Anda di halaman 1dari 9

JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO.

01 (JUNE 2019)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

AKULTURASI MASYARAKAT LOKAL DAN PENDATANG DI PAPUA BARAT

Raisa Anakotta 1*, Alman 2, Solehun3


1
Universitas Pendidikan Muhammadiyah, Sorong, Indonesia
2
Universitas Pendidikan Muhammadiyah, Sorong, Indonesia
3
Universitas Pendidikan Muhammadiyah, Sorong, Indonesia

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T
The culture was always close to the society and it became their
Submitted : 21 December 2018 habits in daily life. It would either consciously or unconsciously
Review : 05 April 2019 be derived from their next generations. That was why every
Accepted : 10 May 2019 community would always have their own culture. West Papua
was an example of the Eastern part of Indonesia that was
Available online: June 2019 resided by various ethnics groups. In this concern, it would
extremely lead to the acculturation of their culture in many
aspects. This research aimed to describe the forms of
KEYWORDS acculturations happened in West Papua between local people
and the immigrants and describe how it influenced society. This
Acculturation, Culture, Ethnography, Local Society, research was an ethnography research that would be described
West Papua qualitatively. The study shows that the social diversity in West
Papua became a gap for acculturation to their culture. The
CORRESPONDENCE forms of acculturations were a substitution, syncretism, addition,
origination, deculturation, and denial. The cultural acculturations
made the society in West Papua could live side by side and
*E-mail: anakotta12@gmail.com they still carried out their respective cultures.

A. PENDAHULUAN hidup bersama kelompoknya. Hal ini terjadi


disebabkan oleh banyak faktor, yang salah

B
udaya merupakan sebuah sistem yang satunya adalah perpindahan tempat tinggal
mencakup bahasa, benda, musik keperca- karena faktor ekonomi atau keinginan untuk
yaan serta aktivitas masyarakat yang mencari kehidupan yang lebih baik. Akibatnya,
mengandung makna kebersamaan dan mempu- mereka yang tinggal di daerah yang sama
nyai hubungan antara satu dengan yang lainnya dengan budaya yang berbeda-beda akan hidup
(Yunus, 2014). Budaya selalu melekat dan dengan budayanya masing-masing. Namun,
menjadi kebiasaan suatu masyarakat sehingga dalam proses tersebut mereka akan dituntut
secara sengaja atau tidak akan selalu diterapkan untuk bersikap dan berfikir sesuai dengan cara
dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, setiap berfikir dalam budaya baru. Sehingga
kelompok masyarakat akan memiliki budayanya percampuran budaya atau kontak budaya tidak
masing-masing. Budaya ini akan terus diterapkan dapat dihindari lagi.
dan dipegang teguh oleh individu dari suatu Kontak budaya yang biasa dikenal dengan
kelompok masyarakat. Bangsa Indonesia terdiri istilah akulturasi budaya merupakan sebuah
dari suku bangsa yang memiliki latar belakang bentuk perpaduan dua atau lebih budaya yang
sosio-budaya yang beraneka ragam. Di bersinergi untuk saling menjembatani karakter
Indonesia sendiri, tiap-tiap daerah memiliki kedua budaya atau budaya yang beragam
budayanya sendiri dan setiap individu akan (Santosa & Winingsih, 2013). Mereka yang
memiliki kepercayaan, norma, nilai dan terakulturasi akan mempertahankan budaya
kebiasaan yang berbeda sesuai dengan budaya aslinya dan juga berasimilasi dengan budaya
yang diterapkan. Kemajemukan yang ada di kedua. Sehingga keadaan tersebut akan
Indonesia tercermin dalam berbagai aspek menciptakan benih budaya baru yang mengem-
kehidupan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang bangkan baik budaya asal maupun budaya
mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial, yaitu kedua.
kesukuan dan kedaerahan. Akulturasi budaya sudah banyak dipelajari
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekelompok dan dijabarkan dalam beberapa aspek. (Nugroho
masyarakat tidak akan selamanya mendiami dan
29 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019 Attribution-ShareAlike 4.0 International. Some rights reserved
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

& W.S., 2010) mengkaji tentang akulturasi antara


etnis cina dan jawa dimana etnis Jawa B. METODE PENELITIAN
cenderung mengikuti gaya and fitur ujaran etnis

P
Cina. Peneliti menyimpulkan bahwa kebanggaan enelitian kualitatif ini menggunakan
atau solidaritas etnis Jawa dalam latar pecinan metode etnografi dimana peneliti harus
akan menjadi luntur manakala posisi sosial turun ke lapangan dalam proses
masyarakat dari etnis Jawa berada di bawah pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan
masyarakat etnis Cina. Selanjutnya, (Rodzik, pada masyarakat lokal Papua Barat, yakni Suku
2008) meneliti tentang akulturasi budaya betawi Kokoda di kampung Warmon Kokoda Kabupaten
dengan Tionghoa (studi komunikasi antar budaya Sorong dan Suku Fak-fak di kampung Perwasak
pada kesenian gambang kromong di perkam- Fak-fak Barat dan penduduk lokal yang berada di
pungan budaya betawi, serengseng sawah. Hasil sekitar kampung tersebut. Data di lapangan
penelitiannya dalam proses akulturasi kesenian, diperoleh dengan menggunakan metode
komunikasi persona terjadi pada saat orang observasi, kuesioner dan wawancara. Pengum-
Tionghoa mengadu nasib ke Batavia dalam pulan data dengan metode ini dilakukan agar
kurun waktu yang lama. Dari perantauan ini peneliti bisa memperoleh informasi yang
mereka mempelajari pola relasi, aturan dan mendalam, lengkap dan valid dari para informan
sistem komunikasi orang Betawi sehingga terkait akulturasi budaya yang dipengaruhi oleh
mengakibatkan terjadinya interaksi sosial. perilaku sosial. Data dalam penelitian ini dipilih
Kemudian, penelitian lain yakni tentang akulturasi dan dikumpulkan dengan menggunakan
budaya islam dan budaya hindu yang dilakukan pendekatan sosiokultural karena peneliti
oleh (Prasetyawan, 2010). Hasil dari bermaksud untuk mengkaji akulturasi budaya
penelitiannya adalah proses akulturasi antara dalam kehidupan sosial. Penggunaan teori
budaya Islam dan budaya Hindu di Desa sosiokultural sebagai pendekatan dalam
Gununggangsir terjadi secara substitusi, penelitian ini berarti bahwa teori tersebut akan
senkretisme dan adisi. Bentuk-bentuk akulturasi menjadi dasar dalam pengumpulan, pengklasifi-
yang ada berup: percampuran budaya Islam dan kasian, dan analisis data. Selain menggunakan
budaya Hindu mengalami persesuaian serta teori sosiokultural, data yang diperoleh dianalisis
pemberian makna baru dengan disesuaikan dengan menggunakan analisis isi yang
ajaran Islam.Yang terakhir, penelitian oleh dikemukakan oleh (Spradley, 2007) yang meliputi
(Marzuqi, 2009) tentang akulturasi islam dan analisis domain, analisis taksonomi, analisis
budaya jawa (studi terhadap praktek “Laku komponensial, dan menemukan tema kultural.
Spiritual” kadang Padepokan Gunung Lanang di
Desa Sindutan Kecamatan Temon Kabupaten C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kulon Progo. Hasil penelitiannya adalah terdapat 1. Gambaran Umum Masyarakat Lokal
tujuh tahap melakukan laku spiritual yang

P
dilakukan di air sumur Tirta Kencana. Dalam laku apua merupakan daerah kawasan timur
spiritual tersebut, unsur-unsur Islam dan unsur Indonesia yang belum cukup berkembang
Jawa berakulturasi membentuk ritual budaya dilihat dari berbagai aspek. Suku-suku asli
baru. Sementara itu, sebenarnya dalam proses Papua Barat sendiri terdiri dari Suku Doreri, Suku
akulturasi budaya yang mudah dilihat dengan Kuri, Suku Simuri, Suku Irarutu, Suku Sebyar,
jelas dan muncul dengan proses yang tidak lama Suku Moscona, Suku Mairasi, Suku Kambouw,
adalah perilaku sosial. Hal ini terjadi karena Suku Onim, Suku Sekar, Suku Maibrat, Suku
perilaku sosial merupakan hasil dari kontak sosial Tehit, Suku Imeko, Suku Moi, Suku Tipin, Suku
dan komunikasi dalam bermasyarakat. Sejalan Maya, Suku Bintuni, Suku Demta, Suku Genyem,
dengan hasil penelitian (Nugroho & W.S., 2010) Suku Guai, Suku Hattam, Suku Jakui, Suku
yang menyatakan bahwa akulturasi non bahasa Kapauku, Suku Kiman, Suku Mairasi, Suku
dapat terlihat jelas dalam beberapa aspek Manikion, Suku Mapia, Suku Marindeanim, Suku
kehidupan bermasyarakat, perilaku dan tradisi Mimika, Suku Moni, dan masih banyak suku
yang ada dalam masyarakat akan nampak jelas lainnya. Meskipun jaman dahulu suku-suku yang
ketika mengalami akulturasi. ada di Papua berasal dari kawasan tertentu di
Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini Papua, saat ini suku-suku yang ada dapat
adalah untuk mengidentifikasi bentuk akulturasi ditemukan di semua kawasan yang ada di
budaya yang terjadi antara budaya masyarakat Papua. Suku Moi yang asli Sorong dapat
lokal dan budaya pendatang dan mendeskrip- ditemukan di daerah Bintuni dan suku Bintuni
sikan pengaruhnya dalam kehidupan bermasya- dapat ditemukan di daerah Fak-fak. Tiap suku
rakat di Papua Barat. Oleh karena itu, peneliti yang ada di Papua Barat memiliki budayanya
berusaha mengkaji budaya masyarakat lokal dan masing-masing sehingga Papua Barat dikenal
pendatang di Papua Barat yang telah mengalami dengan kawasan yang memiliki budaya yang
akulturasi. Selanjutnya, juga akan dikaji terkait beragam. Tentu saja akan menjadi pembahasan
dampak yang diakibatkan oleh terjadinya yang tiada henti apabila membahas budaya dari
akulturasi dalam masyarakat baik bagi masyara- masing-masing suku. Oleh karena itu, dalam
kat lokal maupun pendatang.
30 | P a g e
RAISA ANAKOTTA https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

penelitian ini, peneliti memilih daerah Fak-fak dan kain kain rumput dan bagi kaum wanita Fak-fak
Kokoda sebagai kajian penelitiannya. berupa ‘dari’ atau kain dan baju kurung.
Fak-fak merupakan kabupaten tertinggi
dengan ketinggian 10 – 100 meter diatas b. Ritual
permukaan laut, sedangkan kota-kota lainnnya Suku Kokoda juga memiliki ritual adat saat
berkisar antara 10 – 50 meter di atas permukaan menyambut tamu atau orang baru yang baru
laut. Akses menuju Kabupaten Fak-fak bisa pertama kali datang ke daerah mereka. Secara
dilakukan melalui jalur laut dengan kapal dan khusus (untuk tamu terhormat) mereka akan
bisa juga jalur udara dengan pesawat. membuat serangkaian acara yang biasanya bisa
Masyarakat yang mendiami Kabupaten Fak-fak berlangsung dari malam hingga pagi. Kegiatan
juga sangat beragam. Tidak hanya masyarakat tersebut diisi dengan penabuhan tifa gong (alat
asli Fak-fak dan asli Papua lainnya tetapi juga musik tradisional suku Kokoda) yang diiringi
masyarakat suku dari daerah lain, seperti Jawa, dengan tarian “goyang panta”. Dalam rangkaian
Bugis, Buton, dan Maluku hingga Arab. acara tersebut, tamu atau orang baru akan digigit
Sementara itu, dokumen sejarah yang anggota tubuhnya (biasanya tangan) oleh orang
dimiliki oleh suku Kokoda sangat terbatas dan Kokoda. Yang bertugas untuk menggigit
tidak bisa diakses oleh sembarang orang biasanya para petinggi atau orang yang dituakan
sehingga sejarah asal usul suku Kokoda di sana. Ritual menggigit ini dilakukan secara
biasanya akan sedikit berbeda-beda di masing- bebas tanpa memandang lawan jenis
masing kampung. Kata Kokoda sendiri merujuk (perempuan atau laki-laki). Dengan melakukan
pada suatu tempat yang awalnya berupa rawa- ritual ini, diyakini orang yang digigit akan menjadi
rawa dengan sungai yang mengalir dari dalam pemberani dan percaya diri.
pohon sagu yang mempunyai air berwarna Sementara itu, dalam hal mendirikan
coklat, dan ada telaga besar (Kokodaya). bangunan, suku Kokoda memiliki beberapa ritual.
Kokodaya inilah yang kemudian menjadi nama Ketika membangun rumah atau bangunan lain,
bagi Suku Kokoda. Sementara menurut riset suku Kokoda melakukan beberapa ritual, yakni
sebelumnya oleh (Wekke & Sari, 2012), kata ritual batu pertama yang dilakukan oleh para
Kokoda memiliki arti yang berasal dari bahasa tetua. Dalam ritual ini akan disediakan pinang
Yamueti, yakni air yang berwarna hitam yang dan sirih. Sementara untuk bangunan-bangunan
disekelilingnya terdapat tanaman sagu yang kampung biasanya mereka akan melakukan
mengitari kawasan air tersebut. Suku ini terdiri ritual pemotongan ayam putih. Setelah dipotong,
dari 9 kampung yakni: Nebes (Maretinaniya), ayam tersebut akan dikubur. Ritual tersebut
Udagaga, Kambur (Benawa), Kasueri (Giator), dilakukan dengan tujuan untuk “pele kampung”
Migori (Towagau), Taruf (Pupiyagau), Tambani, atau melindungi kampung mereka.
Kali Kamundan, dan Siwatori (Kokodaya atau Salah satu kebiasaan suku Kokoda adalah
Kokoda). Saat ini masyarakat suku Kokoda ketika ada seseorang yang terkena musibah
mendiami 8 lokasi di kawasan Sorong raya. Ke (misalkan jatuh), saudara atau orang lain yang
delapan lokasi tersebut, yaitu (1). Sekitar pernah dibantu oleh orang tersebut harus
bandara Domine Edward Osok Sorong di km. 7 menanamkan sesuatu benda (biasanya tiang).
(namun saat ini sudah direlokasi di wilayah Hal ini diyakini sebagai tolak sial agar orang lain
Distrik Aimas); (2). Viktori di km. 10; (3). tidak terjatuh di tempat yang sama. Sesuatu yang
Kompleks “Kokoda” di km. 8 sebagai pusat ditanam biasanya akan dicabut dan digantikan
pemukiman komunitas Kokoda; (4). Rufei di km. dengan tanaman hidup. Nantinya setelah
3 ke arah Barat (pedalaman) Kota Sorong; beberapa waktu, orang yang menanam sesuatu
kampung Warmon Kokoda (Distrik Mayamuk); tersebut harus mencabutnya kembali kemudian
Kampung Maibo (Distrik Aimas); Klalin (Distrik tanaman yang digantikan tadi harus diberikan
Aimas), dan kampung Inamo (Distrik Aimas). kepada pemilik tanah dimana sesuatu tersebut
Kesamaan dari kedua masyarakat ini ditanam. Sesuatu yang ditanam tersebut
adalah: (a) sebagian besar masyarakatnya diibaratkan sebagai perwujudan diri dari orang
beragama Islam namun tetap ada yang yang jatuh.
beragama non muslim; dan (b) kedua Tradisi pernikahan berlaku bagi pasangan
masyarakat ini hidup berdampingan dan sesama suku Fak-fak maupun pasangan suku
berinteraksi dengan banyak suku lain selain suku Fak-fak dengan suku lain. Dalam suku Fak-fak,
asli Papua Barat. sebelum pernikahan dimulai para keluarga besar
calon pengantin akan berkumpul dengan tujuan
2. Budaya Masyarakat Lokal Papua Barat untuk mengumpulkan harta. Acara kumpul harta
a. Pakaian Adat ini dikenal dengan istilah Tombokmar atau
minum kopi. Calon mempelai baik pria maupun
Pakaian adat yang menjadi ciri khas suku wanita akan mengundang keluarga besar mereka
Fak-fak dan Kokoda adalah cawat (kain merah dari berbagai daerah baik yang jauh maupun
atau kain putih) bagi laki-laki sementara bagi yang dekat, baik yang muslim maupun non-
kaum wanita Kokoda pakaian adatnya berupa muslim akan berkumpul bersama. Dalam acara
ini, para anggota keluarga akan saling
31 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019 RAISA ANAKOTTA
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

mengumpulkan harta benda yang akan dan akses dari kampung mereka dengan
digunakan untuk acara pernikahan. Biasanya perumahan warga suku lain sedikit berj arak,
benda-benda yang dikumpulkan berupa uang, warga suku Kokoda jarang berinteraksi dengan
perhiasan, emas negri fak-fak, lela, gong dan warga suku lain. Namun, saat ada kesempatan
masih banyak lagi. Dalam acara tersebut para mereka mencoba berinteraksi dengan warga
keluarga akan memanggil tetua adat atau tetua di suku lain, seperti selalu menyapa terlebih dahulu
keluarga mereka untuk memimpin acara ketika berpapasan. Akan tetapi, masih saja
tersebut. Tetua ini akan duduk di tengah dengan terdapat tanggapan miring dan negatif dari
kain putih di sampingnya sebagai alas untuk masyarakat suku lain terhadap suku Kokoda.
mengumpulkan harta. Pengumpulan harta Beberapa dari mereka beranggapan bahwa suku
tersebut dianggap cukup apabila sudah sesuai Kokoda adalah orang yang berwatak keras,
dengan permintaan calon pasangan dan kasar, suka seenaknya dan terkadang ringan
kebutuhan keluarga mempelai. Dalam acara tangan dalam mengambil yang buka milik
pengumpulan tersebut biasanya tetua juga akan mereka. Meskipun demikian, suku Kokoda
memukul gong sebagai tanda. mengganggap siapa saja (orang yang cukup
Tidak hanya dalam ritual pernikahan, pada dikenal) sebagai keluarga walaupun tidak
ritual atau acara yang lain juga biasanya terdapat hubungan darah diantara mereka dan
masyarakat suku Fak-fak harus menghadirkan berbeda agama.
tetua dan setiap tradisi dipercayakan pada petua Kabupaten Fak-fak didiami oleh masyarakat
adat dalam pelaksanaannya. Selain adanya tetua dari berbagai macam suku. Suku asli Fak-fak
adat, gong merupakan salah satu alat yang sendiri cukup banyak. Suku-suku tersebut secara
penting bagi masyarakat Fak-fak. Dalam garis besar termasuk dalam satu suku besar,
beberapa ritual, gong digunakan sebagai yakni suku Baham yang maksudnya semua suku
penanda, misalnya dalam acara minum kopi dan yang di Fak-fak ini masih dalam naungan suku
pemberitahuan orang meninggal. Yang menjadi besar atau baham. Sementara pendatang yang
pembeda untuk setiap pesan adalah irama atau mendiami Kabupaten Fak-fak berasal dari suku
bunyi dari gong yang dipukul. Buton, Bugis, Kei, Seram, Ambon dan Jawa.
Meskipun hidup dengan berbagai macam suku,
c. Sistem Kekerabatan semua suku yang mendiami Kabupaten Fak-fak
Marga bagi suku Fak-fak dan suku Kokoda dianggap sebagai saudara atau dikenal dengan
sangat penting. Mereka masih menjaga dan istilah “Basudara”. Masyarakat suku Fak-fak
memegang erat hubungan kekerabatan. Terlebih memiliki pedoman hidup yang mereka yakini
lagi jika diketahui individu berasal dari suku Fak- hingga sekarang. Pedoman tersebut dikenal
fak atau memiliki marga yang sama. Beberapa dengan istilah satu tungku tiga batu yang
marga yang ada di Fak-fak seperti Patira, Kabes, mengandung makna meskipun berbeda agama,
Hindom, Tuturu, Nurtonggo, Hegemur, Genuni, suku Fak-fak tetap bersatu dan hidup dalam satu
Heremba, Bau, dan masih banyak lagi. Marga ini keluarga.
lah yang kemudian selain menjadi identitas
keluarga juga menjadi identitas diri seseorang e. Kegiatan Keagamaan
karena marga tersebut menunjukkan dari mana Suku Kokoda memiliki masjid tersendiri di
individu itu berasal. kampung mereka namun berdasarkan observasi
masjid tersebut jarang difungsikan. Meskipun
d. Interaksi Sosial jarang, masjid tetap diisi dengan kegiatan
Ketertarikan warga suku Kokoda terhadap keagamaan, seperti shalat berjamaah meskipun
hal-hal baru juga masih sangat minim. Sering tidak banyak yang berjamaah, pengajian,
kali, beberapa kegiatan pembinaan, sosialisasi yasinan, perayaan maulid Nabi dan lain-lain.
atau kegiatan yang membangun lainnya tidak Adzan juga tidak dikumandangkan setiap shalat
banyak diminati oleh mereka. Partisipasi warga 5 waktu dan paling sering hanya
masih kurang terhadap hal-hal tersebut. Padahal dikumandangkan saat magrib dan isya. Untuk
banyak masyarakat suku pendatang (seperti aktivitas keagamaan, warga suku Kokoda
Jawa) yang ingin berbagi ilmu (cara berkebun biasanya melaksanakannya bersama dengan
dan bertani) namun tidak banyak warga suku sesama suku Kokoda dan masih jarang
Kokoda yang tertarik. Hanya segelintir orang membaur dengan warga pendatang.
yang biasanya turut berpartisipasi dan mau Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
belajar terhadap hal-hal baru yang diberikan di suku Fak-fak dan pendatang di sana cukup
kampung mereka. Hal ini berlaku bagi semua beragam, yakni Islam, Kristen, dan Katolik.
kalangan, dari yang muda hingga yang tua. Agama lain yang dibawa oleh para pendatang
Suku Kokoda lebih suka hidup dan tinggal juga tetap diterima oleh masyarakat suku Fak-fak
dengan sesama suku Kokoda dan membentuk tanpa membedakan dan menghakimi. Beragam
desa atau kampung sendiri. Meskipun demikian, kepercayaan yang ada di Fak-fak tidak membuat
warga suku Kokoda tetap menjalin hubungan mereka hidup terpisah atau memisahkan diri
baik dengan warga suku lain. Dikarenakan berdasarkan agama meskipun masih ditemukan
tinggal dan hidup dengan sesama suku Kokoda kampung yang didiami oleh masyarakat
32 | P a g e
RAISA ANAKOTTA https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

beragama tertentu saja. Justru toleransi mantra yang dimiliki suku Kokoda. Mantra-
beragama di sana cukup kuat. Sebagai contoh, mantra ini dibaca dalam kegiatan tertentu dengan
dalam acara natal yang dirayakan orang Nasrani, tujuan tertentu. Pada zaman dahulu, mantra-
masyarakat muslim akan membantu mereka baik mantra sering digunakan terutama saat “baku
dalam hal makanan maupun tenaga. Begitu juga onge” atau perang suku. Setelah mantra
jika orang Islam membangun masjid, orang dibacakan barulah mereka melakukan perang
Nasrani atau yang beragama lain baik dari antar suku. Meskipun cara berperang saat ‘baku
kampung tersebut maupun dari kampung lain onge’ sudah tidak lagi dilakukan, mantra tersebut
akan datang membantu. Tak jarang mereka pun masih ada dan tetap diturunkan dari generasi ke
berbagi dalam hal makanan, namun tetap generasi. Saat ini, mantra-mantra tersebut hanya
memperhatikan aturan agama yang dimiliki oleh dibacakan dan dipakai saat terjadi masalah
orang lain. Misalnya, mereka yang nasrani tidak genting. Seiiring berkembangnya zaman dan
akan menyuguhkan daging anjing atau babi atau pengetahuan agama, konten dalam mantra-
menawarkan alkohol yang haram bagi mereka mantra ini mengalami akulturasi yakni adanya
yang muslim. pencampuran tradisi dan ilmu agama dimana
mantra-mantra yang dibaca berupa bacaan-
3. Bentuk Akulturasi Budaya Masyarakat bacaan mengaji (ayat suci dalam Al-Qur’an) dan
Lokal dan Pendatang di Papua Barat shalawat.
Bentuk sinkretisme lain terjadi pada sistem
a. Substitusi kekerabatan suku Kokoda. Kekerabatan yang
ubtitusi menandakan bahwa unsur ditandai dengan penggunaan marga menjadi

S kebudayaan yang lama diganti dengan


unsur budaya yang baru yang memberikan
nilai lebih untuk para penggunanya. Bentuk
identitas dan penjaga bagi suku Kokoda.
Sebagian warga Kokoda masih menerapkan
tradisi dimana orang-orang yang memiliki marga
akulturasi subtitusi meliputi penggunaan pakaian yang sama dilarang menikah karena mereka
adat dan kebiasaan. Zaman dahulu, kain dianggap masih memiliki hubungan darah.
tradisional suku Kokoda dan suku Fak-fak Dipercayai bahwa jika terjadi pernikahan sesama
digunakan sebagai pakaian sehari-hari. marga maka orang tersebut akan mendapatkan
Penggunaan pakaian adat tersebut telah musibah atau karma. Sementara sebagian warga
mengalami proses akulturasi tradisi dan norma lain, meskipun masih meyakini hal tersebut,
kesopanan yang berkembang dalam masyarakat mereka lebih cenderung untuk menelusuri
sehingga baik suku Fak-fak maupun suku kesamaan marga. Jika kekerabatan yang terjadi
Kokoda tidak lagi menggunakan pakaian tersebut cukup jauh atau tidak ditemukan hubungan
dalam keseharian mereka. Pakaian adat hanya darah, pernikahan pasangan dengan marga yang
akan digunakan untuk kegiatan atau ritual sama bukanlah suatu masalah selama pasangan
tertentu serta dalam pemakaiannya pun akan tersebut masih memiliki kepercayaan (agama)
ditambah dengan penggunaan baju dan celana yang sama.
untuk menutupi anggota tubuh.
Suku Kokoda masih mempercayai benda- c. Adisi
benda keramat. Beberapa benda sudah Bentuk akulturasi adisi merujuk pada
dianggap keramat sejak jaman oyang mereka. perubahan proses budaya yang mana unsur
Benda-benda keramat ini akan lebih banyak budaya lama yang masih berfungsi ditambah
ditemukan di kampung-kampung tertentu. Salah dengan unsur budaya yang baru sehingga akan
satu contoh benda yang diyakini secara mistis memberikan nilai lebih pada kebudayaan
adalah kulit bia (kulit kerang). Pada zaman tersebut. Meskipun dalam hal pernikahan tidak
dahulu, kulit bia digunakan untuk memanggil terdapat ritual khusus, Suku Kokoda memiliki
hujan (yakni dengan cara ditiup). Kulit bia ini juga tahapan atau ritual sebelum pernikahan yang
akan membantu warga untuk mencari orang disebut dengan “karego” atau “lamaran”. Dalam
yang hilang di hutan serta masih banyak lagi acara ini, apabila keluarga mempelai wanita
kegunaannya. Namun untuk saat ini, kulit bia setuju, calon mempelai harus keluar rumah dan
hanya digunakan sebagai salah satu alat musik mempelai pria harus mengejar mempelai wanita.
tradisional yang fungsinya sama seperti Jika mempelai wanita sudah tertangkap mereka
harmonika. akan “baku polo” atau berpelukan. Hal ini
dilakukan sebagai rasa syukur kedua mempelai.
b. Sinkretisme Tradisi ini tidak selalu dilakukan oleh keluarga
Sinkretisme merupakan perubahan budaya calon pengantin terutama keluarga yang sudah
yang termasuk dalam proses aklturasi yang memiliki pendidikan dan pengetahuan lebih luas
mana unsur budaya yang lama bercampur tidak lagi menerapkan tradisi tersebut. Beberapa
dengan unsur budaya yang baru sehingga bagian seperti “baku polo” tidak lagi dilakukan.
membentuk sistem yang baru. Beberapa tradisi Sementara unsur yang ditambahkan dalam ritual
suku Kokoda telah mengalami percampuran baik ini adalah adanya pelaksanaan ijab Kabul dan
dalam fungsi dan penerapannya. Bentuk walimahan.
percampuran ini dapat ditemukan dalam mantra-
33 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019 RAISA ANAKOTTA
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

Selanjutnya, bentuk akulturasi adisi juga disesuaikan dengan kebutuhan keluarga


terjadi dalam hal penanganan musibah. Ketika mempelai.
seseorang terkena musibah (misalkan jatuh) di Meskipun berbeda suku, para pendatang
kampung Kokoda, saudara atau orang lain yang yang tinggal di Fak-fak tetap harus mengikuti dan
pernah dibantu oleh orang tersebut harus menghargai adat dan tradisi yang dilakukan di
menanamkan sesuatu benda (biasanya tiang). sana. Tak jarang para pendatang ikut
Hal ini diyakini sebagai tolak sial agar orang lain berpartisipasi dalam setiap acara yang dilakukan.
tidak terjatuh di tempat yang sama. Sesuatu yang Begitu juga sebaliknya, apabila orang Fak-fak
ditanam biasanya akan dicabut dan digantikan berada di daerah lain, mereka juga diajarkan
dengan tanaman hidup. Sesuatu yang ditanam untuk mengikuti adat dan tradisi di tempat
tersebut diibaratkan sebagai perwujudan diri dari mereka tinggali. Sebagai contoh, ketika orang
orang yang jatuh. Akulturasi yang terjadi dalam Fak-fak menikah dengan orang lain (misalnya
hal ini adalah pada jaman dahulu kebiasaan ini Ambon) dan menikah di daerah lain (misalnya
hanya berlaku bagi orang Kokoda saja, namun Ambon), suku Fak-fak tersebut tidak diharuskan
saat ini kebiasaan tersebut berlaku untuk untuk melakukan ritual adat dan tetap mengikuti
siapapun selama musibah yang dialami terjadi di tradisi yang ada di sana.
kampung suku Kokoda. Marga ini biasanya hanya akan diturunkan
Orang yang datang ke kampung Kokoda dari kaum pria sehingga apabila wanita Papua
bukan hanya mereka yang berasal dari suku menikah dengan suku lain atau sesama suku
Kokoda melainkan juga mereka yang berasal dari dengan marga yang berbeda, maka anaknya
suku lain, ritual menggigit (dalam menyambut tidak akan membawa marga yang dimiliki wanita
tamu) tidak selalu dilakukan. Sehingga hal tersebut. Dengan adanya pernikahan bebas,
tersebut hanya dilakukan kepada mereka yang dimana masing-masing individu bisa memilih
bersedia saja atau dilakukan kepada beberapa pasangannya sendiri, pernikahan antar suku pun
orang sebagai sombolis. Akulturasi lain terjadi tidak dapat terelakkan lagi. Terkadang untuk
dalam tarian yang dilakukan. Tarian “goyang mempertahankan silsilah dan identitas keluarga
panta” dilakukan hanya oleh mereka yang dalam pernikahan campuran, marga tidak lagi
berasal dari suku Kokoda namun warga hanya diturunkan dari kaum pria. Kaum wanita
pendatang yang mengikuti kegiatan tersebut pun juga bisa menurunkan marga yang ia miliki
diperbolehkan untuk ikut menari dan menonton kepada anaknya dengan persetujuan bersama.
ritual tersebut. Bahkan tidak jarang, anak keturunan suku
Sementara itu, dalam hal mendirikan campuran mewarisi marga ganda yang berasal
bangunan, suku Kokoda memiliki beberapa ritual. dari marga kedua orang tuanya.
Jaman dahulu, ritual ini hanya dilakukan oleh Seiring dengan perkembangan jaman,
warga suku Kokoda namun seiring dengan ikatan dalam kekerabatan bagi masyarakat
perkembangan sosial warga suku Kokoda juga Papua terutama suku Fak-fak sangat erat apalagi
akan mengundang tokoh adat dari suku lain jika mereka berada di perantauan atau tinggal di
untuk menghargai keberadaan suku tersebut dan daerah suku lain. Akulturasi yang terjadi,
menjaga tali silaturahmi terutama antar tetangga. meskipun bukan berasal dari marga yang sama
Beberapa ritual dalam suku Fak-fak atau tidak memiliki hubungan darah, individu
dilakukan sama seperti sebelumnya dan yang berasal dari Fak-fak akan saling menjaga,
beberapa yang lain telah mengalami akulturasi. melindungi dan menganggap bahwa mereka
Dalam hal ini, akulturasi terjadi pada peserta atau adalah keluarga. Hal ini juga dapat dilihat dari
partisipannya, dimana sebelumnya peserta dan terbentuknya ikatan-ikatan atau kumpulan suku
yang berpartisipasi dalam ritual hanya dilakukan Fak-fak yang aktif dan berkembang di daerah-
oleh masyarakat suku Fak-fak, saat ini warga daerah lain.
pendatang juga ikut berpartisipasi dan menjadi Masyarakat suku Fak-fak memiliki pedoman
peserta dalam beberapa ritual yang dilakukan hidup yang mereka yakini hingga sekarang.
oleh suku Fak-fak, seperti dalam ritual adat Pedoman tersebut dikenal dengan istilah satu
pernikahan. tungku tiga batu yang mengandung makna
Dalam tradisi pernikahan terjadi akulturasi meskipun berbeda agama, suku Fak-fak tetap
dimana warga pendatang juga diperbolehkan bersatu dan hidup dalam satu keluarga.
untuk datang dan menyaksikan acara kumpul Pedoman hidup ini juga mereka terapkan dalam
harta tersebut. Biasanya dalam acara tersebut, berkehidupan sosial dengan suku pendatang.
suku Fak-fak juga mengundang tetangga dekat Sehingga istilah satu tungku tiga batu meluas
mereka meskipun tetangganya bukan seorang menjadi meskipun berbeda agama dan suku,
suku Fak-fak. Akulturasi lain yang terjadi adalah masyarakat yang tinggal di Fak-fak tetap hidup
adanya penyesuaian dalam harta yang dalam satu keluarga. Konsep Kebhinekaan pun
dikumpulkan. Jaman dahulu, terdapat beberapa terlihat dari pedoman hidup mereka dimana
benda yang memang harus ada dalam kumpul dengan adanya beragam agama dan suku,
harta, namun seiring dengan perkembangan masyarakat tetap bias hidup harmonis dan saling
jaman dan kebutuhan harta yang dikumpulkan membantu (Sari, 2017).

34 | P a g e
RAISA ANAKOTTA https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

d. Dekulturasi masyarakat yang tidak siap dan tidak menyetujui


Akulturasi Dekulturasi terjadi ketika unsur proses akulturasi. Bentuk akulturasi ini dapat
budaya yang telah lama hilang karena diganti dilihat dalam hal mendirikan bangunan, dimana
dengan unsur budaya yang baru. Akulturasi suku Kokoda memiliki beberapa ritual. Ketika
bentuk ini terjadi ketika suatu budaya atau tradisi membangun rumah atau bangunan lain, suku
tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan. Jika Kokoda melakukan beberapa ritual, yakni ritual
terdapat masalah atau perselisihan antar sesama batu pertama yang dilakukan oleh para tetua
suku baik Kokoda dan Fak-fak maupun antar dengan mengundang tokoh adat dari suku lain.
suku lokal dengan pendatang, permasalahan Dalam ritual ini akan disediakan pinang dan sirih.
tersebut akan ditangani oleh Lembaga Sementara untuk bangunan-bangunan kampung
Masyarakat Adat (LMA). Suku Kokoda dinaungi biasanya mereka akan melakukan ritual pemoto-
oleh LMA IMEKKO yang membawahi beberapa ngan ayam putih. Setelah dipotong, ayam
suku yang terdiri dari: Innanwatan, Metemani, tersebut akan dikubur. Ritual tersebut dilakukan
Kais, dan Kokoda. Sementara suku-suku Fak-fak dengan tujuan untuk “pele kampung” atau
dinaungi oleh LMA Bahamata (dewan adat suku melindungi kampung mereka. Meskipun mereka
Fak-fak). Salah satu contoh permasalahan yang tahu secara agama tidak tercantum ajaran
ditangani LMA adalah jika ada individu dari suku tentang ritual ini, suku Kokoda tetap melakukan
lain maupun dari suku yang dinaungi LMA ritual tersebut sebagai tradisi yang sudah
memiliki masalah, mereka bisa melapor dan dilakukan dari jaman oyang mereka.
meminta pihak LMA sebagai mediator.
Contoh lain dari akulturasi dekulturasi b. Dampak Akulturasi bagi Masyarakat di
adalah penggunaan gong bagi suku Fak-fak yang Papua Barat
sudah mulai mengalami perubahan. Bagi Sebagian besar bentuk akulturasi terjadi
mereka, gong tidak lagi digunakan sebagai karena adanya keharusan penyesuaian dalam
penyebar kabar duka karena masyarakat yang masyarakat. Dengan demikian, mau tidak mau
tinggal di Fak-fak sudah beragam sehingga warga lokal maupun pendatang tetap melakukan
masih banyak dari para pendatang belum paham perubahan dan mengikutinya. Dampak dari hal
dengan hal tersebut. Selain itu, seiring dengan tersebut tidaklah begitu merugikan dan para
perkembangan teknologi, pengabaran berita warga tetap bisa hidup berdampingan dan
duka sudah bisa dilakukan melalui pesan menjalankan budayanya. Namun, kebudayaan
telepon. Oleh karena itu, pemukulan gong tidak yang dijalankan tidak lagi sama dengan
lagi dianggap efektif untuk mengabarkan berita kebudayaan asli yang diturunkan oleh para
duka. Pemukulan gong hanya digunakan sebagai leluhur. Sehingga lama-kelamaan, beberapa
instrumen dalam acara kumpul harta saat aspek mulai terkikis dan tidak lagi dilakukan.
pernikahan. Esensi kebudayaan asli pun tidak begitu terasa.
Sebagai contoh, generasi muda atau warga
e. Originasi pendatang tidak lagi bisa melihat suku Papua asli
Bentuk akulturasi originasi terjadi ketika menggunakan pakaian adat mereka atau tidak
masuknya budaya baru yang sebelumnya belum lagi bisa menyaksikan ritual-ritual yang sangat
diketahui oleh masyarakat sehingga mengakibat- khas dari Papua. Hal-hal tersebut hanya bisa
kan terjadinya perubahan besar. Bentuk mereka saksikan atau ketahui dengan cara
akulturasi ini akan nampak pada kegiatan- bertanya langsung kepada para tetua yang
kegiatan keagamaan yang dilakukan, seperti paham betul dengan budaya atau kepada pihak
menerapkan shalat berjamaah di masjid, LMA yang masih menyimpan informasi dan
mengadakan pengajian, mengajarkan mengaji dokumen budaya mereka. Akibat lain yang
anak-anak, memperingati hari-hari besar ditimbulkan adalah adanya tradisi atau
terutama hari besar keagamaan seperti ritual kebudayaan yang nampak mirip sehingga sulit
paskah, acara menyambut tahun baru, acara untuk membedakan kebudayaan dari manakah
maulid nabi hingga tradisi tahlilan (memperingati itu. Hal ini terjadi karena adanya penyesuaian
7 hari kematian dan seterusnya) yang dan perubahan yang dilakukan terhadap aspek-
sebenarnya bukan berasal dari suku lokal. aspek yang sebenarnya menjadi ciri khas dari
Sebagian besar ritual-ritual tersebut merupakan suku.
ritual yang dibawa oleh penyebar agama yang Faktor lain penyebab terjadinya akulturasi
dating ke Papua. Terdapat juga ritual yang adalah adanya kesepakatan bersama baik
berkembang seiiring dengan berkembangnya secara tersirat maupun tersurat. Bentuk
jumlah pendatang yang ada. Semakin banyak akulturasi karena alasan ini muncul dari hal-hal
jumlah suku pendatang maka semakin yang disepakati bersama baik oleh suku asli
berkembang pula ritual kesukuan yang mereka papua maupun suku pendatang. Penyesuaian
bawa dari tempat asalnya. dan perubahan dilakukan atas kesepakatan
bersama dengan mempertimbangkan kebuda-
f. Penolakan yaan masing-masing. Hal ini terjadi karena
Akulturasi bentuk penolakan terjadi ketika adanya keinginan untuk terus mempertahankan
terdapat penolakan dari sebagian anggota kebudayaan masing-masing dan keinginan untuk
35 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019 RAISA ANAKOTTA
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

tetap hidup bersama dengan damai. Sehingga Perihal gotong royong dan tolong menolong
dalam pelaksanaannya, baik suku lokal maupun pun menjadi dampak positif dari adanya
pendatang tidak ada yang merasa dirugikan akulturasi antar budaya. Dengan adanya
bahkan dalam beberapa hal bisa saling akulturasi dalam bermasyarakat, masyarakat
menguntungkan kedua belah pihak, misalnya lokal tidak sungkan-sungkan untuk membantu
dalam hal interaksi sosial. Warga lokal dan warga pendatang. Warga pendatang pun
pendatang akan saling membantu dan memberi akhirnya mulai terbiasa dan dengan senang hati
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing membantu masyarakat lokal. Sehingga tidak
tanpa melanggar kebudayaan dan apa yang heran jika ada ungkapan, kalau kita baik dengan
diyakini oleh pihak lain. masyarakat lokal, mereka akan memperlakukan
Selain itu, ada juga bentuk akulturasi yang kita dengan lebih baik lagi.
muncul dari adanya kebersediaan yang
dipaksakan. Meskipun tidak ada yang memaksa, D. KESIMPULAN
sebagai pihak yang menumpang warga

B
pendatang mau tidak mau harus mengikuti entuk akulturasi yang terjadi dalam
kebudayaan dan apa yang berlaku di tempat masyarakat yang tinggal di Papua Barat,
mereka tinggal. Dampaknya, beberapa yakni akulturasi budaya antara penduduk
kebudayaan atau kebiasaan tidak dapat mereka lokal dan pendatang yang dipengaruhi oleh
lakukan. Meskipun demikian, warga pendatang perilaku sosial meliputi: subtitusi, sinkretisme,
ini tidak merasa keberatan karena warga lokal adisi, originasi, dekulturasi dan penolakan.
masih menghargai kebudayaan yang mereka Bentuk akulturasi substitusi dapat dilihat dari
miliki. akulturasi dalam hal penggunaan pakaian adat
Dampak lain dari adanya akulturasi adalah yang biasanya digunakan sehari-hari, kini hanya
semakin kuatnya apresiasi, hubungan kekeraba- digunakan dalam hal tertentu saja dan
tan, toleransi, dan tolong menolong baik sesama penggunaan benda adat seperti gong yang dulu
suku maupun antar suku. Suku pendatang juga digunakan untuk mengabarkan berita duka,
sangat mengapresiasi dan bangga terhadap kini hanya digunakan sebagai pelengkap dalam
kebudayaan dan tradisi masyarakat lokal. adat kumpul harta. Bentuk akulturasi lain, yakni
Sebagai contoh, banyak generasi dari suku originasi juga terdapat dalam proses akulturasi
pendatang dengan senang hati mempelajari, yang diteliti. Beberapa diantaranya mulai menjadi
berpartisipasi dan menikmati tradisi dan kesenian kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk lokal.
masyarakat lokal. Begitu juga sebaliknya, Bentuk originasi ini terjadi dikarenakan tradisi
masyarakat lokal akan antusias dan penasaran lama yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
dengan kebudayaan yang dimiliki oleh suku seiring dengan perkembangan jaman dan
pendatang. Hubungan kekerabatan dan toleransi pengetahuan agama (seperti perang suku).
yang kuat yang dimiliki masyarakat lokal Sementara yang lain terjadi karena adanya
dijadikan pelajaran dan panutan bagi suku pengetahuan baru terkait agama dan kemudian
pendatang. Banyak warga pendatang yang juga menjadi kebiasaan yang selalu dilakukan dalam
ikut menganut pedoman hidup yang diyakini oleh masyarakat (seperti tahlilan dan peringatan
masyarakat lokal. Sehingga jarang sekali terlihat kematian atau 40 hari, 100 hari dan seterusnya).
adanya perselisihan atau permasalahan antara
masyarakat lokal dan warga pendatang. Mereka E. UCAPAN TERIMAKASIH
hidup harmonis bagaikan keluarga. Hal ini lah

A
yang kemudian menjadi salah satu ciri khas rtikel ini dapat terselesaikan dengan baik
masyarakat Papua, yakni kuatnya hubungan berkat keterlibatan berbagai pihak yang
kekerabatan dan tingginya toleransi antar agama telah dengan tulus dan iklas memberikan
dan antar suku. Hal ini sedikit bertolak belakang masukan, motivasi, materi atau fasilitas
dengan yang terjadi di daerah Selangor dimana pendukung lainnya. Ucapan terimakasih kami
hubungan kekeluargaan menjadi renggang akibat sampaikan kepada rector UNIMUDA Sorong,
adanya pengaruh globalisasi yang didalamnya LP3M UNIMUDA Sorong, Warga Kampung
termasuk interaksi sosial (Mohamed, 2017) Kokoda dan Fak-fak, serta DRPM Dikti sebagai
meskipun masyarakat yang ditemui sama-sama pemberi dana dalam penelitian ini.
mereka yang tinggal didaerah perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

Marzuqi, M. (2009). Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (Studi terhadap Praktek “Laku Spiritual”
Kadang Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan Kecamatan Temon Kabupaten
Kulon Progo). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Mohamed, A. (2017). Globalisasi Dan Impak Sosiobudaya. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya ,
19 (1), 33-45.

36 | P a g e
RAISA ANAKOTTA https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019
RAISA ANAKOTTA/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 21 NO. 01 (JUNE 2019)

Nugroho, A. B., & W.S., V. (2010). Akulturasi Antara Etnis Cina dan Jawa: Konvergensi atau
Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa?. Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa
Nusantara. . Semarang: Magister Linguistik PPs UNDIP.
Prasetyawan, W. A. (2010). Akulturasi Budaya Islam dan Budaya Hindu: Studi tentang Perilaku
Keagamaan Masyarakat Islam di Gununggangsir Beji Pasuruan. Surabaya: UIN Sunan
Ampel.
Rodzik, A. A. (2008). Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya
pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan
Srengseng Sawah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Santosa, B., & Winingsih, I. (2013). Integrasi Multikultural dalam Multietnis: Strategi Akulturasi
Masyarakat Etnis Jawa, Cina dan Arab Keturunan di Wilayah Semarang. Semarang:
Universitas Dian Nuswantoro.
Sari, I. P. (2017). HARMONI DALAM KEBHINEKAAN (Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Enggano
Provinsi Bengkulu Dalam Mengatasi Konflik). Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya ,
19 (2), 139-147.
Spradley, J. (2007). Metode Etnografi (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Amri Marzali).
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wekke, I. S., & Sari, Y. R. (2012). Tifa Syawat dan Entitas Dakwah dalam Budaya Islam: Studi Suku
Kokoda Sorong Papua Barat. THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi
Islam , 13 (1), 163-186.
Yunus, R. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Lokal Genius) sebagai Penguat Karakter Bangsa (Studi
Empiris tentang Huyula). Yogyakarta: Deepublishing.

37 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019 RAISA ANAKOTTA

Anda mungkin juga menyukai