Anda di halaman 1dari 9

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK

2020/2021
MATA UJIAN : HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
“JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2020/2021

NAMA LENGKAP : SHEILA RIESTA DWIANANDA


NRP : 120118028
KP B
NO. URUT 14

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
JUNI 2021
JAWAB :

1. Hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam hal pembubaran Partai Politik ini diatur
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
ditujukan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara
yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi serta hukum acara yang berlaku
khusus untuk setiap wewenang yang dijalankan. Oleh karena itu Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Hukum
Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Hukum Acara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara, Hukum Acara Pembubaran Partai Politik, dan lain sebagainya.
Dalam hal pembubaran partai politik, pada umumnya mempunyai tujuan yaitu untuk
melindungi demokrasi, konstitusi, kedaulatan negara, keamanan nasional, dan
ideologi negara. Perlindungan terhadap demokrasi, dimaksudkan agar tatanan
demokrasi yang sedang berjalan tidak menjadi kacau. Perlindungan tersebut
diwujudkan dalam bentuk larangan program dan kegiatan partai politik yang hendak
menghancurkan tatanan demokrasi, maupun dalam bentuk organisasi. Suatu partai
politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan yang memiliki
kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan dari pengurus
pusat partai yang bersangkutan. Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan
terlebih dahulu yang terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik
yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik. Namun, dengan adanya
Perubahan UUD 1945 disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, pembubaran
partai politik menjadi bagian dari wewenang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”. Jika dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945, wewenang
memutus pembubaran partai politik pada dasarnya ditujukan terkait dengan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Didalam penjelasan umum Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 24C
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik, dan pemilihan umum juga berkaitan
erat dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, masalah pembubaran
partai politik juga dipandang menyangkut masalah konstitusi sehingga menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi.

2.
A. Mekanisme pengajuan permohonan pemohon dalam perselisihan hasil
pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Permohonan diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak Pengumuman Keputusan tentang hasil rekapitulasi
penghitungan suara Pemilihan. Permohonan yang diajukan harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 4
(empat) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukum;
2. Permohonan memuat paling kurang :
a. Nama dan alamat pemohon dan/atau kuasa hukum, nomor telepon
(rumah, kantor, seluler) nomor faksimili, dan/atau surat elektronik
(email),
b. Uraian permohonan yang jelas mengenai :
1) Kewenangan Mahkamah, memuat penjelasan mengenai
kewenangan Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilihan;
2) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, memuat
penjelasan sebagai pasangan calon atau Pemantau Pemilihan
dan mengenai ketentuan ambang batas pengajuan permohonan
3) Tenggang waktu pengajuan permohonan, memuat penjelasan
mengenai waktu pengajuan permohonan;
4) Pokok permohonan, yang berisi tentang kesalahan hasil
perhitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan hasil
perhitungan suara yang benar menurut Pemohon.
5) Permintaan (petitum), untuk membatalkan hasil perhitungan
suara yang ditetapkan oleh Termohon dan menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar menurut Pemohon
3. Permohonan Pemohon disertai dengan Keputusan Termohon tentang hasil
rekapitulasi penghitungan suara dan dilengkapi paling kurang 2 (dua)
alat/dokumen bukti.
4. Alat bukti surat/tulisan sebanyak 4 rangkap :
a. 1 (satu) rangkap dibubuhi materai sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan
b. 3 (tiga) rangkap lainnya merupakan penggandaan dari alat bukti
5. Permohonan pemohon dan daftar alat bukti dituangkan dalam bentuk
dokumen digital (softcopy) dengan aplikasi word (.doc) yang disimpan
dalam 2 (dua) unit penyimpanan data

Permohonan yang diajukan harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana


telah diuraikan diatas. Dalam hal pemohon telah mengajukan permohonan
kepada Mahkamah, untuk itu panitera melakukan pencatatan permohonan
Pemohon dalam BP2K. Dalam hal permohonan Pemohon telah dicatat dalam
BP2K, Panitera menerbitkan AP3. Kemudian, kepaniteraan menyampaikan
AP3 kepada pemohon atau kuasa hukumnya. Dalam hal permohonan pemohon
telah dicatat dalam BP2K, kepaniteraan dapat melakukan pemeriksaan
kelengkapan permohonan pemohon. Hal ini tercantum dalam Pasal 10 PMK
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Apabila dalam hal
permohonan pemohon telah lengkap maka panitera dapat menerbitkan Akta
Permohonan Lengkap (APL). Lalu panitera akan menyampaikan APL kepada
Pemohon atau kuasa hukumnya. Jika permohonan pemohon belum lengkap,
panitera menerbitkan APBL. Apabila permohonan itu belum lengkap, maka
pemohon atau kuasa hukumnya dapat melengkapi permohonan dalam jangka
waktu paling lambat 3x24 jam sejak diterimanya APBL. Dalam hal
permohonan itu telah lengkap, dalam hal ini adalah Akta Permohonan
Lengkap (APL) maka Panitera dapat

mencatat Permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi


(BRPK). Dalam hal permohonan pemohon telah dicatat dalam BRPK, panitera
menerbitkan ARPK, lalu panitera menyampaikan ARPK kepada pemohon
atau kuasa hukumnya. Setelah itu, maka dapat dilanjutkan dengan
Pemeriksaan Pendahuluan. Pada sidang ini merupakan sidang sebelum
memeriksa pokok perkara. Dalam sidang pertama ini Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, dan pemeriksaan persidangan untuk
meemeriksa Permohonan Pemohon, jawaban Termohon, keterangan Pihak
Terkait serta alat/dokumen bukti. Pemeriksaan ini dilakukan oleh panel atau
pleno dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang terbuka untuk umum.
Apabila dalam pemeriksaan ini ternyata materi permohonan itu tidak lengkap
dan/atau tidak jelas, maka menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi
memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/ atau
memperbaikinya. Untuk itu kepada pemohon diberikan waktu paling lambat
14 (empat belas) hari.

Setelah Pemeriksaan Pendahuluan, dilanjutkan dengan Pemeriksaan


Persidangan dilakukan dalam sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum, hanya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilakukan dalam
sidang tertutup. Dalam pemeriksaan persidangan Hakim Konstitusi memeriksa
permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait dengan
pemeriksaan pokok permohonan, kedudukan hukum (legal standing)
pemohon, dan pemeriksaan alat bukt tertulis,ataupun pemeriksaan alat bukti
yang lain. Dalam hal ini telah tercantum dalam Pasal 28 PMK Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Para pihak yang berperkara wajib jadir dalam
Sidang Panel untuk Pemeriksaan Persidangan.
Pada saat putusan itu dikabulkan Untuk harus didasarkan pada sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa
permohonan itu memenuhi alasan dan syarat-syarat konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Alat bukti dalam perselisihan hasil
pemilihan gubernur, bupati dan walikota tercantum dalam Pasal 35 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017. Cara pengambilan putusan
dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat dalam RPH melalui sidang
pleno tertutup. Di dalam rapat pengambilan putusan ini setiap hakim konstitusi
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan
(legal opinion). Dengan demikian maka tidak ada suara yang tidak
memberikan suara dalam rapat pengambilan putusan. Dalam hal putusan tidak
dapat dihasilkan melalui musyawarah untuk mufakat, maka musyawarah
ditunda sampai sidang pleno berikutnya. Dalam permusyawaratan itu
diusahakan secara sungguh-sungguh untuk mufakat. Namun, apabila ternyata
mufakat tersebut tidak tercapai maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
Putusan dapat diucapkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain. Hari
pengucapan putusan itu diberitahukan kepada para pihak. Putusan diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sejak pengucapan itu, putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai putusan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir berkekuatan hukum tetap dan final. Artinya, terhadap putusan tersebut
tidak ada upaya hukum lagi dan waib dilaksanakan. Putusan yang telah
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan oleh karenanya telah
berkekuatan hukum tetap tersebut, salinannya kemudian harus disampaikan
kepada para pihak paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.

B. Didalam ketentuan Pasal 158 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang


Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-
undang, menimbulkan polemik terkait ambang batas dalam pengajuan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi karena tidak memberikan keadilan
substantif. Sehingga menurut saya penyesuaian yang dapat dilakukan dalam
hukum acara yang berlaku agar Mahkamah Konstitusi dapat memberikan rasa
keadilan substantif kepada para pihak yang berperkara dalam hal ini adalah
PHP Gubernur, Bupati/Walikota ialah memang terkait dalam Pasal 158
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, ini
mempunyai kelebihan yaitu salah satunya untuk mengurangi jumlah kasus
sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi karena terhadap sengketa yang
tidak memenuhi ambangbatas tidak dapat diproses ke pokok perkara. Namun,
dalam hal ini juga menimbulkan masalah bagi para pihak yang mengajukan
PHP di Mahkamah Konstitusi. Salah satunya ialah tidak memberikan keadilan
substantif, dengan demikian seharusnya Mahkamah Konstitusi harus dapat
melihat didalam negara Indonesia merupakan negara yang demokrasi,
dilaksanakannya pemilu juga merupakan demokrasi. Oleh karena itu dapat kita
lihat bahwa Pasal 158 ini mengabaikan dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Taun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Disebutkan dalam Pasal
24 ayat (1) bahwa terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Taun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
disebutkan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Maka, sangat jelas seharusnya hakim dalam menetapkan dan memutuskan
perkara mempunyai kewajiban dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara guna terciptanya keadilan substantif bagi para pihak yang
berperkara. Tentu juga dalam penyelesaian sengketa PHP Gubernur,
Bupati/Walikota, harus dapat mewujudkan peradilan yang berintegritas dan
mewujudkan keadilan dengan mengutamakan prinsip jujur dan adil serta
dalam proses peradilan mampu membuktikannya ada atau tidak bentuk
pelanggaran yang terstruktur dan sistematis. Karena dalam hal ini dengan
adanya ambang batas sangat dirugikan dan menjadi penghalang bagi calon
kepala daerah.
C. Contoh kasus dalam Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota Tahun 2020 yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap gugatan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Barat 2020 yang diajukan pasangan calon
(paslon) nomor urut 1 Mulyadi-Ali. Pada Gugatan nomor 129/PHP.GUB-
XIX/2021 itu tidak dapat diteruskan ke tahap selanjutnya. Masalah yang
disengketakan didalam putusan tersebut terkait perselisihan perolehan suara
hasil pemilihan Gubernur Sumatera Barat Tahun 2020 tersebut Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan gugatasan
yang diajukan oleh Pemohon. Hal ini dikarenakan pokok gugatan yang
diajukan oleh Pemohon bukan persoalan mengenai penetapan perolehan suara,
melainkan pokok perkaranya adalah proses penegakan hukum yang tidak adil
dan dipaksakan. Dan didalam permohonan tersebut dijelaskan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi NOMOR 129/PHP.GUB-XIX/2021 Tentang Keberatan
terhadap Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur Sumatera
Barat Tahun 2020, tersebut bahwa Mahkamah menjatuhkan putusan, yang
amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
1. Menyatakan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait berkenaan
dengan kedudukan hukum Pemohon, beralasan menurut
hukum;
2. Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum

Pendapat saya terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi untuk kasus a quo,


merupakan benar. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan
Pemohon, bahwa dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memeriksa, memutus
dan mengadili perkara berdasarkan fakta yang terkait. Begitupula dalam hal
ini Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, memutus dan
mengadili perkara yang telah dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-undang. Terkait dengan kewenangan Mahkamah, Pasal 157
ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang,
menyatakan, “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota diperiksa dan diadili oleh
Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Permohonan Pemohon mengenai pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Sumatera Barat Nomor 113/PL.02.6-Kpt/13/Prov/XII/2020
tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Barat Tahun 2020, maka Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo. Namun, dengan melihat fakta
hukumnya bahwa pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Mulyadi-Ali dalam
hal permohona tidak disertai bukti yang kuat atas penetapan Mulyadi dengan
perolehan suara yang didapat pemohon. Kemudian, pemohon tidak memenuhi
syarat formil mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi karena selisih
suara pemohon dengan paslon suara terbanyak melebih batas yang ditentukan.
Hal ini diatur Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
Menjadi Undang-undang. Oleh karena itu tidak ada hubungannya untuk
meneruskan permohonan a quo pada pemeriksaan persidangan lanjutan
dengan proses pembuktian.

Anda mungkin juga menyukai