Anda di halaman 1dari 21

NKRI DALAM PERSPEKTIF POLITIK

ISLAM

Capaian Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu membangun pemikiran Islam secara komprehensif
tentang konsep ketuhanan
b. Mahasiswa mampu menampilkanajaranIslam yang moderat
(tawassuth/I’tidal), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun).
c. Mahasiswa mampu mengkombinasikan pengetahuan dan sikap
keagamaan secara kritis dan konsisten

10.1 PENDAHULUAN
Islam merupakan agama Allah SWT sekaligus agama yang terakhir
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril
dengan tujuan untuk mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih baik di
sisi Allah SWT. Islam bukanlah suatu ilmu yang hanya sekedar
diimplementasikan dalam bentuk tulisan atau dengan ceramah belaka,
namun ajaran islam juga diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. Karena
islam sangat identik dengan sifat, pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan
manusia dalam kehidupan sehari- hari untuk mendekatkan diri kepada
Allah dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tentunya untuk mencapai hal tersebut, kita harus mempunyai suatu cara
tertentu yang tidak melanggar ajaran agama dan tidak merugikan umat
manusia.
Banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai
ketaqwaan di sisi-Nya atau yang disebut juga dengan kata “Politik”.
Karena politik dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan
tertentu. Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa politik adalah
sesuatu yang negatif yang harus dijauhi. Padahal tidak semestinya selalu

243
begitu, bahkan politik sangat dibutuhkan dalam hidup beragama. Oleh
karena itu, islam sudah mengenalkan kepada manusia tentang politik yang
sesuai dengan ajaran islam. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dengan mayoritas warga negaranya yang beragama muslim perlu adanya
penyesuaian politik berdasarkan perspektif politik islam. Sebagai warga
negara Indonesia yang beragama islam sepatutnya kita mempelajari lebih
dalam mengenai politik dalam islam itu sendiri dan diharapkan bisa
menjadi panutan bagi pemerintah dalam menjalankan sistem politik di
Indonesia sehingga terciptalah politik yang sehat dan dapat memakmurkan
bangsanya.
Politik dalam pandangan Islam didefinisikan sebagai ilmu
pemerintahan atau ilmu siyasah, yaitu ilmu tata negara. Pengertian dan
konsep politik dalam Islam sangat berbeda dengan pengertian dan konsep
yang digunakan oleh orang-orang yang bukan Islam. Politik dalam Islam
menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan
melaksanakan syariat Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan
serta bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam dalam satu
institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menyetujui dan
melaksanakan undang undang.
Keberadaan partai politik Islam di Indonesia yang semakin marak
memicu banyak kekhawatiran dan melahirkan satu pertanyaan besar,
apakah partai-partai politik ini benar-benar berjuang demi Islam dan bisa
dikatakan sebagai partai politik ideologis Islam yang beranggotakan orang
Islam dan memilih serta menentukan pemikiran Islam secara jelas dan
rinci hingga mampu mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang
akan direalisasikan di tengah-tengah masyarakat atau partai-partai politik
ini hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri dengan
mengatasnamakan kelompok/partai.
Oleh karena itu, sebelum membahas seluk-beluk politik Islam, kita
harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana pandangan Islam mengenai
politik yang berbasis Islam. Selanjutnya, perlu dikaji pula apakah partai
politik Islam tetap mengedepankan syariat Islam dalam melaksanakan
fungsi politik.Untuk lebih mendalami mengenai NKRI dalam perspektif
politik islam maka tersusunlah bahan ajar ini.
Untuk itulah penulis sangat berharap kepada pembaca semua,
semoga setelah membaca atau membahas makalah ini, kita semua mampu

244
menjadikan agama islam agama yang kembali sempurna untuk mengubah
akhlak manusia ke arah yang lebih baik di sisi-Nya, Amin

10.2 MATERI
10.2.1 Pengertian Politik dalam Islam
Secara etimologi kata “politik” berasal dari bahasa yunani,yaitu
dari perkataan “polis” yang dapat mempunyai arti kota dan Negara kota.
Kata “polis” tersebut berkembang menjadi kata lain seperti “politis” yang
berarti warga Negara dan “politikus” yang berarti kewarganegaraan
(civic).229
Dalam bahasa Indonesia kata politik mempunyai beberapa
pengertian, yaitu: (i) ilmu/pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan; (ii) segala urusan dan tindakan ( kebijakan, siasat, dan
sebagainya ) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain;
dan (iii) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah ).230
Politik dalam bahasa Inggris Politik yang berarti ilmu yang
mengatur ketatanegaraan.231 Sedangkan dalam kamus politik, ada empat
definisi politik, yaitu:
1. Perkataan “politik“ berasal dari bahasa Yunani dan diambil alih oleh
banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Pada zaman klasik Yunani,
negara atau lebih tepat negara-kota disebut polis. Plato (± 347 sebelum
Masehi) menamakan bukunya tentang soal-soal kenegaraan politea, dan
muridnya bernama Aristoteles (± 322 sebelum Masehi) menyebut
karangannya tentang soal-soal kenegaraan Politikon. Maka “politik”
memperoleh arti seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu
kenegaraan. Politik mencakup kebijaksanaan atau tindakan yang
bermaksud mengambil bagian dalam urusan kenegaraan/pemerintahan

229
A.P .Cowie, Oxford Leaner’s Dictionary , Oxford: Oxford University Press, 1990, hlm.
190.
230
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, cet. Ke-8.
hlm. 694
231
Wojo Wasito dan Poerwadaminta, Kamus Lengkap (Inggris-Indonesia/Indonesia
Inggris), Bandung : HASTA, 1980, hlm 152

245
termasuk yang menyangkut penetapan bentuk, tugas dan lingkup urusan
negara.
2. “Politik” adalah masalah yang mencakup beraneka macam kegiatan
dalam suatu sistem masyarakat yang terorganisasikan (terutama
negara), yang menyangkut pengambilan keputusan baik mengenai
tujuan–tujuan sistem itu sendiri maupun mengenai pelaksanaannya.
3. “Politik” berarti sebuah kebijakan, cara bertindak dan kebijaksanaan.
4. Dalam arti yang lebih luas “politik” diartikan sebagai cara atau
kebijaksanaan (policy) untuk mencapai tujuan tertentu.Menurut Deliar
Noer “Politik” adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik juga
menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagi pula politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik.232
Dalam kamus bahasa Arab siyasah secara etimologi mempunyai
beberapa arti; mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat
kebijaksanaan, pemerintahan dan politik.233 Sedang secara istilah
(termologi), Ibnu al-Qayim memberi arti siyasah adalah suatu perbuatan
yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari
kerusakan walaupun Rasul tidak menetapkannya dan Allah tidak
mewahyukannya.234 baik kepentingan agama, sosial dan politik. Oleh
karena itu ilmu siyasah sangatlah dibutuhkan dalam merefleksikan suatu
sikap untuk membuat kemaslahatan kepada masyarakat umum.
Secara epistemologis siyasah tercakup dalam tema pembahasan
yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia tersebut, yang disebut
dengan fiqh siyasah atau siyasah syar’iyah.Abdul Wahab Khalaf memberi
arti fiqh siyasah atau siyasah syar’iyah adalah pengelolaan masalah umum
bagi negara bernuansa Islami yang menjamin terealisasinya kemaslahatan
dan terhindar dari kemadharatan dengan tidak melanggar ketentuan
syari’ah dan prinsip-prinsip syari’ah yang umum meskipun tidak sesuai

232
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Medan : Dwipa, 1965, cet.I. Hlm 56
233
J Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, cet. Ke-5, 2002, hlm. 23.
234
Ibid. Hal 24

246
dengan pendapat-pendapat imam mujtahid.235 Siyasah yang terbaik adalah
mengintgrasikan kepentingan agama dan bangsa guna kemaslahatan umat
yang semakin terabaikan dikarenakan ada seorang oknum politik yang
tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan kelompok
atau kepentingan pribadinya.
Al-Qur’an tidak mengemukakan secara eksplisit fungsi dan struktur
dari sistem politik, namun dari uraian terdahulu dapat ditemukan adanya
unsur-unsur tersebut. Sosialisasi politik misalnya, dapat ditemukan dalam
tugas pembangunan spiritual. Dengan pembangunan ini, norma-norma dan
ajaran-ajaran agama, termasuk di dalamnya yang berkenaan dengan
kehidupan politik, dikembangkan dengan sistem pendidikan dan
pengajaran sehingga masyarakat dapat memiliki persepsi dan budaya yang
sama. Konsepsi rekruitmen politik dapat ditemukan dalam kenyataan
adanya syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi pemimpin. Adanya
syarat-syarat subyektif yang relevan dengan kemampuan individual dan
komitmen terhadap kepentingan rakyat, menghendaki proses seleksi dalam
pengangkatan pejabat, dan juga pengisyaratan keterbukaan fungsi tersebut
bagi setiap warga yang memenuhi syarat. Dengan demikian kita berusaha
untuk tetap objektif dalam memandang semua permasalahan tanpa adanya
sebuah diskriminasi untuk kemajuan bersama dan berkomitmen untuk
kepentingan rakyat.
Tiga fungsi utama yang dikenal sebagai fungsi out put atau fungsi
pemerintahan dapat ditemukan dalam kewajiban pemerintah membuat
aturanaturan hukum yang adil (fungsi legislative), melaksanakan hukum-
hukum agama dan hukum perundang-undangan (fungsi eksekutif), dan
melaksanakan tugas pengadilan terhadap tindakan tindakan yang
menyerang dan melanggar hukum (fungsi yudikatif).
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

         


          
    

        


         
       


235
Ibid
247
          
           
    

          


         
      

 

  

Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di


dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang
dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu
menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit.Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah: 44).236

Konsekuensi adanya fungsi-fungsi adalah adanya struktur yang


dimiliki oleh sistem politik.Struktur yang paling mendasar adalah unsur
lembaga pemerintahan dan unsur rakyat.Tentang bagaimana pelembagaan
struktur tersebut tidak ditemukan secara eksplisit dalam al-Qur’an.
Meskipun begitu, konsep tentang struktur politik dapat dirumuskan
berdasarkan prinsip-prinsip politik yangterkandung dalam al-Qur’an dan
dari praktek pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafa al-Rasyidin
sesudahnya. Dalam konteks ini Allah hanya memberikan prinsip-prinsip
taat kepada struktur pemegang pemerintahan:

236
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara dan
Penterjemah al-Qur’an , 1989 , hlm. 167
248
        
        
     
 

        


        
 

       


  
  
 
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul, jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."(An-nisa ayat 59).

Cita-cita politik sebagaimana di janjikan Allah kepada orang-orang


yang beriman dan beramal saleh dalam al-Qur’an adalah; terwujudnya
sebuah sistem politik, berlakunya hukum Islam dalam masyarakat. Cita-
cita politik ini tersimpul dalam ungkapan “baldatun thayibatun warabbun
ghafur”, yang mengandung konsep negeri sejahtera dan sentosa. Cita-cita
ini merupakan ideologi Islami karena ia merupakan nilai-nilai yang
diharapkan terwujud, sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana
untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai khalifah dalam membangun
kemakmuran.237
Di Indonesia, pakar politik menilik hubungan Islam dengan
pemerintahan memiliki akar paradigma yang cenderung bersimpul
dalam dua pola, yaitu formalistik dan substantivistik. Kelompok
formalisme keagamaan cenderung dipolakan sebagai kelompok yang
melakukan politisasi agama, sedangkan kelompok substantivisme
keagamaan cenderung dipolakan sebagai kelompok yang melaksanakan
agama ke dalam proses politik.10 Dari kedua paradigma di atas,
sejauh ini, masih belum diketemukan manakah pola yang seharusnya

237
Lihat, Abd. Muin Salim, op.cit.,298

249
dipakai oleh Indonesia, masing-masing memiliki kekurangan. 11
Formalisme memiliki resiko penyalahgunaan agama terhadap syakhwat
politik, sementara substativisme terkendala pada biasnya langkah
strategis.
Bentuk pemerintahan yang sudah disepakati dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan pilar yang terdiri
dari Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika 238,
menjadi local wisdom tersendiri bagi umat muslim Indonesia. 13 Tak
jarang menuai pertanyaan tentang kandungan nilai filosofis Islam
dalam terbentuknya NKRI.

10.2.2 HUBUNGAN ISLAM DENGAN NEGARA


Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara
dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik,
paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik:

10.2.2.1Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan
pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini
dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.

10.2.2.2 Paradigma Simbiotik


Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan
negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga
membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

238
Muhammad Sawir, “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara,” JIAP:
Journal of Administration Science and Governmental Science 1, no. 1 (2016): 1-6

250
10.2.2.3 Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang
berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi (campur tangan).239
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang
cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut
Azyumardi Azra, perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu abad,
dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut Azra mengatakan bahwa
ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara diilhami oleh
hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara.
Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan
konsep kultur politik masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam
banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam
melakukan diferensiasi antara utopia-utopia yang muncul di masa lalai dan
mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang dieksploitir, penguasa
yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada gerakan-gerakan
kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir,
sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan
tidak terwujud kecuali pada masa-masa belakangan dari perkembangan
masyarakat Islam.240
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa
konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran, antara lain
paham teokrasi, paham sekuler dan paham komunis.
1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi
Menurut paham ini, negara menyatu dengan agama karena
pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan aturan-aturan
atau firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan
negara dilakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler

239
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara
240
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad
Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88

251
Menurut paham ini, norma hukum ditentukan atas kesepakatan
manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan meskipun
mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dan negara menurut paham komunisme
Menurut paham ini, kehidupan manusia adalah dunia manusia itu
sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan
agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama
merupakan keluhan makhluk tertindas
Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan negara dan
sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para
ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan sistem
kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam
memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk
bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam
tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Ketegangan perdebatan
tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak
canggung antara Islam sebagai agama dan negara.
4. Hubungan Agama Dan NegaraMenurut Islam
Tentang hubungan agama dan negara dalam islam adalah agama
yang paripurna yangmencakup segalagalanya termasuk masalah negara
oleh karena itu agama tidak dapatdipisahkan dari negara dan urusan negara
adalah urusan agama serta sebaliknya aliran keduamengatakan bahwa
islam tidak ada hubungannya dengan negara karena islam
tidak mengaturkehidupan bernegara atau pemerintahan menurut aliran ini
Nabi Muhammad tidakmempunyai misi untuk mendirikan negara.Aliran
ketiga berpendapat bahwa islam tidak mencakup segala-
galanya tapimencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang
kehidupan bermasyarakat termasukbernegara.
5. Hubungan Negara dan Agama Menurut Konstitusi Indonesia
Persoalan relasi antara negara dan agama juga ada di dalam
kehidupan bernegara diIndonesia. Relasi negara dan agama di Indonesia
selalu mengalami pasang surut karena relasiantar keduanya tidak berdiri
sendiri melainkan dipengaruhi oleh persoalan-persoalan lainseperti politik,
ekonomi, dan budaya.Pembahasan mengenai relasi negara dan agama yang
akan berlaku di Indonesia sudahdimulai oleh para pendiri bangsa.
Menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokohpendiri negara dari

252
kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan
tentangdasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan
kemudian.The FoundingFathers kita menyadari betapa sulitnya
merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yangterdiri atas beraneka
ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada di Indonesia
ini.Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang
BPUPKI pertama, yang padasaat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin
pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo padatanggal 31 Mei, dan Soekarno
pada tanggal 1 Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dariketiga tokoh
pendiri negara tersebut, persoalan dasar filsafat negara (Pancasila)
menjadipusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam.
Pada awalnya golonganIslam menghendaki negara berdasarkan Syari‟at
Islam, namun golongan nasionalis tidaksetuju dengan usulan tersebut.
Kemudian terjadilah suatu kesepakatan dengan ditandatanganinya Piagam
Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUDNegara
Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945.
Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan yang dikumandangkan
pada tanggal 17Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat,
namun semua itu tidak akan pernah terwujud jika Tuhan Yang Maha
Kuasa tidak menghendakinya. Jadi sejak negara Indonesialahir, didasari
oleh nilai-nilai Ketuhanan. Dalam Pembukaan UUD 1945 alenia ke-
empatdinyatakan secara tegas bahwa: ”Kemerdekaan Indonesia adalah
berkat Rahmat Allah YangMaha Kuasa”. Selain itu, dalam batang tubuh
UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) diperkuat lagi pengakuan negara atas
kekuatanTuhan yang menyatakan bahwa “Negara berdasakan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari
keutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI). Menurut Adi
Sulistiyono,agama diperlakukan sebagai salah satu pembentuk cita negara
(staasidee).241

241
Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan Paradigma Moral, Penerbit
Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS
(UNS Press), Surakarta, 2008 : 3

253
Namun hal itu bukan berarti bahwa Indonesia merupakan negara
teokrasi. Relasi yangterjalin antara negara Indonesia dan agama ialah relasi
yang bersifat simbiosis-mutualistis dimana yang satu dan yang lain saling
memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan“kerohanian yang dalam”
sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Indonesia bukan negara agama melainkan negara hukum. Hukum
menjadi panglima,dan kekuasaan tertinggi di atas hukum. Artinya bahwa
Undang-Undang dibuat oleh lembagalegislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis,agama, jenis
kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak dibuat oleh
kelompokagama. Jadi agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga
sebaliknya negara tidaksemestinya mengatur kehidupan beragama
seseorang.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas
dasarchecks andbalances(saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam
konteks ini, kecenderungan negarauntuk hegemonik sehingga mudah
terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya,harus dikontrol
dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang
mengutamakanmenebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta
dengan menjunjung tinggi HakAsasi Manusia. Sementara di sisi lain,
terbukanya kemungkinan agama-agamadisalahgunakan sebagai sumber
dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harusdikontrol dan
diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan
yangdemokratis yang dijamin dan dilindungi negara.
Jadi, baik secara historis maupun secara yuridis, negara Indonesia
dalam hal relasinyadengan agama menggunakan paradigma pancasila.
Mahfud M.D. menyebut pancasilamerupakan suatu konsep prismatik.
Prismatik adalah suatu konsep yang mengambil segi-segiyang baik dari
dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagai
konseptersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengan kenyataan
masyarakat Indonesia dalam setiap perkembangannya. Negara Indonesia
bukan negara agama karena negara agama hanyamendasarkan diri pada
satu agama saja, tetapi negara pancasila juga bukan negara sekulerkarena
negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Negara
pancasilaadalah sebuah religions nation state yakni sebuah negara
kebangsaan yang religius yangmelindungi dan memfasilitasi

254
perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyatnyatanpa pembedaan
besarnya dan jumlah pemeluk. Oleh karena itu, Indonesia merupakan
sebuah bangsa yang nasionalis-religius atau negara yang religus-
nasionalis.

10.2.3 NKRI DALAM PANDANGAN ULAMA’ NUSANTARA


Perdebatan terkait pola pemerintahan menurut Islam semenjak
dulu memang tidak kunjung usai.Sama kompleksnya dengan perbincangan
tentang hubungan antara negara dengan agama yang tak pernah
homogen.242Dalam sejarah, peta politik dan pola pemerintahan dunia Islam
mengalami perubahan yang signifikan paska kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw. Konon, sistem pemerintahan yang demokratis dengan
jalan syura ini, telah berubah menjadi kepemimpinan dinasti setelah
berakhirnya masa al-khulafa’ al-Rasyidun,meskipun konsep pemerintahan
saat itu belum terpengaruh konsep nasional seperti sekarang. Fenomena
sejarah peralihan kepemimpinan Islam ini bukan
saja memunculkan kekayaan ijtihad umat Islam dalam
menelisik landasan intelektual peran negara dan pemerintahan secara
Islami, namun juga memicu keberagaman paradigma hubungan dimensi
Islam dengan pemerintahan.Peolemik terkait pemerintahan dalam Islam
akhirnya lebih nampak sebagai persoalan ijtihadiyah. Terkadang,
ijtihad tersebut dominan bersifat spekulatif rasional, atau bahkan
kental dengan bumbu hajat penguasa tertentu dalam mempertahankan
tatanan politik tertentu pula.243Celakanya, serpihan polemik ini jika
dipungut satu-persatu dapat berujung pada terdorongnya umat Islam pada
kebingungan pijakan atau kegagapan logika terhadap pergumulan isu
pemerintahan dengan Islam.
Nasionalisme Islam Indonesia bermakna luas, tidak bersifat
sektarian. Nasionalisme Islam Indonesia dilandaskan pada asas
kebhinekaan. Karenanya, umat Islam yang berpandangan luas tentunya

242
Rijal Mumazziq Zionis, “Relasi Agama dan Negara Perspektif KH. A. Wahid Hasyim
dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam 5, no. 2 (2015): 111-112
243
Sahri, “Konsep Negara Dan Pemerintahan Dalam Perspektif Fikih Siyazah Al-
Gazzali,” 520–21

255
akan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar negara. Hal demikian ini
tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dapat dikatakan
sejalan dengan misi Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam
sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam al-Qur’an Surat al-
Anbiyaa’ 107 sebagai berikut:

        


  

“Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus kecuali agar menjadi
rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiyaa’ (21): 107).
Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang
hidup di tanah air. Namun, sebagai sebuah kesepakatan, seluhur apapun,
tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukkan dalam status yang jelas.
Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai
ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga
negara republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat
mendasar yang tertuang dalam kelima silanya yang terdapat dalam
pembukaan UUD 45.

“…Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar


kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”244

Pandangan hidup dan sikap warga negara secara keseluruhan


haruslah bertumpu pada pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya masing-
masing sila. Sedangkan sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus
sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-
undang dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan
kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara

244
Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila, Inti Idayu Press-Jakarta 1984. hlm. 94

256
lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini.
Tata pikir seluruh bangsa ditentukan lingkupnya oleh sebuah falsafah yang
harus terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara,
agar kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga
dengan baik.245
Nasionalisme yang tumbuh dari kalangan umat Islam terbentuk atas
dorongan nilai islam yang menekankan kecintaan kepada negara yang
dianggap sebagai bagian dari keimanan (Hubbul wathan min al-iman).
Pada umumnya nasionalisme sebagai paham yang terkait dengan konsep
negara bangsa (nation-state) menguat di negara muslim pada abad ke-20
yang kemudian mengantarkannya kepada kemerdekaan dari penjajahan.
Akan tetapi dalam banyak kasus, nasionalisme yang berkembang di dunia
muslim bukan lagi nasionalisme relegius tapi lebih pada nasionalisme
sekuler.
Di Indonesia, nasionalisme Islam melahirkan Pancasila sebagai
ideologi negara. Digantinya sila pertama Piagam Jakarta “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sidang PPKI 18
Agustus 1945 merupakan bagian terpenting dari kesadaran nasionalisme
umat Islam secara kolektif. Tidak ada unsur paksaan, melainkan sebuah
sikap patriotisme guna untuk merekatkan semua elemen agama yang ada
di Indonesia. Maka dengan kesadaran tersebut para cendekiawan merevisi
sila pertama dengan harapan bisa membuat keutuhan bangsa Indonesia.
Mayoritas umat Islam Indonesia menilai tidak ada pertentangan
antara Islam dan Pancasila. Namun demikian, tidak sedikit pula yang
beranggapan bahwa Islam dan pancasila tidak dapat berdampingan sebagai
ideologi dan keyakinan. Sebagian kelompok muslim yang coba
mempertentangkan antara Pancasila dengan islam kiranya termasuk
muslim yang tak mampu memahami ajaran pancasila secara utuh (kaffah).
Bukankah sila-sila yang terangkum dalam Pancasila merupakan bagian
dari ajaran-ajaran Islam, mulai dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
keadilan, dan persaudaraan universal? Pancasila adalah falsafah negara

245
Abdurrahman Wahid, Pancasila sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,BP-7 Pusat, 1992, Jakarta. Hlm. 163.

257
Indonesia yang mencerminkan kondisi bangsa kita sangat plural, baik dari
segi agama, suku, budaya, dan sebagainya.
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa antara Islam dan
nasionalisme bukan sesuatu yang bertentangan. Nilai-nilai nasionalisme
ada dalam ajaran Islam. Nasionalisme Islam tidak sebatas dilandasi oleh
tanggung jawab sosial berbasis pada geografis dan etnis, melainkan lebih
didasari pada keimananan dan kecintaan kepada sesama umat manusia.
Terkait dengan bentuk negara Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa
menegakkan negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis, dan sesuai
dengan pandangan klasik dari al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya.
Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat agama dan manfaat
dunia tergantung kepada para pemimpin, tidak perduli apakah Negara
tersebut merupakan salah satu asas agama atau bukan. Ia tidak tertarik
dengan institusi imamah (teokratis); ia hanya menginginkan supremasi
agama. Baginya bentuk dan struktur pemerintahan tidak penting atau
paling-paling merupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting
adalah pelaksanaan syari’ah. 246 Secara teologis, bagi kaum muslimin, Islam
sebagai agama dipandang sebagai sebuah perangkat sistem kehidupan yang
komplek dan mumpuni dan diyakini merupakan mekanisme yang ampuh
dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi, karena
sifat sakralitasnya yang kuat disebabkan ia berasal dari Tuhan, dan
sempurna disebabkan karena ia merupakan risalah penutup bagi umat
manusia. Universalitas Islam di atas akan berubah bentuknya ketika Islam
sebagai agama dilihat dari sudut pandang sosiologis. Ada dua keadaan
ketika pemaknaan terhadap Islam dilakukan, sehingga meniscayakannya
turun pada tataran-tataran partikular dalam kehidupan seorang muslim.
Pertama, perubahan zaman yang selalu ditandai dengan hal-hal yang belum
terpikirkan sebelumnya. Kedua, perbedaan karakteristik tempat dimana
Islam itu tumbuh. Kedua keadaan ini mutlak berimplikasi langsung pada
tatanan sosial masing-masing masyarakat. Dapatlah dipahami bahwa
penegakan atau penerapan syari’ah secara struktural tidaklah penting,
namun yang lebih penting adalah substansi penerapan syari’ah itu di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.

246
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, Pen: Anas Mahyuddin, Cet II,
Pustaka, Bandung, 1995, Hlm.63-64

258
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, 1992,Pancasila sebagai Ideologi: Dalam Berbagai


Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,BP-7 Pusat,
Jakarta
Adi Sulistiyono, 2008,Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan
Paradigma Moral, Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan
(LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press),
Surakarta
A.P .Cowie, 1990, Oxford Leaner’s Dictionary , Oxford: Oxford
University Press Deliar Noer, 1965,Pengantar ke Pemikiran Politik,
Medan : Dwipa,
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1995 cet. Ke-8
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989, Jakarta : Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah al-Qur’an.
Deliar Noer,1965,Pengantar ke Pemikiran Politik, Medan : Dwipa, cet.I.
Husein Muhammad,2000, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan
Politik, dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan
Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS,)
J Suyuthi Pulungan, 2002, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-5
Lembaga Soekarno-Hatta,1984,Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945 dan Pancasila, Inti Idayu Press-Jakarta
Qamaruddin Khan, 1995,Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, Pen: Anas
Mahyuddin, Cet II, Pustaka, Bandung
Rijal Mumazziq Zionis,2015, “Relasi Agama dan Negara Perspektif KH.
A. Wahid Hasyim dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang,” al-
Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 5, no. 2

260
Wojo Wasito dan Poerwadaminta,1980, Kamus Lengkap (Inggris- Indonesia/Indonesia
Inggris), Bandung : HASTA,
Muhammad, Sawir, 20016, “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara,” JIAP:
Journal of Administration Science and Governmental Science 1, no. 1

Anda mungkin juga menyukai