Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKSANAKAN


PUTUSAN TERHADAP PEMAKZULAN PRESIDEN

A. Peran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pemakzulan Presiden Sebagai

Forum Previlegiatum

Pemakzulan presiden yang terjadi didalam historis Negara kesatuan


republic Indonesia yang terjadi pada kepemimpinan presiden soekarno dan
presiden Abdurrahman wahid merupakan bentuk konkret bahwasanya tidak
ada yang memiliki imunitas hukum bahkan presiden sekali pun. Walaupun
terdapat catatan khusus karena dalam peristiwa yang terjadi tidak terlepas
adanya unsur pidana tetapi Negara tidak dapat melanjutkan atau mengadili
secara pidana para pemimpin Negara tersebut. Tentu hal ini tidak boleh
terulang kembali.
Keberadaan MK sebagai bagian dari forum previlegiatum patut untuk
dikaji lebih dalam karena proses peradailan pidana yang di kelola oleh MK
pada dasarnya harus menjunjung tinggi keberadaan hukum dan keadilan.
Hukum dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (truth and
justice), terutama untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak yang dapat
diartikan memberikan sesuatu kepada yang berhak atau menempatkan sesuatu
pada tempatnya, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda.
Menurut Hans Kelsen hukum yang dipisahkan dari keadilan merupakan
hukum positif.239
Karena konsep keadilan setiap orang berbeda-beda, tetapi konsep keadilan
dapat di tegakkan dengan keberadaan peradilan yang bebas dari campur
tangan kekuasaan. Negara hukum menghendaki kekuasaan peradilan yang
merdeka yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan lain yang akan mengakibatkan

Budi Sastra Panjaitan, Forum Privilegiatum Sebagai Wujud Peradilan yang Adil Bagi
239

Masyarakat, dalam Media Hukum : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
MA-RI Vol. 25 No. 1, Juni 2018 (Jakarta; Indonesia) hal 41.

110
111

hakim menyimpang dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan dan


kebenaran. 240
Hukum memperlakukan sama kepada siapapun dan apapun kekuasaanya
dan hal ini sesuai dengan konstitusi yang tertera di dalam pasal 28D Ayat (1).
Melalui Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara tegas dinyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”241
Ada dua proses yang digunakan, yaitu proses politik di DPR dan MPR,
kemudian proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikenal sebagai
forum previlegiatum, sehingga secara singkat proses tersebut dimulai oleh
DPR (proses politik), yang kemudian berlanjut di MK (proses hukum) dan
kemudian terakhir di MPR (proses politik).242
Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang menjadi bagian dari pemakzulan
terhadap presiden menjadi sorotan tersendiri. Meskipun konstitusi sudah
mengatur aturan-aturan yang digunakan untuk memakzulkan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, namun tahapan-tahapan yang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan, membuat banyak pihak skeptis terhadap
pemakzulannya, meskipun celah untuk memakzulkannya juga tetap terbuka.
Berdasarkan hal inilah, yang membuat beberapa aspek yang terkait dengan
pemakzulan menjadi menarik untuk dibahas. Pergulatan antara “peradilan
politik” dengan “peradilan yuridis” bukan hanya menjadikan posisi Presiden
dan/atau Wakil Presiden ditentukan, tetapi peran strategis MK juga tidak
lepas dari penilaian publik, terutama terhadap putusan-putusan yang
dijatuhkan MK.243

Budi Sastra Panjaitan, Forum Privilegiatum Sebagai Wujud Peradilan yang Adil Bagi
240

Masyarakat, dalam Media Hukum Vol. 25 No. 1, JUNI 2018 (Medan:Indonesia), hal. 42.

241
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, ps.28D

242
Abdul Wahid, Independensi Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, dalam Jurnal Konstitusi; Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
Vol. 11 No. 4, Desember 2014 (Malang: Indonesia), hal. 672.

243
Ibid, Hlm. 673
112

Keberadaan DPR melakukan tindakan pendakwaan terhadap presiden atas


tindakan dengan unsur pidana yang sudah di lakukan, walaupun terlihat
politis pendapat DPR ini dinilai sebagai suatu vonis dalam “peradilan
yuridis”, karena dari pendapatnya ini, pemakzulan dapat diteruskan ke
tahapan berikutnya ataukah tidak. Pendapat DPR tersebut harus dibawa
terlebih dahulu untuk diuji kebenarannya oleh lembaga peradilan khusus
ketatanegaraan, yaitu MK. Dalam ranah MK ini, peradilan dalam arti yuridis
dilaksanakan, seperti meminta kesediaan Presiden dan/ atau Wakil Presiden
untuk datang ke MK untuk didengar testimoninya tentang jenis pelanggaran
hukum yan didakwakan DPR kepadanya. Presiden dan/atau Wakil Presiden
juga berhak menggunakan hak-haknya sebagai “terdakwa” guna menjelaskan
atau memberi keterangan kepada majelis hakim MK kalau dirinya tidak
melakukan kesalahan sebagaimana yang didakwakan oleh DPR. Peran DPR
ini juga menunjukkan kalau dirinya adalah representator negara.244
Perlu di ingat bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh
konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang kepada
undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 245 Dan
seluruh sifat putusan tersebut adalah final dan mengikat.
Tetapi khusus pemakzulan terhadap presiden kewenangan mahkamah
konstitusi dalam memutus terhadap pendapat DPR bahwa presiden di nilai
atau terindikasi melanggar undang-undang dasar berbeda dengan sebelumnya.
Khusus terhadap sifat putusan mengenai adanya pelanggaran yang dilakukan
oleh presiden atau wakil presiden tersebut tidak final dan mengikat. Hal ini
lah yang menjadi persoalan mengenai pemakzulan terhadap presiden.
Berbeda dengan peradilan umum yang mencerminkan kepastian di dalam
putusan nya, keputusan hukum yang dikeluarkan oleh mahkamah konstitusi

244
Ibid, Hlm. 678

245
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, ps.24C
113

harus diserahkan kepada mekanisme MPR dan MPR yang bertugas untuk
memutuskan bahwa apakah pemakzulan presiden dapat dilakukan atau tidak.
Pertanyaan nya apakah keputusan yang dijatuhkan oleh MK ini mempunyai
kekuatan yang mengikat MPR dalam menjalankan perannya? Apakah MPR
hanya menjadi “corong” MK dengan menjadikan keputusan yang dijatuhkan
oleh MK sebagai keputusan akhir yang mengikatnya? Tentu konstitusi tidak
menjelaskan lebih lanjut pernyataan ini.246
Walaupun hal tersebut merupakan interpretasi dari kekuasaan rakyat, tapi
seolah-olah melupakan unsur pidana yang menimpa presiden sampai dapat
lolos dari jaratan pemakzulan. Keberadaan peran MK di Indonesia dalam
proses pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat dikomparasikan
dengan peran MK di Jerman. Hal ini berhubungan erat dengan konsep
lembaga Negara berdasasrkan konstitusi jerman. Di dalam konstitusi Jerman,
adanya perbedaan state organ dan konstitusional organ. State organ adalah
lembaga-lembaga dalam negara Jerman yang dianggap bertindak atas nama
negara Jerman termasuk yang mempunyai kedudukan state organ yang utama
adalah bundestag, Bundesrat, bundesregireung, bundespresident dan
bundesverfassungsgericht. Disamping itu juga yang termasuk organ adalah
bundesrecht-nungshof dan bundesbank. Dibalik itu konstitusional organ
hanyalah menyangkut lembaga-lembaga organ yang satu kewenangannya
langsung diatur oleh konstitusi. Dalam ketatanegaraan Jerman constitusional
organ tertinggi adalah bundestag sebagai organ yang dipilih langsung oleh
rakyat. constitutional organ lainnya adalah bundesrat, regierung president dan
bundesverfassungsgericht. Berasal konsep state organ dan konstitusional
organ dari konsep konstitusi Jerman MPR adalah konstitusional organ
mengingat kewenangan MPR diberikan oleh undang-undang Dasar 1945. 247
Ketentuan mengenai prosedur impeachment atau pemakzulan diatur
dalam Bab V pasal 61 mengenai Presiden. Pasal 61 (1) menentukan bahwa
246
Op.cit, Hlm. 678

247
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, edisi revisi, (Malang:Setara Press, 2012), hal. 153.
114

impeachment terhadap Presiden dapat diajukan oleh ¼ anggota bundestag


(house of representatives) atau ¼ jumlah suara dalam bundesrat (senat).
Sidang impeachment dilakukan oleh bundestag atau bundesrat didepan MK
yang memeriksa dan memutuskan apakah Presiden benar-benar melanggar
konstitusi atau Undang-Undang Federal lainnya. Keputusan untuk meng-
impeach Presiden ditetapkan sedikitnya 2/3 anggota Bundestag atau 2/3
jumlah suara di bundesrat. Pengumuman impeachment dilakukan oleh
seseorang yang ditunjuk oleh badan yang memakzulkan. Dalam Pasal 61 (2)
ditentukan bahwa, bila MK memutuskan Presiden bersalah telah melanggar
konstitusi atau Undang-Undang Federal lainnya, MK dapat menyatakan
Presiden telah dicopot dari jabatannya. Setelah pemakzulan, MK dapat
mengeluarkan perintah pengadilan interim untuk mencegah Presiden
menjalankan fungsi kepresidenannya. 248
Dalam ketentuan konstitusi Jerman tersebut, prosedur pemakzulan yang
diberlakukan kepada Presiden menjadi kewenangan MK untuk memutuskan
bersalah atau tidaknya Presiden. Meskipun perkara pemakzulan diajukan dan
diputuskan oleh parlemen, namun lebih sebagai keputusan politis saja
sementara keputusan hukum berada di MK. Dalam konstitusi sudah
ditentukan bahwa pasal impeachment Presiden hanyalah atas dasar
pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Federal, dan tidak bisa
makzulkan yang didasarkan pada dakwaan lain. Ketentuan Pasal 61 (2) lebih
mempertegas status hukum dari keputusan MK, karena kalaupun parlemen
memutuskan yang berbeda dengan hasil temuan MK, maka MK diberi
instrumen hukum untuk secara administratif memberhentikan Presiden dari
jabatannya dan secara efektif “membekukan” fungsi kepresidenan. Peran MK
di Jerman inilah yang membedakannya dengan di Indonesia. Di Jerman,
putusan MK bisa menentukan berakhirnya jabatan Presiden, sedangkan di
Indonesia, konstitusi hanya menentukan, bahwa MK mempunyai kewajiban
untuk memberi putusan atas pendapat DPR. 249
248
Op.cit, Hlm. 683
249
Op.cit, Hlm.684.
115

Dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi Jerman lebih menjamin


kepastian dalam putusan hukumnya sekalipun tetap melibatkan parlemen,
tetapi keputusan hukum Mahkamah Konstitusi Jerman tidak dapat diganggu
gugat. Hal ini bisa menjadi insiprasi bagi konsep pemakzulan hukum kita
bahwa kepastian hukum terhadap putusan pemakzulan. Hal ini menjadi
semakin pesimistis karena hakim Mahkamah Konstitusi Dalam proses
pemilihan/pengangkatan hakim konstitusi diajukan oelh 3 (tiga) lembaga
negara yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan atau pengangkatan hakim
konstitusi diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.250
Komposisi hakim yang lekat dengan kepentingan membuat penilaian
publik pesimis terhadap pemakzulan presiden. Walaupun ukuran tingkat
independensi tercermin dari penerapan prinsip transparan dan partisipatif
serta prinsip obyektif dan akuntabel yang diterapkan pada tata cara seleksi,
pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi pada masing-masing lembaga yang
diberi kewenangan untuk memilih hakim tersebut tetapi prihal keputusan MK
yang dapat digodog melalui mekanisme di MPR maka terindikasi terdapat
imunitas pada pejabat negara termasuk diantaranya adalah presiden dan wakil
presiden.251
Kemungkinan amar putusan MK adalah sebagai berikut: 1. Permohonan
tidak dapat diterima, apabila permohonan tidak memenuhi syarat; 2.
Membenarkan pendapat DPR, apabila terbukti melakukan pelanggaran pasal
pemakzulan; dan 3. Permohonan ditolak, karena tidak terbukti melakukan
pelanggaran pasal pemakzulan. Apabila Amar Putusannya adalah alternatif
kedua, maka sebagai langkah ketiga, DPR menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. MPR wajib

250
Ahmad Fadlil Sumadi, Independensi Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konsitusi Republik
Indonesia dalam Jurnal Konstitusi: Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia Vol 8, No 1, Oktober
2011 (Jakarta; Indonesia), Hlm. 639.

251
Ibid, Hlm. 639
116

menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari


sejak MPR menerima usul tersebut.252
Karena pada dasarnya komposis MPR adalah gabungan antara DPR dan
DPD hal itu secara jelas Dimana konstitusi mengatur dalam pasal 2 ayat 1
yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Artinya Kedudukan MPR sebagai lembaga yang pernah menjadi lembaga
tertinggi Negara ini adalah sebagai sidang gabungan antara DPR dan DPD
(Joint sesion). Maka dalam konteks pemakzulan presiden akan sangat rentan
subjektivitas putusannya. 253
Urgensi untuk memperjelas masalah ini semakin tinggi mengingat usulan
pemakzulan yang diajukan DPR kepada MK bisa berakhir dengan tiga
kemungkinan: Pertama, MK menolak atau tidak dapat menerima
pendapat/usul DPR tentang pemakzulan. Akibatnya proses pemakzulan tidak
bisa dilanjutkan ke Sidang Istimewa MPR; Kedua, MK menerimal
membenarkan pendapat atau usul OPR tentang pemakzulan, kemudian MPR
menggelar Sidang Istimewa MPR yang berujung dengan pemberhentian
presiden; Ketiga, MK menerima dan membenarkan pendapat atau usul DPR
tentang pemakzulan, namun Sidang Istimewa MPR memutuskan untuk tidak
memberhentikan Presiden.254
Jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama, maka tidak akan terjadi
konflik konstitusional yang serius. Kalaupun yang terjadi adalah
kemungkinan kedua, jika Sidang Istimewa MPR menyetujui pemakzulan,
maka mantan Presiden yang diberhentikan karena diduga telah melakukan
tindak pidana berat atau korupsi misalnya, dapat dipidana atas tindakan yang
di lakukannya di pengadilan biasa. Dalam keadaan sepertl Itu, pendapat
252
Op.cit, hal. 420.

253
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, edisi revisi, (Malang:Setara Press, 2012), hal. 153.

254
Op.cit, Hlm.420.
117

hukum MK yang dijadikan alasan yuridis pemakzulan oleh Sidang Istimewa


MPR bisa dijadikan dasar pemidanaan di pengadil an. Konflik konstitusional
yang serius baru muncul bila yang terjadi adalah kemungkinan ketiga.
Permasalahan pertama yang muncul adalah dapatkah putusan MK dijadikan
dasar pemidanaan terhadap Presiden? Kemudian, Jika putusan MK dapat
dijadikan dasar pemidanaan terhadap Presiden sebagai bagian dari suatu
proses dari proses pemakzulan, masa lah berikutnya ada lah pengadilan mana
yang berwenang mengadili perkara ini. Apakah pengadilan pidana umum?
Atau pengadilan khusus karena terdapat tindak pidana khusus yaitu korupsi?
Apakah status presiden secara otomatis berstatus non-aktif dari jabatannya
saat ia menjadi tersangka? Sayangnya hal ini belum di jelaskan oleh
konstitusi secara detail.255
Pada intinya saat mahkamah konstitusi menerima dan membenarkan
pendapat DPR untuk memakzulkan presiden namun putusan tersebut tidak
dikuatkan di dalam sidang MPR dan mengakibatkan presiden lolos dari
mekanisme pemakzulan dan otomatis juga lolos dari peradilan pidana yang
seharusnya sudah menjadi konsekuensi hukum atas tindakan presiden. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya pengingkaran terhadap prinsip kesetaraan di
muka hukum, bahkan menimbulkan suasana ketidakpastian hukum yang
berujung pada krisis konstitusional dan politik yang serius.256
Dengan menyerahkan putusan hukum Mahkamah Konstitusi kepada MPR
merupakan Tindakan yang secara nyata membatasi gerak peradilan dalam
menegakkan hukum, khususnya kepada pejabat negara karena adanya
prosedur tertentu yang memberikan hak imunitas telah menunjukkan dengan
sengaja membedakan setiap orang di hadapan hukum, prosedur dimaksud
dapat ditafsirkan sebagai bentuk campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang berujung kepada diskriminasi.
Keistimewaan dalam bentuk prosedur tertentu terhadap pejabat negara dapat

255
Op.cit, Hlm.422.

256
Op.cit, Hlm.422.
118

dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I
ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Akibatnya cita-cita negara hukum (rechtsstaat) terabaikan karena adanya
prosedur khusus dimaksud. Proses penegakan hukum terhadap pejabat negara
seharusnya tidak mengandung diskriminasi dengan rakyat biasa yang
berpotensi bertentangan dengan prinsip equal protecition yang dijamin oleh
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu persamaan atau kesederajatan
dihadapan hukum dan pemerintahan. Sekalipun hak imunitas diperlukan bagi
pejabat negara, bukan berarti dalam tindakan kehakiman hak imunitas harus
melekat. Jika hak imunitas melekat sama artinya asas proporsionalitas telah
terabaikan, karena menunda proses kehakiman dengan alasan adanya
prosedur tertentu terhadap pejabat negara telah menunjukkan terjadinya
pembatasan kesetaraan di hadapan hukum, yang berarti telah terjadi
diskriminasi antara rakyat dengan pejabat negara.257
Pada intinya perubahan kelima terhadap Undang-Undang Dasar harus
menjadi pembahasan khususnya bicara mengenai pemakzulan presiden,
karena Mahkamah Konstitusi sebagai forum privilegiatum dinilai belum tepat
dijadikan pilihan tetap bagi pejabat negara khususnya presiden yang
melakukan tindak pidana. Seharusnya ada forum privilegiatum, sebagai
pemberhentian dan penghukuman terhadap pejabat negara yang melakukan
tindak pidana dilakukan melalui mekanisme pengadilan khusus. Pengadilan
khusus ini merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final dan mengikat. Forum privilegiatum diadakan karena
sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman untuk mewujudkan rasa
keadilan antara rakyat dengan pejabat negara, khususnya dalam memutus
kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara. Mekanisme
peradilan dalam pengadilan khusus ini dipercepat tanpa melalui jenjang
pemeriksaan konvensional dari tingkat bawah sebagaimana yang dilakukan

Budi Sastra Panjaitan, Forum Privilegiatum Sebagai Wujud Peradilan yang Adil Bagi
257

Masyarakat, dalam Media Hukum : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
MA-RI Vol. 25 No. 1, Juni 2018 (Jakarta; Indonesia) hal 45.
119

dalam pengadilan pada umumnya.258 Untuk mewujudkan hal itu amandemen


kelima Undang-Undang Dasar harus mengatur mengenai mekanisme
pemakzulan presiden salah satunya dengan menjadikan Mahkamah Konstitusi
sebagai proses final pemakzulan setelah MPR dan menjadikan putusan MK
sebagai putusan terakhir. Atau minimal memperjelas mekanisme pemakzulan
nya dalam perspektif hukum agar tidak terkesan adanya imunitas presiden
terhadap pelanggaran hukum.
Karena kalaupun Forum privilegiatum adalah pengadilan khusus bagi
pejabat Negara dengan penyidikan dan penuntutan dilakukan secara khusus
tetapi proses persidangan harus berjalan layaknya peradilan pada umumnya
yaitu secara cepat, fair, impartial, final dan mengikat; dan tidak ada proses
banding, kasasi dan peninjauan kembali apa lagi di bahas kembali secara
politik. Kalaupun mekanisme pendapat DPR dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi serta di sepakati MPR dan berujung kepada pemakzulan terhadap
presiden amandemen kelima harus dapat memastikan pejabat negara yang
bersangkutan telah berhenti dari jabatannya, kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan diadili di pengadilan biasa, mulai dari tingkat peradilan pertama,
peradilan banding, hingga peradilan kasasi dan peninjauan kembali.259

B. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Melakukan Pemakzulan

Terhadap Presiden Dikaitkan Dengan Asas Persamaan di Mata Hukum

Konsep berfikir Negara hukum pada hakikatnya menghendaki adanya


supremasi konstitusi, disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah
wujud perjanjian sosial tertinggi. Paham negara berdasarkan atas konstitusi
tidak dapat dipisahkan dari negara berdasarkan atas hukum. Karena
258
Ibid, Hlm. 45.

259
Ibid, Hlm. 45.
120

keberadaannya bertujuan untuk membatasi Kekuasaan pemerintah dan


menolak bentuk kekuasaan Tanpa Batas. kedua konstitusi adalah pondasi
menuju demokrasi yang berarti bahwa Konstitusi merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk demokrasi yang sehat dan dapat berjalan dengan baik,
karena setiap penyelenggaraan pemerintahan harus terbangun oleh dan
berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konstitusi. Ketiga
demokrasi yang benar adalah demokrasi yang teratur dan berdasarkan hukum,
negara hukum harus dijalankan menurut prosedur demokrasi yang disepakati
bersama sebagai suatu perjanjian sosial tertinggi artinya negara hukum
haruslah demokratis dan dipihak lain negara demokrasi itu haruslah
didasarkan pada hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun
dengan baik sebaliknya hukum tanpa sistem konstitusi yang demokratis hanya
akan menjadi hukum yang elitis dan Represif. demokrasi yang berdasar pada
hukum inilah disebut demokrasi konstitusional sebagai pilar utama dalam
negara hukum yang demokratis.260
Konstitusional dapat diidentifikasikan pada tiga kedudukan dari
konstitusi suatu negara. Pertama dilihat dari posisi konstitusi sebagai hukum
dasar yang mengandung norma-norma dasar yang mengarahkan bagaimana
pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan
kekuasaan negara dalam kedudukan sebagai norma dasar atau basic law.
Konstitusi dapat dijadikan instrumen yang efektif mencegah timbulnya
penyakit gunaan kekuasaan konsekuensi yuridisnya dari pengakuan konstitusi
sebagai hukum dasar dapat mengarahkan dan menjiwai produk hukum yang
berorientasi tidak saja pada kepastian hukum tetapi juga produk hukum yang
memenuhi keadilan bagi semua orang. Kedua dilihat dari segi hierarki
peraturan perundang-undangan konstitusi sebagai hukum tertinggi
kedudukannya kuat artinya produk hukum lainnya tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi dapat dilihat dengan suatu asas yaitu asas hukum Lex
superiori derogat Legi inferior atau peraturan hukum yang lebih tinggi
260
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU
terhadap UUD, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015) Hal. 28.
121

mengesampingkan peraturan hukum yang lebih rendah. Ketiga konstitusi


sebagai dokumen hukum dan politik menempati kedudukan istimewa karena
substansi atau materi muatannya memuat norma hukum dasar juga berisi
piagam kelahiran suatu negara. Yang menginspirasi terealisasikannya cita-
cita Bangsa dan cita-cita hukum. Karena itu norma konstitusi juga
mengendalikan norma-norma lainnya.261
Peran Mahkamah Konstitusi adalah guardian of constitution atau penjaga
konstitusi itu sendiri. MK mempunyai visi menegakkan konstitusi dalam
rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Kemudian salah satu misi MK
adalah mewujudkan MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang
terpercaya. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman MK diharapkan
mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka (independence) yang dapat dipercaya
dalam menegakkan hukum dan keadilan.262 Tetapi dengan kewenangan serta
kewajibannya yang tertera dan sifat putusan dimana tidak ada lagi upaya
hukum lanjutan dan hal ini di jamin di dalam konstitusi apakah sudah cukup
dalam menjamin keadilan yang komprehensif?
Persoalan putusan MK merupakan persoalan hukum yang cukup serius,
karena histori putusan final dan mengikat oleh mahkamah konstitusi dalam
prakteknya di nilai tidak implementatif. Misalnya mengenai Putusan terhadap
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi
yang mengabulkan sebagian terhadap pasal 12 ayat (3), pasal 22 ayat (1) dan
pasal 28 ayat (2) dan ayat (3). Putusan yang bersifat final dan mengikat
seharusnya ditindak lanjuti. Tetapi pemerintah menertibkan Perpres No. 55
Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Domestik yang pada isinya
bertentangan dengan putusan MK karena isinya menyerahkan harga BBM
261
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, edisi revisi, (Malang:Setara Press, 2012), hal. 38.

262
Ahmad Fadlil Sumadi, Independensi Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konsitusi Republik
Indonesia dalam Jurnal Konstitusi: Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia Vol 8, No 1, Oktober
2011 (Jakarta; Indonesia), Hlm. 646.
122

kepada mekanisme pasar dan di dalam konsideran Perpres tidak ada rujukan
dari dari putusan MK pada undang-undang Migas.263
Kasus serupa putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dilaksanakan
oleh cabang kekuasaan legislatif salah satu contohnya yaitu Putusan Nomor
92/ PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
serta Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah
mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi
harus dinyatakan inkonstitusional. Melalui putusan itu juga, Mahkamah
Konstitusi menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional
sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 22D ayat (1) dan (2), yang
di antaranya adalah mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas
rancangan undang-undang, penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap
rancangan undang-undang. Faktanya, secara substansial putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dimuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.264
Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dipatuhi oleh Mahkamah
Agung sebagai lembaga yang dikualifikasikan ke dalam cabang kekuasaan
yudikatif selain Mahkamah Konstitusi, adalah Putusan Nomor 003/PUU-
IV/2006 tentang penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi melalui

263
Op.cit, Hlm.13.
264
M. Agus Maulidi, Jurnal Konstitusi, Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan
Mengikat Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Konstitusi; Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK) FH UII Vol 16, No 2, Juni 2019 (Yogyakarta;
Indonesia). Hal. 342.
123

putusannya mengatakan bahwa sifat melawan hukum materiil dalam undang-


undang tersebut inkonstitusional. Namun, pasca putusan Mahkamah
Konstitusi itu dikeluarkan, Mahkamah Agung masih menerapkan sifat
melawan hukum materil dalam salah satu putusannya. Mahkamah Agung
juga berdalih bahwa penerapan tersebut didasari pada alasan telah adanya
yurisprudensi yang telah berlaku berulang kali sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut265
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi masih mengambang dan bahkan cenderung diingkari oleh
penyelenggara negara. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat tegas
pada tataran literasi semata, namun justru tumpul pada tataran implementasi.
Hal ini menjadi persoalan yang serius karena minim kegunaan pada aspek
keadilan dan kepastian hukum. Apalah artinya putusan yang bisa menjawab
persoalan masyarakat jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, hanya menjadi
macan kertas.
Lalu bagaimana dengan mekanisme putusan Mahkamah Konstitusi dalam
memutus perkara pemakzulan presiden? Pada hakikatnya jika di lihat dalam
konteks amandemen Undang-Undang Dasar bahwa keberadaan pasal 7 yang
berisi mengenai alasan pemakzulan presiden bertujuan agar tidak ada lagi
kondisi politik yang berlarut-larut yang berujung kepada ketidakjelasan
alasan pemidanaan presiden. Tetapi dengan kembali menyerahkan putusan
pemakzulan ke-ranah MPR menyebabkan unsur politik yang lebih kental dari
pada unsur hukum khususnya pemidanaannya.
Mekanisme politik yang berangkat dari usul dan pendapat pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari DPR, kemudian melalui proses hukum
di mana Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPR, selanjutnya dikembalikan lagi ke DPR, apabila MK membenarkan
pendapat DPR maka selanjutnya adalah berlanjut ke mekanisme politik

265
Ibid, Hlm. 343.
124

melalui rapat paripurna MPR untuk diputus apakah Presiden dan/ Wakil
Presiden diberhentikan atau tidak.
Padahal jika kembali kepada hakikat keberadaan forum previlegiatum
tujuan nya adalah jelas persamaan dimata hukum sebagai wujud dari
keberadaan Negara hukum pancasila.266 Penyelenggaraan keadilan secara
benar kepada semua warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan
sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan
melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan terhadap
akses keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality
before the law).267
Pada hakikatnya tidak ada masalah dengan mekanisme politik yang
dilakukan oleh DPR, karena memang fungsi nya sebagai lembaga perwakilan
rakyat yang memantau kinerja pemerintah (check and balance). Selama
alasan pemakzulan presiden masih dalam ranah hukum maka diharapkan akan
menimbulkan hasil yang objektif dan menjamin keadilan. Begitulah peran

266
Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU
terhadap UUD, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015) Hal. 33.

Indonesia memiliki Sejarah perkembangan ketatanegaraan yang panjang. Di dalam amandemen


terakhir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara resmi istilah
istilah negara hukum yang tertera di dalam pasal 1 ayat 3 telah di netralkan. Artinya undang-
undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 hanya menyebut Negara Indonesia adalah
negara hukum tanpa embel-embel yang diletakkan dalam kurung dalam hal ini yang sempat
popular adalah istilah rechtstaat. Dengan demikian bagi Muhammad Mahfud MD negara Indonesia
bukan hanya mengakui konsep rechstaat melainkan juga sekaligus The rule of Law. Kata rechstaat
tidak lagi dipergunakan karena sebenarnya negara Indonesia tidak hanya mengakui rechstaat tetapi
juga rule of Law, karena pada dasarnya masing-masing memiliki paradigm hukum yang berbeda
tetapi inti filosofinya digabungkan sebagai paradigma negara hukum Pancasila. menurut Mahfud
MD istilah rechstaat dan rule of law bukan masalah semantik atau gramatikal semata melainkan
juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik sebab seperti diketahui walaupun ada
2 istilah yang berbeda yaitu rasa tentang tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dalam istilah yang sama yaitu negara hukum. padahal kedua istilah mempunyai konsepsi dan
kelembagaan yang berbeda, Negara hukum pancasila adalah konsep kumulatif dari keduanya yang
saling menguatkan.

Budi Sastra Panjaitan, Forum Privilegiatum Sebagai Wujud Peradilan yang Adil Bagi
267

Masyarakat, dalam Media Hukum : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
MA-RI Vol. 25 No. 1, Juni 2018 (Jakarta; Indonesia) hal 43.
125

yang diberikan oleh konstitusi pascda amandemen, dibenarkan dengan Pasal


24C Ayat (1) yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”268
Tetapi pemahaman mengenai pemakzulan presiden terpisah dengan
kewenangan yang disebutkan oleh pasal 24 C Ayat (1). Karena di dalam Pasal
24C Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.”269
Dari rumusan pasal ini terlihat bahwa putusan MK hanya bersifat final
untuk hal-hal yang telah ditentukan dalam Pasal 24C Ayat (1) saja, sedangkan
untuk ketentuan Pasal 24C Ayat (2) tidak. Dengan demikian supremasi
hukum tidak dapat dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Sebetulnya dalam
hukum acara MK mengenal dua asas putusan, yaitu asas putusan yang
bersifat final dan asas putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat (erga
omnes). Putusan bersifat final, artinya putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang
dapat ditempuh. Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum
mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya berlaku bagi
semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi pada masa
yang akan datang. Putusan MK bersifat erga omnes atau mengikat secara

268
Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 C
ayat (1)

269
Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 C
ayat (2)
126

obligatoir bagi seluruh organ negara, baik tingkat pusat dan daerah serta
semua otoritas lainnya.270
Dalam proses ini Putusan MK dapat diartikan final namun hanya secara
hukum. Makna putusan final MK diartikan putusan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang
dapat ditempuh seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Ukuran
untuk menentukan suatu putusan pengadilan bersifat final dan memiliki
kekuatan hukum mengikat adalah pada ada tidaknya badan yang berwenang
secara hukum meninjau ulang (review) putusan pengadilan tersebut, serta ada
tidaknya mekanisme hukum acara tentang siapa dan bagaimana peninjauan
ulang tersebut dilakukan. Untuk proses ini putusan MK yang bersifat final
secara hukum bukan berarti menyelesaikan atau mengakhiri perkara.
Selanjutnya apabila MK memutus membenarkan pendapat DPR, maka DPR
akan melaksanakan sidang paripurna kemudian diteruskan ke MPR. Proses
ini adalah proses politik. MPR akan melaksanakan rapat paripurna untuk
memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah atau tidak. Pada proses
ini Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan
penjelasannya. Hal ini berarti seperti ada persidangan kedua di MPR.
Kemungkinan yang terjadi adalah dengan situasi politik yang terus berubah
dan cara pengambilan keputusan dengan suara terbanyak maka MPR sangat
mungkin tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sedangkan
pada proses sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah membenarkan pendapat
DPR. Mekanisme seperti ini sangat rawan akan penyalahgunaan kewenangan
untuk saat ini meskipun setelah amandemen belum ada Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang diimpeachment, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
suatu saat nanti apabila terjadi. 271 Tentu hal ini akan memunculkan konflik
konstitusional yang serius karena alur politik yang cukup terasa dan

270
Febri Mahfud Efendi, Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian
Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Skripsi Gelar Sarjana Hukum, FH Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tahun 2016, Hal. 12
271
Ibid, Hlm. 13
.
127

mengesampingkan keputusan hukum MK yang dalam konteks ini tetap


bersifat final karena tidak ada pengadilan lainnya yang diberikan kewenangan
oleh konstitusi untuk mengadili prihal pemakzulan presiden. Seharusnya
dalam konteks putusan MK terhaddap pemakzulan presiden tidak dipisah sifat
putusannya antara final dan mengikat.
Karena kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan
prinsip checks and balances yang menempatkan semua Iembaga negara
dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam
penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini, merupakan
langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga Negara.272

Inosentius Samsul, PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PUTUSAN MAHKAMAH


272

KONSTITUSI, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN


HAM RI (Jakarta: 2009), Hal. 2.

Anda mungkin juga menyukai

  • Contoh RPP
    Contoh RPP
    Dokumen13 halaman
    Contoh RPP
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Absensi Siswa
    Absensi Siswa
    Dokumen16 halaman
    Absensi Siswa
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR HADIR SISWA Motivasi
    DAFTAR HADIR SISWA Motivasi
    Dokumen4 halaman
    DAFTAR HADIR SISWA Motivasi
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Agenda Pekanan Unit
    Agenda Pekanan Unit
    Dokumen1 halaman
    Agenda Pekanan Unit
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Pretest Pramuka 2021
    Pretest Pramuka 2021
    Dokumen3 halaman
    Pretest Pramuka 2021
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    100% (1)
  • Biodata Peserta Didik
    Biodata Peserta Didik
    Dokumen2 halaman
    Biodata Peserta Didik
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Hari Dan Minggu Efektif
    Hari Dan Minggu Efektif
    Dokumen1 halaman
    Hari Dan Minggu Efektif
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Optimis, Ikhtiar, Dan Tawakal
    Bab 1 Optimis, Ikhtiar, Dan Tawakal
    Dokumen10 halaman
    Bab 1 Optimis, Ikhtiar, Dan Tawakal
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat
  • Rescued Document
    Rescued Document
    Dokumen1 halaman
    Rescued Document
    SEKOLAH ISLAM TERPADU BUNAYYA TANGERANG
    Belum ada peringkat