Anda di halaman 1dari 32

PENJERNIHAN MINYAK JELANTAH DENGAN ADSORBEN

AMPAS SAGU (Metroxylon sago) UNTUK PEMBUATAN SABUN


PADAT BERDASARKAN PERBANDINGAN BERAT ADSORBEN
DENGAN MINYAK JELANTAH

OLEH :

HALWIA
A1C4 14 014

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sabun adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang merupakan produk

kimia yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sabun berbahan dasar

minyak yang berfungi untuk membersihkan tubuh dari kotoran, keringat, debu dan

lain lain (Sumarna, 2007). Sabun adalah senyawa yang dihasilkan dari reaksi antara

asam lemak dengan alkali. Asam lemak ini terdapat di dalam minyak nabati dan

lemak hewan. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam

linolinat terdapat dalam minyak goreng bekas yang merupakan trigliserida yang

dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan sabun mandi padat

menggantikan asam lemak bebas jenuh yang merupakan produk samping proses

pengolahan minyak goreng. Reaksi dari minyak nabati dan lemak hewan dengan

alkali disebut dengan reaksi saponifikasi. Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi,

yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Kondisi

basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH) dan kalium

Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi

berupa sabun keras (padat), sedangkan basa yang digunakan berupa KOH maka

produk reaksi berupa sabun cair. Sabun berfungsi untuk mengemulsi kotoran-kotoran

berupan minyak ataupun zat pengotor lainnya.

Minyak merupakan medium penggoreng bahan pangan yang banyak

dikonsumsi masyarakat luas. Kurang lebih 290 juta ton minyak dikonsumsi tiap

tahun. Banyaknya permintaan akan bahan pangan digoreng merupakan suatu bukti
yang nyata mengenai betapa besarnya jumlah bahan pangan digoreng yang

dikonsumsi manusia oleh lapisan masyarakat dari segala tingkat usia (Ketaren,

2005). Salah satu kebutuhan penting yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia

adalah minyak goreng. Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit

asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25°C), dan lebih banyak mengandung

asam lemak tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Dalam penggunaanya,

minyak goreng yang dipakai berulang-ulang sudah tentu tidak layak untuk dipakai

menggoreng atau mengalami perubahan kimia akibat oksidasi dan hidrolisis,

sehingga dapat menyebabkan keruskan pada minyak goreng tersebut. Melalui proses-

proses tersebut beberapa trigliserida akan terurai menjadi senyawa-senyawa lain,

salah satunya Free Fatty Acid (FFA) atau asam lemak bebas (Ketaren, 1996).

Kerusakan pada minyak dapat diamati secara visual yaitu timbulnya bau,

warna kecoklatan dan rasa tengik yang disebabkan oleh autooksidasi minyak.

Semakin besar kadar asam lemak bebasnya, maka semakin rendah kualitas

minyak goreng tersebut. Senyawa-senyawa tersebut dapat berdampak buruk bagi

kesehatan manusia (Julianus, 2006). Minyak yang telah mengalami pemanasan,

sejalan dengan peningkatan kekentalan, akan naik kandungan asam lemak bebas dan

asam lemak jenuhnya, dan turun jumlah asam lemak tak jenuhnya. Kadar ALB

merupakan sifat yang paling umum untuk mengendalikan mutu minyak goreng.

Syarat mutu minyak goreng (SNI 01-3741-2002) menetapkan bahwa kadar ALB

maksimum adalah 0.30%. Dengan demikian diperlukan upaya untuk menghilangkan

ALB yang terdapat dalam minyak goreng bekas, salah satunya dengan cara adsorpsi

(Romaria, 2008).
Salah satu metode untuk memperbaiki mutu minyak jelantah adalah

adsorpsi. Upaya meregenerasi minyak jelantah telah dicoba mengadsorpsi

komponen-komponen dalam minyak jelantah dengan menggunakan adsorben dari

bahan alami seperti arang aktif dan tanah pemucat (Anggono, 1996). Tiap jenis

adsorben memiliki selektivitas dalam mengadsorpsi komponen tertentu yang ada

dalam minyak jelantah. Selain itu, tiap bahan adsorben perlu diproses dulu sebelum

digunakan. Keberhasilan proses adsorpsi ditentukan oleh pemilihan sifat adsorben

yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan kadar asam lemak bebas pada

minyak goreng bekas dengan menggunakan adsorben tertentu. Adsorben yang

digunakan harus memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Di antaranya mempunyai daya

serap yang besar terhadap solut, zat padat yang mempunyai luas permukaan yang

besar, tidak larut dalam zat cair yang akan diadsorpsi, tidak beracun dan mudah

didapat, serta memilikim harga yang relatif murah (Syabanu dan Cahyaratri, 2009).

Penelitian pengolahan minyak jelantah telah banyak dilakukan dan banyak

juga yang menghasilkan temuan dalam bentuk paten. Proses pengolahan minyak

jelantah telah dilakukan oleh (Wulyoadi dkk, 2004), dimana minyak jelantah

dimurnikan dengan membran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa minyak

goreng jelantah hasil pemurnian mengalami penurunan bilangan asam dan bilangan

peroksida, namun belum memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Oleh karena itu perlu secara terus menerus diupayakan berbagai alternatif adsorben

yang dapat meremajakan minyak jelantah dari bahan yang murah dan aman. Salah

satu yang dapat diupayakan adalah penggunaan ampas sagu sebagai adsorben.
Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan

yang tepat. Kandungan pati yang terdapat dalam empelur sagu hanya 18,5% dan

sisanya 81,5% merupakan ampas sagu. Ampas sagu mengandung serat kasar sekitar

10.11%, abu 0.01%, dan air 12.3% sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan

sebagai arang aktif (Nurdin, 1995). Limbah ampas sagu merupakan limbah

lignoselulosa yang kaya akan selulosa dan pati, sehingga dapat dimanfaatkan secara

optimal sebagai sumber karbon. Limbah sagu berupa ampas mengandung 65,7% pati

dan sisanya berupa serat kasar, protein kasar, lemak dan abu. Berdasarkan persentase

tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan

selulosanya sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Dengan

diketahuinya kandungan serat kasar dalam ampas sagu, diharapkan nilai guna ampas

sagu dapat ditingkatkan untuk pembuatan arang aktif.

Proses pemurnian minyak goreng melalui tiga tahap yaitu penghilangan

bumbu (despicing), Netralisasi dan pemucatan (bleaching), dengan menggunakan

arang aktif buatan sendiri seperti arang ampas sagu dari berat minyak goreng yang

digunakan dalam pembuatan sabun padat. Semakin banyak adsorben yang

digunakan, semakin banyak ALB yang diadsorpsi. Hal ini memperkuat penelitian

Victoria (2009) yang menyatakan bahwa penambahan bobot adsorben akan

menurunkan kapasitas adsorpsi dan meningkatkan efisiensi adsorpsi.

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian penjernihan

minyak jelantah dengan adsorben ampas sagu untuk pembuatan sabun padat

berdasarkan perbandingan berat adsorben dengan minyak.


B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini yakni

1. Bagaimana pengaruh massa adsorben terhadap kemampuan dalam proses

adsorpsi minyak goreng bekas ?

2. Bagaimana mutu minyak yang dihasilkan, sesuai parameter kualitas minyak

yang telah ditetapkan ?

3. Bagaimana mutu sabun yang dihasilkan, sesuai parameter kualitas sabun

yang telah ditetapkan ?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yakni

1. Untuk mengetahui massa adsorben optimum dalam proses adsorpsi minyak

goreng bekas

2. Untuk mengetahui mutu minyak yang dihasilkan, sesuai parameter kualitas

minyak yang telah ditetapkan

3. Untuk mengetahui mutu sabun yang dihasilkan berdasarkan parameter

kualitas sabun yang telah ditetapkan

D. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yakni

1. Dapat mengetahui massa adsorben optimum dalam proses adsorpsi minyak

goreng bekas

2. Dapat mengetahui mutu minyak yang dihasilkan, sesuai parameter kualitas

minyak yang telah ditetapkan


3. Dapat mengetahui mutu sabun yang dihasilkan berdasarkan parameter

kualitas sabun yang telah ditetapkan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lemak dan Minyak

Lemak dan minyak merupakan salah satu kelompok yang termasuk dalam

golongan lipid yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam

air, tetapi larut dalam pelarut organic nonpolar misalnya kloroform (CHCl3),

benzena, hidrokarbon dan lainnya, lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang

disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan

pelarut tersebut (Ketaren, 1986).

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasilgliserol, kedua istilah ini

berarti triester dari gliserol. Asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu

lemak atau minyak, yang disebut asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon

yang panjang dan tidak bercabang (Fessenden, 1994).

2.2 Minyak Goreng (Jelantah)

Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang

dikonsumsi seluruh lapisan masyarakat. Minyak goreng adalah minyak nabati yang

telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Konsumsi minyak

goring biasanya digunakan sebagai media menggoreng bahan pangan dan penambah

cita rasa (Susinggih, 2005).

Minyak sisa penggorengan atau minyak jelantah (waste cooking oil) adalah

minyak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti sawit, jagung, minyak sayur dan

minyak samin yang telah digunakan sebagai minyak goreng. Minyak goreng yang
telah dipakai akan mengalami perubahan dan bila ditinjau dari komposisi kimianya,

minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang

terjadi selama proses penggorengan. Perubahan sifat ini menjadikan minyak goreng

tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai bahan makanan (Rosita, 2009).

Selama proses penggorengan minyak mengalami reaksi degradasi yang

disebabkan oleh panas, udara dan air, sehingga mengakibatkan terjadinya oksidasi,

hidrolisis, dan polimerisasi. Reaksi oksidasi juga dapat terjadi selama masa

penyimpanan. Produk reaksi oksidasi minyak, seperti peroksida, radikal bebas,

aldehid, keton, hidroperoksida, polimer dan oxidized monomer dan berbagai produk

oksidasi minyak yang lain dilaporkan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan

(Lee, 2002).

Minyak yang telah dipakai menggoreng biasa disebut minyak jelantah.

Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak.

Minyak yang tinggi kandungan LTJ (Lemak Tak Jenuh)-nya memiliki nilai tambah

hanya pada gorengan pertama saja, sementara yang tinggi ALJ (Asam Lemak

Jenuh)nya bias lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan rusak juga. Oleh proses

penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi jenuh. Penggunaan yang lama

dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi, membentuk gugus

peroksida dan monomer siklik (Ramdja, 2010).

Minyak kelapa kaya akan asam lemak berantai sedang (C8-C14), khususnya

asam laurat dan asam meristat. Asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan sabun

karena asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik untuk

produk sabun serta vitamin A dan C yang berfungsi sebagai antioksidan untuk
melindungi kulit dari pengaruh radikal bebas yang bias merusak kulit seperti kulit

kering, noda hitam, kusam, dan keriput.Penambahan tepung tapioca pada sabun

umumnya bertujuan untuk memperoleh padatan sabun yang tidak terlalu lunak,

selain itu penambahan tepung tapioka pada saat pembuatan sabun dapat memberikan

nilai ekonomis karena akan lebih banyak sabun yang dapat dihasilkan dengan jumlah

minyak dan NaOH yang sama. Tepung tapioka dikenal juga dengan sebutan tepung

kanji atau pati singkong.Tepung tapioca berasal dari tanaman singkong (ubi

kayu).Pati singkong memiliki karakteristik yang luar biasa, termasuk pasta dengan

viskositas yang tinggi, pasta dengan kejernihan yang sangat tinggi, stabil dalam

keadaan cair, yang sangat berguna pada banyak industri (Masri, 2009).

2.3 Standar Mutu Minyak

Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan

minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan.

Bila minyak mengalami pemanasan yang berlebihan, bagian molekulnya yaitu

gliserol akan mengalami kerusakan dan minyak tersebutakan mengeluarkan asap biru

yang sangat mengganggu lapisan selaput mata. Molekul-molekul gliserol tersebut

menjadi kering dan membentuk aldehida tidak jenuh yang disebut akrolein. Titik

asap suatu minyak goreng bergantung pada kadar gliserol bebasnya. Semakin tinggi

titik asapnya, semakin baik mutu minyak goreng tersebut (Winarno, 1986).

Perubahan sifat fisika dan kimia pada minyak dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu

keberadaan komponen air di dalam bahan pangan yang digoreng yang dapat

menyebabkan reaksi hidrolisis minyak, adanya oksigen dari atmosfer yang dapat

mempercepat reaksi oksidasi minyak, dan suhu proses yang sangat tinggi yang
berdampak pada percepatan proses kerusakan minyak. Dalam proses penggorengan ,

minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih,

menambah nilai gii, dan sumber kalori dalam pangan. Kerusakan minyak akibat

pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan kekentalan, peningkatan

bilangan peroksida. Selain itu dapat juga dilihat dari penurunan bilangan iod dan

penurunan asam lemak tak jenuh (Ketaren, 1986).

Table 1. Standar Mutu Minyak Goreng


No Kriteria Persyaratan
Bau dan rasa Normal
Warna Putih, kuning pucat, sampai kuning
Kadar air Max 0,3% b/b
Berat jenis 0,900 gram/L
Bilangan asam Max 2 mg KOH /g
Bilangan peroksida Max 2Meq/ Kg
Bilangan Iod 45-46
Bilangan Penyabunan 196-206
Indeks Bias 1,448-1,450
10 Cemaran Logam Max 0,1 mg/Kg (Kecuali seng)
(Sumber : SNI 01-3741-2002 Standar Mutu MinyakGoreng)

2.4 Ampas Sagu (Metroxylon sagu)

Tanaman sagu (Metroxylon sagu) (Gambar 1) merupakan tanaman yang

tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae,

marga Metroxylon, dengan ordo Spadiciflorae. Sagu memiliki kandungan pati yang

lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Metroxylon lainnya, sehingga sagu banyak

dimanfaatkan dalam berbagai industri pertanian. Saat ini, pemanfaatan sagu hanya

terfokus pada pati yang terkandung di dalamnya.


Gambar 1. Tanaman sagu (Metroxylon sagu)

Perkembangan industri pengolahan pati

menyebabkan peningkatan hasil sampingan

berupa limbah sagu yang berupa kulit batang

dan limbah sagu. Limbah ikutan pengolahan

sagu berupa kulit batang sekitar 17-25% dari

serat batang sedangkan ampas sagu75-83%. Namun, limbah tersebut belum

dimanfaatkan

secara optimal (Denitasari, 2011).

Limbah sagu merupakan limbah lignoselulosa yang kaya akan selulosa dan

pati, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber karbon. Limbah

sagu berupa ampas mengandung 65,7% pati dan sisanya berupa serat kasar, protein

kasar, lemak, dan abu. Berdasarkan presentase tersebut ampas mengandung residu

lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosanya sebesar 20% dan sisanya

merupakan zat ekstraktif dan abu. Selain itu, kulit batang sagu mengandung selulosa

(57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) dari pada ampas sagu (Kiat, 2006).

Limbah pemrosesan pohon sagu, khususnya ampas sagu sampai saat ini

belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya sebagian kecil digunakan sebagai

pakan ternak. Padahal, potensinya cukup besar, utamanya di Irian Jaya, Sulawesi

dan Sumatera. Indonesia adalah Negara yang memiliki areal tanaman sagu

(Metroxylon sp.) terbesar di dunia hingga 1.2 juta ha. Di Indonesia luas areal
tanaman sagu mencapai 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia

(Deptan, 2009).

2.5 Adsorpsi

Secara umum adsorbsi adalah proses pemisahan komponen tertentu dari satu

fasa fluida (larutan) ke permukaan zat padat yang menyerap (adsroben). Pemisahan

terjadi karena perbedaan bobot molekul atau porositas, menyebabkan sebagian

molekul terikat lebih kuat pada permukaan dari pada molekul lainnya. Adapun

syarat-syarat untuk berjalannya suatu proses adsorbsi, yaitu terdapat : 1. Zat yang

mengadsorbsi (adsorben), 2. Zat yang teradsorbsi (adsorbat), 3. Waktu pengocokan

sampai adsorbs berjalan seimbang (Yustinah, 2011).

Keberhasilan proses adsorpsi di tentukan oleh pemilihan sifat adsorben.

Adsorben yang digunakan harus memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Di antaranya

mempunyai daya serap yang besar terhadap solut, zat padat yang mempunyai luas

permukaan yang besar, tidak larut dalam zat cair yang akan di adsorpsi, tidak beracun

dan mudah didapat, serta memiliki harga yang relatif murah (Syabanu dan

Cahyaratri, 2009).

Kapasitas penyerapan pada proses adsorbsi tergantung area permukaan yang

tersedia untuk interaksi antara larutan dengan permukaan. Dengan kata lain

penyerapan dari material yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil dapat

mengadsorpsi substansi lebih banyak bila dibandingkan dengan partikel berukuran

lebih besar (Afrianita, dkk 2013).

2.6 Bobot Adsorben


Bobot adsorben memengaruhi kapasitas dan efisiensi adsorpsi ALB.

Kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya adsorbat yang diadsorpsi persatuan

bobot adsorben. Karena itu, nilainya dipengaruhi oleh besarnya bobot adsorben. Jika

bobot adsorben dinaikkan, sedangkan waktu adsorpsi dan konsentrasi adsorbat tetap,

peningkatan jumlah tapak aktif akan meningkatkan penyebaran adsorbat, sehingga

per satuan bobot adsorben tidak secara penuh mengadsorpsi adsorbat. Di sisi lain,

efisiensi adsorpsi menyatakan konsentrasi ALB yang diadsorpsi oleh adsorben.

Karena itu, nilainya hanya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ALB setelah

diadsorpsi. Semakin banyak adsorben yang digunakan, semakin banyak ALB yang

diadsorpsi. Hal ini memperkuat penelitian Victoria (2009) yang menyatakan bahwa

penambahan bobot adsorben akan menurunkan kapasitas adsorpsi dan meningkatkan

efisiensi adsorpsi (Kurniawan, 2011).

2.7 Sabun

Sabun termasuk salah satu jenis surfaktan yang terbuat dari minyak atau

lemak alami. Surfaktan mempunyai struktur bipolar, bagian kepala bersifat hidrofilik

dan bagian ekor bersifat hidrofobik. Karena sifat inilah sabun mampu mengangkat

kotoran (biasanya lemak) dari bdan atau pakaian. Sabun adalah garam logam alkali

(biasanya garam natrium) dari asam-asam lemak. Sabun mengandung garam C 16 dan

C18 namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih

rendah. Sekali penyabunan itu telah lengkap, lapisan air yang mengandung gliserol

dipisahkan, dan gliserol dipulihkan dengan penyulingan. Gliserol digunakan sebagai

pelembab dalam tembakau, industri farmasi dan kosmetik. Sifat melembabkan


timbul dari gugus hidroksil yang dapat berikatan hidrogen dengan air dan mencegah

air itu menguap (Fesenden, 1992).

Sabun dapat dibuat dari minyak (trigliserida), asam lemak bebas (ALB) dan

metil ester asam lemak dengan mereaksikan basa alkali terhadap masing-masing zat,

yang dikenal dengan proses saponifikasi. Salah satu minyak yang bisa digunakan

pada pembuatan sabun yaitu minyak kelapa sawit. Jika dibandingkan dengan minyak

nabati lain, minyak kelapa sawit memiliki keistimewaan tersendiri, yakni rendahnya

kandungan kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak

hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan tetapi juga memenuhi kebutuhan non

pangan (oleokimia) seperti sabun. (Permono, 2001).

Syarat mutu sabun mandi yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

untuk sabun yang beredar di pasaran hanya mencakup sifat kimiawi dari sabun

mandi, yaitu jumlah asam lemak minimum 71%, asam lemak bebas maksimum 2,5%,

alkali bebas dihitung sebagai NaOH maksimum 0,1%, bagian zat yang tak terlarut

dalam alkohol maksimum 2,5%, kadar air maksimum 15%, dan minyak mineral

(negatif). Sementara sifat fisik sabun seperti daya membersihkan, kestabilan busa,

kekerasan, dan warna belum memiliki standar (SNI,1994).

2.8 Saponifikasi

Saponifikasi merupakan salah satu metode pemurnian secara fisik.

Saponifikasi dilakukan dengan menambahkan basa pada minyak yang akan

dimurnikan. Sabun yang terbentuk dari proses ini dapat dipisahkan dengan 30

sentrifugasi. Penambahan basa pada proses saponifikasi akan bereaksi dengan asam

lemak bebas membentuk sabun yang mengendap dengan membawa serta lendir,
kotoran dan sebagian zat warna. Saponifikasi adalah suatu proses untuk memisahkan

asam lemak bebas dari minyak atau lemak dengan cara mereaksikan asam lemak

bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga memmbentuk sabun (Ketaren,

1986).

Saponifikasi adalah reaksi yang terjadi ketika minyak atau lemak dicampur

dengan larutan alkali. Dengan kata lain saponifikasi adalah proses pembuatan sabun

yang berlangsung dengan mereaksikan asam lemak dengan alkali yang menghasilkan

sintesa dan air serta garam karbonil (sejenis sabun). Ada dua produk yang dihasilkan

dalam proses ini, yaitu sabun dan gliserin. Secara teknik, sabun adalah hasil reaksi

kimia antara fatty acid dan alkali. Fatty acid adalah lemak yang diperoleh dari lemak

hewan dan nabati. (Prawira, 2010).

Mekanisme reaksi saponifikasi adalah :

Reaksi pembuatan sabun atau saponifikasi menghasilkan sabun sebagai produk

utama dan gliserin sebagai produk samping. Sabun dengan berat molekul rendah

akan lebih mudah larut dan memiliki struktur sabun yang lebih keras. Sabun

memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, tetapi sabun tidak larut menjadi partikel

yang lebih kecil, melainkan larut dalam bentuk ion (Prawira, 2008).
2.9 Sifat Fisik dan Kimia Bahan Pembuatan Sabun

Bahan pembuat sabun transparan adalah minyak jelantah, Natrium

Hidroksida, air, dietanolamida, gliserin, asam stearat, alkohol, gula dan pewangi.

1. Minyak Jelantah

Minyak jelantah dapat digunakan dalam pembuatan sabun karena

merupakan turunan dari CPO. Minyak ini sebelumnya harus dijernihkan terlebih

dahulu untuk menghilangkan warna dan baunya. Makin meningkatnya produksi

dan konsumsi minyak goreng, ketersediaan minyak jelantah kian melimpah. Angka

asam lemak jenuh jauh lebih tinggi dari pada angka asam lemak tidak jenuhnya.

Pada minyak jelantah, asam lemak jenuh sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat

memicu berbagai penyakit penyebab kematian, seperti penyakit jantung, stroke,

dan kanker. Minyak yang telah dipakai untuk menggoreng menjadi lebih

kental, mempunyai asam lemak bebas yang tinggi dan berwarna kecokelatan.

Selama menggoreng makanan, terjadi perubahan fisikokimia, baik pada makanan

yang digoreng maupun minyak yang dipakai sebagai media untuk

menggoreng (Hidayat, 2005).

2. Natrium Hidroksida

Senyawa alkali merupakan garam terlarut dari logam alkali seperti kalium

dan natrium. Alkali digunakan sebagai bahan kimia yang bersifat basa dan akan

bereaksi serta menetralisir asam. Natrium Hidroksida banyak digunakan dalam

pembuatan sabun padat karena sifatnya yang tidak mudah larut dalam air (Rohman,

2009). Senyawa NaOH berwarna putih, massa lebur, berbentuk pellet, serpihan atau

batang atau bentuk lain, sangat basa, keras, rapuh dan menunjukkan pecahan hablur.
Kaustik soda adalah senyawa alkali dengan berat molekul 40 yang dapat

mengakibatkan iritasi pada kulit. Senyawa NaOH larut dalam air dan bersifat basa

kuat, mempunyai:

Titik leleh : 318,4 oC

Titik didih : 1390 oC

Densitas : 2,1 gr/cm3 pada 20 oC.

Kristal NaOH merupakan zat yang bersifat hidroskopis sehingga harus

disimpan pada tempat yang tertutup rapat untuk mengurangi konsentrasi basa yang

diperlukan (Kirk et al, 2002)

3. Air

Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul air

tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen.

Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu

pada tekanan 100 kPa (1 bar) and temperatur 273,15 K (0 °C). Zat kimia ini

merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan

banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan

banyak macam molekul organik. Dalam pembuatan sabun, air yang baik digunakan

sebagai pelarut yang baik adalah air sulingan atau air minum kemasan. Air dari PAM

kurang baik digunakan karena banyak mengandung mineral (Wenang, 2010).

4. Gliserin

Gliserin adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak nabati

dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Gliserin merupakan humektan sehingga

dapat berfungsi sebagai pelembap pada kulit. Pada kondisi atmosfer sedang ataupun
pada kondisi kelembapan tinggi, gliserin dapat melembapkan kulit dan mudah di

bilas. Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis (Arita

dkk, 2009).

5. Asam Stearat

Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak

dan minyak yang sebagian besar terdiri atas asam oktadekonat dan asam

heksadekonat, berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur putih

atau kuning pucat, mirip lemak lilin, praktis tidak larut dalam air, larut dalam bagian

etanol (95%), dalam 2 bagian kloroform dan dalam 3 bagian eter, suhu lebur tidak

kurang dari 54oC.Digunakan untuk mengeraskan sabun dan menstabilkan busa

(Hambali dkk, 2005).

6. Asam Sitrat

Asam sitrat merupakan suatu asidulan yaitu senyawa kimia yang bersifat

asam. Asam sitrat memiliki fungsi seperti dapat mengurangi kekeruhan, mengubah

sifat mudah mencair atau meningkatkan pembentukan gel.Asam sitrat mengikat

logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan

pengaruh jelek logam tersebut dalam bahan.

7. Etanol

Etanol (etil alkohol) berbentuk cair, jernih dan tidak bewarna. Merupakan

senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Etanol digunakan sebagai pelarut

pada proses pembuatan sabun transparan karena sifatnya yang mudah larut dalam air

dan lemak. Gliserin adalah produk samping dari reaksi hidrolisis antara minyak

nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak (Arita dkk, 2009).
8. Gula

Gula bersifat humectan, dikenal membantu pembusaan sabun. Semakin putih

warna gula akan semakin jernih sabun transparan yang dihasilkan. Terlalu banyak

gula, produk sabun menjadi lengket , pada permukaan sabun keluar gelembung kecil

– kecil. Gula yang paling baik untuk sabun transparan adalah gula yang apabila

dicairkan berwarna jernih seperti glyserin, karena warna gula sangat mempengaruhi

warna sabun transparan akhir. Gula lokal yang berwarna agak kecoklatan, hasil sabun

akhir juga tidak bening, jernih tanpa warna tetapi juga agak kecoklatan (Arita dkk,

2003).

9. Pewangi

Pewangi atau pengaroma adalah suatu zat tambahan yang ditujukan untuk

memberikan aroma wangi pada suatu sediaan agar konsumen lebih tertarik

(Ramdaniati, 2016).

2.7 Uji Karakteristik Mutu Sabun

Sabun dapat beredar di pasaran bebas apabila memiliki karakteristikstandar

seperti yang telah ditetapkan dalam Dewan Standarisasi Nasional (DSN).Syarat mutu

dibuat untuk memberi acuan kepada pihak industri besar ataupunindustri rumah

tangga yang memproduksi sabun mandi untuk menghasilkan sabun dengan mutu

yang baik dan dapat bersaing di pasaran lokal. Sifat mutu yang paling penting pada

sabun adalah total asam lemak, asam lemak bebas, dan alkali bebas. Pengujian

parameter tersebut dapat dilakukan sesuai dengan acuan prosedur standar yang

ditetapkan SNI. Begitu juga dengan semua sifat mutu pada sabun yang dapat

dipasarkan, harus memenuhi standar mutu sabun yangditetapkan yaitu SNI 06–3532–
1994. Syarat mutu sabun mandi padat menurut SNI 06-3532-1994 dapat dilihat pada

Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Syarat mutu sabun mandi


Uraian T Tip
ip e II
e (Sa
I bu
(s n
a Lu
b nak
u )
n
p
a
d
at
)
Kadar Air M >1
(%) a 5
k
si
m
al
1
5
Jumlah > 64-
Asam 7 70
Lemak (%) 0
Alkali M Ma
bebas a ksi
dihitung k ma
sebagai si l
NaOH (%) m 0,1
al
0,
1
Alkali M Ma
bebas a ksi
dihitung k ma
sebagai si l
KOH (%) m 0,1
al 4
0,
1
4
Asam < <2,
Lemak 2, 5
Bebas atau 5
LemakNetra
l (%)
Bilangan 1 19
Penyabunan 9 6-
6- 20
2 6
0
6

1. Kadar Air

Kadar air merupakan bahan yang menguap pada suhu dan waktu tertentu.

Maksimal kadar air pada sabun adalah 15%, hal ini disebabkan agar sabun yang

dihasilkan cukup keras sehingga lebih efisien dalam pemakaian dan sabun tidak

mudah larut dalam air. Kadar air akan mempengaruhi kekerasan dari sabun (Qisti,

2009).

2. Jumlah Asam Lemak

Jumlah asam lemak merupakan jumlah total seluruh asam lemak pada sabun

yang telah atau pun yang belum bereaksi dengan alkali (SNI,1998). Sabun yang

berkualitas baik mempunyai kandungan total asam lemak minimal 70%, hal ini

berarti bahan-bahan yang ditambahkan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan

sabun kurang dari 30%. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi proses pembersihan

kotoran berupa minyak atau lemak pada saat sabun digunakan. Bahan pengisi yang

biasa ditambahkan adalah madu, gliserol, waterglass, protein susu dan lain

sebagainya. Tujuan penambahan bahan pengisi untuk memberikan bentuk yang

kompak dan padat, melembabkan, menambahkan zat gizi yang diperlukan oleh kulit

(Qisti, 2009).
3. Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas merupakan asam lemak pada sabun yang tidak terikat

sebagai senyawa natrium atau pun senyawa trigliserida (lemak netral) (DSN, 1994).

Tingginya asam lemak bebas pada sabun akan mengurangi daya membersihkan

sabun, karena asam lemak bebas merupakan komponen yang tidak diinginkan dalam

proses pembersihan. Sabun pada saat digunakan akan menarik komponen asam

lemak bebas yang masih terdapat dalam sabun sehingga secara tidak langsung

mengurangi kemampuannya untuk membesihkan minyak dari bahan yang berminyak

(Qisti, 2009).

4. Alkali Bebas

Alkali bebas merupakan alkali dalam sabun yang tidak diikat sebagai

senyawa. Kelebihan alkali bebas dalam sabun tidak boleh lebih dari 0,1% untuk

sabun Na, dan 0, 14% untuk sabun KOH karena alkali mempunyai sifat yang keras

dan menyebabkan iritasi pada kulit. Kelebihan alkali bebas pada sabun dapat

disebabkan karena konsentrasi alkali yang pekat atau berlebih pada proses

penyabunan. Sabun yang mengandung alkali tinggi biasanya digunakan untuk sabun

cuci (Qisti, 2009).

5. Derajat Keasaman

Berdasarkan SNI 06–3532–1994, pH sabun mandi tidak ditetapkan

standardnya. Berdasarkan Bailey (1979) pH sabun transparan umumnya adalah lebih

besar dari 9,5. Mencuci tangan dengan sabun dapat meningkatkan pH kulit

sementara, tetapi kenaikan pH kulit ini tidak akan melebihi 7 (Wasitaatmadja, 1997).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan yaitu labu Erlenmeyer, Alat Titrasi, gelas beker, Hot

plate, batang pengaduk, Pipet tetes, Termometer, Oven, Kertas saring, Corong,

Neraca analitik, Ayakan, Gelas ukur, pH meter, Cawan petri dan Spatula.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan meliputi minyak goreng bekas yang berasal dari

Minyak, Ampas Sagu, Alkohol 96%, Indikator Amilum 1%, Indikator PP, Larutan

Na2SO3, Larutan KI, NaOH, Asam Asetat Glasial, Asam Sitrat, Asam Stearat,

Indikator PP, Gliserin, Etanol, Aquadest, Gula dan Pewangi.

3.3 Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.

Pengamatan yang dilakukan berdasarkan pada variasi 5 g; 10 g; 15 g. Pengujian sabun

hasil saponifikasi dan uji karakter sabun yang dihasilkan terlihat seperti pada Tabel

3.1.
Tabel 3.1 perlakuan terhadap hasil pemurnian Minyak
Waktu Mas Volu Kadar KadaWarnaBilangan
Perendaman r Peroksida
A
s
a
m
L
e
m
a
k
B
e
b
a
s

Tabel 3.2 Perlakuan Terhadap analisis mutu Sabun

Parameter yang dianalisis SNI Sabun


Mandi
Hasil
Penelit
ian
Kadar air Maks
(%) i
m
a
l
1
6
Alkali Bebas Maks
i
m
a
l
0
,
1
Derajat 8-11
Keasama
n (pH)
Kadar Asam Maks
Lemak i
Bebas m
(%) a
l
2
,
5
Bilangan
Penyabu
nan

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Preparasi Sampel

Ampas sagu diperoleh dari hasil penggilingan sari sagu yang ada di

Kecamatan Sampara Kota Kendari. Ampas sagu yang telah dicuci ditimbang

sebanyak 10 g ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 200 mL H 3PO4 30%.

Campuran diaduk selama 6 jam kemudian disaring. Residu padat ampas sagu yang

telah diaktivasi tersebut dicuci beberapa kali dengan aquades untuk mengeluarkan

asam. Setelah itu, dikeringkan pada suhu 40 oC selama 24 jam.

Sedangkan minyak jelantah diperoleh dari sisa penggorengan telur, tempe,

tahu dan ikan secara berulang sehingga menjadi minyak goreng bekas sebagai bahan

baku pembuatan sabun padat.

3.4.3 Pemurnian minyak goreng bekas

1. Proses Penghilangan Bumbu (Despicing)


Dilakukan sentrifuse pada semua minyak goreng bekas yang telah

disiapkan, kemudian diambil minyak yang bebas dari kotoran padatan dengan

disaring menggunakan kertas saring.

2. Proses Bleaching

a. Variasi perbandingan massa adsorben yang digunakan untuk adsorpsi

minyak goreng bekas.

Ditimbang bubuk ampas sagu yang telah diaktifasi dengan variasi massa

adsorben 5 g; 10 g; 15 g, kemudian dicampurkan ke dalam minyak goreng bekas yang

telah disiapkan sebanyak 100 mL kedalam gelas beker, lalu diaduk hingga homogen,

kemudian campuran direndam hingga 72 jam. Diamati perubahan warna serta dihitung

kadar air, angka asam dan angka peroksida.

3.4.4 Pengujian Minyak goreng hasil pemurnian

1. Kadar air

Ditimbang minyak 2 gram dalam cawan dengan berat konstan, kemudian

dimasukkan dalam oven dan dikeringkan pada suhu 100-105oC selama 3 jam. Sampel

diangkat dari oven dan didinginkan dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian

ditimbang. Perlakuan diulang hingga kehilangan berat selama pemanasan 30 menit

tidak lebih dari 0,01%. Kemudian dihitung kadar air dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

A−B
x 100 %
Kadar air = A

A = Berat Minyak sebelum dioven

B = Berat minyak setelah dioven

2. Penentuan angka asam


Ditimbang minyak 5 gram dalam erlenmeyer ditambahkan 50 mL alkohol

96%. Dipanaskan hingga mendidih selama 10 menit lalu dikocok dengan kuat untuk

melarutkan asam lemak bebas. Setelah dingin lalu dititrasi dengan NaOH 0,1 N

dengan menambahkan indikator fhenolftalin hingga terbentuk warna merah muda.

Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH yang diperlukan untuk

menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak. Kemudian asam

lemakbebas (FFA) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

BM Asam Lemak Bebas × V ×N


% ALB = ×100%
W

3. Penentuan angka peroksida

Ditimbang minyak sebanyak 5 gram, kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer,

selanjutnya ditambahkan 30 mL campuran pelarut yang terdiri dari 60% asam asetat glasial

dan 40% kloroform. Setelah minyak larut kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh

sambil dikocok. Setelah 1 menit sejak penambahan larutan KI jenuh ditambahkan 30 mL

aquades. Kelebihan iod dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,2 N hingga larutan berwarna

kuning. Ditambahkan 0,5 mL indikator amilum 1% dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru

tepat hilang. Dihitung angka peroksida yang dinyatakan dalam mili-equivalen dari

peroksida dalam setiap 1000 g sampel.

V Na 2 S 2 O3 X N Na2 S 2O 3 x 1000
Angka Peroksida =
bobot sampel ( gram)

Keterangan :

Meq/Kg = Kadar angka peroksida

V Na2SO3 = Volume titran Na2SO3

N Na2SO3 = Normalitas larutan Na2SO3

3.4.5 Pembuatan Sabun


Pembuatan sabun padat dari minyak goreng bekas menggunakan larutan

NaOH dengan konsentrasi 30%. Pertama-tama disiapkan 12.5 gram sampel minyak

dan asam stearat, lalu dimasukkan larutan NaOH tersebut secara perlahan kedalam

sampel tersebut, kemudian diaduk dengan stirrer hingga suhu 60°C.Setelah homogen,

ditambahkan 2 gram asam sitrat dan 15 gram gula. Dinginkan hingga suhu 40°C lalu

ditambahkan pewangi sabun dan dimasukkan ke dalam cetakkan.

3.4.6 Analisis Sabun Padat

Analisa dari penelitian ini yaitu menghitung berat sabun yang dihasilkan,

Kadar air, Angka penyabunan, uji Asam lemak Bebas/ Alkali Bebas, derajat

keasaman (pH),.

1. Kadar Air

Dimasukkan cawan kedalam lemari pengeringan selama 1 jam. Dikeluarkan

cawan dan masukkan dalam desikator agar suhu cawan normal kembali. Lalu

Ditimbang berat kosong cawan dan catat beratnya. Dimasukkan 5 gram contoh dalam

cawan lalu keringkan dalam lemari pengering selama 2 jam dan pada suhu 105oC.

Setelah 2 jam keluarkan dan timbang cawan beserta contoh tersebut.

Perhitungan :

W 1−W 2
Kadar air = x 100%
W

Keterangan :

W1 = Berat contoh + Cawan (gram)

W2 = Berat contoh setelah pengeringan (gram)

W = Berat contoh (gram)


2. Angka penyabunan

Timbang minyak dengan teliti antara 1,5 – 5,0 gram dalam Erlenmeyer 200

ml. Tambah 50 ml larutan NaOH yang dibuat dari 40 gram NaOH dalam 1 liter

alkohol. Setelah itu ditutup dengan pendingin balik, didihkan dengan hati-hati selama

30 menit. Selanjutnya dinginkan dan tambahkan beberapa tetes indikator

phenolphthalein (PP) dan titrasilah kelebihan larutan NaOH dengan standar 0,5 N

HCL. Untuk mengetahui kelebihan larutan NaOH ini perlu dibuat titrasi blanko, yaitu

dengan prosedur yang sama kecuali tanpa bahan minyak. penyabunan dinyatakan

sebagai banyaknya mg NaOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan minyak secara

sempurna dari 1 gram minyak tersebut.

28, 05 x (tirasi Blanko − titrasi Contoh )


Angka penyabunan = berat sampel ( g)

2. Uji Asam Lemak Bebas/Alkali Bebas

Disiapkan alkohol netral dengan mendidihkan 100 mL alkohol dalam labu

erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 0,5 mL indikator pp dan didinginkan sampai suhu

70ºC kemudian dinetralkan dengan NaOH 0,1 N dalam alkohol. Ditimbang 5 g sabun

dan dimasukkan ke dalam alkohol netral di atas, dan dipanaskan agar cepat larut di

atas penangas air, dididihkan selama 30 menit. Apabila larutan tidak berwarna

merah, didinginkan sampai suhu 70ºC dan titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dalam

alkohol, sampai timbul warna yang tetap selama 15 detik.

Apabila larutan tersebut di atas ternyata berwarna merah maka diperiksa

bukan asam lemak bebas tetapi alkali bebas dengan dititrasi menggunakan HCl 0,1 N

dalam alkohol dari mikro buret, sampai warna merah cepat hilang.
3. Uji pH

Sejumlah sabun dilarutkan dalam air sampai larut. pH diukur pada masing-

masing formula sabun ekstrak etanol bawang Tiwai dengan menggunakan kertas

indikator pH. Pengamatan dilakukan selama 2 minggu untuk mengetahui perubahan

nilai pH sabun padat.

Anda mungkin juga menyukai