau bujukan.

Sebaliknya seorang ibu dapat melakukan pengakuan tanpa adanya

batas umur seperti diterangkan dalam pasal 282 B.W., hal ini dilakukan karena

pembuat Undang-undang menganggap seorang perempuan yang sudah dapat

melahirkan dapatlah dikatakan telah dewasa. Selain itu juga untuk melindungi

kepentingan si anak sendiri, jangan sampai anak tersebut tidak dapat diakui oleh

si ayah atau ibunya.

KUHPerdata juga memungkinkan seorang bapak melakukan

pengakuan anak pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan. Seperti yang

diterapkan dalam Pasal 273, yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar

kawin,-- selain karena perzinahan atau dosa darah--, dianggap sebagai anak sah,

apabila bapak dan ibunya itu kemudian menikah, dan sebelum perkawinan

diselenggarakan, anak tesebut diakui oleh bapak dan ibunya.

Pengakuan anak luar kawin bisa dilakukan bilamana anak luar kawin

yang dimaksud adalah akibat adanya hubungan seorang laki-laki dan perempuan

yang statusnya adalah :


23

a) Kedua pihak masih lajang (tidak dalam ikatan perkawinanan yang sah).

b) Akibat adanya perkosaan.

c) Kedua pihak sudah melakukan perkawinan, tetapi lalai mengakui anak luar

kawinnya, maka atas surat pengesahan dari Presiden pengakuan dapat

dilakukan.

Pengakuan anak yang dilarang (Pasal 282 KUHPerdata):

a. Oleh anak yang belum dewasa, atau belum mencapai usia 19 tahun; (catatan :

khusus bagi perempuan yang melakukan pengakuan, diperbolehkan meski ia

belum mencapai usia 19 tahun).

b. Dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf ;

c. Ibu dari anak tersebut tidak menyetujui ;

d. Terhadap anak yang dilahirkan akibat hubungan antara pihak yang masih

terikat perkawinan (zinah) maupun anak sumbang kecuali mendapat

dispensasi dari Presiden. (Anak sumbang adalah anak yang lahir dari

hubungan antara dua orang yang dilarang menikah satu sama lain)

Pasal 283 KUHPerdata, mengatakan bahwa anak yang lahir akibat

perzinahan maupun hubungan sumbang, tidak dapat diakui kecuali terhadap yang

terakhir ada dispensasi dari Presiden, menurut Pasal 285 KUHPerdata pengakuan

yang dilakukan sepanjang perkawinan suami-isteri untuk kepentingan anak luar

kawin, yang diperoleh sebelum kawin dari perempuan atau laki-laki lain daripada

suami atau isterinya, tidak boleh membawa kerugian baik bagi suami atau istreri,

maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Dan jika
24

perkawinan itu dibubarkan, pengakuan tersebut akan memperoleh akibatnya, jika

dari perkawinan tersebut tidak dilahirkan seorang keturunan.

Dimungkinkan untuk memaksa seorang anak laki-laki untuk mengakui

seorang anak, jika anak laki-lak tersebut telah melanggar Ps. 285, 286, 287, 288,

294 dan Ps. 332 KUHPerdata, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 287

KUHPerdata, pengakuan yang dilakukan ibu maupun ayah dan tuntutan oleh

seorang anak, dapat ditentang berdasarkan Ps.286 KUHPerdata.

Dimungkinkan pula pengakuan yang dilakukan terhadap anak yang

belum lahir. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 KUHPerdata, yang

menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan,

dianggap sebagai telah dilahirkan, bila kepentingan anak menghendakinya.17

Dengan demikian, sebelum anak yang diakui tersebut lahir, maka bisa

terjadi hubungan hukum kekeluargaan antara ayah dengan anak, sebagai akibat

adanya pengakuan secara parental terhadap anak yang belum lahir tersebut.

Biasanya pengakuan sebelum lahir ini diterapkan pada peristiwa khusus yang

merupakan pengecualian untuk suatu kepentingan, misalnya dalam hal warisan.18

17
Ibid,, hal 2.
18
Ibid,, hal 2.
25

Akibat terpenting dari pengakuan anak sebelum lahir adalah seluruh

hubungan hukum kekeluargaan serta semua akibat hukum yang berkaitan dengan

itu berlaku pada saat anak tersebut dilahirkan.19

Syarat-syarat pembuatan akta pengakuan :

a) Fotocopy KTP kedua orang tua ;

b) Kartu Keluarga;

c) Akta kelahiran anak luar kawin;

d) Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tidak terikat perkawinan dan

anak yang diakui adalah anak mereka.

Setelah diadakan pengakuan, maka tindakan selanjutnya adalah

pengesahan. Dengan adanya pengesahan, maka anak tersebut tidak saja

mempunyai hubungan hukum dengan orang yang mengesahkannya, tetapi anak

tersebut juga mempunyai hubungan hukum dengan keluarga yang

mengesahkannya.

Cara melakukan pengesahan diterapkan dalam pasal 272 s/d 279

KUHPerdata yang secara singkat adalah sebagai berikut :

a) Kedua orang tua anak tesebut melakukan perkawinan secara sah dan

sebelumnya telah melakukan pengakuan terhadap anak tersebut. Menurut

pengakuan undang-undang, apabila pengakuan belum dilakukan sebelumnya,

maka hal tersebut dapat juga dilakukan pada waktu perkawinan berlangsung

dengan dicantumkan di dalam akta perkawinan.


19
Ibid, hal 3
26

b) Jika orang tuanya sebelumnya atau pada waktu berlangsung perkawinan telah

lalai untuk mengakui anak-anak mereka diluar perkawinan, pengesahan

terhadap anak-anak tersebut dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari

Presiden setelah terlebih dahulu mendengar nasihat dari MA.

c) Pengesahan Presiden dapat diberikan kepada anak luar kawin yang telah

diakui menurut undang-undang, dan kedua orang tuanya telah direncanakan

untuk melakukan perkawinan yang sah tetapi perkawinan tidak dapat

berlangsung karena meninggalnya salah satu dari keduanya. Pengesahan

Presiden berlaku sejak tanggal surat pengesahan diberikan oleh Presiden. Dan

pengesahan tersebut tidak boleh merugikan anak-anak sah sebelumnya.

d) Hal ini juga dapat dilakukan apabila si ibu telah meninggal dunia atau jika

menurut pertimbangan Presiden nada keberatan-keberatan penting terhadap

perkawinan antara si ayah dan si ibu.

e) Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan yang sama, anak-anak yang

telah meninggal dunia dan meninggalkan keturunan boleh juga disahkan demi

kepentingan sekalian keturunan tersebut.

Pengesahan anak luar kawin, baik yang dilakukan dengan perkawinan kedua

orang tuanya maupun dengan surat pengesahan Presiden, mempunyai akibat

hukum anak tersebut sama kedudukannya dengan anak dilahirkan dalam

perkawinan.
27

B. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Pengertian Anak Sah dan Anak Luar Kawin

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

pengertian anak sah diatur dalam Pasal 42 yang mengatakan bahwa anak sah

adalah sebagai berikut :

“anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”

Anak sah adalah anak yang lahir dari atau sebagai akibat dari perkawinan, sedang

anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Sering anak

diluar perkawinan disebut anak jadah, anak zinah(Natuurlijkekinderen) atau

onwettige kinderen, sedangkan anak sah disebut wettige kinderen.20

Menurut UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak menentukan

suatu jangka waktu kehamilan yang menjadi dasar ukuran kelahiran sebagai anak

yang sah. Seolah-olah undang-undang ini menganggap setiap anak yang lahir dari

suatu ikatan perkawinan yang sah dengan sendirinya dianggap anak sah dari

kedua orang suami-isteri.

Keabsahan si anak, suami dapat menyangkal tentang sahnya anak yang

dilahirkan oleh isterinya, jika ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah

berzinah dan anak tersebut dilahirkan sebagai akibat zinah (Pasal 44 UU No.1

tahun 1974 tentang Perkawinan).

20
Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1991) hal.37.
28

Penyangkalan itu dapat dilakukan dengan cara Li’an. Li’an merupakan

perselisihan antara si suami dan si isteri tentang anak yang dilahirkan atau

dikandung oleh si isteri, yang menurut si suami bukan anaknya si suami.21 Li’an

tidak dapat diputuskan oleh pengadilan agama akan tetapi yang berwenang ialah

pengadilan negeri dan pengadilan negeri akan memutus menurut hukum adat atau

hukum negara.22

Pembuktian tentang asal-usul anak dapat dibuktikan dengan berbagai

jalan, yakni:

1. Dengan akta kelahiran yang bersifat otentik.

2. Dengan surat keterangan kenal lahir (Akte van Lekendheid)

3. Dengan kesaksian dua orang yang sudah dewasa, dilengkapi dengan

keterangan dokter, bidan, dukun bayi dan lainnya.23

Mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 43 (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berbunyi sebagai berikut :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mmpunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Maksud“hubungan perdata”di atas kiranya sama dengan“hubungan hukum”yang

dimaksudkan Pasal 281 B.W, dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa:

21
Ibid, hal 43
22
Ibid., hal 43
23
Ibid., hal 43
29

“Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian itu
tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu
perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-tiap akta otentik.
Pengakuan yang demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil dan dibukukan dalam register kelahiran menurut hari
penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dalam jihad akta kelahiran.
Jika pengakuan itu dilakukan dengan akta otentik lain, maka masing-masing
yang berkepentingan berhak menuntut pencatatan pengakuan itu dalam jihat
akta kelahiran si anak.
Namun bagaimana tak bolehlah sesuatu kelalaian mencatatkan pengakuan itu
dipersalahkan kepada anak yang diakui, untuk dipertengkarkan kedudukan
yang diperolehnya.”

dengan adanya Pasal 43 UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan maka

pengakuan si ibu lewat akta kelahiran si anak, atau pada akta perkawinannya atau

secara akta otentik tersebut tidak lagi diperlukan, hal ini merupakan suatu

ketentuan yang praktis dan tepat.

2. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Terhadap Orang Tuanya

Sesuai dengan Pasal 43 Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974

hanya mengatakan bahwa :

1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya

2) Kedudukan anak tersebut (1) selanjutnya akan diatur dalam PP.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, S.H. yang dimaksud dengan

hubungan hukum anak sah dan anak tidak sah terhadap orang tuanya adalah :

“Hubungan hukum itu ialah hubungan yang ditur oleh hukum, yang mempunyai 2

(dua) segi yakni : pada satu segi ia merupakan hak dan pada segi pihak lain

merupakan kewajiban. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak


30

sah), mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan

ibunya. Anak luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai hubungan hu kum atau

hubungan keperdataan dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan

hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan, akan tetapi menurut

undang-undang aneh sekali, agar ada hubungan keperdataan antara anak yang

dilahirkan di luar perkawinan dan ibunya, maka ibu harus mengakui anaknya.

Tanpa pengakuan, maka tidak ada hubungan keperdataan antara anak dan ibunya,

yang berarti bahwa menurut undang-undang anak itu tidak mempunyai ibu dan

bukan anak ibunya”.

Peraturan yang aneh itu bertentangan dengan logika ini berasal dari

Kitab Undang-Undang Perdata Belanda, yang dinegeri Belanda sudah dihapus

sejak tahun 1947. Di Indonesia, karena kitab Hukum Perdata Eropa tidak

dianggap sebagai undang-undang dan ketentuan itu hanya berlaku jika benar-

benar merupakan hukum hidup, maka Pasal 280 KUHPerdata sekedar mengenai

pengakuan anak oleh ibunya harus dianggap sudah tidak berlaku.24

Udang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar

kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang

berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisannya. Bagi

24
Ibid., hal 37-38.
31

mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu , seorang bapak

dapat melakukan pengakuan anak.25

Masalah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dalam Undang-

Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur sehingga dalam

masalah pengakuan dan pengesahan masih mengacu pada Kitab Undanng-

Undang Hukum Perdata Barat.

Pengakuan anak merupakan pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang

lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum .

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan oleh ibu maupun

bapak, tetapi karena berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 43

yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak

mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan

hubungan perdata yang baru seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak.

Inti dari Pasal 43 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maka dapat

dilihat adanya persamaan antar Undang-Undang No.1 tahun 1974 dengan konsep

Hukum Islam, persamaannya adalah seorang anak luar kawin secara langsung

mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.

Akibat dari pengakuan anak di luar perkawinan oleh bapaknya adalah

bahwa anak yang diakui oleh bapaknya mempunyai hubungan keperdataan,

artinya anak memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan anak

25
Tim Lbh-Apik, “Pengakuan Anak Luar Kawin”, http://www.lbh-apik.or.id/fac-39.htm,diakses
Tanggal 30 Juli 2001,hal .1.
32

di luar perkawinan yang tidak diakui dan apabila anak diakui oleh bapaknya, si

anak akan mendapat nama dari bapaknya (nama keluarga).

Pada intinya Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

memang tidak mengenal istilah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin,

sehingga mengenai ketentuan yang mengatur tentang pengakuan dan pengesahan

anak luar kawin masih mengacu pada pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (BW) yaitu diatur dalam pasal 281 sampai dengan 286.

Anda mungkin juga menyukai