Anda di halaman 1dari 28

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK

2020/2021
MATA UJIAN : METODE PENELITIAN HUKUM
“JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2020/2021”

NAMA LENGKAP : SHEILA RIESTA DWIANANDA


NRP : 120118028
NO. URUT 29
KP. B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
JUNI 2021

i
JAWAB :

1) SOAL IBU Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum.

“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Tindak Pidana Pencemaran Nama


Baik Melalui Media Sosial Atas Klinik Kecantikan Ditinjau Dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”

A. Latar Belakang

Arus globalisasi yang terjadi pada saat ini bergerak sangat cepat yang
dialami oleh negara-negara maju maupun terhadap negara-negara berkembang.
Dampak yang diberikan oleh globalisasi yaitu semakin membuat terikat suatu
bangsa maupun negara satu sama lain dalam bidang ekonomi, teknologi, dan juga
politik. Globalisasi yang terjadi dalam bidang teknologi dan informasi telah
mempersempit wilayah dunia dan memperpendek jarak komunikasi dengan
memperpadat mobilisasi orang dan barang. Globalisasi memberikan dua akibat
yaitu melahirkan “dunia tanpa batas”, menimbulkan keunggulan kompetitif yang
dimana mempengaruhi faktor-faktor lintas benua seperti teknologi, pendidikan,
manajemen disamping modal semakin menampilkan perannya. Dalam sisi yang
lain, globalisasi membangkitkan reaksi balik seperti nasionalisme, gerakan
kebangkitan kesukuan, atau kedaerahan karena interaksi dengan budaya global
memberi dampak budaya secara luas dengan akibat untung rugi.

Pertumbuhan teknologi yang sangat ekstrim telah dirasakan seluruh


negara, khususnya dalam bidang media. Dihadapkan dalam situasi yang serba
cepat namun lebih ringkas dan mudah dari media sebelumnya. Kemajuan
teknologi informasi, media elektronika dan globalisasi terjadi hampir disemua
bidang kehidupan. Ditandai dengan munculnya internet dapat dioperasikan
dengan menggunakan media elektronik seperti Komputer, Handphone, dan
sebagainya. Media elektronik merupakan salah satu penyebab munculnya
perubahan sosial pada masyarakat, mengubah perilakunya dalam berinteraksi
dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebagian lain dari sisi kehidupan
manusia sehingga muncul adanya norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya.
Jenis – jenis media sosial yang ada adalah seperti facebook, twitter, Instagram,
dan lain - lain.
Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin pesat tidak hanya
menimbulkan suatu kebutuhan terkait sandang, pangan, dan papan, namun juga
melahirkan kebutuhan lain berupa kebutuhan penampilan. Tanpa disadari,
kebutuhan untuk tampil menarik dan cantik sudah menjalar menjadi suatu
kebutuhan yang penting bagi masyarakat, khususnya bagi wanita. Banyaknya
publikasi melalui media cetak dan media eletronik yang menggunakan dan
menampilkan sosok wanita cantik yang berkulit putih, berbadan langsing,
berwajah tirus, halus, dan mulus menjadi suatu sugesti tersendiri bagi mayoritas
wanita untuk memiliki wajah dan penampilan yang menarik. Adanya keinginan
wanita menjadi cantik sekaligus menarik dengan cepat dan instant menimbulkan
perkembangan tersendiri bagi industri kecantikan. Berbagai macam jasa
dibidang kesehatan kecantikanpun menjadi merambah, setelah salon kecantikan.
Saat ini perkembangan klinik kecantikan berkembang semakin pesat.

Di kota Surabaya-pun, banyak bermunculan klinik-klinik skin care yang


siap memberikan jasa dan pelayanan bagi konsumen untuk mempercantik diri
dan memanjakan konsumen dengan menawarkan treatment yang berkualitas
dan bermanfaat bagi kulit konsumen. Namun pada kenyataanya, dibalik tumbuh
pesatnya klinik kecantikan terdapat beberapa sisi negatif, diantaranya banyak
konsumen yang ternyata tidak cocok dengan jasa dan produk kecantikan yang
ditawarkan oleh klinik kecantikan. Hal ini tentunya menjadi suatu kerugian bagi
konsumen pengguna klinik kecantikan. Kerugian yang dialami konsumen
biasanya timbul karena kurangnya informasi yang diberikan terkait keadaannya
serta efek samping dari tindakan yang dilakukan.Banyak kasus merugikan yang
dialami oleh konsumen klinik kecantikan, seperti timbulnya iritasi pada wajah
setelah menggunakan produk dari klinik kecantikan, iritasi dapat berupa
timbulnya rasa perih dan memerah pada wajah konsumen. Tidak hanya itu,
beberapa konsumen klinik kecantikanpun pernah merasa keberatan manakala
saat dilakukan pelayanan perawatan terdapat tindakan dokter yang kurang
memuaskan. Sehingga menimbulkan rasa sakit dan ketidakpuasaan terhadap
konsumen, hal seperti ini dapat terjadi manakala terdapat kondisi pasien yang
berbeda-beda maupun karena kelalaian dari pihak klinik kecantikan. Tidak heran
jika banyak konsumen yang justru mengeluhkan produk dan/atau jasa yang
diberikan oleh sebuah klinik kecantikan.
Terdapat 2 (dua) macam perlindungan hukum di Indonesia, yaitu
perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif
adalah perlindungan hukum yang biasanya tertuang dalam peraturan
perundangundangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran, seperti adanya
aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
konsumen dan pelaku usaha. Perlindungan hukum represif adalah perlindungan
hukum akhir berupa sanksi akibat terjadinya pelanggaran atau sengketa, seperti
kewajiban untuk melaksanakan ganti rugi bagi pihak yang merugikan. Hal ini
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, bahwa setiap golongan konsumen yang melakukan perawatan di
klinik kecantikan memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum apabila
terdapat akibat-akibat dari proses perawatan yang merugikan dirinya.
Perlindungan hukum tersebut lahir dari suatu hubungan hukum yang mengikat
antara klinik kecantikan dengan konsumen, dimana hubungan hukum terjadi
sejak konsumen datang ke klinik kecantikan dan mendapat penjelasan dari
dokter terkait keadaannya serta bagaimana penanganan dan efek-efek
selanjutnya.
Dengan demikian berkaitan dengan kasus tindak pidana pencemaran
nama baik melalui media sosial, konsumen mengunggah tangkapan layar
percakapan dirinya dengan seorang dokter kulit di Instastory Instagram.
Percakapan itu berisi curahan hati Stella yang merupakan konsumen di klinik
kecantikan tersebut tentang kondisi kulitnya usai melakukan perawatan di
sebuah klinik kecantikan ternama. Dalam tangkapan layar tersebut, Stella
direkomendasikan untuk menggunakan sebuah produk oleh seorang dokter
yang mengkhawatirkan kondisi kulitnya. Namun, teman-temannya menanggapi
unggahannya dengan mengkritik klinik kecantikan tersebut. Mereka
berpendapat dan menceritakan pengalaman mereka di klinik tersebut. Komentar
teman-temannya yang bernada negatif terhadap klinik kecantikan tersebut
diunggah Stella di Instagram story. Berselang sebulan, klinik kecantikan di salah
satu wilayah surabaya melalui pengacara mereka menyomasi Stella. Lalu pada
21 Januari 2020, Stella menerima surat somasi dari pengacara klinik kecantikan
itu. Isinya, Stella dianggap telah mencemarkan nama baik klinik dan harus
memenuhi permintaan somasi dari mereka, yakni dengan menerbitkan
permintaan maaf di media massa koran minimal setengah halaman untuk tiga
kali penerbitan berbeda hari. Namun, pihak pelapor meminta video tersebut
untuk dihapus.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dari penelitian ini adalah :

1. Apakah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen tersebut telah menjamin perlindungan terhadap hak-hak konsumen
apabila terjadi kerugian pada dirinya?
JAWAB :

2.) SOAL BAPAK Marianus Y. Gaharpung, S.H., M.S.


"Pertanggungjawaban Pelaku Terhadap Penari Striptis Mengenai Tindak
Pidana Perdagangan Orang ditinjau dari Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)"
(Studi Kasus Nomor 322 /Pid.Sus/2020/PN Mtr)

Untuk Memenuhi Prasyarat Lulus Ujian Metode Penelitian Hukum

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan Penelitian yang berjudul
“Pertanggungjawaban Pelaku Terhadap Penari Striptis Mengenai Tindak Pidana
Perdagangan Orang ditinjau dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)” tepat pada waktunya.
Adapun maksud dan tujuan penyusunan Penelitian ini ialah menyelesaikan Ujian Akhir
Semester Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada Bapak Marianus Yohanes Gaharpung, S.H., M.S. yang telah memberikan tugas ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan belum dikatakan sempurna.


Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan dalam penulisan penelitian ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih,
semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pihak yang merasa
berkepentingan.

Surabaya, 18 Mei 2021

Sheila Riesta Dwiananda


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Definisi Perdagangan Orang menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terdapat dalam
Pasal 1 butir 1, yang menyebutkan bahwa “Perdagangan Orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi”. Perdagangan Orang ini termasuk kedalam Tindak
Pidana Kejahatan yang dapat merusak nilai dan moral bangsa negara Indonesia.

Dalam negara bermasyarakat kita faktanya sering terungkap kasus yang berkaitan
dengan adanya TPPO, bahkan masih sering kita jumpai bahwa adanya eksploitasi
terhadap perempuan yang menjadikannya sebagai bahan pemuas nafsu para laki-laki.
Hal itu tampak jelas dalam industri-industri hiburan kelas bawah seperti club malam
yang menyediakan penari striptis yang mengarah kepada budaya populer dari seks
positiv (Chaterin, 2007:8). Selain itu hiburan karaoke yang merupakan suatu unit usaha
yang dapat berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.91/HK.501/MKP/2010 Tentang Tanda Pendaftaran Usaha Penyelenggaraan
Kegiatan Hiburan dan Rekreasi. Hiburan karaoke ini juga didalamnya terdapat orang
pemandu karaoke serta ia melakukan layanan khusus yaitu penari striptis dengan
membayarkan sejumlah uang terlebih dahulu.

Penari striptis adalah sebutan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial,


diantaranya sebutan-sebutan lain, sebagai pelacur, pekerja seks komersil (PSK), wanita
penghibur, kupu-kupu malam dan sebagainya. Selama ini masalah sosial tersebut tidak
kunjung dapat diatasi atau paling tidak dikurangi. Seiring dengan kemiskinan dan tidak
meratanya kesejahteraan secara ekonomi maupun sosial, jumlah penari striptis tidak
kunjung surut malah semakin merebak. Mengingat menariknya tarian striptis banyak
pria sekarang sering mengundang para penari striptis untuk menghibur mereka baik
dalam bentuk hiburan tarian striptis ataupun dalam bentuk layanan seks. Meskipun
banyak yang berkata penari striptis terdapat “managernya”, bahkan merupakan
jaringan sindikat “human trafficking”. Para penari striptis umumnya bekerja dibawah
pengawasan mucikari atau germonya. Mereka bekerja berdasarkan private party yang
telah ditentukan oleh mucikari atau germo penari striptis tersebut. Dalam hal ini
adanya eksploitasi perempuan yang dilakukan oleh mucikari atau germo, dimana
mucikari atau germo tersebut menjual penari striptis kepada pengunjung private party
diskotik dan mucikari atau germo tersebut mendapatkan bagian atau fee dari penjualan
jasa tarian penari striptis dan ekstra seks tersebut.

Sehingga peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam


dengan tujuan untuk melindungi agar tidak terjadi Tindak Pidana Perdagangan Orang
tersebut, karena seiring berjalannya waktu juga tidak berkurangnya Pekerja Seks
Komersial. Jika tindakan tersebut aparat penegak hukum tidak secara tegas untuk
memberikan pidananya maka Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang juga akan
semakin meningkat. Serta meningkatnya eksploitasi yang dilakukan agar menarik
perhatian para penikmatnya. Sehingga hal ini bertentangan dengan adanya Undang-
undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Serta adanya tindakan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Pentingnya dalam mengkaji penelitian ini secara teori ialah hasil dari penelitian ini
dapat menjadi landasan dalam pengembangan penerapan media pembelajaran secara
lebih lanjut. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk
meningkatkan proses belajar sehingga bagi para pendidik bisa meningkatkan peran
serta dalam proses pembelajaran untuk lebih mempengaruhi siswa untuk aktif dan
berpartisipasi lebih baik. Peneliti juga mengkaji secara praktis yang mempunyai peran
penting untuk mampu menerapkan media sesuai dalam materi yang berkaitan dengan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Tindak Pidana Pornografi, serta mempunyai
pengetahuan dan wawasan mengenai materi pembelajaran yang sesuai.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat disimpulkan dalam rumusan
masalah sebagai berikut :

Apakah Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-undang


Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO) efektif terhadap masalah terkait Pelaku yang mengeksploitasi korban Penari
Striptis?

C. Alasan Pemilihan Judul

Alasan pemilihan judul “Pertanggungjawaban Pelaku Terhadap Penari Striptis


Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang ditinjau dari Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)” adalah
karena di Negara Indonesia masih banyak terjadi Tindak Pidana Perdagangan Orang
dan terhadap Pelaku TPPO seringkali penjatuhan pidannya tidaklah berat. Oleh karena
itu dengan adanya penelitian ini penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai
Pertanggungjawaban pelaku terhadap pengeksploitasian korban penari striptis.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan :

1. Tujuan Akademis, yaitu untuk memenuhi salah satu syarat Lulus Ujian Metode
Penelitian Hukum
2. Tujuan Praktis, yaitu untuk mengetahui apakah Pelaku Tindak Pidana Perdagangan
Orang dapat bertanggungjawab terhadap pengeksploitasian korban Penari Striptis

E. Metodologi Penulisan
Penelitian terhadap kasus tersebut adalah menggunakan metode penelitian
Yuridis Normatif. Metode penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian terhadap
suatu fakta hukum dengan menggunakan norma hukum (peraturan per-undang-
undangan/ state approach) dan literature/ konseptual (conceptual approach)
lalu dianalisis, kesimpulan dan saran.
1. Pendekatan undang-undang (status approach) atau pendekatan yuridis yaitu
penelitian terhadap produk-produk hukum. Pendekatan perundang-
undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan perundang-
undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari
adakah konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan
undang-undang yang lain
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan inidilakukan
karena memang belum atau tidak ada aturan hokum untuk masalah yang
dihadapi, pendekatan ini konseptual beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga
melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan
permasalahan yang dihadapi

A.) TIPE PENELITIAN


Yuridis Normatif. Metode penelitian Yuridis Normatif adalah penelitian terhadap
suatu fakta hukum dengan menggunakan norma hukum (peraturan per-undang-
undangan/ state approach) dan literature/ konseptual (conceptual approach)
lalu dianalisis, kesimpulan dan saran.

B.) PENDEKATAN MASALAH


Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan inidilakukan karena
memang belum atau tidak ada aturan hokum untuk masalah yang dihadapi,
pendekatan ini konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian
hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi

C.) BAHAN HUKUM


a. Bahan Hukum Primer Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer
adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai
otoritas. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder juga dapat diartikan sebagai publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Adapun macam
dari bahan hukum sekunder adalah berupa buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan
c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang
merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk atau penjelasan
tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum
tersier yang terdapat dalam penelitian misalnya kamus hukum, kamus besar
bahasa Indonesia.

F. Pertanggungjawaban Sistematika

Didalam penelitian ini terdiri atas empat (4) Bab yang saling berkaitan satu sama
lain, kemudian saya susun dengan suatu sistematika yang diharapkan dapat
memberikan kemudahan bagi pembaca untuk mengikutinya. Dengan segala
kemampuan yang ada saya menyajikan permasalahan yang berkaitan dengan efektivitas
dalam menangani permasalahan terkait dengan penari striptis dan pengawasan usaha
karaoke terkait adanya Penari Striptis di tempat hiburan malam dalam beberapa Bab.

Didalam Bab I pendahuluan dijelaskan mengenai latar belakang gambaran umum


mengenai masalah yang akan dibahas, rumusan masalah berisikan permasalahan yang
akan dibahas, alasan pemilihan judul tersebut, tujuan penelitian menjelaskan hal-hal
apa saja yang akan diperoleh dalam penelitian ini, metodologi penulisan menjelaskan
cara atau langkah penelitian yang akan digunakan peneliti dan pertanggungjawaban
sistematika mempunyai makna untuk memberikan kejelasan mengenai kerangka
penulisan.

Pada Bab II dijelaskan mengenai Kajian teori mengenai Pengertian Tindak Pidana
Perdagangan Orang menurut Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), unsur-unsur Tindak Pidana
Perdagangan Orang hingga menjelaskan mengenai Perlindungan Hukum Terhadap
Women Trafficking.
Bab III menguraikan hasil pembahasan tentang Kronologis kasus dan analisis
hukum mengenai Pertanggungjawaban Pelaku Terhadap Penari Striptis Mengenai
Tindak Pidana Perdagangan Orang yang ditinjau dari Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Undang-
undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Kemudian pada Bab IV mengenai penutup yang didalamnya terdapat kesimpulan


dari masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian serta dilanjutkan dengan
saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Perdagangan Orang


1. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan


orang merupakan suatu tindak pidana kejahatan yang telah diatur didalam ketentuan
peraturan per undang-undangan. Tindak Pidana Perdagangan orang juga merupakan
salah satu bentuk perlakuan buruk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak
pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain.
Misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa
perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak atau
memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi. Dengan segala cara dilakukan
berupa ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang tersebut diatur di dalam Undang-undang


Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa, “Perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi”.

Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lahir sebagai upaya pemerintah
untuk mengantisipasi maraknya perdagangan orang (human trafficking).

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, secara materiil ruang lingkup
tindak pidana perdagangan orang mengandung unsur objektif dan unsur subjektif
sebagai berikut:
1) Unsur objektif, yaitu:

a. Adanya perbuatan TPPO, yaitu:

(1) Perekrutan;

(2) Pengangkutan;

(3) Penampungan;

(4) Pengiriman;

(5) Pemindahan;

(6) Penerimaan.

b. Adanya akibat yang menjadi syarat mutlak (dilarang) yaitu:

(1) Ancaman/penggunaan kekerasan;

(2) Penculikan;

(3) Penyekapan;

(4) Pemalsuan;

(5) Penipuan

(6) Penyalahgunaan kekuasaan;

(7) Posisi rentan.

c. Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan, yaitu:

(1) Penjeratan utang;

(2) Memberi bayaran/manfaat;

(3) Eksploitasi, terdiri dari:

i. Eksploitasi seksual;
ii. Kerja paksa/pelayanan paksa;

iii. Transpalansi organ tubuh.

d. Unsur tambahan:
Dengan atau tanpa persetujuan orang yang memegang kendali.

2) Unsur subjektif yaitu:

a. Kesengajaan:

(1) Sengaja memberikan kesaksian dan keterangan palsu;


(2) Sengaja melakukan penyerangan fisik.

b. Rencana terlebih dahulu:

(1) Mempermudah terjadinya TPPO;

(2) Sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses hukum;

(3) Sengaja membantu pelarian pelaku TPPO;

(4) Sengaja memberitahukan identitas saksi

B. Penari Striptis
1. Pengertian Penari Striptis

Tari telanjang dalam Bahasa Inggris “Striptease” adalah sejenis hiburan erotis di
mana pemainnya, dikenal sebagai “Stripper” atau “Penari telanjang” secara perlahan
membuka baju sambil diiringi musik. Striptease biasanya dilakukan di strip club.
Biasanya penampilan diakhiri setelah pakaian terakhir dilepas. Pakaian yang dikenakan
stripper biasanya memiliki tema tertentu, misalnya anak sekolah, pembantu rumah
tangga, polisi wanita dan lain-lain. Sejarah Striptis sering dipertentangkan. Sebagian
mengatakan striptease berawal dari zaman Babilonia kuno. Pelepasan pakaian tersebut
dilakukan dengan cara yang menggoda dan menggairahkan. Orang yang melakukan
striptis umumnya dikenal sebagai penari telanjang.
Di negara-negara Barat, tempat dimana striptis dilakukan secara reguler disebut
sebagai klub strip. Selain di tempat ini, tari yang menggoda ini juga bisa dilakukan di
beberapa tempat seperti pub (terutama di Inggris), teater dan ruang musik.

Kadang-kadang, seorang penari telanjang dapat dipekerjakan untuk tampil di pesta


lajang. Selain memberikan hiburan dewasa, tarian ini bisa menjadi bentuk permainan
seksual antar pasangan.

2. Striptis Sebagai Korban Tindak Pidana

Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Perdagangan Orang, mendefiniskan korban yaitu “Korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial,
yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang”. Perlindungan terhadap korban
sangat penting karena manusia sebagai makhluk sosial baik perorangan maupun
kelompok dapat menjadi korban. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
secara umum dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti pemberian restitusi dan
kompensasi, konseling, pelayanan/ bantuan medis, bantuan hukum, pemberian
informasi

Bila dilihat dalam perkembangannya, dimana perdagangan orang telah meluas


dalam bentuk jaringan kejahatan terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Baik
bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap
masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang
dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pada tingkat dunia perdagangan
perempuan dan anak terkait erat dengan kriminalitas dan dinyatakan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Karena korban diperlakukan seperti
barang dagangan yang dijual, dibeli, dipindahkan dan dijual kembali. Pengeksploitasian
seksual baik yang dibawah umur atau perempuan dewasa adalah salah satu kasus yang
paling sering terjadi dilingkungan masyarakat luas, anak dan perempuan menjadi
korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab memperkerjakan dan melayani para
pria hidung belang demi mendapatkan keuntungan sebagai mata pencahariannya.
Dalam hal ini terkait dengan para Penari Striptis mereka sering dijadikan objek
kepuasan yang dapat merenggut hak asasi perempuan.
Banyak fenomena-fenomena yang terjadi didalam masyarakat yang berkaitan
dengan marginalisasi perempuan sehingga mengakibatkan terjadinya perilaku
menyimpang berupa kejahatan kesusilaan. Sebagai contoh yaitu pelecehan seksual,
pemerkosaan dengan kekerasan dan diskriminasi pada pekerja seks komersial yang
kebanyakan adalah perempuan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi seorang
perempuan menjadi PSK diantaranya Faktor utama yaitu adanya kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi baik dirinya maupun keluarganya, faktor keterampilan
yang tidak dipunyai oleh seorang perempuan, rendahnya pendidikan yang dimiliki,
serta faktor gaya hidup merupakan faktor pendukung yang tercangkup dalam faktor
ekonomi. Faktor kedua adalah menjadi korban penipuan yang berkedok menawarkan
suatu pekerjaan tetapi namun realitanya dipekerjakan menjadi Pekerja Seks Komersial.
Faktor yang terakhir adalah kekerasan seksual, dimana seseorang pernah menjadi
korban kekerasan seksual atau memiliki pengalaman kekerasan seksual sebelumnya.
Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu
tidak pidana, karena tidak memperoleh perlidungan sebanyak yang diberikan undang-
undang kepada pelaku kejahatan akibatnya sering kali hak-hak korban tidak
dipedulikan atau diabaikan.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Trafficking Perempuan

Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat dijerat dengan Undang-undang


nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pengaturan ketentuan pidana mengenai
tindak pidana Eksploitasi Seksual yang memuat unsur perbuatan tindak pidana dengan
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan, memperlihatkan alat kelamin, mengeksploitasi atau memamerkan
aktivitas seksual menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak
langsung layanan seksual dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (2) Juncto Pasal 30 Undang-
undang nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,


menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, Mengeksploitasi atau
memamerkan aktivitas seksual menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun
tidak langsung layanan seksual alat kelamin atau Pornografi”. Sehingga pelaku yang
dengan menawarkan perempuan ke dalam suatu Pekerja Seksual dengan
mengeksploitasikan melalui jasa seperti penari striptis di sebuah kafe karaoke dapat
dikenakan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi.

Pasal 30 Undang-undang nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi , menyebutkan


bahwa “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliyar
rupiah)”.

Perbuatan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi dilakukan bisa dengan langsung maupun tidak
langsung. Jika langsung biasanya terjadi ditempat hiburan malam atau night club dan
karaoke bebas, apabila tidak langsung biasanya dilakukan menggunakan media
komunikasi online.

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang, juga mengatur Barang siapa melakukan perbuatan yang
mengakibatkan orang tereksploitasi maka dapat dijerat dengan pasal 2 Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang menyebutkan bahwa, “(1) Setiap orang yang melakukan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).”
BAB III PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan


Orang (dalam Putusan Nomor 322 /Pid.Sus/2020/PN Mtr)

Tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hukum khususnya dalam memberantas tindak pidana
perdagangan orang belum terimplementasikan dengan baik. Meningkatnya tindak
pidana perdagangan orang disebabkan oleh kemajuan teknologi dewasa dan faktor
ekonomi yang mendesak. Korban perdagangan orang lebih banyak mengarah kepada
perempuan dan anak. Perempuan menjadi pihak yang tertindas karena situasi dan
tuntutan ekonomi. Hal inilah yang kemudian memaksa para wanita tersebut akhirnya
menjadi seorang pekerja seks (PSK). Pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat
melakukan dengan berbagai cara yaitu ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan sebagainya. Seperti halnya kasus
yang terjadi pada saat ini di Nusa Tenggara Barat, yaitu Dua Penari Striptis di Metzo
Club Lombok pada Tahun 2020.

Kronologis kasus :

Dua penari striptis, yakni Yunita Meriandika alias Natali (35) dan Sri Manista alias Karin
(23) yang bekerja sebagai pemandu lagu karaoke di kafe di Lombok. Dua orang
perempuan tersebut yang membuka paket khusus tarian telanjang bagi konsumennya.
Dan dibalik kasus tersebut ada Pelaku kejahatan yang bernama Dede Ayip alias Papi
Dedeh (43), Dede kemudian menawari tamu kafe karaoke berupa layanan khusus
striptis yang dilakukan Natali dan Karin. Tarif striptis dipatoknya Rp 3 juta untuk tiap
jam.

Analisis hukum :

Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun antara lain orang-orang
dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada
dalam kondisi rentan. Misalnya, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang
berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan
berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius;
anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan; para
pencari kerja (termasukburuh migran); perempuan dan anak jalanan, dan sebagainya.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan tersebut biasanya dengan
rayuan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menculik, menyekap, atau
memperkosa. Modus lain berkedok mencari tenagakerja untuk bisnis entertainment,
kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Anak-anak
dibawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan
barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.

Sehingga dari beberapa faktor-faktor diatas terkait kasus yang menimpa Yunita
Meriandika alias Natali dan Sri Manista alias Karin yang bekerja sebagai pemandu lagu
karaoke di kafe di Lombok telah terdapat putusan, namun putusan tersebut terpisah
antara terdakwa dengan pelaku. Dalam Putusan Nomor 321 /Pid.Sus/2020/PN Mtr
Pengadilan Negeri Mataram yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan
biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan Para Terdakwa yaitu Sri Manista Alias Karin
(SM) dan Yunita Meriandika Berlian T Alias Natalia (YM) telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PORNOGRAFI”, mempertontonkan diri
atau orang lain dalam pertunjukan atau dimuka umum yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau bermuatan pornografi lainnya
sebagaimana dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
Sehingga para Terdakwa dikenakan dalam pasal 36 Jo pasal 10 Undang-undang Nomor
44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Putusan tersebut menyebutkan bahwa adanya indikasi adanya aktifitas porno aksi
(striptis) dan TPPO di tempat hiburan. Namun justru pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Orang pada kasus tersebut dijatuhi pidana dengan Pasal 296 KUHP. Hal ini
tercantum dalam Putusan Nomor 322 /Pid.Sus/2020/PN Mtr. Padahal pelaku dapat
dikenakan pidana dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang menyebutkan bahwa
“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak
pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
Karena, jika dicermati dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan menggunakan kekerasan, ancaman
kekerasan, penculikan, penyekapan dan lain sebagainya untuk tujuan eksploitasi
termasuk ke dalam tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian, cara
melakukan perbuatan tersebut termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana
perdagangan orang.

Alasan saya menjadikan kedudukan Penari Striptis dalam hal ini sebagai korban
tindak pidana perdagangan orang dalam praktek prostitusi disebabkan karena bunyi
pasal tersebut yang menyebutkan untuk “tujuan eksploitasi” dan istilah ”eksploitasi
seksual” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 8 yang berakibat terjadinya
eksploitasi seksual, karena dalam Undang-undang tersebut juga disebutkan salah satu
jenis eksploitasi adalah pelacuran. Hal ini ada dalam penjelasan umum Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Padahal jika dilihat dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 terdapat kata “untuk tujuan”
sebelum kata mengeksploitasi orang tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana
perdagangan orang merupakan delik formil. Dengan demikian, yang harus dipahami
dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup
dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-
undang dan tidak dibutuhkan lagi harus mensyaratkan adanya akibat dieksploitasi atau
tereksploitasi yang timbul.

Seharusnya Hal ini dikarenakan pengetahuan dan pemahaman aparat penegak


hukum tentang human trafficking masih perlu dikaji kembali sehingga kurang progresif
dalam menangani kasus perdagangan manusia. Hal tersebut tentunya mejadi kendala
dalam penanganan kasus human trafficking. Belum terbangun sinergitas lintas institusi
untuk menangani human trafficking dan pengetahuan masyarakat masih rendah
tentang informasi human trafficking. Salah satu masalah penanganan kasus TPPO di
Indonesia adalah data, angka pasti korban tindak pidana perdagangan orang sangat
sulit diketahui. Angka yang disampaikan Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat
yang mengadvokasi isu TPPO sering berbeda. Sehingga data yang akurat susah
dipastikan. Ketidakakuratan data disebabkan sejumlah hal. Tindak Pidana Perdagangan
Orang adalah kejahatan yang skalanya itu internasional dan sangat canggih. Alasan lain,
pelaku menjalankan kegiatan TPPO adalah secara sembunyi-sembunyi sehingga sulit
terdeteksi. Perekrutan dilakukan dari pintu ke pintu sehingga memang susah dilacak.

Maka apabila ditinjau berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang


Pemberantasan Tindak Pedagangan Orang, adapun unsur-unsur yang terkandung
antara lain sebagai berikut :

1. Unsur Setiap Orang Pasal 1 angka 4 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menegaskan bahwa setiap
orang adalah “Orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak
pidana perdagangan orang”. Dalam Putusan Nomor 321 /Pid.Sus/2020/PN Mtr,
dimana Dede Ayip alias Papi Dedeh melakukan tindak pidana dengan
mengeksploitasi atau menjual kembali para ke dua perempuan tersebut kepada
konsumen. Dan pelaku mendapatkan keuntungan karena konsumen harus
mengirimkan uang sebanyak Rp.2,5 juta melalui rekening milik pelaku tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka unsur “setiap orang” telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
2. Unsur menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban
tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana
dengan pidana yang sama. Berdasarkan fakta yang terungkap di depan
persidangan, Terdakwa DEDE AYIP alias PAPI DEDEH pada hari Rabu tanggal 05
Pebruari 2020 sekitar pukul 23.30 Wita atau setidak-tidaknya dalam bulan
Pebruari 2020 bertempat di Metzo Cafe, Jalan Raya Senggigi, Dusun Melase,
Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat atau setidak-tidaknya dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Mataram telah mendanai atau memfasilitasi
perbuatan menyediakan jasa pornografi yang :
a. Menyajikan secara ekspisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan ;
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual atau
d. Menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak
langsung
e. Yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Bahwa terdakwa Dede Ayip alias Papi Dedeh memperkerjakan dua orang
Partner Song bernama Sri Manista Alias Karin dan Yunita Meriandika Berlian T Alias
Natalia (dituntut secara terpisah) untuk melakukan tarian telanjang atau striptease
kepada pelanggan. Pelanggan yang merupakan anggota Polda NTB yang sedang
melakukan penyelidikan, telah sepakat dengan partner song an Sri Manista Alias Karin
untuk melakukan pemesanan tarian telanjang dengan . transfer DP (Down Payment)
pada tanggal 28 Januari 2020 ke rekening terdakwa Dede Ayip.

Pada tanggal 5 Februari 2020 sekitar pukul 21.40 wita Petugas Undercover tiba
di Metzo Club Lombok (CV Caraka) Jl. Raya Sengigi Dusun Melase Desa Batu Layar Barat
Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat dan salah satu petugas melakukan
pembayaran paket room (minuman dan 2 patner song) di kasir sebesar Rp 2.500.000
(dua juta lima ratus ribu rupiah). Saksi Idam Khalid beserta dua orang petugas under
cover tiba di Room I VVIP Billiard disana telah ada 2 partner song Sri Manista Alias
Karin dan Yunita Meriandika Berlian T Alias Natalia. Dan setelah beberapa saat minum,
makan dan karaoke bersama, lalu dua orang patner song mulai melakukan aksi tari
striptisnya dengan membuka baju, celana dalam dan BHnya sampai telanjang bulat
sambil berjoget dan bernyanyi di depan para tamu yang merupakan tim undercover
dari Dit Reskrimum Polda NTB.

Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka unsur ini telah terbukti secara
sah meyakinkan menurut hukum. Sehingga seharusnya Hakim dapat menimbang dan
mengadili perkara terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang ini dengan
menggunakan pasal 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berdasarkan tindak pidana yang dilakukan
serta fakta yang terungkap tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana yang dilakukan
oleh Terdakwa Dede Ayip alias Papi Dedeh telah memenuhi unsur “yang menggunakan
atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan
orang, memperkerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan
praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan
orang”, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Serta terhadap Pelaku yaitu Dede Ayip alias Papi Dedeh dapat dikenakan dalam
Pasal 35 Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang
menyebutkan bahwa “Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”. Karena terhadap
terdakwa Papi Dedeh memberikan layanan terhadap konsumen berupa Tarian Striptis
yang dilakukan oleh Karin dan juga Natalia di hiburan malam dengan cara menjadikan
Korban melakukan perbuatan yang mengandung unsur pornografi.

Dengan demikian Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana


Perdagangan Orang dalam Putusan Nomor 322 /Pid.Sus/2020/PN Mtr, telah efektif
apabila menggunakan peraturan per Undang-undangan yaitu dengan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dan membuat para pelaku
Tindak Pidana Perdagangan Orang menimbulkan efek jera.
BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa:

Kejahatan Trafficking sering kali bermula dari kasus-kasus yang sederhana, seolah-olah
legal, dan terkesan manusiawi. Misalnya dengan cara menawarkan orang bekerja,
mengajak untuk memperbaiki nasib, membantu agar dapat mencapai kesempatan kerja
dan sebagainya. Tindak Pidana Perdagangan Orang identik dengan perdagangan
manusia bisa terjadi di dalam negeri atau dilakukan lewat antara negara, dimana
perbuatan tersebut secara hukum di larang. Karena manusia bukanlah objek hukum,
melainkan sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum tentunya manusia mempunyai
suatu hak dan kewajiban. Hak tersebut adalah Hak asasi Manusia, sedangkan kewajiban
adalah keharusan yang harus ia lakukan di dalam suatu negara. Aplikasi Penegakan
hukum kurang optimal terhadap kejahatan Perdagangan orang dalam Putusan Nomor
322 /Pid.Sus/2020/PN Mtr karena pelaku dalam hal Tindak Pidana Perdagangan Orang
ini menggunakan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimana pada sanksi
pidana yang diberikan ialah 9 (Sembilan) bulan dengan menetapkan masa penahanan
yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
kepadanya. Hal ini para korban Tindak Pidana Perdagangan orang tidak akan mendapat
perlindungan yang adil apabila sanksi yang diberikan terhadap pelaku lebih rendah
daripada si korban. Maka seharusnya Hakim harus dapat berperilaku adil dengan
melihat dan mempertimbangkan semua fakta hukum yang ada, yaitu pelaku dapat
dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan dapat
dikenakan juga dalam Pasal 35 Jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi. Sehingga dalam hal ini akan menimbulkan efek jera terhadap pelaku
Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. SARAN

Diharapkan pertanggung jawaban hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan


Orang dapat memberikan efek jera agar tidak ada perbuatan yang melanggar Hak Asasi
Manusia dimasa yang akan datang dan juga tidak pula menghancurkan masa depan
bangsa Indonesia.
Diharapkan perlindungan hukum terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Penegak Hukum diharapkan mampu memberikan keadilan bagi setiap korban tindak
pidana kejahatan agar pelaku dapat dijatuhkan sanksi pidana seadil-adilnya tidak
memandang bulu, ras, agama dan kedudukan kekuasaan.

Serta kepada masyarakat hendaknya meningkatkan kesadarannya akan dampak negatif


dari tindak perdagangan orang dan ikut berperan aktif dalam memberantas praktek
trafficking sehingga tujuan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dapat
tercapai dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

EKSPLOITASI SEKSUAL SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN KESUSILAAN DALAM


PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN ; Fredi Yuniantoro ;
file:///C:/Users/VivoBook/Downloads/1227-5021-1-PB.pdf

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERMODUS


PENEMPATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA DI LUAR NEGERI ;
http://repository.unpas.ac.id/34498/1/BAB%20II.pdf

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ; NURUL


FAHMY. ANDY LANGGAI ; MAKASSAR, 2017 ;
https://core.ac.uk/download/pdf/89563454.pdf

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) KHUSUSNYA


TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK : SUATU PERMASALAHAN DAN
PENANGANANNYA DI KOTA SEMARANG ; Cahya Wulandari; Sonny Saptoajie
Wicaksono ; file:///C:/Users/VivoBook/Downloads/29272-70740-1-PB%20(2).pdf

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN ;


Dadang Abdullah ; https://media.neliti.com/media/publications/267374-none-
b8ff9082.pdf

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Anda mungkin juga menyukai