Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Susu Ibu (ASI)

2.1.1 Pengertian ASI dan ASI Ekslusif

Air susu ibu (ASI) merupakan suatu cairan hidup yang dapat berubah dan memberi

respon terhadap kebutuhan bayi seiring dengan pertumbuhannya (Welford, 2008). ASI adalah

suatu cairan yang terbentuk dari campuran dua zat yaitu lemak dan air yang terdapat dalam

larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu,

dan bermanfaat sebagai makanan bayi (Maryunani, 2012).

ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja selama enam bulan tanpa tambahan

cairan apapun, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa pemberian makanan

tambahan lain, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur atau nasi tim. Setelah bayi berusia enam

bulan, barulah bayi diberikan makanan pendamping ASI dengan ASI tetap diberikan sampai usia

bayi 2 tahun atau lebih (Wiji, 2013).

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa pemberian minuman atau

makanan apapun, termasuk air bening, vitamin dan obat (Maryunani, 2012).

2.1.2 Manfaat ASI

Manfaat ASI bagi bayi dan ibu antara lain (Maryunani, 2012) :

1. Manfaat ASI bagi bayi

Kandungan antibodi yang terdapat di dalam ASI mengakibatkan bayi akan menjadi lebih

sehat dan kuat dan menghindari bayi dari malnutrisi. Didalam manfaatnya untuk kecerdasan,
laktosa yang terkandung dalam ASI berfungsi untuk proses pematangan otak secara optimal.

Pembentukan Emotional Intelligence (EI) akan dirangsang ketika bayi disusui dan berada dalam

dekapan ibunya. Kandungan di dalam ASI juga dapat meningkatkan sistem imun yang

menyebabkan bayi lebih kebal terhadap berbagai jenis penyakit (Quigley et al, 2011).

2. Manfaat Memberikan ASI bagi Ibu :

Pemberian ASI merupakan diet alami bagi ibu karena pada saat menyusui akan terjadi

proses pembakaran kalori yang membantu penurunan berat badan lebih cepat, mengurangi resiko

anemia yang diakibatkan oleh perdarahan setelah melahirkan, menurunkan kadar estrogen

sehingga mencegah terjadinya kanker payudara, serta pemberian ASI juga akan memberikan

manfaat ekonomis bagi ibu karena ibu tidak perlu megeluarkan dana untuk membeli susu atau

suplemen untuk bayi.

2.1.3 Kandungan ASI

Adapun zat nutrient yang terkandung dalam ASI menurut IDAI (2008) adalah sebagai berikut :

1. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai salah satu sumber

energi dalam otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dalam dua kali lipat dibanding

laktosa yang ditemukan pada susu sapi atau susu formula. Kadar karbohidrat dalam kolostrum

tidak terlalu tinggi, tetapi jumlahnya meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7-14 hari

setelah melahirkan). Sesudah melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil.

2. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang

terdapat dalam susu sapi.

3. Lemak
Kadar lemak dalam ASI tinggi yaitu lemak omega 3 dan omega 6 yang dibutuhkan untuk

mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi. Disamping itu ASI juga

mengandung banyak asam lemak rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan

asam arakodinat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan saraf dan retina mata. ASI

mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang sehingga baik untuk kesehatan

jantung dan pembuluh darah.

4. Karnitin

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi yang diperlukan

untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI mengandung kadar karnitin yang tinggi

terutama pada tiga minggu pertama menyusui, bahkan didalam kolostrum kadar karnitin ini lebih

tinggi lagi.

5. Vitamin

Meliputi kandungan vitamin K, vitamin D, vitamin E, vitamin A, vitamin yang larut

dalam air, dan mineral.

6. Garam dan mineral

Dalam ASI terkandung zat besi dan kalsium yang merupakan mineral yang sangat stabil

dan mudah diserap oleh bayi (Maryunani, 2012).

2.2 Determinan Sosial Kesehatan

Determinan sosial kesehatan adalah keadaan dimana manusia itu dilahirkan, tumbuh,

hidup, bekerja, dan menua serta mencakup keseluruhan sistem yang menciptakan kondisi

kehidupan sehari-hari. Keseluruhan sistem ini, mencakup kebijakan dan sistem ekonomi, agenda

pembangunan, norma sosial, kebijakan sosial dan sistem politik (WHO, 2015). Faktor-faktor
determinan sosial kesehatan antara lain pendapatan dan status sosial, partisipasi sosial dan

jaringan dukungan sosial, pendidikan, kesehatan, kondisi hidup sehat, rasisme, diskriminasi dan

budaya, faktor awal kehidupan dan genetika, perilaku individu dan faktor gaya hidup, serta akses

ke pelayanan kesehatan (Mikkonen, 2010).

1. Rasisme

Suatu anggapan yang membedakan suatu ras dengan ras lainnya dan menganggap ras

sendirilah yang paling unggul dibandingkan dengan ras-ras lainnya (KBBI, 2007).

2. Diskriminasi

Perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya

dalam kelompok (Sears, et al 1999).

3. Genetika

Ilmu tentang pewarisan watak dari induk ke keturunannya baik secara biologis melalui

gen atau secara sosial melalui pewarisan gelar, atau status sosial (Saefudin, 2007).

4. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok

terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku, Susanto (dalam

Nugrahani, 2003).

5. Umur

Derajat kesehatan seorang individu yang berkaitan dengan alat-alat reproduksinya

dipengaruhi oleh usia. Menurut Warsini (2009), usia reproduksi yang aman adalah pada rentang

usia 20-35 tahun. Martadisoebrata (dalam Hidajati 2012) mengatakan, perempuan yang berumur

< 20 tahun dianggap masih belum matang secara fisik, mental, dan psikologi dalam menghadapi

pemberian ASI secara eksklusif pada bayinya. Sedangkan perempuan yang melahirkan diatas
umur 35 tahun termasuk beresiko, karena erat kaitannya dengan anemia gizi yang dapat

mempengaruhi produksi ASI sehingga akan lebih banyak menemukan kendala seperti produksi

ASI kurang dan mudah lelah (Arini, 2012). Hasil penelitian Scott, et al (2009) di Perth Australia

menyatakan ibu yang termasuk dalam kelompok umur > 35 tahun memiliki resiko sebesar 1,78

kali lebih besar untuk tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang berumur <

35 tahun.

Hasil penelitian Hilala (2014) di Kabupaten Gorontalo menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara usia ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian Soeparmanto (2001)

dalam Yamin (2007) menunjukkan bahwa semakin bertambah usia ibu semakin kecil

kemungkinan untuk memberikan ASI Eksklusif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yamin

(2007), tidak semua ibu mempunyai kemampuan yang sama dalam menyusui karena rata-rata ibu

yang lebih muda mampu menyusui lebih baik daripada ibu yang lebih tua.

6. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pengetahuannya, semakin tinggi tingkat

pendidikan ibu maka semakin tinggi pula pengetahuannya tentang ASI eksklusif. Di samping itu

tingkat pendidikan seseorang juga akan membantu orang tersebut untuk lebih mudah menangkap

dan memahami suatu informasi. Sehingga semakin tinggi pendidikan ibu maka tingkat

pemahaman tentang ASI eksklusif juga meningkat (Notoatmodjo, 2005).

Hasil penelitian Ransum, et al (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara pendidikan ibu dengan praktek pemberian ASI eksklusif. Ibu yang berpendidikan tinggi

lebih banyak memberikan ASI eksklusif pada bayinya dimana sekitar 40,9% sedangkan ibu yang

berpendidikan rendah hanya 3,6%. Hasil penelitian Ulfah (2014) juga menyatakan ada hubungan

pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif, responden dengan tingkat pendidikan
SLTP/sederajat berjumlah 18 orang (24,6%) yang terdiri dari 8 orang (10,9%) tidak memberikan

ASI eksklusif dan 10 orang (13,6%) lainnya memberikan ASI eksklusif serta responden dengan

tingkat pendidikan ibu lulus SMA/sederajat atau lebih tinggi berjumlah 42 orang (57,5%) yang

terdiri dari 30 orang (41,0%) memberikan ASI eksklusif dan 12 orang (16,4%) tidak memberikan

ASI eksklusif.

7. Status Pekerjaan

Meskipun ibu bekerja diluar rumah, ibu harus tetap memberikan ASI secara eksklusif

karena ibu yang bekerja diluar rumah mempunyai lingkungan yang lebih luas dan informasi

tentang ASI eksklusif yang didapat juga akan lebih banyak, sehingga dapat merubah perilaku-

perilaku ibu untuk memilih memberikan ASI saja kepada bayinya (Notoatmodjo, 2003). Negara

menyatakan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah dapat terus memberikan ASI kepada anaknya

dengan memerah dan menyusui selama jam kerja. Peraturan perundangan yang mengatur hal

tersebut yaitu Pasal 83 Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pekerja atau

buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk

menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja” (Kristiyanasari, 2009).

Menurut penelitian Juliastuti (2011), pemberian ASI secara eksklusif akan semakin tinggi

jika ibu tidak bekerja. Hal tersebut karena ibu yang tidak bekerja hanya menjalankan fungsinya

sebagai ibu rumah tangga dan banyak menghabiskan waktunya dirumah tanpa terikat pekerjaan

diluar rumah sehingga dapat memberikan ASI secara optimal tanpa dibatasi oleh waktu dan

kesibukan. Sama halnya dengan penelitian Evareny, et al (2010) yang menyatakan bahwa risiko

untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada ibu yang kembali bekerja adalah 14 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja dan penelitian Setegn (2012) yang menyatakan

bahwa ibu yang tidak bekerja lima kali lebih mungkin memberikan ASI eksklusif dibandingkan
dengan ibu yang bekerja serta hasil penelitian Indrawati (2012) juga menunjukkan adanya

hubungan status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi saat usia 0-6 bulan.

Dari 28 ibu bekerja hanya empat (14,3%) yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya

sedangkan pada 12 ibu yang tidak bekerja, 9 (75%) memberikan ASI eksklusif pada bayinya.

8. Pendapatan

Kemampuan keluarga untuk memproduksi dan membeli pangan dipengaruhi oleh status

sosial ekonomi keluarga. Ibu-ibu dari keluarga yang berpendapatan rendah kebanyakan adalah

berpendidikan lebih rendah dan informasi kesehatan yang dimiliki akan lebih terbatas

dibandingkan ibu-ibu dari keluarga yang memiliki pendapatan tinggi. Sehingga pemahaman

yang dimiliki untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayi menjadi rendah (Prasetyono,

2009).

Tetapi hasil penelitian Sriningsih (2011) pada ibu bayi usia 0-6 bulan sebanyak 344

sampel di Puskesmas Magelang Utara dan 113 ibu bayi di Puskesmas Jurang Ombo,

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif

dengan hasil analisis bahwa ibu yang mempunyai penghasilan rendah lebih mungkin untuk

memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian Purnamawati (2001) yang dikutip oleh Sarbini

(2008), membuktikan faktor dominan yang mempengaruhi pemberian ASI adalah faktor sosial

ekonomi seperti pendapatan keluarga. Sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk

memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi.

9. Keterpaparan Sampel Susu Formula

Menurut penelitian Afifah (2007) salah satu faktor penghambat pemberian ASI secara

eksklusif adalah keterpaparan promosi susu formula. Pemberian susu formula sering dilakukan di

BPS, RB maupun RS dengan alasan utama karena ASI belum keluar dan bayi masih kesulitan
menyusu sehingga bayi akan menangis bila dibiarkan saja. Biasanya bidan akan langsung

memberikan nasihat untuk memberikan susu formula terlebih dahulu. Bahkan pembuatan susu

formula dilakukan sendiri oleh bidan atau perawat, dan mereka menyediakan jasa sterilisasi

botol. Hal ini akan memberi pengaruh negatif terhadap keyakinan ibu bahwa pemberian susu

formula adalah obat paling ampuh untuk menghentikan tangis bayi. Kurangnya keyakinan

terhadap kemampuan memproduksi ASI untuk memuaskan bayinya mendorong ibu untuk

memberikan susu tambahan melalui botol.

Menurut hasil penelitian Lestari (2012) terdapat hubungan antara promosi susu formula

dengan pemberian ASI Eksklusif dimana dalam penelitian tersebut pemberian promosi susu

formula menyebabkan penurunan pemberian ASI eksklusif. Promosi susu formula lebih

mengunggulkan produknya dibanding mempromosikan kebaikan ASI bagi bayi.

10. Dukungan Keluarga

Dukungan dari orang lain atau orang terdekat sangat berperan di dalam sukses tidaknya

menyusui. Semakin besar dukungan yang didapatkan untuk terus menyusui maka akan semakin

besar pula kemampuan untuk dapat bertahan untuk terus menyusui. Dalam hal ini dukungan

keluarga sangat besar pengaruhnya, jika seorang ibu kurang mendapat dukungan dari keluarga

akan lebih mudah dipengaruhi untuk beralih ke susu formula (Budiasih, 2008).

Hasil penelitian Trisnawati et al (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja

Puskesmas Ngaliyan Semarang, prosentase ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan

dukungan keluarga yang baik yaitu (81,4%). Hal ini dikarenakan semakin tinggi memberikan

dukungan maka ibu akan lebih termotivasi, semangat dan yakin selama menyusui.
Hasil penelitian Rahman, et al (2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Dukungan keluarga dalam penelitian tersebut adalah bentuk respon yang diberikan keluarga

dalam memberikan dukungan terhadap pemberian MP-ASI pada bayi setelah usia 6 bulan.

Keluarga mendukung pemberian makanan pendamping ASI, hal ini disebabkan karena sebagian

responden mengatakan bahwa ASInya kurang dan tidak ada ASI yang keluar sehingga mau tidak

mau keluarga mendukung pemberian makanan pendamping ASI, kegagalan dalam pemberian

ASI eksklusif pun terjadi.

11. Dukungan Suami

Individu yang selalu mendapat dukungan, akan berorientasi secara positif terhadap

masalah yang sedang didahapinya. Orientasi yang positif akan menjadikan individu memiliki

optimisme, karena dukungan menjadikan individu mampu berbagi masalah yang sedang

dihadapi, serta akan memiliki kesehatan yang jauh lebih baik daripada individu yang tidak

menerima dukungan sosial (Seligman, 2008).

Peran suami pada program ASI eksklusif dapat menyebabkan kondisi psikis ibu menjadi

sehat karena terciptanya suasana yang nyaman. Para istri membutuhkan perhatian dari suami

dalam suatu proses produksi ASI yaitu reflex oxytocin, karena pikiran ibu yang positif dapat

merangsang kontraksi otot disekeliling kelenjar susu sehingga mengalirkan ASI ke sinus

lactiferous dan kemudian dihisap oleh bayi (Roesli, 2000).

Hasil penelitian Septria (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

dukungan suami dengan optimisme pemberian ASI eksklusif. Semakin tinggi dukungan suami

akan semakin tinggi optimisme pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian Maharaj (2013)

menyatakan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari suami, mampu memberikan ASI secara
eksklusif walaupun menghadapi kesulitan disaat menyusui seperti merasakan sakit dan nyeri

pada puting susunya.

12. Dukungan Petugas Kesehatan

Masalah yang muncul dalam pemberian ASI tidak terlepas dari petugas yang membantu

bayi dan ibunya dalam masa perawatan. Petugas kesehatan hendaknya selalu memberikan

nasihat tentang pemberian pemberian ASI yang pertama kali keluar walaupun sedikit

(Proverawati, 2010).

Dari hasil penelitian Rahmawati (2010), didapatkan ada hubungan yang signifikan antara

dukungan petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif. Petugas kesehatan merupakan

komponen utama yang turut berperan dan akan memberikan kontribusi yang sangat penting

terhadap berhasilnya upaya promosi dan penggalakan pemberian ASI, petugas kesehatan tersebut

mempunyai andil yang besar dalam upaya-upaya peningkatan penggunaan ASI selain Faktor

yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

2.3 Determinan Perilaku

Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus dari luar diri seseorang, dan

respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor lain dari orang tersebut. Walaupun

demikian, respons yang diberikan oleh setiap orang berbeda-beda. Faktor yang membedakan

respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo S, 2014) :

2.3.1 Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang

bersifat bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2.3.2 Determinan atau faktor eksternal, yatu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor eksternal yang paling besar perannya dalam

membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dimana seseorang tersebut berada.

Faktor sosial adalah faktor yang ada diluar diri organisme atau individu itu sendiri antara

lain faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, dosen-dosen, metode pengajaran, media

pembelajaran yang dipergunakan, lingkungan dan kesempatan yang tersedia (Rahmat, 2009).

2.4 Pengukuran Perilaku Kesehatan

Perilaku seseorang sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.

Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2014) mengembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku,

yaitu :

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah adanya penginderaan terhadap

suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana

diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka pengetahuan seseorang akan semakin

luas, namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah harus berpengetahuan rendah.

Pengetahuan tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh

melalui pendidikan non formal. Ada dua aspek yang terkandung di dalam pengetahuan seseorang

tentang suatu objek yaitu aspek positif dan aspek negatif, yang mana akan menentukan sikap

seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan

sikap semakin positif terhadap objek tertentu (Wawan & Dewi, 2010). Menurut teori WHO yang

dikutip oleh Notoatmodjo (2007), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Secara garis besar, ada 6 tingkat

pengetahuan (Notoatmodjo, 2014).

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke

dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap seluruh bahan yang

telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Misalnya tahu bahwa ASI mengandung

berbagai macam vitamin.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek

yang diketahui dan dimana dapat menginterpretasikan secara benar.

3. Aplikasi (Application)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

sebenarnya.

4. Analisis (Analysis)

Kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi

masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis)

Kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi

masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

6. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan di dalam melakukan penilaian terhadap suatu objek. Penilaian-penilaian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada.
2.4.2 Sikap

Sikap adalah sekumpulan tanggapan, reaksi dan jawaban yang tetap terhadap objek sosial

(Campbel dalam Wawan & Dewi, 2010). Menurut Notoatmodjo (2014) sikap merupakan

pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal-hal yang terkait dengan kesehatan. Berdasarkan

intensitasnya, tingkatan sikap terdiri dari :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa subyek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan

(obyek). Misalnya sikap seorang ibu terhadap pemberian ASI eksklusif, dapat diukur dari

kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan tentang ASI eksklusif di lingkungannya.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

Seorang ibu yang mengikuti penyuluhan ASI eksklusif tersebut diminta untuk menanggapi oleh

penyuluh, kemudian ibu menanggapinya.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu objek, dan

menganjurkan orang lain merespons. Contohnya: ibu mendiskusikan ASI eksklusif dengan

suaminya, atau bahkan mengajak tetangga untuk mendengarkan penyuluhan ASI eksklusif.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Berani mengambil resiko terhadap segala sesuatu yang dipilih berdasarkan keyakinannya.

2.4.3 Perilaku

Perilaku yaitu tanggapan, reaksi dan jawaban terhadap suatu tindakan yang dapat diamati

dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak disadari

(Wawan & Dewi, 2010).

Anda mungkin juga menyukai