Anda di halaman 1dari 6

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK

2020/2021
MATA UJIAN : SISTEM PERADILAN ANAK DAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN
“JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2020/2021”

NAMA LENGKAP : SHEILA RIESTA DWIANANDA


NRP : 120118028
KP A

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
JUNI 2021
JAWAB :

1. Kasus anak yang diduga melakukan penganiayaan terhadap ibunya tersebut dalam hal
ini termasuk ke dalam anak yang berkonflik dengan hukum. Definisi dari anak yang
berkonflik dengan hukum menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa, “Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selajutnya disebut anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana”. Istilah yang dipakai dahulu itu anak nakal, tetapi
kemudian cukup rancu didalam terminologi itu. Lalu Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutnya yaitu Conflict
Children Law. Termasuk kedalam anak yang berkonflik dengan hukum, sebab pada
kasus tersebut disebutkan bahwa usia anak yang menganiaya ibundanya tersebut
masih berusia 13 tahun dan melakukan tindak pidana berupa penganiayaan yang ia
lakukan terhadap ibu kandungnya sendiri dan memukulinya menggunakan gantungan
baju besi atau gagang sapu yang menyebabkan bibir Kartinah (ibu dari si anak
tersebut) robek. Sehingga apabila dilihat dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa “Dalam
hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas)
tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui
batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak”. Dengan demikian, anak tersebut tidak
dapat dijatukan pidana melainkan hanya berupa tindakan. Namun, karena dalam hal
ini belum ada putusan yang terkait. Maka apabila anak tersebut telah berusia 18
(delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dalam
hal sidang pengadilan anak, hakim ataupun penuntut umum harus menerapkan dengan
Prinsip Individualized Justice, yaitu bahwa pada umumnya seseorang harus tuntut
pada aturan yang ada. Tetapi kalau dalam hal anak, maka hukum yang harus
mengikuti kebutuhan anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan bahwa
“Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak,
Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.”
Mengenai hal tersebut, maka terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
wajib untuk mendapatkan perlindungan hak anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 21
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa negara
berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak. Maka
penyelesaian dalam sebuah kasus anak yang berusia 13 tahun tersebut dapat
dikenakan dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan bahwa “Pasal 69 ayat (1) Anak hanya
dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam
UndangUndang ini. (2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat
dikenai tindakan”. Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi,
pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di
rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal
dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan
surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana. Tetapi, kasus anak
biasanya dapat dilakukan terlebih dahulu melalui penyelesaian Diversi. Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Diversi harus dilakukan sesuai dengan Keadilan Restoratif, yaitu
penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dan bukan pembalasan. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib untuk mengutamakan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif
yang dimaksud adalah kewajiban melaksanakan diversi. Dalam upaya diversi ada
beberapa ketentuan untuk dapat melakukan upaya tersebut, yakni Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak
pidana. Diversi menjadi penting untuk diupayakan sebagai kepentingan yang terbaik
bagi anak dalam ruang lingkup perlindungan anak meskipun anak adalah pelaku,
dengan tetap memperhatikan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Tujuannya adalah untuk masa depan yang lebih cerah serta memberikan kesempatan
bagi pelaku agar melalui pembinaan akan menjadi manusia yang lebih mandiri,
berguna serta dapat bertanggungjawab. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain kategori
tindak pidana; umur Anak; hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan dukungan
lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban. Hasil kesepakatan Diversi dapat
berbentuk, antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan
kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan
masyarakat. Hasil kesepakatan yang dimaksud dituangkan dalam bentuk kesepakatan
Diversi. Dengan demikian, diversi merupakan penyelesaian yang terbaik untuk
dilakukan dalam kasus tersebut. Karena terhadap kasus tersebut masih dalam lingkup
keluarga, dan ibu dari anak tersebut masih berusaha untuk mencari jalan keluar untuk
meluruskan atau membuat anak tersebut jera atas perbuatan yang dilakukan terhadap
ibunya. Tentunya juga akan berdampak positif terhadap anak pada kasus tersebut.
2. Perempuan sebagai korban atau sebagai pelaku kekerasan itu selalu membuat posisi
perempuan menjadi bagian yang terdiskriminasi, dalam maksud bahwa perempuan itu
memiliki labeling dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dalam kekerasan terhadap
perempuan tersebut memiliki makna bahwa perempuan termasuk kedalam kelompok
rentan. Kerentanan hadir terutama karena konstruksi gender yang sangat kuat dalam
budaya masyarakat. Rekomendasi Umum PBB Nomor 9 Tahun 1992, menyatakan
kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian diskriminasi terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap wanita dalam Deklarasi PBB disebut sebagai kekerasan terhadap
perempuan dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan 1993, sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan terhadap wanita
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi. Dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Terhadap
Perempuan tersebut dinyatakan bahwa definisi kekerasan terhadap wanita di atas juga
meliputi kekarasan fisik, seksual dan psikis yang terjadi di dalam keluarga dan di
dalam masyarakat, termasuk penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap
anak wanit, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin (dowry-related violence),
perkosaan dalam perkawinan (marital rape), penyunatan wanita yang mengganggu
kesehatan (female genital mutilation) dan praktek-praktek tradisional lain lain yang
merugikan wanita, kekerasan di luar hubungan pekawinan, kekerasan yang bersifat
eksploitatif, pelecehan wanita secara seksual (sexual harassment) dan intimidasi di
lingkungan kerja, dalam lembaga pendidikan, perdagangan wanita, pemaksaan untuk
melacur dan kekerasan yang dilakukan oleh penguasa.
Dengan demikian kedudukan perempuan dalam kasus anak yang menganiaya ibu
kandungnya sendiri, melihat bahwa seorang perempuan merupakan kelompok yang
rentan ataupun lemah. Karena ia menganggap bahwa dengan cara ia mengancam
kepada ibunya sendiri, maka ibunya tersebut akan takut dan tidak akan
melaporkannya. Namun, terkait kasus tersebut maka perempuan juga perlu adanya
perlindungan hak perempuan. Hal ini terkait dengan seorang ibu yang melahirkan
anaknya tersebut, membesarkan, merawat apabila terjadi tindak pidana yang
menyebabkan seseorang tersebut luka-luka maka diperlukanlah perlindungan bagi hak
perempuan. Hal ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, untuk menjamin
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi perempuan sebagai perwujudan
dari hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan tersebut harus diatur dalam asas-
asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan norma-norma hukum. Kekerasan Terhadap
Perempuan merupakan wujud ketimpangan historis hubungan antara laki-laki dan
perempuan, istilah lain yaitu dominasi dan diksriminasi. Sehingga timbul hambatan
atas kemajuan perempuan, hal ini terdapat dalam Catatan Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan. Disebutkan dalam Art 1. Rekomendasi Komite
Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi thd Perempuan 1992, bahwa
“Kekerasan diarahkan terhadap perempuan karena ia adalah seorang perempuan atau
dilakukan terhadap atau terjadi terhadap perempuan secara tidak proporsional,
penderitaan fisik, mental atau menyakitkan secara seksual atau bersifat ancaman akan
tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan mengukung kebebasan.”
Di Indonesia kekerasan terhadap wanita misalnya tindak pidana kesusilaan,
perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, serta kekerasan terhadap isteri diatur dalam
Pasal 351 jo Pasal 356 (1) KUHP. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
apabila penganiayaan dilakukan terhadap keluarga dekat atau orang yang seharusnya
dilindungi, maka hukumannya ditambah sepertiga dari jumlah hukuman apabila
penganiayaan dilakukan terhadap orang lain. Selain itu, dalam hal isteri (wanita) di
bawah umur (16 tahun), maka apabila laki-laki (suaminya) menyebabkan luka-luka
dalam proses hubungan seksual, maka si suami dapat didakwa melanggar Pasal 288
KUHP. Selain tindak kekerasan terhadap wanita tersebut di atas, dalam Undang
Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai