Anda di halaman 1dari 28

UPAYA MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN TERHADAP PASIEN

HIPERTENSI PADA PESERTA PROLANIS DI PUSKESMAS SUMBER

Studi Observasional di Puskesmas Sumber pada Bulan Oktober – November 2020

Mini Project
Disusun untuk Memenuhi Tugas Program Internship Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Gilang Hadi F

Dokter Pendamping:
dr. Puspa Damayanti

PUSKESMAS SUMBER
KABUPATEN PROBOLINGGO
JAWA TIMUR
2020
KATA PENGANTAR...................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.2 Identifikasi Masalah........................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................5
1.4 Manfaat...........................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................7


2.1 Hipertensi.............................................................................................................7
2.1.1 Epidemiologi....................................................................................................7
2.1.2 Definisi dan Klasifikasi....................................................................................7
2.1.3 Patofisiologi......................................................................................................9
2.1.4 Tanda dan Gejala............................................................................................11
2.1.5 Faktor Risiko..................................................................................................12
2.2 Kecemasan dan Depresi.....................................................................................12
2.2.1 Epidemiologi..................................................................................................12
2.2.2 Definisi...........................................................................................................12
2.2.3 Patofisiologi....................................................................................................13
2.2.4 Tanda dan Gejala............................................................................................15
2.3 Perbedaan Keluhan Mental Akibat Gangguan Mental Fungsional (Gangguan
Psikiatik) Dan Kelainan Mental Organik................................................................16
2.4 Prolanis..............................................................................................................19
2.5 Kerangka Teori..................................................................................................20
2.6 Hipotesis............................................................................................................21

BAB III RANCANGAN INOVASI............................................................................22


3.1 Inovasi dan Produk Mini Project.......................................................................22
3.2 Tujuan................................................................................................................22
3.3 Populasi dan Sampel..........................................................................................22
3.4 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan.........................................................................22

PENUTUP...................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................24
LAMPIRAN................................................................................................................26

KATA PENGANTAR

2
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa sehingga penulis dapat
menyelesaikan mini project ini dengan judul “Upaya Menurunkan Tingkat Kecemasan
Terhadap Pasien Hipertensi Pada Peserta Prolanis Di Puskesmas Sumber”. Mini project
ini bertujuan untuk memenuhi tugas Program Internship Dokter Indonesia. Dalam penyusunan
mini project ini penulis mendapatkan banyak dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada:

1. dr. Puspa Damayanti. selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktu dan
tenaga untuk membimbing dan memberikan masukan dalam penelitian dan pembuatan
mini project ini sejak awal hingga selesai.

2. Sukari, S.Kep. Ners, selaku Kepala Puskesmas Sumber yang telah mengizinkan
pelaksanaan penelitian ini dan memberikan sumber informasi yang penulis butuhkan.

3. Seluruh Staf Puskesmas Sumber atas bantuan dan Kerjasama dalam kelancaran
penelitian ini.
4. Seluruh dokter internship Puskesmas Sumber atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan dalam penyelesaian penelitian ini.
5. Terimakasih kepada semua pihak, termasuk seluruh responden yang telah bersedia
memberikan informasi yang diperlukan sebagai data mini project ini.

Penulis menyadari bahwa mini project ini tidak lepas dari kekurangan dan
keterbatasan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di kemudian hari. Semoga mini project ini bisa memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan kedokteran dan masyarakat.

Probolinggo, Oktober 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada setiap tahunnya hipertensi menyebabkan 9,4 juta orang meninggal akibat
komplikasi penyakit jantung dan stroke. Penyakit jantung dan stroke merupakan
penyebab penyakit mematikan nomor satu di dunia. Penderita hipertensi juga memiliki
resiko gagal ginjal dan komplikasi organ lainya. Hipertensi sering kali terjadi bersama
dengan faktor resiko lainya seperti hanya obesitas, diabetes melitus, dan dislipidemia
yang kerap meningkatkan resiko kesehatan (Saputri, 2007). WHO 2007 menetapkan
hipertensi sebagai faktor resiko nomor tiga penyebab kematian di dunia, hipertensi
bertanggung jawab terhadap 62 % timbulnya kasus stroke, 49 % timbul serangan jantung,
7 juta kematian prematur tiap tahun disebabkan oleh hipertensi (Corwin, 2007 ).
Hipertensi tidak dapat di sembuhkan tetapi dapat di kontrol dengan pola hidup yang sehat.
(Lumenta, 2007).
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)
mengklasifikasikan penyakit tidak menular menurut enam kelompok penyakit sebagai
berikut: Kanker, Diabetes mellitus, jantung, hipertensi, PPOK dan asma. Dari data tahun
2010 tampak persentase kasus baru rawat jalan enam kelompok penyakit tidak menular
(PTM) terhadap seluruh kasus baru rawat jalan mengalami sedikit penurunan dari tahun
2009. Hipertensi menjadi kasus terbanyak dan diikuti oleh penyakit Jantung dan Diabetes
Melitus, baik tahun 2009 dan 2010 (Depkes, 2012).
Hipertensi lebih sering ditemukan pada pria dan biasanya terjadi setelah usia 31
tahun sedangkan pada wanita terjadi setelah usia 45 (setelah menopause). Menurut
Indonesian Society of Hypertension tahun 2007, secara umum prevalensi hipertensi di
Indonesia pada orang dewasa berusia lebih dari 50 tahun adalah antara 15%- 20%. Data
WHO tahun 2000 menunjukkan, diseluruh dunia, sekitar 972 juta (26,4%) orang dewasa di
dunia mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini
kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025 (Armilawati,dkk, 2007).
Walaupun terjadi penurunan prevalensi hipertensi pada SKRT 2004 (14%), prevalensi
hipertensi meningkat kembali pada survey Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
yang mencapai 31,7% pada penduduk yang berusia 18 tahun keatas.

4
Dari hasil penelitian Sarwanto, dkk (2009), mengenai prevalensi penyakit hipertensi
penduduk di Indonesia dan faktor yang beresiko yang menggunakan data Riskesdas 2007,
didapatkan prevalensi penyakit hipertensi sebesar 34,9%. Dari hasil uji statistik menunjukkan
bahwa variabel perokok sangat berat, obesitas, stres berat dapat meningkatkan hipertensi.
Stres adalah suatu tekanan fisik maupun psikis atau kejadian yang tidak
menyenangkan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitar berlangsung terus menerus
sehingga kita tidak dapat mengatasinya secara efektif (Marliani, 2007). Sedangkan menurut
Hawari (2013), kecemasan dapat didefinisikan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak mengalami
keretakan kepribadian normal.
Pada beberapa keadaan seringkali emosi negatif seperti cemas dan depresi timbul
secara perlahan tanpa disadari dan individu tersebut baru menyadari saat setelah timbul gejala
fisik, seperti misalnya hipertensi. Selain itu, seorang penderita hipertensi mungkin akan
menjadi cemas disebabkan penyakit hipertensi yang cenderung memerlukan pengobatan yang
relatif lama, terdapat resiko komplikasi dan dapat memperpendek usia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah belum diketahuinya hubungan tingkat kecemasan dengan hipertensi pada pasien
prolanis Puskesmas Sumber.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan dari miniproject ini adalah mengetahui menurunkan tingkat kecemasan pada
peserta prolanis dengan hipertensi di Puskesmas Sumber.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Puskesmas Sumber
Sebagai masukan atau informasi yang berguna dalam rangka peningkatan upaya
pelayanan kesehatan masyarakat terutama sebagai bahan evaluasi kegiatan Prolanis
di Puskesmas Sumber.
1.4.2 Manfaat bagi Penulis
1) Hasil miniproject ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi penulis dalam
meneliti secara langsung di lapangan.

5
2) Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program internsip
dokter umum Indonesia.

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat


Hasil miniproject ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, terutama pada
penderita hipertensi sebagai sarana untuk mengetahui tingkat keberhasilan
penatalaksanaan penyakit hipertensi melalui program prolanis.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Epidemiologi

Saat ini angka penderita hipertensi semakin meningkat setiap tahunnya.


Sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama terjadi di negara berkembang dan
diperkirakan meningkat menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Menurut data
Kemenkes RI (2013) prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5%, tetapi yang
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya sebesar 9,5%.
Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan. Profil data kesehatan Indonesia tahun
2011 menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit penyerta
pada kasus riwayat inap terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi
kasus 42,38% pria dan 57,64% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia
(Muhammadun, 2010).
Hipertensi merupakan penyebab tersering penyakit jantung koroner dan
stroke, serta sebagai faktor utama dalam gagal jantung kongestif. Resiko penyakit
jantung dan pembuluh darah meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah.
Begitu juga dengan resiko gagal jantung kongestif meningkat sebesar 6 kali pada
pasien dengan hipertensi (Depkes, 2009).

2.1.2 Definisi dan Klasifikasi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arteri yang
dihasilkan dari dua faktor utama yaitu jantung yang memompa darah dengan kuat dan
arteriol yang sempit sehingga meningkatkan tahanan aliran darah dan berakibat darah
mengalir menggunakan tekanan untuk melawan dinding pembuluh darah. Kedua faktor
tersebut dapat berdiri sendiri atau merupakan gabungan keduanya (Simon, 2002).

7
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah
≥140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) (JNC VII,
2003). Apabila tidak diobati dan tidak dikontrol, hipertensi bisa mengakibatkan
kematian disebabkan oleh komplikasi. Kematian pada penderita hipertensi paling
sering terjadi karena stroke, gagal ginjal, jantung, atau gangguan pada mata (Lili &
Tantan, 2007). Penyakit ini dipengaruhi oleh cara dan kebiasaan hidup seseorang,
sering disebut juga sebagai the silent killer (pembunuh diam-diam) karena penderita
tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan
darahnya atau sampai timbul komplikasi. Hipertensi juga dikenal sebagai
heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai
kelompok usia, sosial, dan ekonomi (Depkes, 2008).

Gambar 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut The Seventh Report of the


Joint National Commitee (JNC 7) on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure, 2003

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibagi 2 golongan, yaitu


hipertensi essensial (primer) dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder
merupakan hipertensi yang disebabkan oleh adanya penyakit lain (Depkes RI, 2008).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa hipertensi primer dini didahului oleh
peningkatan curah jantung, kemudian menetap dan akan menyebabkan peningkatan
tahanan tepi pembuluh darah total. Sebagian besar penderita hipertensi adalah
hipertensi primer (90-95%), sehingga ada yang berpendapat bahwa semua penderita
hipertensi adalah hipertensi primer sebelum penyebabnya diketahui.

8
Berbeda dengan hipertensi primer, pada hipertensi sekunder sudah diketahui
etiologinya, antara lain disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, obat dan lain-
lain. Pada anak- anak 80% penderita hipertensi disebabkan oleh penyakit ginjal. Hipertensi
pada kehamilan termasuk dalam hipertensi renovaskuler (ginjal-pembuluh darah). Penyakit
endokrin seperti feokromositoma (tumor medula anak ginjal), sindroma Cushing (kelainan
kortek anak ginjal), kelebihan hormon para tiroid jarang dijumpai dan untuk
mendiagnostiknya memerlukan pemeriksaan laboratorium yang sangat efektif. Sedangkan
dari obat-obatan seperti KB hormonal (pil, suntik), kortikosteroid, obat anti depresi
trisiklik juga dapat menyebabkan hipertensi (Saputri, 2007).

2.1.3 Patofisiologi

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Berbagai
faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan mempengaruhi
tekanan darah (gambar 1). Tekanan darah dihasilkan oleh aliran darah yang melewati
pembuluh darah yang ditentukan oleh kekuatan pompa jantung (cardiac output) dan
tahanan tepi pembuluh darah (peripheral resistance). Sedangkan pompa jantung dan
tahanan tepi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi (asupan natrium,
stres, obesitas, genetik, dan lain-lain). Hipertensi terjadi jika terdapat abnormalitas
faktor-faktor tersebut (Saputri, 2007).

Awalnya kombinasi faktor herediter dan faktor lingkungan menyebabkan


perubahan homeostasis kardiovaskular (prehypertension), namun belum cukup
meningkatkan tekanan darah sampai tingkat abnormal; walaupun demikian cukup
untuk memulai kaskade (proses) yang beberapa tahun kemudian menyebabkan tekanan
darah biasanya meningkat (early hypertension). Sebagian orang dengan perubahan
gaya (pola) hidup yang baik dapat memberhentikan kaskade tersebut dan kembali ke
normotensi. Sebagian lainnya akhirnya berubah menjadi established hypertension
(hipertensi menetap), yang jika berlangsung lama dapat menyebabkan komplikasi
target organ (Saputri, 2007).

Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah terletak


dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam

9
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Saputri, 2007).

Gambar 2. Faktor-Faktor Yang Terlibat Pada Kontrol Tekanan Darah (Saputri, 2007)

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon


pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut
bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

10
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi Natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer


bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri, besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup ), sehingga mengakibatkan penurunan
curah jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Bruner & Suddarth, 2002 ).

2.1.4. Tanda dan Gejala

Secara umum, tekanan darah tinggi ringan tidak terasa dan tidak mempunyai
tanda-tanda. Hipertensi dapat berlangsung selama beberapa tahun tanpa disadari oleh
orang tersebut. Pada banyak orang tanda pertama naiknya tekanan darah adalah saat
terjadi komplikasi, tanda yang umum ialah sesak nafas (dyspnea) pada waktu
melakukan aktivitas fisik berat. Ini menunjukkan bahwa otot jantung itu sudah turut
terpengaruh sehingga tenaganya sudah berkurang yang ditandai dengan sesak nafas.
Penglihatan yang kabur menunjukkan kerusakan pada pembuluh mata yang dapat pula
ditandai dengan pandangan tiba-tiba gelap atau mata sebelah tidak melihat.
Kematian secara mendadak karena perdarahan atau penyempitan pembuluh
darah. Gejala komplikasi lain diantaranya tidak dapat berbicara, kelumpuhan pada
ujung-ujung anggota tubuh (seperti sebagian dari muka misalnya) sampai kepada yang
bersifat menyebar ke seluruh tubuh, seperempat, atau setengah t ubuh menjadi lumpuh
(Saputri, 2007). Adapun secara umum tanda dan gejala hipertensi adalah sebagai
berikut (Hariwijaya, 2007):
1. Sering nyeri kepala/ kepala terasa berat atau tegang
2. Sulit tidur dan sering gelisah
3. Berdebar
4. Sesak nafas
5. Leher belakang sering kaku

11
6. Gangguan penglihatan
7. Sulit berkomunikasi.

Sebagaimana sebelumnya disebutkan bahwa hipertensi adalah “pembunuh


diam-diam” pada sebagian besar penderita, cara untuk mengetahui tekanan darah
adalah dengan mengukur tekanan darah.

2.1.5. Faktor Resiko

Setiawan (2008) menyatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi


hipertensi, namun secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor
yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang tidak dapat di
kontrol, diantaranya adalah genetik, usia, jenis kelamin, dan etnis. Kemudian faktor
yang dapat dikontrol meliputi obesitas, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol, asupan garam, kafein, tinggi kolestrol, dan kecemasan.

2.2. Kecemasan dan Depresi

2.2.1. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan
gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau
sekitar 14 juta orang. Prevalensi pada usia 55-64 tahun sebanyak 6,9%, usia 65-74 tahun
sebanyak 9,7% dan pada usia lebih dari 75 tahun sebanyak 13,4% (Riskesdas, 2013).

2.2.2. Definisi

Stres adalah reaksi tubuh berupa serangkaian respons yang bertujuan untuk
mengurangi dampak stimulus atau ancaman dari luar (Depkes, 2009). Stres adalah
persepsi, baik nyata maupun imajinasi. Perasaan ini dapat diekspresikan dalam sikap
tidak sabar, frustasi, iri, tidak ramah, depresi, bimbang, cemas, rasa bersalah, khawatir,
atau apati (National Safety Council, 2004).

12
Stress atau kecemasan merupakan salah satu faktor psikologis yang
mempengaruhi hipertensi. Hal tersebut didukung pendapat Anwar (2009) pada banyak
orang dengan kecemasan atau stres psikososial terdapat peningkatan tekanan darah.
Kondisi psikis seseorang dapat mempengaruhi tekanan darah, misalnya kondisi psikis
seseorang yang mengalami stres atau tekanan. Respon tubuh terhadap stres disebut
alarm yaitu reaksi pertahanan atau respon perlawanan. Kondisi ini ditandai dengan
peningkatan tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan, dan ketegangan otot.
Selain itu stres juga mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otot-otot
rangka dan penurunan aliran darah ke ginjal, kulit, dan saluran pencernaan. Stres akan
membuat tubuh lebih banyak menghasilkan adrenalin, hal ini membuat jantung bekerja
lebih kuat dan cepat (Lawson.R, 2007).

2.2.3. Patofisiologi

Kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis, yaitu tubuh memberi


respons dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem
saraf simpatis akan mengaktifasi respons tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan
meminimalkan respons tubuh. Reaksi tubuh terhadap kecemasan adalah “fight or flight”
(reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar), bila korteks otak menerima rangsang akan
dikirim melalui saraf simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan hormon epinefrin
(adrenalin) yang merangsang jantung dan pembuluh darah sehingga efeknya adalah nafas
menjadi lebih dalam, nadi meningkat, dan tekanan darah meningkat atau hipertensi
(Thbihari, Andreecia dan Senilo, 2015).

Telah menjadi semakin jelas bahwa perubahan gaya hidup bisa menurunkan
kadar kotekolamin, bahan kimia yang berpotensi negatif yang meningkat saat stres.
Walaupun ketegangan tidak selalu identik dengan hipertensi, penelitian berulang-ulang
menunjukkan bahwa kecemasan yang identik dengan adalah salah satu faktor yang
menyebabkan melonjaknya tekanan darah. Selain itu pasien yang mengalami stress
kecemasan sebelum dilakukan operasi dapat mengalami peningkatan tekanan darah
secara mendadak (Braverman E. R, 2008).

Perubahan fungsional tekanan darah pada beberapa tempat dapat disebabkan


oleh stres akut, bila berulang secara intermiten beberapa kali, dapat menyebabkan suatu

13
adaptasi struktural hipertropi kardiovaskuler. Stres merupakan aktivitas saraf simpatis,
peningkatan ini mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila
stres menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap atau
semakin tinggi. Begitu pula stres yang di alami penderita hipertensi akan
mempengaruhi peningkatan tekanan darahnya yang cenderung akan tetap tekanan
darahnya bahkan bisa bertambah tinggi atau menjadi berat tingkat hipertensinya. Bila
ini terjadi pada tingkat vaskuler akan ada peningkatan tahanan (resistensi), yang
disebabkan peningkatan rasio dinding pembuluh dengan lumennya (Syavardie 2012).

Respon tubuh terhadap stres menimbulkan respons adaptasi dan


memperbaiki keseimbangan yang terdiri atas (Saputri, 2007):

1. Respons neurotransmiter terhadap stres

Stresor mengaktifkan sistem noradrenergik pada otak (khusunya pada locus


serelus) dan menyebabkan pengeluaran katekolamin dari sistim saraf otonomik.
Selain noradrenergik, stresor juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak
dengan peningkatan ambilan kembali seronin. Juga terjadi peningkatan
dopaminergik pada mesoprefrontal. Akibat peningkatan sistem saraf otonom
adalah meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah.

2. Respon endokrin terhadap stres

Respon terhadap stres corticotropin-releasing factor (CRF) sebagai


neurotransmiter, disekresikan dari hipotalamus ke sistim portal hipose-pituitari.
CRF pada pituitari anterior memicu pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH). ACTH yang dilepas ini menstimulasi sintesis dan pelepasan
glukokortikoid yang mempunyai banyak efek dalam tubuh, tetapi perananya dapat
disimpulkan secara singkat adalah meningkatkan penggunaan energi,
meningkatkan aktivitas kardiovaskuler sebagai respon flight atau fight, dan
menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.

3. Respon imun terhadap stres

Respons terhadap stres juga penghambatan pada fungsi imun oleh glukokortikoid.
Akan tetapi penghambatan ini dapat merupakan kompensasi dari aksis hipotalamus-
pituitari-adrenal (HPA) untuk meredakan efek fisiologis lain dari stres. Stres dapat

14
meningkatkan aktivitas imun melalui berbagai jalan. CRF sendiri dapat
menstimulasi pelepasan norefineprin melalui reseptor CRF yang berada di locus
seruleus yang mengaktivasi sistem saraf simpatis, keduanya secara sentral dan
periferal dan meningkatkan pelepasan efineprin dari medula adrenal. Adanya
hubungan yang langsung neuron norefineprin yang bersinap pada target sel imun,
sehingga ketika berhadapan dengan stresor juga terjadi aktivitas imun yang sangat
besar, termasuk pelepasan faktor imun humoral (sitokin) seperti interleukin-1 (IL-
a) dan IL-6. Sitokin ini sendiri dapat melepaskan CRF, yang secara teori
menyebabkan peningkatan efek glukokortikoid dan membatasi aktivitas imun
(Depkes, 2009).

2.2.4. Tanda dan Gejala

Gejala stres bervariasi, tergantung dengan beratnya stresor dan waktu. Gejala
stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Gejala fisik, antara lain: jantung berdebar-debar, lebih cepat, tidak teratur;
pernafasan lebih cepat dan pendek; berkeringat ;muka merah; otot-otot tegang;
nafsu makan berubah; sulit tidur; gugup; sakit kepala; tangan dan kaki lemas;
gangguan pencernaan; sering buang air kecil; dada sesak; rasa sakit/nyeri yang
tidak jelas; susah buang air besar atau sebaliknya diare; kesemutan; dan nyeri pada
ulu hati

2. Gejala mental, antara lain: merasa tertekan; menarik diri; bingung; kehilangan
kesadaran; depresi; kecemasan tak bisa rileks; kemarahan; kekecewaan; overaktif
dan agresif (Depkes, 2009).

15
2.3. Perbedaan Keluhan Mental akibat Gangguan Mental Fungsional (Gangguan
Psikiatrik) dan Kelainan Mental Organik

Sekitar 5- 40% pasien kesehatan mental juga memiliki diagnosis organik yang
cukup untuk menjelasakan kelainan mental yang mereka alami. Sebanyak 25% pasien
dengan gangguan mental memiliki masalah medis organik yang memperparah kondisi
gangguan mental mereka (Christenson, Grace & Byrd, 2009). Kondisi medis organik
sering sekali disalah artikan sebagai gangguan mental karena tanda gejala yang mirip
dan seringkali tumpang tindih (overlap). Sebagai contoh, gejala umum yang sering
tumpang tindih adalah apatis, iritabilitas, kelemahan, penurunan berat badan, gangguan
tidur, penurunan konsentrasi, mudah lupa, nyeri dan keluhan somatic lainnya. Selain
itu, jika pasien memiliki gangguan mental sekaligus kelainan medis, tentunya gejala
yang muncul akan semakin membingungkan (Benbadis, Agrawal & Tatum, 2001).

Misdiagnosis antara kondisi kelainan organik dan gangguan mental tidak


jarang terjadi (Rothbard, Blank & Staab, 2009). Ketidakmampuan untuk melihat faktor
organik yang mungkin berkontribusi terhadap terjadinya gangguan mental
menyebabkan dilakukannya penanganan kesehatan mental yang tidak perlu dan
menunda pemberian terapi yang sesuai dan dapat menyebabkan konsekuensi yang
cukup serius (Compton, Goulding, Broussard & Trotman, 2008).

Penelusuran riwayat penyakit baik individu maupun pada keluarganya sangat


penting untuk memperkirakan diagnosis yang tepat. Perhatian lebih harus ditunjukkan
pada riwayat penyakit endokrin personal dan penyakit neurologis seperti kelainan
kejang, tumor dan penyakit serebrovaskuler. Evaluasi berikutnya perlu memperhatikan
riwayat trauma kepala dengan penurunan kesadaran dan cidera kepala ringanyang
berulang dalam jangka waktu singkat. Riwayat operasi perlu ditanyakan untuk
menentukan adakah gejala medis akibat intervensi berupa perubahan kogbitif residual,
gangguan mood atau perubahan status mental pasca kenoterapi kanker, radiasi kranial,
operasi bypass coroner dan terapi electro-convulsive Hal lain yang penting adalah
selalu menekankan bahwa penyalahgunaan obat dapat berpengaruh terhadap keluhan
mental. (Pollak & Miller, 2011).

Kondisi medis yang berhubungan dengan keluhan psikiatrik atau gejala


perubahan status mental antara lain (Pollak & Miller, 2011):
1. Endokrinopati dan kondisi metabolik: Hiper dan hipotiroidisme, hiper dan
hipopoparatiroidisme, porfiria, hiperadrenalisme (sindrom Cushing),
16
hiperprolactinemia, ketoasidosis diabetikum, hipoglikemia, gangguan
elektrolit.
2. Defisiensi nutrisi: Vitamin B12, folat dan thiamin.

3. Penyakit serebrovaskuler: Arteriovenous malfunction, stroke lakunar dan


pembuluh besar dan arteritis temporal.
4. Kelainan system saraf pusat dan infeksi lainnya: HIV, neurosifilis, cysticercosis
(infeksi parasitic), meningitis, encefalitis, toxoplasmosis, hepatitis C.
5. Penyakit Neoplastik: tumor serebri terutama jika menyerang lobus frontalis
dan struktur sistem limbik.
6. Penyakit Neurodegeneratif: Alzheimer, demensia frontal-temporal, Lewy body
dementia, penyakit Parkinson, penyakit Huntington.
7. Kondisi neurologis lainnya: cidera kepala, hidrocefalus, kelainan kejang,
sklerosis multiple.
8. Disfungsi atau kegagalan organ: Cardiak, pulmoner, renal, hepatic dan/ atau
pankreatik.
9. Penggunaan atau penyalahgunaan obat

Berikut karakteristik secara umum keluhan mental yang khas pada kelainan
organik, walaupun tidak selalu tepat, namun dapat dijadikan pedoman umum dalam
memperkirakan diagnosis pasien dengan keluhan mental (Cardinal & Bullmore 2011;
Carrol & Rado 2009; Kaplan 2009; Sachdev & Keshavan 2010)
a. Perubahan status mental

1. Merupakan episode pertama

2. Muncul segera sebelum, saat atau setelah penyakit medis (khususnya jika
melibatkan demam) atau segera setelah konsumsi obat atau substansi tertentu.

3. Perubahan perilaku, mood atau pemikiran yang sangat tiba- tiba.

4. Onset awal gejala psikiatrik pada pasien berusia >40 tahun.

5. Tidak adanya faktor psikososial yang teridenfikasi menyebabkan gejala


psikiatrik.

6. Jikalau terdapat faktor psikologis, faktor tersebut dirasa tidak cukup untuk
menyebabkan keluhan yang muncul.

17
7. Gejala menetap atau mengalami perburukan setelah terapi psikiatrik yang
adekuat.

8. Fenomena pengulangan eksperiental tanpa adanya gejala kecemasan atau


trauma psikologis, seperti déjà vu (perasaan familier terhadap keadaan atau
kejadian yang baru terjadi), jamais vu (perasaan aneh pada kejadian atau
situasi yang biasa atau familier), derealisasi dan depersonalisasi.

9. Tanda atau gejala khas menunjukkan kelainan neurologis fokal seperti


kelemahan anggota tubuh unilateral atau bilateral dan hilangnya atau
gangguan sensasi.

10. Halusinasi visual, taktil, pembauan, perasa spesifik tanpa disertai halusinasi
auditoris.

11. Gangguan kognitif menetap meliputi gangguan ingatan jangka pendek dan
pemikiran menjadi lambat.

b. Tanda

1. Tanda berhubungan dengan disfungsi korteks serebri: afasia (gangguan


Bahasa), apraksia (ketidakmampuan menyelesaikan tugas perilaku motoris
sederhana tanpa adanya gangguan fungsi motori), agnosia (ketidakmampuan
mengenali objek) atau deficit visuo- konstruksional (ketidakmampuan meniru
pola visual).

2. Tanda berhubungan dengan disfungsi subkortekas serebri: onset baru disartria


dan melambatnya bicara dan proses berpikir.

3. Perubahan fungsi motorik, termasuk gerakan gerakan berulang tanpa tujuan di


wajah ataupun lengan, cara berjalan melambat atau ataksik, tremor atau
masalah koordinasi.

18
4. Tanda disfungsi organ yang dapat menyebabkan perubahan status mental,
yaitu jaundis (disfungsi pankreatik atau hepar) dan bibir membiru atau
dyspnea pada penyakit jantung dan pulmoner.

c. Gejala

1. Gejala terlalu parah jika dibandingkan keluhan mental yang ada, misalkan
penurunan berat badan yang signifikan, gangguan fungsi pencernaan dan
fungsi seksual.

2. Gejala yang muncul jarang terjadi pada kelainan psikiatrik fungsional dan lebih
mengarah ke kelainan organik seperti intoleransi dingin atau panas, perubahan
warna kulit atau tekstur rambut, penebalan kulit, peninjolan bola mata (pada
penyakit tiroid), ruam upu- kupu / butterfly rash pada hidung atau wajah
(penyakit lupus), banyak tanda goresan di pembuluh darah vena (penggunaan
obat intravena), diskolorasi kemerahan pada hidung (alkoholisme).

2.4 Prolanis

Prolanis merupakan upaya promotif dan preventif yang dilakukan oleh BPJS
kesehatan pada era JKN. Pada buku panduan praktis program pengelolaan penyakit kronis
yang diterbitkan oleh BPJS sudah dijelaskan secara detail mengenai konsep prolanis.
Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang
dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang
menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
Kegiatan Prolanis ini sangat bermanfaat bagi kesehatan para pengguna peserta
BPJS. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan Prolanis ini adalah mendorong
peserta penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator
75% peserta terdaftar yang berkunjung ke FKTP memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan
spesifik terhadap penyakit DM tipe 2 dan hipertensi sesuai panduan klinis terkait sehingga
dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit (BPJS Kesehatan, 2014).
Sasaran dari kegiatan prolanis adalah seluruh peserta BPJS Kesehatan penyandang
penyakit kronis khusunya Diabetes Melitus (DM) Tipe II dan hipertensi. Kegiatan
Prolanis lebih menyasar penyandang penyakit DM tipe II dan hipertensi dikarenakan

19
penyakit tersebut dapat ditangani di tingkat primer dan dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Adapun kegiatan yang dilaksanakan Prolanis meliputi aktifitas
konsultasi medis/edukasi, Home Visit, Reminder SMS gateway, aktifitas klub dan
pemantauan status kesehatan.

2.5 Kerangka Teori

20
2.6 Hipotesis

Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan pasien Hipertensi pada peserta
prolanis di Puskesmas Sumber.

21
BAB III
RANCANGAN INOVASI

3.1 Inovasi dan Produk Mini Project

Pengembangan inovasi dan produk ini merupakan hal baru di Puskesmas Sumber. Dengan
adanya inovasi berupa membuat kelas khusus peserta hipertensi dengan leaflet yang nantinya
akan diberikan ke setiap anggota PROLANIS Puseksmas Sumber Kabupaten Probolinggo.
3.2 Tujuan

Bedasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan mini project ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai hipertensi untuk menurunkan kecemasan pada peserta
prolanis dengan hipertensi di wilayah kerja masyarakat Sumber Kabupaten Probolinggo
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi mini projek ini adalah seluruh masyarakat wilayah Sumber yang terjangkau oleh
pelayanan Puskesmas.
3.4 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Pengembangan inovasi ini akan dilaksanakan di Puskesmas Sumber Pada bulan Oktober dan
November 2020

22
PENUTUP

Dengan diadakannya laporan minipro tentang Upaya Menurunkan Tingkat


Kecemasan Pada Peserta Prolanis Dengan Hipertensi Di Puskesmas Sumber
Probolinggo, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu
penyusunan laporan kegiatan miniproject ini. Penulis sadar bahwa laporan ini masih kurang
dari kata sempurna dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Penulis memohon maaf apabila ada kata-kata dan pengetikan yang kurang berkenan
karena penulis sedang dalam tahap pembelajaran.

23
Daftar Pustaka

Benbadis, S.R., Agrawal, V. & Tatum, W.O. (2001). How many patients with psychogenic
nonepileptic seizures also have epilepsy?, Neurology, 57, 915- 917

Cardinal, R. & Bullmore, E. (2011). The diagnosis of psychosis. New York, NY:
Cambridge University Press.

Carroll, U.K. & Rado, J.T. (2009). Is a medical illness causing your patient’s depression?
Current Psychiatry, 8, 45-54.

Christensen, R.C., Grace, G.D. & Byrd, J.C. (2009). Refer more patients for medical
evaluation. Current Psychiatry, 8, 73-74.

Compton, M. T., Goulding, S.M., Broussard, B., and Trotman, H. (2008). Treatment delay
in the early course of schizophrenia and the duration of untreated psychosis.
Psychiatric Annals, 38, 504- 511

Departement Health & Human Services US, (2003), The Seventh Report of The Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation & Treatment of High
Blood Pressure, NIH NHLBI, Bethesda. Juni 7, 2018.
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/express.pdf

Depkes RI. (2012). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular.
Jakarta: Bakti Husada

Hariwijaya, M. (2007). Pencegahan dan pengobatan penyakit kronis. Edsa Mahkota : Jakarta

Hasurungan, (2002), Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Lansia di


Kota Depok Tahun 2002, Tesis, Program Pascasarjana, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.

Hawari, Dadang. (2013). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Gaya Baru

Kaplan, A. (2009). Neuropsychiatric masquerades. Psychiatric Times, 26 (2), 6-8.

Kementrian Kesehatan, Republik Indonesia, (2010), Pengendalian Faktor Resiko


Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Berbasis Masyarakat, Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Jakarta.

Kemunduran fungsi organ pada lansia menyebabkan kelompok ini rawan terhadap
penyakit-penyakit kronis seperti DM, stroke, gagal ginjal dan hipertensi. Salah
satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada masa usia lanjut adalah hipertensi
atau tekanan darah tinggi (Kemenkes RI, 2013).

Marliani, L. (2007). 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: Elek Media Komputindo.

24
Murti, YA, 2005, Pengaruh Haxard Psikososial Terhadap Kejadian Hipertensi di Kantor
Pusat Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Tesis, Program Pascasarjana,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.

Pollak, J & Miller, J.J (2011), Mental Disorder or Medical Disorder? Clues for Differential
Diagnosis and Treatment Planning, Journal of clinical psychology practice: (2)
33-40

Rothbard, A.B., Blank, M.B. & Staab, J. P. (2009). Previously undetected metabolic
syndromes and infectious diseases among psychiatric inpatients. Psychiatric
Services, 60, 534-537.

Sachdev, P. S. & Keshavan, M.S. (2010). Secondary Schizophrenia. New York, NY:
Cambridge University Press.

Saputri, DE (2007), Hubungan Stres dengan Hipertensi Pada Penduduk Di Indonesia


Tahun 2007 (Analisis Data Riskesdas Tahun 2007), FKM UI, Depok.

Sarwanto, dkk., (2009, April), Prevalensi Penyakit Hipertensi Penduduk Di Indonesia dan
Faktor Yang Beresiko, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Volume 12 No.2,
154-162.

Simon, et al, (2005), Impact of smoking,diabetes, and hypertension on survival time in the
elderly: the Dubbo Study, The Medical Journal of Australia. Juni 7, 2018.
http://www.mja.com.au/html

WHO and JNC 7. Klasifikasi Hipertensi. Diakses Juni 7, 2018, http:// www. Serene. Me. Uk.

Yundini, (2006), Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi, Februari 02, 2010. www.mail-
archive.com.

25
LAMPIRAN

26
PUSKESMAS SUMBER
KAB. PROBOLINGGO

27
28

Anda mungkin juga menyukai