Anda di halaman 1dari 5

Annisa Fatati Rahmah 03/12A2

Malas
Saat sang surya menampakkan wajahnya, aku terbangun dari tidur lelapku. Hari ini hari
Senin. Awal hari masuk sekolah dalam seminggu. Udara hari ini sejuk dan seperti biasa aku
bersiap-siap berangkat sekolah. Sekolahku ini menerapkan sistem full day school jadi hari
Sabtu dan Minggu libur. Tepat pukul 06.00 aku berangkat sekolah naik motor berboncengan
dengan Salsa. Aku dan Salsa berbeda sekolah. Aku di SMA N 1 Jakarta Jurusan MIPA dan
Salsa di SMK N 2 Jakarta Jurusan Teknik Mesin. Aku satu kos dengan anak itu.

“Sal, hari ini kamu di sekolah acaranya ngapain?”


“Ya, biasa, bongkar-pasang motor.”
“Pasti seru ya, Sal?”
“Seru, lah”

“Kamu sendiri nanti agendanya apa?”


“Aku nanti praktikum biologi tentang sel. Nanti aku mengamati sel menggunakan
mikroskop”
“Wah, sepertinya seru juga, ya.”

Sesampai di sekolah, aku praktik biologi. Di sekolah aku juga aktif dalam organisasi.
Ya, aku ini anggota OSIS. Di kelas aku bukan anak yang pintar. Akan tetapi, aku juga bukan
siswa yang paling bodoh. Otakku rata-rata. Tidak seperti teman sebangkuku Nina. Ia selalu
mendapat rangking di kelas.

Hari-hari terasa membosankan. Senin sampai Jumat setengah hidupku habis untuk
bersekolah. Malamnya aku langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur. Lalu, Sabtu dan
Minggu menonton televisi dan bermain handphone menjadi kebiasaanku. Kalau sudah bosan
bermain aku lalu tidur. Aku sepertinya tidak memiliki semangat untuk hidup. Aku malas
bersekolah. Apa untungnya sih kita bersekolah? Sekolah? Melelahkan sekali bersekolah. Kita
cuma duduk dan mendengarkan pelajaran. Iya kalau pelajarannya asik. Kalau tidak aku tentu
tidur saat pelajaran.

Aku menyelidiki mengapa aku sendiri tidak bersemangat untuk bersekolah. Esoknya,
aku bertemu Salsa.

“Sal, aku kok malas sekali bersekolah ya malas belajar juga aku ini. Menurutmu sekolah
itu gimana?”

“Sebenarnya aku lebih ingin bekerja daripada sekolah. Akan tetapi, sekarang rata-rata
calon pekerja harus memiliki ijazah setingkat SMA dan hanya dengan bersekolah aku bisa
mendapatkan ijazah. Selembar kertas itu sangat berarti bagiku karena setelah kuliah aku akan
bekerja. Kalau aku bekerja nantinya aku dapat meringankan beban keluargaku. Aku tidak sabar
untuk bekerja.”
“Kamu setelah lulus nggak mau kuliah, Sal?”
“Ya jelas nggak. Kuliah itu hanya untuk anak orang-orang kaya. Orang miskin seperti
aku mana bisa kuliah. ”
“Tapi kan kamu bisa daftar beasiswa?”

“Beasiswa? Itu kan hanya untuk anak-anak yang pintar dengan seleksi yang panjang.
Kalau toh aku ketiban rezeki dapat beasiswa juga percuma otakkku nggak sampai. Saya kan
nggak secerdas murid SMA yang pintar hitung-hitungan. Saya bisanya cuma otak-atik mesin
nggak bisa mikir panjang kali lebar otak saya. Setelah lulus ini rencananya aku mau kerja di
bengkel saja.”
Aku manggut-manggut. Lalu, di sekolah kutemui Nina yang sedang semangat
mengerjakan soal-soal matematika.
“Nin, kamu kok bisa semangat sekali bersekolah. Kalau ada ulangan juga kamu
semangat sekali, memangnya rahasianya apa?”
“Aku bersekolah karena aku sadar bahwa pendidikan itu penting. Aku pun memiliki
cita-cita dan cara menggapainya adalah dengan bersekolah. Aku ingin menjadi dokter yang
nantinya aķu mau buat rumah sakit terbaik di dunia di Indonesia ini. Pendidikan itu penting
karena dengan pendidikan kita bisa memajukan bangsa ini. Kalau soal ulangan, aku
menganggap bahwa ulangan ini adalah ujian dalam hidup kita yang harus kita lewati.
Bagaimana cara kita melewatinya dan berhasil atau tidak kita dalam ujian itu ditentukan oleh
diri kita sendiri. Aku selalu belajar agar nanti saat ulangan nilainya bagus. Aku selalu
melakukan yang terbaik yang aku bisa lakukan. Mempersiapkannya jauh hari sebelum ulangan
itu datang hingga saat yang telah tiba aku telah siap dan bagaimana pun hasilnya aku akan
menerima karena aku sudah berusaha semampuku.”

“Sebenarnya jawaban kamu ini sudah bisa saya tebak dari awal. Namanya juga anak
pintar gimana nggak semangat sekolah. Kan ia selalu nomor satu. Dibangga-banggakan sama
guru juga orang tua. Anak pintar pasti gampang menentukan cita-cita dan saat ulangan itulah
ladangnya untuk menunjukkan kepintarannya. Berkebalikan dengan aku. Memang sistem
pendidikan kita itu hanya mementingkan nilai, nilai, nilai tanpa melihat proses untuk mendapat
nilai itu. Sistem itu pasti sangat menyenangkan bagi anak-anak yang pintar. Ah... aku persetan
dengan semua ini.”
Rupanya aku mengerti kenapa aku ini malas sekali sekolah. Ya, benar, aku bersekolah
hanya asal berangkat saja tidak memiliki tujuan. Itulah aku, manusia 16 yang hidup dan masuk
MIPA hanya karena ikut-ikutan teman saja yang katanya bagus. Tanpa tahu setelah itu arahnya
kemana. Mungkin itu karena aku tidak pintar. Aku juga tidak memiliki bakat tertentu. Jadi,
pantaslah kalau aku ini tidak memiliki tujuan hidup.

Menginjak kelas 11 semester 2 aku tetap saja seperti ini. Belajar? tidak pernah.
Berangkat sekolah pagi-pagi hanya untuk menjiplak pekerjaan rumah. Tugas h-1 lah buatnya.
Asal saja yang penting numpuk dan dapat nilai. Tugas presentasi aku hanya titip nama.
Ulangan? Jangan tanya. Mencontek tentunya. Semakin kesini aku semakin nggak mikir
pelajaran. Sekolah akan mengadakan acara besar-besaran dan OSIS lah pelaksananya. Aku
sering dispen meninggalkan jam pelajaran. Tapi tidak apalah. Aku sendiri lebih suka mengurusi
proker dibandingkan duduk di kelas. Aku juga jarang ulangan dan aku susulan banyak mapel.
Akan tetapi biarlah, aku mau lari saja dari susulan. Toh, nantinya juga aku bakal naik kelas.

Acaraku berjalan sukses dan sangat meriah. Semua itu berkat usaha, kerja keras, dan
kerja sama antar pengurus OSIS untuk menyukseskan acara ini. Tapi, acara ini juga yang
menjadi program kerja terakhir OSIS angkatanku. Selanjutnya, aku kelas 12 dan aku harus
melepas semua kegiatanku ini kepada penerusku.

Senin, 20 Juni 2020, aku naik ke kelas 12. Perlahan aku mulai tertinggal. Teman-
temanku kini lebih giat lagi dalam belajar. Mereka sudah mulai mempersiapkan UN dan
berbagai tes untuk masuk ke universitas. Sekarang, aku orang yang terbodoh di kelas. Sampai-
sampai Ibuku dipanggil ke sekolah gara-gara nilaiku.

“Nak, bentar lagi kamu mau lulus. Dengan nilaimu yang seperti ini Ibu takut kalau
nantinya kamu nggak lulus. Ibu juga takut kalau kamu tidak diterima di universitas karena
kamu kurang persiapan.”
“Emang ya, Ibu itu sama saja dengan orang tua lain. Mengharap nilai anaknya bagus.
Ma...., aku ini bodoh. Seberapa keras aku belajar pun tidak akan bisa mengalahkan anak yang
memang sudah ditakdirkan untuk pintar. Takdirku sudah begini Ma. Bodoh!!!. Kalau toh aku
belajar dan aku nilainya tetap jelek. Percuma saja. Tidak ada yang menghargaiku dalam belajar.
Aku sebenarnya ingin pintar Ma... Ingin seperti mereka-mereka. Tapi, kenapa Mama dahulu
melahirkan anak yang bodoh seperti aku. Kenapa aku ditakdirkan bodoh, Ma? Kenapa? Atau
mungkin ini faktor genetik.”
“Hentikan, Nak. Mama tahu kalau Mama ini bodoh. Makanya Mama ingin kamu tidak
seperti Mama. Aku ingin kamu sukses, Nak. Bisa memberikan uang untuk orang tua. Tidak
sepenuhnya bergantung pada suami seperti Mama. Mamamu ini dulu memang bodoh dan
nggak mau berusaha seperti kamu sekarang ini. Tapi kemudian Mama menyesal, Nak.
Menyesal! Pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan. Kamu mungkin belum
memahaminya sekarang. Persaingan di luar itu kejam, Nak. Dengan pendidikan, aku yakin
kamu bisa memenangkan persaingan. Kalau kamu masih menganggap dirimu bodoh. Istigfar,
Nak! Kamu ini sebenarnya pintar Cuma ibarat pisau. Otak kamu ini tidak pernah diasah. Kamu
selalu pasrah pada keadaan. Tanpa pernah mau berubah dan berusaha lebih baik. Belajar, Nak,
Belajar! Berusahalah dulu...”
“Tapi, Ma bagaimana kalau aku sesudah belajar tidak ada perubahan sama sekali? Tetap
saja bodoh.”
“Yakinlah, Nak. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Kalau kamu mau berusaha
insyaallah Tuhan akan membukakan pintu ilmu bagimu. Jangan ragu untuk mencoba, Nak!
Sebelum nantinya kamu menyesal. Kamu ingin sukses kan, Nak? Ingin membanggakan orang
tua, guru, sekolah, dan bangsa ini? Belajarlah! Karena dengan belajar dengan tekun kita bisa
meraih kesuksesan. Singkirkan rasa malasmu!”

“Ya, Ma. Aku akan mencoba berusaha untuk belajar. Doakan aku, Ma”
“Semua orang tua pasti akan mendoakan untuk kesuksesan anaknya. Kamu tenang saja.
Bejar yang rajin, ya. Kamu juga harus punya cita-cita, Nak. Itu bisa menjadi semangat kamu
dalam belajar. Kamu juga harus segera menentukan mau masuk universitas apa?”
“Sebenarnya aku ingin kuliah di luar negeri, Ma. Universitas Harvard jurusan
International Relasionship. Aku ingin memiliki relasi dengan orang-orang penting di luar
negeri. Aku ingin jadi event organizer yang suskes, Ma. Aku ingin mengadakan event- event
Internasional dan tentunya tuan rumahnya Indonesia. Lima tahun lagi akan aku usahakaan
Formula One bahkan Piala Dunia akan diadakan di Indonesia. Aku ingin menjadi kebanggaan
Indonesia.”
“Untuk meraih semua itu kamu perlu belajar, Nak. Persiapkan dirimu supaya kamu
dapat diterima di universitas dan jurusan yang kamu inginkan. Orang tua hanya bisa
mendukung dari belakang.”

Sejak hari itu, aku menjadi rajin dalam belajar. Segalanya kupersiapkan. Perlahan juga
prestasiku di kelas naik. Aku juga mulai rajin belajar bahasa Inggris. Mencoba tes TOELF
secara berkala dan sekarang aku sudah lancar dalam berbahasa Inggris. Aku juga mempelajari
pelajaran di sekolah. Oh ya, sekarang aku semangat sekali untuk bersekolah. Tugas-tugas h-
seminggu sudah selesai. Pekerjaan rumah? Ah.. sekarang aku malah yang menjadi bahan
contekan. Hidupku benar-benar berubah dan hari ini ujian masuk Universitas Harvard
diadakan. Aku tentu sangat bersemangat dan aku akan melalui ujianku dengan sebaik-
baiknya....
Aku tidur di kos dan tiba-tiba ada amplop. Kemudian aku buka amplop ibu dan seketika
hari itu juga aku ingin pulang ke rumah Ibuku di desa.
Bremmm.....

Duar! Aa.... Tolong.... Ibu....bu.....


Hening.

Isak tangis memenuhi isi rumah Ibuku. Aku melihat badanku terkapar. Ibuku menangis
melihat kepergianku. Semua Ibu pasti akan sedih kehilangan anaknya. Aku sedih karena
mimpiku berakhir di sini. Kemudian, seorang polisi datang ke Ibu.
“Bu, sepertinya ada amplop dan surat di dalam tasnya anak Ibu yang sepertinya
ditujukan ke Ibu.”
Ibuku langsung menyaut dan membuka amplop. Ia menangis tersedu-sedu sambil
membaca isi amplop. “Selamat, kamu diterima di Universitas Harvard jurusan Internasional
Relasionship”. Ia tambah menangis. Rupanya perjuangan anaknya belajar tidak sia-sia. Ia
sungguh-sungguh dalam belajar. Kemudian, surat dari lembaran buku diary anaknya ia baca.
“Terimakasih, Ibu. Benar kata itu bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Maafkan aku, Bu yang selama ini tidak pernah bersungguh-sungguh dalam berusaha.
Maafkan aku yang sudah membuat Ibu kecewa karena nilai-nilaiku. Andaikan waktu
bisa diulang aku mau buat Ibu bangga karena usahaku. Aku mau Ibu dibanggakan wali
kelas karena aku pintar. Semoga hadiah kecil ini dapat membuat Ibu bangga kepadaku.
Aku hanya bisa memberi ini dan ingat Bu 5 tahun lagi Formula One akan ada di
Indonesia. Ibu nonton ya, Bu. Aku janji... Piala dunia juga akan ada di Indonesia.
Mimpiku semakin dekat. Terima kasih, Bu. Sekali lagi Aku sayang Ibu.”

Anda mungkin juga menyukai