Anda di halaman 1dari 8

Hak Cuti Bagi Karyawan Menurut Undang-Undang

Semua aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia tak lepas dari aturan yang bersifat mengikat
alias hukum yang berlaku. Termasuk dalam hal bekerja. Di Indonesia, sebagian besar perusahaan, baik
milik negara maupun milik swasta memberlakukan jam kerja karyawan selama delapan jam sehari atau
40 jam setiap minggu (5 hari kerja). Jam kerja ini ditambah dengan satu jam istirahat, sehingga totalnya,
karyawan harus berada di kantor selama sembilan jam setiap harinya.

Kondisi ini belum ditambah dengan berbagai tugas tambahan yang mengharuskan karyawan harus
bekerja lembur. Artinya, lebih dari sembilan jam harus dihabiskan dengan bekerja setiap hari. Inilah yang
membuat pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan perundangan yang mengatur tentang hak cuti atau
libur bagi karyawan. Peraturan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang
Membahas Tentang Ketenagakerjaan. Meski begitu, masih sering ditemukan berbagai aturan perusahaan
yang tidak sesuai dengan acuan tersebut. Tentu saja, ini akan merugikan karyawan sebagai pekerja. Salah
satu aturan yang sering kali tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah permasalahan
cuti, baik waktu karyawan mulai mendapat cuti tahunan, jenis cuti yang didapatkan, lama cuti untuk
setiap jenisnya, hingga prosedur pengajuan cuti.

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib mengetahui jenis cuti apa saja yang seharusnya didapatkan saat
bekerja di sebuah perusahaan. Tidak hanya itu, pemilik usaha pun sudah seharusnya tidak melanggar
peraturan perundangan dengan membuat aturan mengenai cuti karyawan yang bekerja di perusahaan
miliknya, karena sudah sepantasnya karyawan mendapatkan haknya setelah selesai menuntaskan segala
kewajibannya.

Hak Cuti Bagi Karyawan yang Wajib Diketahui

Mengacu kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan, berikut ini adalah hak cuti yang seharusnya
didapatkan oleh karyawan saat bekerja di sebuah perusahaan:

Cuti Tahunan Dalam Pasal 79 ayat (2) poin (c) menyebutkan bahwa hak cuti tahunan akan diberikan
kepada pekerja atau karyawan yang telah memenuhi masa kerja selama 12 (dua belas) bulan atau satu
tahun secara berkesinambungan dengan jumlah hari sebanyak 12 (dua belas). Namun, perusahaan
memiliki aturannya masing-masing dalam menentukan jumlah hari cuti, karena tidak sedikit perusahaan
yang memutuskan untuk menambah jatah cuti karyawan sesuai dengan posisi di kantor tersebut. Banyak
pula perusahaan yang telah memberikan hak cuti penuh pada karyawan meski belum bekerja selama satu
tahun. Sering kali, hak cuti tahunan diberikan pada bulan keempat karyawan bekerja setelah dinyatakan
lulus dari masa percobaan. Saat karyawan dalam masa cuti, perusahaan wajib memberikan upah harian
secara penuh tanpa pemotongan apa pun sesuai dengan Pasal 84.

Cuti Sakit Berikutnya adalah cuti sakit. Cuti ini dibuat bagi karyawan yang tidak mampu bekerja karena
alasan kesehatan. Aturan cuti sakit ini juga berbeda di setiap perusahaan. Ada yang memberikan perizinan
maksimal tiga hari hingga harus melampirkan surat izin dokter, ada pula yang sedari hari pertama sudah
harus melampirkan surat keterangan sakit. Cuti sakit ini biasanya disatukan dengan cuti haid yang
ditujukan khusus untuk wanita, yaitu pada hari pertama dan kedua masa menstruasi. Aturan ini sesuai
dengan Pasal 81 dan Pasal 93 ayat (2). Namun, beberapa perusahaan sering kali tidak mencantumkan cuti
ini.

1
 Cuti Besar Cuti besar ditujukan untuk karyawan yang telah bekerja dalam waktu yang lama, minimal
enam tahun. Berdasarkan Pasal 79 ayat (2), disebutkan bahwa karyawan wajib mendapatkan istirahat
panjang sekurangnya dua bulan untuk masa kerja sekurangnya enam tahun dan berlaku pada tahun
berikutnya.

Perlu diketahui, karyawan yang telah mendapatkan cuti besar tidak lagi mendapatkan cuti tahunan. Jadi,
masa cutinya adalah 30 hari kerja selama satu tahun dan jumlah yang sama pada tahun berikutnya. Cuti
besar ini berlaku kelipatan, sehingga akan diperoleh kembali ketika masa kerja karyawan menginjak 12
tahun.

 Cuti Bersama Cuti bersama merupakan jatah cuti bagi karyawan yang biasanya diberikan jika ada
perayaan hari besar keagamaan. Khusus bagi perusahaan swasta, aturan ini berlaku dengan memotong
jatah cuti tahunan karyawan. Ini sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010 Tahun 2010 yang membahas tentang Pelaksanaan Cuti Bersama di
Sektor Swasta.

 Cuti Hamil dan Melahirkan Berdasarkan Pasal 82, dinyatakan bahwa karyawan wanita yang sedang
hamil berhak untuk mendapatkan hak istirahat selama 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Meski
begitu, karyawan boleh bernegosiasi kepada perusahaan terkait pengambilan hak cuti ini selama tidak
melebihi jangka waktu maksimal, yaitu tiga bulan. Biasanya, karyawan lebih memilih untuk mengambil
hak istirahat selama tiga bulan penuh menjelang persalinan.

 Cuti Penting Cuti penting berhak didapatkan karyawan yang memang tidak bisa hadir di kantor karena
berbagai alasan penting, seperti meninggal, menikah, dan berbagai keperluan mendesak lainnya. Sesuai
dengan Pasal 93 ayat (2) dan (4) yang mengatur tentang lama hari cuti yang diperoleh karyawan
berdasarkan kepentingannya. Misalnya, cuti karena karyawan menikah adalah maksimal tiga hari,
menikahkan anak, membaptis, atau mengkhitan anak maksimal dua hari, anggota keluarga meninggal
maksimal satu hari, anggota keluarga inti meninggal maksimal dua hari, dan istri keguguran atau
melahirkan maksimal dua hari.

CUTI MELAHIRKAN Pada Pasal 82, diatur bahwa karyawati memperoleh hak istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan menurut perhitungan
dokter kandungan atau bidan. Akan tetapi, perusahaan dan karyawati dapat bernegosiasi tentang
pemberian cuti melahirkan dan cuti menyusui, selama waktunya sekitar 3 (tiga) bulan. Jika karyawati
mengalami keguguran, ia diizinkan mendapatkan cuti selama 1,5 (satu setengah) bulan.

PENGATURAN MENGENAI CUTI HAID dapat kita jumpai dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang
dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid. UU tersebut bisa diunduh dari situs Setkab berikut. UU No. 13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (2) huruf b menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar
upah apabila pekerja atau buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Jelaslah bahwa tidak dibenarkan adanya pemotongan upah
karena tidak masuk kerja atau pemotongan jatah cuti tahunan.

2
CUTI SUAMI SAAT ISTRI MELAHIRKAN Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 93 ayat 4 huruf (e) disebutkan bahwa pekerja pria di Indonesia memperoleh hak
cuti mendampingi istrinya melahirkan selama dua hari. Sementara rata-rata waktu yang dibutuhkan bagi
proses melahirkan bayi adalah 3 hari untuk melahirkan normal dan lima hari apabila dengan operasi sesar.
Dengan demikian, waktu dua hari cuti bagi pekerja pria dirasa sangat kurang.

Bagi pekerja pemerintah alias Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena belum lama ini Badan Kepegawaian
Negara (BKN) mengeluarkan aturan cuti terbaru yang mengakomodasi PNS (suami) laki-laki untuk
mendapat hak cuti hingga 1 (bulan) untuk mendampingi istri bersalin. Kebijakan ini dituangkan dalam
Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017 lewat pemberian cuti alasan penting (CAP) tanpa mengurangi hak
cuti tahunan selama 12 hari yang diterima PNS.

 Dalam UU 13/2013 pekerja laki-laki di Indonesia hanya memperoleh waktu 2 (dua) hari kerja untuk
mendampingi istri melahirkan. Apakah pemberian cuti selama dua hari tersebut dipandang relevan
dengan peran penting suami ketika persalinan. Waktu sempit tersebut mengartikulasikan bahwa peran
laki-laki (suami) ketika persalinan sang istri masih dipandang sebelah mata.

3
ASI

Yang pertama, mari kita lihat Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.”

Tida hanya di UU Ketenagakerjaan, pengaturan mengenai pemberian ASI eksklusif juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi:

Pasal 128

1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan, kecuali atas
indikasi medis.

ADVERTISEMENT

2. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus
mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diadakan di tempat kerja dan tempat
sarana umum.

Pasal 129

1. Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk
mendapatkan ASI secara eksklusif.

2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagaimana bila ada yang melanggar?

Sudah diatur juga kok, Moms. Atas pelanggaran pasal 128 UU Kesehatan, setiap orang yang menghalangi
ibu yang memberikan ASI eksklusif untuk anaknya dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 200 UU
Kesehatan yang berbunyi:

"Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
seratus juta rupiah."

ADVERTISEMENT

Sedangkan sanksi bagi korporasi yang menghalangi pemberian ASI eksklusif ini terdapat dalam Pasal 201
UU Kesehatan:

- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda

4
dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191,
Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

- Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.

Masih ada juga Peraturan Pemerintah Nomor. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif, yang
isinya:

ADVERTISEMENT

Pasal 2

Peraturan pemberian ASI eksklusif bertujuan untuk:

1. Menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya

2. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya

3. Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap
pemberian ASI eksklusif.

Pasal 30

Ayat 1 dan 2

Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung program ASI
eksklusif yang sesuai dengan ketentuan di tempat kerja yang mengatur hubungan kerja antara pengusaha
dan pekerja melalui perjanjian bersama antara serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha.

Ayat 3

Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas khusus
untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan.

Pasal 31

Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

terdiri atas perusahaan dan perkantoran milik pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.

Pasal 32

Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 30 terdiri atas fasilitas pelayanan kesehatan, hotel dan penginapan, tempat rekreasi, terminal
angkutan darat, stasiun kereta api, bandar udara, pelabuhan laut, pusat-pusat perbelanjaan, gedung
olahraga, lokasi penampungan pengungsi; dan tempat sarana umum lainnya.

Pasal 33

Penyelenggara tempat sarana umum berupa fasilitas pelayanan Kesehatan harus mendukung keberhasilan
program pemberian ASI eksklusif dengan berpedoman pada 10 langkah menuju keberhasilan menyusui

5
Pasal 34

Pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI
eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja.

Bila tidak, sanksi pidana yang akan dikenakan sesuai dengan Undang-undangan Kesehatan Pasal 200 atau
201

Pasal 35

Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat peraturan internal yang
mendukung keberhasilan program pemberian ASI eksklusif.. Sementara soal penyediaan fasilitas khusus
bagi pekerja yang menyusui juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan atau
Memerah ASI yang sekaligus merupakan peraturan pelaksana dari UU Kesehatan. Permenkes ini
pada intinya mengatur hal-hal berikut:

1. Pengurus tempat kerja, yakni orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja
atau bagiannya yang berdiri sendiri, harus mendukung program ASI eksklusif [(Pasal 3 ayat (1)].
Dukungan ASI ekslusif oleh pengurus tempat kerja dilakukan melalui [(Pasal 3 ayat (2)]:

- Penyediaan fasilitas khusus untuk menyusui dan atau memerah ASI

- Pemberian kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau
memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja

- Pembuatan peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI eksklusif

- Penyediaan tenaga terlatih pemberian ASI

2. Setiap pengurus tempat kerja harus memberikan kesempatan bagi ibu yang bekerja di dalam ruangan
dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI pada waktu kerja di tempat kerja [Pasal
6 ayat (1)].

3. Ruang ASI diselenggarakan pada bangunan yang permanen, dapat merupakan ruang tersendiri atau
merupakan bagian dari tempat pelayanan kesehatan yang ada di tempat kerja [Pasal 9 ayat (1)].

4. Ruang ASI harus memenuhi persyaratan kesehatan [Pasal 9 ayat (2)], antara lain: ukuran minimal 3x4
m2 dan/atau disesuaikan dengan jumlah pekerja perempuan yang sedang menyusui, ada pintu yang dapat
dikunci, tersedia wastafel dengan air mengalir untuk cuci tangan dan mencuci peralatan, bebas potensi
bahaya di tempat kerja termasuk bebas polusi, dan lain sebagainya [Pasal 10].

Bukan cuma itu, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Kesehatan dan telah
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 2004 No.450/MENKES/SK/VI/2004
Tentang Pemberian ASI Ekslusif pada Bayi di Indonesia.

- Menetapkan pemberian ASI Ekslusif di Indonesia hingga usia 6 bulan, dan dianjurkan untuk diteruskan
hingga usia 2 tahun bersama dengan makanan pendamping

6
- Staf layanan kesehatan harus menginformasikan kepada semua ibu yang baru melahirkan untuk
memberikan ASI eksklusif dengan rujukan pada 10 langkah keberhasilan menuju keberhasilan menyusui

Peraturan Bersama 3 Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Menteri Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi, serta Menteri Kesehatan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 Tentang
Pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja

Pasal 2

Tujuan dari peraturan bersama ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan peluang pada para pekerja atau buruh wanita untuk memerah ASI selama jam kerja dan
menyimpan ASI yang telah diperah untuk kemudian dikonsumsi oleh bayi.

2. Memenuhi hak-hak dari para pekerja atau buruh untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak.

3. Memenuhi hak-hak anak untuk mendapatkan ASI dan mengembangkan sistem kekebalan tubuh yang
kuat

4. Meningkatkan mutu sumber daya manusia pada tahap awal kehidupan

Pasal 3

Kewajiban dan Tanggung Jawab

Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak bertanggung jawab untuk:

- Membekali dengan pengetahuan dan memberikan pemahaman pada para pekerja atau buruh wanita
tentang arti penting pemberian ASI untuk pertumbuhan anak dan kesehatan dari kaum ibu yang bekerja

- Menginformasikan pada para pengusaha atau manajemen perusahaan di tempat kerja tentang kondisi-
kondisi yang diperlukan untuk memberikan kesempatan pada para pekerja atau buruh wanita memerah
ASInya selama jam kerja di tempat kerja.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bertanggung Jawab untuk:

- Mendorong para pengusaha atau serikat pekerja atau serikat buruh untuk mengatur prosedur pemberian
ASI dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama dengan merujuk pada undang-undang
ketenagakerjaan di Indonesia.

- Mengkoordinasikan sosialisasi pemberian ASI di tempat kerja.

Menteri Kesehatan bertanggung jawab untuk:

- Menyelenggarakan pelatihan dan menyediakan staf yang terlatih dalam hal pemberian ASI

- Memberikan dan menyebarluaskan seluruh jenis bahan-bahan komunikasi, informasi dan pendidikan
tentang manfaat dari memerah ASI.

Peraturan bersama ini diharapkan mampu menjadi payung bagi tenaga kerja perempuan khususnya yang
menyusui agar mereka tetap bisa menyusui atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja, dan
mendorong pengusaha untuk menyediakan ruang menyusui atau Ruang ASI yang sesuai dengan standar
kesehatan.

7
8

Anda mungkin juga menyukai