Anda di halaman 1dari 30

Warna Pakaian Muslimah Dalam Perspektif Islam

Muqaddimah

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

Sekitar lima tahun lalu, Salah seorang kakak perempuan menukilkan pada penulis tentang fatwa

yang beredar disebagian kerabat kami bahwa wanita muslimah wajib memakai pakaian yang

berwarna hitam, dan haram memakai warna pakaian lain. Saat itu penulis hanya menyatakan bahwa

yang benar adalah warna pakaian wanita tidaklah dibatasi asal tidak bermotif dan warna-warni yang

bisa menarik perhatian lawan jenisnya.

Tidak hanya itu, perasaan sinis terhadap pakaian yang selain warna hitam ternyata menggelayuti

hati sebagian teman-teman dari bangsa arab, maklum adat istiadat mereka mengharuskan hitam

sebagai warna pakaian muslimah. Sehingga ketika melihat sesuatu yang berbeda dengan adat

kebiasaan mereka, langsung ditentang habis-habisan. Dari sinilah kemudian penulis menyimpulkan

bahwa keterbiasaan seseorang dalam lingkungan tertentu, akan merubah arah pandangannya

terhadap tabiat negeri lainnya, bahkan seorang asing sekalipun bila terbiasa hidup dalam

masyarakat lain, ketika kembali ke negeri atau daerah asalnya, hal yang dianggap biasa saja bagi

masyarakat aslinya, akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas olehnya, meskipun itu masih

dalam batas 'urf (ada kebiasaan) dan kewajaran bagi mereka. Salah satu contohnya adalah: warna

pakaian wanita muslimah selain hitam, sehingga tak jarang kita dapati sebagian orang

mengharamkan warna pakaian selain hitam, atau setidaknya kalau tidak memakai pakaian hitam,

maka dianggap tidak sesuai sunnah.

Menariknya, persoalan ini kemudian dimunculkan oleh Pimpinan Umum Wahdah Islamiyah; Ust

DR Muhammad Zaitun Rasmin -hafidzhahullah ta'ala- tentunya dengan tujuan memudahkan

masuknya dakwah islam dalam lingkup masyarakat nusantara, serta menjaga sum'ah (wibawa)

wanita muslimah dinegeri ini yang semakin hari kian disoroti dengan berbagai fitnah, label dan

www.wahdah.or.id 1
julukan yang tidak pantas.

Mendengar pemaparan beliau yang singkat nan padat, penulis pun berniat menulis kajian ringkas

seputar warna pakaian wanita muslimah ini, tentunya dari perspektif agama kita, dengan berdalilkan

Al-Quran, dan Sunnah sesuai pemahaman para salaf kita. Sebelum masuk pada pembahasan ini,

perlu diketahui bahwa persoalan ini adalah masalah klasik yang telah dibahas ulama kita dalam

berbagai literatur islam, bukan masalah kontemporer. Apabila didalamnya terdapat kesalahan dan

kekurangan, maka hati ini terbuka untuk selalu menerima kritik dan saran dari siapapun. Selamat

membaca !!

Pertama: Adakah Perintah Atau Larangan Khusus Terkait Warna Pakaian Muslimah ?

Meneliti ayat-ayat dan banyak hadis-hadis shahih tentang warna pakaian wanita, kita akan dapati

banyak hadis atau riwayat yang menyebutkan syarat dan kriteria pakaian wanita muslimah, yang

kemudian disimpulkan oleh para ulama dalam beberapa kriteria atau syarat yaitu:

1. Harus menutup seluruh tubuhnya

2. Bukan merupakan perhiasan dalam dan dari pakaian itu sendiri

3. Harus tebal dan tidak transparan atau “tembus pandang”

4. Harus longgar, tidak ketat sehingga membentuk bagian tubuh

5. Tidak menggunakan parfum dengan bakhoor atau harum-haruman

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki

7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir

8. Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran dan kesombongan (lihat syarat-syarat atau

kriteria ini dalam buku Hijaab Al-Mar-h Al-Muslimah oleh Syaikh Al-Albani dan di link:

http://wahdah.or.id/syarat-syarat-busana-muslimah/).

Akan tetapi kita tidak akan dapati secara khusus bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam

www.wahdah.or.id 2
memerintahkan atau melarang warna pakaian tertentu untuk dipakai wanita muslimah. Yang ada

hanyalah beberapa hadis dhaif atau lemah yang mengisyaratkan terlarangnya wanita memakai

pakaian berwarna merah, diantaranya HR Abu Daud (4071): dari jalur Syuraih bin Ubaid dari Habib

bin Ubaid dari Huraits bin Al Abah As Salihi berkata, "Seorang wanita bani Asad berkata, "Suatu

hari aku berada di sisi Zainab isteri Rasulullah sedang kami mewarnai baju miliknya dengan

lumpur merah. Maka ketika kami sedang melakukan hal itu, Rasulullah muncul di hadapan kami.

Dan ketika Zainab melihat hal itu, ia mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai perbuatannya.

Maka ia pun mengambil kain bajunya untuk dicuci dan menghilangkan semua warna merah yang

ada. Setelah itu Rasulullah datang kembali, ketika beliau tidak melihat (warna merah itu lagi),

beliau masuk ke dalam rumah."

Hadis ini dhaif –sebagaimana dinyatakan oleh Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir (2/140)

karena dalam sanadnya terdapat Huraits bin Al-Abah: Majhul (At-Taqrib: 1179).

Sebaliknya, ada perintah umum tentang sunatnya memakai pakaian berwarna putih, apakah ini

khusus untuk laki-laki atau mencakup kaum wanita ?

Hadis tersebut berbunyi:

‫املتبكسوا فممن فثتهيكافب ك كم املتبتهيكا ت‬


‫ض تففإنتهكا تخمهيكر فثتهيكافب ك مم توتكفكنوا ففهيتهكا تمموتتكا ك مم‬

Artinya: “Pakailah pakaian putih karena pakaian seperti itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan

kafanilah mayit dengan kain putih pula” (HR Abu Daud: 4061, Tirmidzi: 994, Nasai no. 5325, Ibnu

Majah: 3566, dan Ibnu Hibban: 5423. Hadis ini hasan).

Dalam syarah hadis ini Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah berkata: "… Boleh bagi wanita untuk

memakai pakaian warna putih, namun dengan syarat modenya tidak sama dengan pakaian laki-laki,

karena bila sama dengan mode pakaian laki-laki maka hal tersebut termasuk bentuk

tasyabbuh/menyerupai laki-laki..". Kemudian beliau berkata lagi: "Saya berkata: bahwa pakaian

wanita berwarna putih hukumnya boleh, namun apakah boleh baginya untuk keluar rumah dengan

www.wahdah.or.id 3
pakaian putih tanpa memakai abaa-ah (pakaian luar sejenis gamis) ?? Dikatakan bahwa pakaian

warna putih disebagian negara adalah pakaian biasa saja, seperti halnya warna hitam, mereka tidak

membedakannya, akan tetapi bagi kita khususnya di Nejd masyarakat memandang bahwa pakaian

putih (bagi wanita) adalah pakaian perhiasan, oleh sebab itu tidak boleh bagi wanita (didaerah Nejd)

untuk memakai pakaian warna putih walaupun ditutupi dengan abaa-ah jika abaa-ah tersebut tidak

menutupi seluruh badan, sebab bila (warna putih bagi wanita) adalah pakaian perhiasan, maka

(menampakkannya meski sedikit) termasuk bagian dari tabarruj (menampakkan aurat atau perhiasan

yang haram dilihat orang lain)." (Fath Dzil Jalaali Wal Ikraam: 2/530).

Dari pemaparan Syaikh ini kita bisa menyimpulkan bahwa para ulama membolehkan wanita

memakai warna putih bila hal itu sesuai dengan adat kebiasaan mereka, namun apakah

disunatkan ?? Meneliti syarah para ulama terkait hadis ini, penulis tidak mendapatkan penjelasan

tegas akan hal ini namun hanya mendapati beberapa hal berikut:

•Imam Abu Daud rahimahullah meletakkan hadis ini dibawah bab: "Tentang pakaian putih". Imam

Nasai meletakkannya dibawah bab: "Perintah memakai pakaian berwarna putih." , Ibnu Majah

dibawah bab: "Memakai pakaian berwarna putih." Dan Ibnu Hibban melatakkannya dibawah bab:

"Penjelasan perintah memakai pakaian berwarna putih, karena warna putih merupakan pakaian

paling baik."

Beginilah judul-judul bab para ulama dalam menukil hadis perintah memakai pakaian putih ini,

semuanya umum; tidak mengkhususkannya bagi laki-laki saja atau perempuan saja. Hal ini

menunjukkan bahwa perintah sunatnya memakai pakaian putih ini mencakup laki-laki dan

perempuan.

•Juga Imam Nawawi dalam Riyaadh Shalihin (247) meletakkan hadis ini dibawah bab: "Sunatnya

memakai pakaian putih, dan bolehnya memakai pakaian merah, hijau, kuning, dan hitam…". Ini

www.wahdah.or.id 4
menunjukkan bahwa Imam Nawawi mensunatkan pakaian putih bagi siapa saja baik laki-laki atau

perempuan, dan adapun warna lain termasuk hitam maka beliau hanya menganggapnya mubah. Hal

ini dipertegas oleh Syaikh Ahmad Khathibah dalam syarah Riyadh Shalihin setelah menyebutkan

judul bab diatas beliau berkata: "Artinya (dari judul bab ini) adalah bahwa pakaian dengan warna

apa saja hukumnya boleh dipakai, baik bagi laki-laki ataupun perempuan, namun yang disunatkan

adalah pakaian putih (bagi keduanya), adapun selainnya maka hanya boleh." (Syarah Riyadh

Shalihin: Maktabah Syaamilah: 71/2).

Imam Nawawi juga berkata: "Boleh memakai pakaian berwarna putih, merah, kuning, hijau, yang

bergaris-garis dengan warna tertentu, dan warna-warna lainnya, tidak ada perbedaan pendapat

(dikalangan ulama) tentang perkara ini, dan tidak ada pula hal makruh didalamnya, namun Imam

Asy-Syafi'i dan pengikutnya menyatakan bahwa yang paling utama adalah warna putih." (Al-

Majmu': 4/452).

•Diantara dalil bahwa perintah dalam hadis ini umum bagi laki-laki dan wanita adalah beberapa

poin berikut:

1-Hadis Usamah bin Zaid:

:‫ مكا لك لللم تلبللس القبطهيللة؟ قلللت‬:‫كسكاني رسول ال صلى ال علهيه وسلم قبطهية كثهيفة ممكا أهداهكا له دحهية الكلبي فكسوتهكا امرأتي فقكال‬

‫ فإني أخكاف أن تصف حجم عظكامهكا‬،‫ "مرهكا فلتجعل تحتهكا غللة‬:‫كسوتهكا امرأتي فقكال‬

Artinya: "Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam memberiku pakaian Qubthiyah Katsifah (pakaian

asal mesir yang tipis dan berwarna putih (yang dihadiahi oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau, lalu

aku memberikannya kepada istriku, Rasulullah bersabda: Kenapa engkau tidak memakai pakaian

Qubthiyah (yang aku beri) ?, Aku menjawab: Saya memberinya pada istriku." Beliau bersabda:

"Perintahkan istrimu agar memakai ghalaalah (sejenis pakaian rangkapan / dalaman), sebab aku

khawatir pakaian itu akan membentuk anggota tubuhnya." (HR Ahmad: 21786, dan Dhiyaa' dalam

www.wahdah.or.id 5
Al-Mukhtaarah 1/441, juga memiliki syaahid/hadis penguat dari Dihyah dalam Sunan Abu Daud:

4116, dinilai hasan oleh Dhiyaa' dan Al-Albani dalam Jilbaab al-Mar-ah al-Muslimah: 131).

Dalam hadis ini Rasulullah menyetujui perbuatan istri Usamah yang memakai warna putih, hanya

saja yang beliau larang adalah tipisnya pakaian tersebut.

2-Secara umum, khithab atau perintah itu umum kepada laki-laki dan perempuan kecuali bila ada

dalil lain yang mengkhususkannya pada salah satunya. Sedangkan nash hadis ini tidak ada dalil

yang mengkususkannya, apalagi dalam satu hadis terdapat petunjuk keumumannya bagi laki-laki

dan perempuan yaitu dalil al-iqtiraan: dalam hadis ini terdapat 2 perintah yaitu perintah berpakaian

putih dan perintah memakai kain kafan putih. Nah, bila kain kafan putih umum bagi laki-laki dan

perempuan, maka pakaian putih juga demikian, karena perintah keduanya datang dalam satu teks,

dan tidak ada penjelasan perbedaan keduanya.

3-Penulis tidak mendapatkan nukilan ijma' atau penjelasan salah satu ulama terdahulu yang

menyatakan bahwa hadis perintah warna putih ini khusus bagi laki-laki. Bahkan para penulis

syarah-syarah kitab-kitab hadis memutlakkan kebolehannya kepada seluruh manusia –laki-laki dan

perempuan- tanpa mengkhususkannya pada salah satunya.

Kesimpulannya: Pakaian warna putih bagi wanita minimal memiliki hukum mubah, namun dari

pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa: "Hukum asal pakaian warna putih bagi wanita adalah

sunat dengan dalil perintah memakai pakaian warna putih secara umum, namun hukumnya bisa

berubah berdasarkan 'urf / adat kebiasaan suatu negeri karena tolak ukur warna pakaian lebih

berdasar pada adat istiadat." Tentu hal ini akan lebih gamblang dibahas dalam bahasan yang akan

datang: "Warna Pakaian dan Kaitannya Dengan 'Urf (Adat Kebiasaan) dan Pakaian Syuhrah".

www.wahdah.or.id 6
Kedua: Dalil Mubahnya Memakai Pakaian Berwarna Hitam

Tidak ada satu hadis pun yang memerintahkan seorang wanita untuk memakai pakaian berwarna

hitam, hanya saja kebolehan wanita muslimah memakai pakaian berwarna hitam ini telah disetujui

oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dengan cara mendiamkan pemakaiannya (tidak

memerintahkan dan tidak melarangnya) ketika wanita-wanita shahabiyah memakainya. Ketiadaan

perintah ini menunjukkan bahwa hukum asal pakaian hitam bagi wanita hanya memiliki hukum

mubah / boleh dan tidak wajib atau sunat. Diantara dalil kebolehannya adalah:

•HR Abu Daud (4101) dari Ummi Salamah radhiyallahu'anha:

‫صكافر تكتأنن تعتلى كركءوفسفهنن املفغمرتبكاتن فممن ا ت‬


‫لمكفستهيفة‬ ‫ لتنمكا تنتزلتمت )كيمدفنهيتن تعلتمهيفهنن فممن تجلفبهيفبفهنن( تخترتج فنتسكاكء ا ت‬.
‫لمن ت‬

Artinya: "Ketika turun firman Allah “Hendaklah mereka (wanita-wanita beriman) mengulurkan

jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzâb/33:59] wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah

pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena pakaian (mereka yang hitam)". (Hadis

ini dinilai shahih oleh para ulama hadis termasuk Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah:

38).

Dalam riwayat lain disebutkan: "… seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak

karena pakaian (mereka yang hitam), dan pada tubuh mereka pakaian hitam yang mereka pakai."

(HR Abdur-Razzaq dalam tafsirnya: no.2377).

Hadis ini menunjukkan bahwa wanita-wanita Anshar tersebut mengenakan pakaian dan khimar /

penutup kepala, atau jilbab-jilbab berwarna hitam. Al-'Adzhim Aabaadi rahimahullah dalam 'Aun

al-Ma'bud (11/107) berkata: "Khimar/ jilbab ini diserupakan dengan burung gagak lantaran

warnanya yang hitam sekali."

www.wahdah.or.id 7
Imam Syaukani rahimahullah berkata: "Hadis ini menunjukkan bolehnya wanita memakai pakaian

berwarna hitam, dan saya tidak tahu ada perbedaan pendapat ulama terkait masalah ini." (Nail Al-

Awthar: 2/103).

•HR Bukhari (5823) dari Ummu Khalid, ia berkata:

‫أتى النبي صلى ال علهيه وسلم بثهيكاب فهيهكا خمهيصة سوداء صغهيرة فقكال من ترون أن نكسو هذه فسكت القوم فقكال ائت وني ب أم خكال د‬

‫فأتي بهكا تحمل فأخذ الخمهيصة بهيده فألبسهكا وقكال أبلي واخلقي وككان فهيهكا علم أخضر أو أصفر‬

Artinya: "Nabi datang dengan membawa beberapa Khamiishah (pakaian hitam kecil yang

bergaris-garis warna lain). Beliau berkata : ”Menurut kalian, siapa yang pantas untuk memakai

baju ini ?”. Semua diam. Beliau kemudian berkata: ”Panggil Ummu Khalid”. Maka Ummu Khalid

pun datang dengan dipapah. Nabi mengambil pakaian tersebut dengan tangannya dan kemudian

memakaikannya kepada Ummu Khalid seraya berkata: ”Pakailah ini sampai rusak”. Pakaian

tersebut bermotif / dihiasi dengan warna lain berwarna hijau atau kuning."

Hadis ini menujukkan bolehnya memakai pakaian hitam yang bergariskan warna hijau atau kuning

atau warna lain, sebab Khamiishah adalah pakaian warna hitam yang bergaris-gariskan warna lain

(lihat: An-Nihaayah Fi Gharib Al-Hadits: 2/81).

•Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad (8/73) diriwayatkan dari jalur Humaid Al-'Asham dari ibunya

bahwa ia berkata: "Saya melihat Aisyah memakai khimar (jilbab / penutup kepala) berwarna hitam

yang berasal dari Jaisyan (Yaman)."

Meskipun atsar atau riwayat pakaian Aisyah ini dhaif karena ibu Humaid majhuul, namun dikuatkan

oleh riwayat-riwayat lain dari Aisyah yang menunjukkan bahwa Aisyah memakai khimar / jilbab

hitam, diantaranya riwayat Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat (8/487) dari jalur Yunus bin Abi Ishaq dari

ibunya 'Aaliyah bahwa ia berkata: "Saya melihat Aisyah pakaian / gamis luar berwarna merah

jingga, dan khimar / jilbab Jaisyaan (yang berwarna hitam)." (Jaisyan ini adalah salah satu daerah

www.wahdah.or.id 8
di Yaman yang menjadi tempat pembuat jilbab / khimar berwarna hitam).

Ibu Yunus dalam hadis ini yaitu 'Aaliyah diperselisihkan apakah ia shoduq atau majhuulah

sebagaimana dalam Dzail Al-Lisan Al-Mizan (215). Terlepas dari shoduq atau majhul-nya: namun

hadis ini tetap menguatkan riwayat Aisyah diatas, dan akan disebutkan riwayat-riwayat lain yang

banyak tentang hal ini dalam bahasan "Bolehkah Memakai Pakaian Dengan Dua Warna Atau

Lebih ?".

Lalu apakah warna hitam ini wajib atau sunat bagi wanita ? Jawabannya hanya boleh atau mubah

dengan beberapa alasan:

1-Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam sama sekali tidak memerintahkan warna hitam ini bagi

wanita, beliau hanya melihat wanita shahabiyah dari kaum anshar memakainya dan beliau tidak

melarangnya sebagaimana dalam hadis Ummi Salamah diatas. Diamnya atau Persetujuan / Taqrir

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam terhadap suatu amalan tidak menunjukkan sunatnya atau

wajibnya amalan tersebut, boleh jadi ia hanyalah mubah dan inilah yang sangat nampak, karena

banyak amalan yang didiamkan oleh beliau memiliki hukum mubah seperti berlatih perang

dimasjid, makan dhab'u, dll, semua ini hukumnya mubah dan bukan sunat apalagi wajib, karena

beliau hanya mendiamkan dan menyetujuinya saja tanpa memerintah atau melarangnya. Bahkan

bila taqrir Rasulullah terhadap pakaian hitam ini dianggap sunat atau wajib maka taqrir beliau

terhadap pakaian wanita berwarna putih, atau warna lain -sebagaimana yang akan datang hadis-

hadisnya- juga menunjukkan sunatnya atau wajibnya warna-warna tersebut, karena beliau hanya

mendiamkannya juga.

2-Ummu Salamah hanya menyebutkan wanita anshar yang memakai pakaian hitam, ini

menunjukkan bahwa selain wanita Anshar tidak memakai pakaian hitam sebagaimana akan datang

riwayat-riwayat yang banyak tentang hal ini termasuk pakaian Aisyah dalam riwayat diatas yang

www.wahdah.or.id 9
berwarna merah jingga. Sebab itu tidak salah bila Syaikh Abdul'Aziz Al-Tharifi hafidzhahullah

dalam salah satu program TV menyatakan bahwa pakaian hitam hanyalah adat kebiasaan ('Urf)

wanita anshar (lihat dilink: https://www.youtube.com/watch?v=GRSFpd16vJk). Ini menunjukkan

bahwa pakaian hitam hukumnya boleh, bukan sunat atau wajib.

3.Perintah Rasulullah kepada Ummu Khalid agar memakai pakaian warna hitam tidak menunjukkan

sunatnya atau wajibnya warna hitam bagi wanita, hanya saja pakaian tersebut merupakan pakaian

yang biasa dipakai oleh sebagian wanita dan beliau ingin menghadiahkannya kepada Ummu Khalid.

Hal lain bahwa pakaian tersebut memiliki corak atau garis-garis dengan warna yang lain, sehingga

dari teks hadis sendiri kita bisa menyimpulkan bolehnya memakai warna hitam atau selain hitam

atau warna hitam dengan garis-garis warna lain.

Dalam Fatawa Hindiyah (6/446) disebutkan bahwa pakaian warna hitam ini disunatkan bagi laki-

laki dan wanita, namun tanpa menyertakan dalil. Sebaliknya dalam Ghidzaa' Al-Albaab (2/171-172)

disebutkan bahwa pakaian putih lebih utama daripada pakaian hitam, bahkan Al-Auza'i pernah

ditanya oleh Khalifah Ar-Rasyid tentang pakaian warna hitam, ia menjawab: "Saya tidak

mengharamkannya, namun aku tidak menyukainya / menganggapnya makruh." Ar-Rasyid berkata:

Kenapa ?, ia menjawab: "Karena pakaian hitam tidak dipakai oleh pengantin, tidak juga dipakai

seorang yang ihram, dan tidak juga dijadikan kafan untuk orang yang mati."

Tentunya yang menganggap sunat atau makruh ini tidak memiliki sandaran atau dalil yang jelas lagi

tegas, sehingga yang lebih tepat adalah kebolehannya sebagaimana yang dinyatakan Imam Asy-

Syaukani diatas.

Mengenai bahasan ini, para ulama di Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi memberikan fatwa

berikut: "Pakaian wanita tidak khusus berwarna hitam. Ia boleh mengenakan pakaian berwarna lain

bila pakaian tersebut menutupi auratnya, tidak menyerupai pakaian pria, tidak sempit sehingga

www.wahdah.or.id 10
menampakkan lekuk anggota tubuhnya, serta tidak mengundang fitnah" (Fatawa Komite Fatwa

KSA: 17/108)

Dalam fatwa lain (Fatawa Komite Fatwa: 17/109) juga diterangkan: "Mengenakan pakaian hitam

bagi wanita bukan sesuatu yang wajib. Mereka boleh mengenakan pakaian berwarna apa saja yang

khusus bagi wanita, (selama) tidak memancing perhatian dan tidak menimbulkan fitnah". Wallaahu

a'lam.

Ketiga: Dalil Bolehnya Memakai Pakaian Selain Warna Putih atau Hitam

Menelusuri hadis-hadis Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan riwayat para sahabat dan

shahabiyah radhiyallaahu 'anhum ajma'in, kita mendapati banyak sekali hadis atau riwayat yang

menunjukkan bahwa para shahabiyah sewaktu hidup Rasul atau sepeninggalnya; memakai pakaian

dengan warna merah jingga atau tua, kuning, hijau, atau warna-warna lainnya. Sebab itu, tidak

mengherankan bila para ulama sama sekali tidak mengharamkan wanita memakai pakaian dengan

warna-warna tersebut. Sebelum menukil dalil-dalil dan riwayat-riwayat tersebut, mari menyimak

terlebih dahulu ucapan para ulama terkait masalah ini:

Syaikh Yaasiin Al-Khathib hafidzhahullah menegaskan bahwa seluruh ulama fiqih sepakat akan

bolehnya kaum wanita memakai pakaian dengan warna apapun selama wanita tersebut tidak dalam

masa 'iddah atau masa ihram. (lihat: Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, Lajnah Daaimah KSA: edisi

90/ hal.328).

Hal ini jelas nampak bila kita membaca ucapan para ulama rahimahumullah dari berbagai mazhab:

•Ibnu Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah dalam At-Tamhid (16/123) berkata: "Adapun terkait

pakaian wanita, maka para ulama tidaklah berbeda pendapat tentang kebolehan mereka memakai

pakaian yang diwarnai merah; Mufaddam (berwarna merah sekali), Muwarrad (berwarna merah

www.wahdah.or.id 11
jingga), dan Mumasysyaq (juga berwarna merah karena diwarnai dengan lumpur merah)."

•Dalam Kitab Mawahib Al-Jalil (3/154), Al-Haththab Al-Maaliki rahimahullah menjelaskan bahwa

pakaian yang diwarnai dengan selupan warna 'ushfur (tumbuhan yang mengeluarkan celupan

merah) baik merah jingga, atau lainnya; hukumnya tidak boleh bagi laki-laki, kemudian menukil

dari salah satu ulama Maalikiyah; penulis kitab Ath-Thiraaz bahwa 'illah / faktor larangan itu adalah

karena ia menyerupai pakaian wanita yang biasanya berwarna selain hitam. Ini menunjukkan bahwa

pakaian dengan warna selain hitam atau putih hukumnya boleh.

•Ibnu Muflih Al-Hanbali rahimahullah dalam Al-Adaab Asy-Syar'iyyah (3/489) berkata: "Boleh

bagi wanita untuk memakai pakaian Muza'far (pakaian yang diwarnai dengan warna kunyit:

kuning), Mu'ashfar (berwarna merah karena diwarnai dengan sari tumbuhan 'Ushfur), dan pakaian

merah." Ia juga berkata: "Madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i; tidak makruhnya memakai

pakaian mu'ashfar, dan tidak pula warna merah, dan ini merupakan pendapat yang dipilih Syaikh

(Ibnu Taimiyah)." (Al-Adaab Asy-Syar'iyyah: 1/313).

•Imam Nawawi Asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Boleh memakai pakaian berwarna putih, merah,

kuning, hijau, yang bergaris-garis dengan warna tertentu, dan warna-warna lainnya, tidak ada

perbedaan pendapat (dikalangan ulama) tentang perkara ini, dan tidak ada pula hal makruh

didalamnya, namun Imam Asy-Syafi'i dan pengikutnya menyatakan bahwa yang paling utama

adalah warna putih." (Al-Majmu': 4/452).

Disini Imam Nawawi rahimahullah tidak mengkhususkan warna-warna ini khusus untuk kaum laki-

laki, tapi beliau meng-umumkannya kepada laki-laki dan wanita. Hal ini beliau pertegas dalam

kitab Raudah Ath-Thalibin (2/69): "Boleh bagi laki-laki dan wanita untuk memakai pakaian

berwarna merah, hijau atau pakaian yang diwarnai selainnya tanpa dihukumi makruh."

Berikut dalil-dalil atau riwayat-riwayat tentang bolehnya memakai pakaian berwarna selain hitam

www.wahdah.or.id 12
atau putih, namun untuk meringkas bahasan ini, penulis mencukupkan masing-masing warna

dengan satu atau dua dalil:

• Warna Merah:

‫عن إبراههيم وهو النخعي أنه ككان يدخل مع علقمة والسود على أزواج النبي صلى ال علهيه وسلم فهيراهن في اللحف الحمر‬

Artinya: "Dari Ibrahim An-Nakha’i bahwasannya ia bersama ’Alqamah dan Al-Aswad masuk

menemui istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka ia melihat mereka mengenakan

mantel berwarna merah” (HR Ibnu Abi Syaibah: 24739).

Riwayat ini menunjukkan bahwa:

1.Pakaian wanita dengan warna selain hitam atau putih tetap dibolehkan hingga Rasulullah wafat,

karena Ibrahim dan Al-Aswad -dua tabiin yang hidup setelah Rasulullah wafat dan menimba ilmu

dari Aisyah radhiyallahu'anha- mendatangi Aisyah yang memakai pakaian luar warna merah.

2.Pakaian warna merah atau lainnya boleh dijadikan mantel atau pakaian luar yang bisa dilihat oleh

orang lain atau laki-laki yang bukan mahramnya, karena ia bukanlah perhiasan yang dilarang

ditampakkan, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam poin: "Warna Pakaian Bukanlah

Perhiasan Yang Dilarang Ditampakkan"

Hal ini juga telah disetujui bahkan diperintahkan oleh para sahabat, dalam HR Ibnu Abi Syaibah

(3/143), Nafi' mengisahkan: "Bahwa istri-istri dan putri-putri Abdullah bin Umar memakai

perhiasan dan pakaian-pakaian mu'ashfar (yang berwarna merah) sedangkan mereka dalam

keadaan ihram."

• Warna Hijau:

‫عن عكرمة أن رفكاعة طلق امرأته فتزوجهكا عبد الرحمن بن الزبهير القرظي قكالت عكائشة وعلهيهكا خم كار أخض ر فش كت إلهيه كا وأرته كا‬

www.wahdah.or.id 13
‫خضرة بجلدهكا فلمكا جكاء رسول ال صلى ال علهيه وسلم والنسكاء ينصر بعضهن بعضكا قكالت عكائشة مكا رأيت مثل مللكا يلقللى المؤمنللكات‬

‫لجلدهكا أشد خضرة من ثوبهكا‬

Artinya: "Dari ’Ikrimah : Bahwasannya Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh

’Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Quradhy. ’Aisyah berkata : ”Dia memakai khimar yang berwarna

hijau, akan tetapi ia mengeluh sambil memperlihatkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tiba - dan para wanita menolong satu kepada yang

lainnya - maka ’Aisyah berkata : ”Aku tidak pernah melihat kondisi yang terjadi pada wanita-

wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau daripada bajunya (karena kelunturan)” (HR. Al-

Bukhari: 5487).

Hadis ini menunjukkan bolehnya wanita memakai pakaian luar warna hijau, sebab itu lah Imam

Bukhari rahimahullah meletakkannya dibawah bab: "pakaian warna hijau" yaitu kebolehannya bagi

wanita, sebagaimana ditegaskan lagi oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari (10/ 282).

Imam Ibnu Baththal dalam Syarah Shahih Bukhari (9/102) berkata: "Pakaian hijau merupakan

pakaian penghuni surga, sebagaimana firman Allah (Dan (dalam surga itu) mereka memakai

pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal [QS Al-Kahfi: 31]) dan ini cukup menjadi

kemuliaan pakaian hijau dan targhib / motivasi untuk memakainya."

• Warna Kuning

‫صففنهيكة تيكا تعكافئتشكة تهمل تلللفك أتمن كتمر ف‬


‫ضلي تركسلوتل‬ ‫تعمن تعكافئتشتة أتنن تركسوتل انلف ت‬
‫صنلى انلك تعلتمهيفه توتسلنتم توتجتد تعتلى ت‬
‫صففنهيتة فبمنفت كحتهييي ففي تشميءء تفتقكالتمت ت‬

‫صنلى انلك تعلتمهيفه توتسلنتم تعفني توتلفك تيموفمي تقكالتمت تنتعمم تفتأتختذمت فختمكاغرا لتتهكا تم م‬
‫صكبوغغكا فبتزمعتفلتراءن تفترنشلمتكه فبكاملتملكافء فلتهيكفلوتح فريكحلكه كثلنم تقتعلتدمت إفتللى‬ ‫انلف ت‬

‫ضللكل انلفلل كيللمؤفتهيفه‬


‫صنلى انلك تعلتمهيفه توتسلنتم تيكا تعكافئتشكة إفلتمهيفك تعفني إفننكه لتمهيتس تيموتمفك تفتقكالتمت تذفلللتك تف م‬
‫صنلى انلك تعلتمهيفه توتسلنتم تفتقكاتل النفبيي ت‬
‫تجمنفب تركسوكل انل ت‬

‫ضتي تعمنتهكا‬ ‫تممن تيتشكاكء تفتأمختبترمتكه فبكا ت‬


‫لممفر تفتر ف‬

Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam

mendapat sesuatu pada Shofiyah binti Huyay. Maka Shofiyah berkata, ‘Hai Aisyah engkau bersedia

www.wahdah.or.id 14
melayani Rasulullah agar beliau senang kepadaku? Silahkan saja engkau ambil giliranku hari

ini!’ Aisyah berkata, ‘Baiklah’. Maka aku ambil khimar / penutup kepalanya yang telah diwarnai

dengan za’faran/kunyit itu (warna kuning) lalu dia percikkan air padanya agar wangi semerbak.

Kemudian dia naik menuju Rasulullah dan aku duduk di sampingnya. Maka Nabi

shallallahu'alaihi wasallam bersabda, ‘Hai Aisyah kenapa engkau mendekatiku padahal hari ini

bukan giliranmu?’. Dia (Aisyah) berkata, ‘Itu adalah karunia yang Allah berikan kepada siapa

yang Dia kehendak’i. Maka aku sampaikan kepadanya masalahnya. Maka beliau menyenanginya

(Shofiyah). (HR. Ibnu Majah: 1973)

Meskipun hadis ini sedikit dhaif karena dalam sanadnya terdapat rawi majhul yaitu Samiyyah,

namun memiliki riwayat pendukung lainnya, diantaranya: Hadis Anas dalam Shahih Bukhari (5846)

bahwa "Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam melarang laki-laki untuk mencampurkan / memakai

za'faran (pada tubuhnya agar wangi atau pada pakaiannya agar berwarna kuning)." Hadis ini

menunjukkan kebolehan wanita memakai pakaian berwarna kuning karena larangan ini khusus bagi

laki-laki, sebab itu Imam Bukhari meletakkan hadis ini dalam bab: larangan laki-laki dari memakai

za'faran / kunyit (pada pakaian atau jasad mereka –pent). Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Para

ulama berbeda pendapat tentang sebab terlarangnya za'faran / kunyit ini (bagi laki-laki); apakah

karena wanginya karena ia merupakan wewangian khusus bagi wanita… ataukah karena warnanya

sehingga setiap yang berwarna kuning dimasukkan (sebagai larangan bagi laki-laki)." (Fath Al-Bari:

10/304).

Juga dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad (8/73) diriwayatkan bahwa Aisyah memakai mantel yang diwarnai

dengan 'wars' yang berwarna kuning, dan khimar / penutup kepala Jaisyani yang berwarna hitam.

Riwayat ini sedikit dhaif karena salah satu rawinya yaitu Amiinah: majhul. Meskipun dhaif, namun

cukup untuk menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Wallaahu a'lam.

Berikut fatwa Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdul'Aziz Aalu Syaikh ketika beliau

www.wahdah.or.id 15
ditanya: "Apa hukumnya memakai pakaian berwarna merah bagi wanita?"

Beliau menjawab: "Pada dasarnya seorang wanita boleh memakai pakaian dengan warna apa saja,

yang dilarang hanyalah wanita yang memakai pakaian yang memperlihatkan / membentuk lekuk

auratnya, baik pakaian itu tembus pandang, ketat, terbuka atau lainnya. Juga bila warna tersebut

menarik perhatian laki-laki bila ia nampak oleh mereka, maka hal itu dilarang, adapun bila ia tidak

nampak bagi laki-laki maka wanita tersebut tidak dilarang memakai warna pakaian apapun, dan ia

boleh memakai pakaian yang ia kehendaki dengan memperhatikan batasan-batasan yang disebutkan

sebelumnya, juga tidak menyerupai pakaian laki-laki, atau tidak memakai pakaian yang menjadi

pakaian resmi wanita-wanita kafir, karena adanya laknat bagi orang yang melakukan itu semua

yakni tasyabbuh / menyerupai laki-laki dan menyerupai orang-orang kafir…".

(http://www.mufti.af.org.sa/node/3017 ).

Batasan warna yang beliau sebutkan ini yaitu tidak menyerupai laki-laki, atau pakaian wanita kafir;

akan dijelaskan pada bahasan lain: "Kaitan Warna Pakaian Dengan Adat Kebiasaan Nusantara dan

Pakaian Haram"

Adapun tentang pakaian dengan motif atau garis-garis yang warna-warni maka ulasannya ada dalam

pembahasan selanjutnya.

Keempat: Bolehkah Memakai Pakaian Dengan Dua Warna Atau Lebih ?

Pembahasan ini memiliki dua poin penting yang masing-masing akan dijelaskan secara ringkas,

yaitu:

www.wahdah.or.id 16
Pertama: Pakaian dengan motif atau garis-garis warna-warni. Seperti mantel wanita atau jilbab

atau khimar warna hitam atau putih dengan garis-garis warna merah atau hijau atau kuning.

Hal ini dibolehkan bila motif atau garis-garis tersebut tidak memiliki warna banyak, artinya garis-

garis tersebut tidak dianggap sebagai hiasan. Ini biasanya terdapat pada sarung tenun wanita-wanita

buton atau muna yang warna warni, selama hal tersebut masih wajar, maka hukumnya boleh, namun

bila sudah mengarah pada bentuk hiasan, maka tidak boleh, tentunya hal ini diketahui dengan

parameter adat kebiasaan masyarakat tertentu. Dalil kebolehannya adalah:

•HR Bukhari (5823) dari Ummu Khalid, ia berkata:

‫أتى النبي صلى ال علهيه وسلم بثهيكاب فهيهكا خمهيصة سوداء صغهيرة فقكال من ترون أن نكسو هذه فسكت القوم فقكال ائت وني ب أم خكال د‬

‫فأتي بهكا تحمل فأخذ الخمهيصة بهيده فألبسهكا وقكال أبلي واخلقي وككان فهيهكا علم أخضر أو أصفر‬

Artinya: Nabi datang dengan membawa beberapa Khamiishah (pakaian hitam kecil yang bergaris-

garis warna lain). Beliau berkata : ”Menurut kalian, siapa yang pantas untuk memakai baju ini ?”.

Semua diam. Beliau kemudian berkata: ”Panggil Ummu Khalid”. Maka Ummu Khalid pun datang

dengan dipapah. Nabi mengambil pakaian tersebut dengan tangannya dan kemudian

memakaikannya kepada Ummu Khalid seraya berkata: ”Pakailah ini sampai rusak”. Pakaian

tersebut bermotif / dihiasi dengan warna lain berwarna hijau atau kuning.

Hadis ini menujukkan bolehnya memakai pakaian hitam yang bergariskan warna hijau atau kuning

atau warna lain, sebab Khamiishah adalah pakaian warna hitam yang bergaris-gariskan dua warna

lain (lihat: An-Nihaayah Fi Gharib Al-Hadits: 2/81).

•HR Malik dalam Muwaththa' (1624), dari Urwah bahwa Aisyah radhiyallahu'anha istri Rasulullah

shallallahu'alaihi wasallam memberikan Abdullah bin Zubair pakaian yang ditenun dari wol yang

bermotif (bergaris) dua warna yang pernah dipakai oleh beliau sendiri.

www.wahdah.or.id 17
Kedua: Pakaian mantel / jubah wanita yang warnanya beda dengan warna jilbab atau warna

khimar-nya, atau warna cadarnya. Pada dasarnya hal ini dibolehkan karena telah dipakai oleh

wanita-wanita shahabiyah dan sebagian istri Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, namun tentunya

harus sesuai dengan 'urf / adat kebiasaan masyarakat tertentu. Diantara dalil kebolehannya:

•HR Ibnu Abi Syaibah (23748) dan Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah Wat-Tarikh (2/13): dari Sakinah

berkata: "Saya mendatangi Aisyah bersama ayahku maka saya melihatnya memakai mantel

berwarna merah (dalam riwayat Al-Fasawi: merah jingga), dan ia memakai khimaar/penutup

kepala berwarna hitam."

Rawi hadis ini yang bernama Sakinah: majhulah, namun riwayatnya ini dikuatkan lagi oleh:

•HR Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat (8/71) dari Habibah binti 'Abbad Al-Bariqah dari ibunya, ia

berkata: "Saya melihat Aisyah memakai mantel berwarna merah dan khimaar berwarna hitam."

Meskipun Habibah dan ibunya majhulah, namun cukup untuk menguatkan riwayat diatas, bahkan

banyak riwayat dari Aisyah tentang hal ini yang kesemuanya saling menguatkan, diantaranya:

•Dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad (8/73) diriwayatkan bahwa Aisyah memakai mantel yang diwarnai

dengan tumbuhan 'wars' yang berwarna kuning, dan khimar / penutup kepala Jaisyani yang

berwarna hitam. Riwayat ini sedikit dhaif karena salah satu rawinya yaitu Amiinah: majhulah.

Meskipun dhaif, namun cukup untuk menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Wallaahu a'lam.

•Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad (8/73) diriwayatkan dari jalur Humaid Al-'Asham dari ibunya

bahwa ia berkata: "Saya melihat Aisyah memakai khimar (jilbab / penutup kepala) berwarna hitam

yang berasal dari Jaisyan (Yaman)."

Meskipun atsar atau riwayat pakaian Aisyah ini dhaif karena ibu Humaid majhuul, namun dikuatkan

www.wahdah.or.id 18
oleh riwayat-riwayat lain dari Aisyah yang menunjukkan bahwa Aisyah memakai khimar / jilbab

hitam, diantaranya riwayat Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat (8/487) dari jalur Yunus bin Abi Ishaq dari

ibunya 'Aaliyah bahwa ia berkata: "Saya melihat Aisyah pakaian / gamis luar berwarna merah

jingga, dan khimar / jilbab Jaisyaan (yang berwarna hitam)." (Jaisyan ini adalah salah satu daerah

di Yaman yang menjadi tempat pembuat jilbab / khimar berwarna hitam).

Ibu Yunus dalam hadis ini yaitu 'Aaliyah diperselisihkan apakah ia shoduq atau majhuulah

sebagaimana dalam Dzail Al-Lisan Al-Mizan (215). Terlepas dari shoduq atau majhul-nya: namun

hadis ini tetap menguatkan riwayat Aisyah diatas.

Kelima: Hukum Asal: Warna Pakaian Bukanlah Perhiasan Yang Dilarang Ditampakkan

Satu tanda tanya yang mungkin terdapat dalam benak setiap kita: bukankah pakaian berwarna selain

hitam seakan-akan adalah suatu perhiasan yang tidak layak ditampakkan didepan umum ??

Syaikh Al-Albani rahimahullah telah menjawab tanda tanya ini dalam pembahasan syarat kedua

dari pakaian muslimah dibuku populer beliau: Jilbab al-Mar-ah al-Muslimah (121-122), berikut

ucapan beliau: "Ketahuilah, bahwasanya bukanlah dianggap sebagai perhiasan sedikitpun (yang

dilarang ditampakkan) bila pakaian wanita yang ia pakai berwarna selain warna hitam atau putih,

sebagaimana yang disangka oleh sebagian wanita yang berpegang teguh dengan agamanya, hal ini

disebabkan oleh dua dalil:

Pertama: Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam: "Wewangian wanita itu yang warnanya

nampak, dan wanginya tidak tercium (baunya tidak ada)."

Kedua: Amalan kaum wanita dari kalangan shahabiyah yang melakukan hal tersebut (memakai

pakaian selain warna hitam atau putih)."

www.wahdah.or.id 19
Setelah itu beliau menukil beberapa riwayat tentang pakaian wanita shahabiyah yang berwarna

merah, dan mu'ashfar (berwarna merah); sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya.

Namun warna pakaian ini bisa berubah dianggap sebagai suatu perhiasan bila suatu negeri tertentu

menganggap bahwa warna tersebut adalah warna pakaian hiasan bagi mereka. Sebagaimana fatwa

Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah: "Tidak mengapa bagi wanita untuk memakai pakaian sesuai

kehendaknya dengan warna apapun, kecuali bila pakaian tersebut dianggap sebagai pakaian tabarruj

(berhias) atau mempercantik diri (dihadapan umum) maka ia tidak boleh melakukannya, karena ia

pasti akan mendapati banyak laki-laki yang menyaksikannya … Misalnya: pakaian putih yang

dalam adat istiadat kita (Arab Saudi) dianggap sebagai pakaian kecantikan dan hiasan bagi wanita,

maka wanita tidak boleh memakai pakaian putih sewaktu ihram, karena hal itu akan menarik

perhatian orang banyak, lantaran perkara yang populer dikalangan kita semua adalah bahwa pakaian

putih tersebut merupakan pakaian kecantikan dan hiasan bagi wanita, sedangkan wanita

diperintahkan untuk tidak berhias dalam cara berpakaiannya." (Jalasaat Al-Hajj: hal.45).

Kesimpulannya: Pakaian wanita yang berwarna terang pada dasarnya bukanlah perhiasan yang

terlarang ditampakkan, karena adat banyak para shahabiyah memakai pakaian selain warna hitam,

bila hal ini terlarang tentu Rasulullah tidak akan tinggal diam dan tidak menyetujuinya. Hanya saja,

bila pada pakaian dengan warna tertentu dianggap oleh suatu negeri sebagai warna hiasan, maka

tidak dibolehkan untuk dipakai, karena akan membuat fitnah dan menarik perhatian orang banyak.

Keenam: Kaitan Warna Pakaian Dengan Adat Kebiasaan Nusantara dan Pakaian Haram

Jenis dan warna pakaian tidaklah dibatasi dalam islam karena ia dipakai berdasarkan 'urf atau adat

kebiasaan suatu masyarakat tertentu selama pakaian tersebut tidak memiliki sisi keharaman. Hal ini

www.wahdah.or.id 20
berangkat dari kaidah: "Pada dasarnya pakaian wanita atau laki-laki dengan warna apapun

hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang melarang warnanya tersebut." Kaidah ini juga berangkat

dari kaidah yang lebih umum: "Hukum asal suatu benda adalah mubah, sampai ada dalil yang

mengharamkannya."

Antara satu negeri dengan yang lainnya tentunya berbeda-beda seputar warna pakaian yang menjadi

'urf atau adat kebiasaan wanita disetiap negeri tersebut. Misalnya di Arab Saudi warna yang menjadi

kebiasaan wanita mereka adalah monoton pada warna hitam, artinya seorang wanita arab Saudi,

tidak akan keluar rumah kecuali dengan memakai pakaian luar berwarna hitam. Adapun dinegeri-

negeri lain semisal ASEAN; tentunya adat kebiasaan pakaian wanita mereka lebih beragam

warnanya, artinya pakaian wanita berwarna hijau, coklat, merah, atau lainnya; hanyalah suatu hal

yang biasa saja, bahkan warna hitam seringkali tidak cocok dengan banyak adat kebiasaan mereka

yang cenderung melihat warna hitam sebagai sesuatu yang menyeramkan. Syaikh Yaasiin Al-

Khathib menuturkan bahwa ketika ia masih kecil ia masih mendapati; salah satu adat kebiasaan

wanita-wanita Iraq adalah memakai pakaian warna merah, dan warna merah ini tidak dipakai oleh

kaum laki-laki karena menurut adat mereka adalah aib bila dipakai laki-laki. (lihat: Majalah Al-

Buhuuts Al-Islamiyyah: edisi 100 / hal.326).

Tentang tolok ukur adat kebiasaan suatu negeri dalam perkara warna pakaian ini dijelaskan oleh

Imam Ath-Thabari rahimahullah: "Pendapat yang saya ambil adalah bolehnya (laki-laki) memakai

pakaian yang diwarnai dengan celupan warna apapun, namun saya tidak suka (laki-laki) memakai

pakaian yang merah sekali, dan merah sebagai pakaian luar secara mutlak, karena ia bukan

merupakan pakaian orang yang berwibawa pada zaman kita ini, sebab memperhatikan jenis pakaian

suatu zaman tertentu merupakan bentuk kewibawaan selama ia tidak mengandung dosa, sebab

menyelisihi warna pakaian mereka merupakan salah satu bentuk syuhrah (pakaian ketenaran yang

terlarang)." (Dari Fath Al-Bari: 10/306).

www.wahdah.or.id 21
Ucapan beliau ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan bahasan kita sebab ia membahas

tentang pakaian laki-laki, hanya saja yang kita ambil adalah ucapan beliau yang menunjukkan

bahwa warna pakaian harusnya disesuaikan dengan zaman dan tempat tertentu, simak kembali

ucapan terakhirnya: "memperhatikan jenis pakaian suatu zaman tertentu merupakan bentuk

kewibawaan selama ia tidak mengandung dosa sebab menyelisihi warna pakaian mereka merupakan

salah satu bentuk syuhrah (pakaian ketenaran yang terlarang)."

Hal ini ditegaskan oleh banyak para ulama -yang akan kita simak dalam nukilan-nukilan

selanjutnya-. Dari pemaparan Ath-Thabari ini, kita bisa memahami bahwa warna pakaian wanita

(juga laki-laki) disesuaikan dengan adat kebiasaan zaman dan negeri tertentu, selama warna tersebut

atau bentuk pakaiannya bukan lah sesuatu yang dilarang dalam islam. Lalu pakaian manakah yang

dilarang terkait dengan warna pakaian ini ?? Simak penjelasan para ulama berikut.

1.Pakaian dengan warna yang merupakan warna khusus bagi pakaian laki-laki disuatu negeri.

Ulama di Komite Fatwa Arab Saudi Menjelaskan: "Tidak boleh bagi wanita untuk memakai

pakaian berwarna putih bila pakaian warna putih dinegerinya adalah ciri dan karakter pakaian

khusus laki-laki, karena hal ini merupakan bentuk tasyabbuh/menyerupai laki-laki, dan Rasulullah

shallallahu'alaihi wasallam telah melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki." (Fatawa

Komite Fatwa: 17/94, no.1843).

Syaikh Ibnul 'Utsaimin rahimahullah juga menjawab ketika ditanyakan tentang pakaian: Bolehkah

wanita berhijab dengan pakaian putih, atau hijau, atau warna lainnya bila hal tersebut merupakan

adat kebiasaan kaumnya, khususnya ketika sebagian instansi / kelompok memusuhi kaum wanita ini

bila mereka memakai pakaian / jilbab hitam ??

Beliau menjawab: "Tidak mengapa baginya untuk memakai pakaian putih bila hal ini merupakan

adat kebiasaan penduduk negerinya, namun harusnya tidak menyerupai bentuk pakaian laki-laki.

www.wahdah.or.id 22
Adapun warna pakaian maka tidak ukurannya, namun dengan syarat: pakaiannya tersebut berbeda

dengan pakaian laki-laki, adapun bila hal itu (warna putih atau hijau) bukan merupakan adat

kebiasaan penduduk negerinya maka wajib baginya mengikuti pakaian mereka, yaitu memakai

pakaian berwarna hitam, atau pakaian hijau, atau pakaian merah, tergantung adat kebiasaan

negerinya, dengan tetap menutup seluruh wajahnya." (Al-Liqa' Asy-Syahri: 26/66).

2.Pakaian dengan warna yang menyerupai warna khusus pakaian wanita-wanita kafir.

Berikut fatwa Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdul'Aziz Aalu Syaikh ketika ditanya:

"Apa hukumnya memakai pakaian berwarna merah bagi wanita ?"

Beliau menjawab: "Pada dasarnya seorang wanita boleh memakai pakaian dengan warna apa saja,

yang dilarang hanyalah wanita yang memakai pakaian yang memperlihatkan / membentuk lekuk

auratnya, baik pakaian itu tembus pandang, ketat, terbuka atau lainnya. Juga bila warna tersebut

menarik perhatian laki-laki bila ia nampak oleh mereka, maka hal itu dilarang, adapun bila ia tidak

nampak bagi laki-laki maka wanita tersebut tidak dilarang memakai warna pakaian apapun, dan ia

boleh memakai pakaian yang ia kehendaki dengan memperhatikan batasan-batasan yang disebutkan

sebelumnya, juga tidak menyerupai pakaian laki-laki, atau tidak memakai pakaian yang menjadi

pakaian resmi wanita-wanita kafir, karena adanya laknat bagi orang yang melakukan itu semua

yakni tasyabbuh / menyerupai laki-laki dan menyerupai orang-orang kafir…". Sampai beliau

menyatakan: "Islam sangat memuliakan wanita, dan tidak menzalimi hak-haknya, bahkan islam

memahami tabiat asli wanita berupa suka berhias, dan perhiasan sebagaimana firman Allah,

(artinya): “Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan

berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran." [Az

Zuhruf/43 : 18]. Islam senantiasa memperhatikan permasalahan wanita sejak ia kecil yang tabiatnya

suka berhias dan memakai perhiasan, dan sama sekali tidak mengharamkannya untuknya, sebab itu

islam mengharamkan pemakaian emas bagi laki-laki namun membolehkannya bagi wanita,

www.wahdah.or.id 23
mengharamkan pemakaian sutra bagi laki-laki namun membolehkannya bagi wanita,

mengharamkan pakaian yang seluruhnya berwarna merah (tanpa campuran warna lain) namun

membolehkannya bagi wanita, dan demikian seterusnya yang berkaitan dengan perkara berhias dan

perhiasan. Akan tetapi islam juga memberikan aturan terkait perkara wanita, baik berupa pakaian,

cara jalan, hijab dan semisalnya, semua ini bukan untuk melarangnya agar berhias, sekali-kali tidak,

namun demi menjaga dan memelihara kehormatan / kemuliaan dirinya…".

(http://www.mufti.af.org.sa/node/3017 ).

Larangan menyerupai warna khusus wanita kafir ini adalah hadis shahih:

‫تممن تتشنبته فبتقموءم تفكهتو فممنكهمم‬

Artinya: “Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu

Dawud: 4031)

Dalam Tafsirnya (1/374), Ibnu Katsir rahimahullah berkata; “Hadits ini menunjukkan larangan

yang keras, peringatan, dan ancaman atas perbuatan menyerupai orang-orang kafir dalam

perkataan, perbuatan, pakaian, hari-hari raya, dan peribadahan mereka, serta perkara mereka

yang lain yang tidak disyariatkan bagi kita dan syariat kita tidak mentaqrir (menyetujui)nya untuk

kita.”

3.Pakaian dengan warna yang merendahkan wibawanya dan dianggap warna syuhrah. Pernyataan

ini juga umum bagi laki-laki dan wanita, sebab memakai pakaian yang merendahkan wibawa tidak

dibolehkan oleh para ulama sebagaimana dijelaskan Imam Ath-Thabari rahimahullah sebelumnya:

"memperhatikan jenis pakaian suatu zaman tertentu merupakan bentuk kewibawaan selama ia tidak

mengandung dosa sebab menyelisihi warna pakaian mereka merupakan salah satu bentuk syuhrah

www.wahdah.or.id 24
(pakaian ketenaran yang terlarang)."

Pakaian dengan warna seperti ini dikatakan merendahkan wibawa seorang wanita bila memakai

warna yang asing atau dianggap remeh oleh adat kebiasaan negeri tertentu. Sehingga bisa saja

warna hitam yang menyeramkan oleh suatu masyarakat tertentu akan dianggap sebagai pakaian

menyeramkan dan merendahkan wibawa seorang wanita.

Hal ini tentunya bisa juga dikategorikan pakaian syuhrah sebagaimana dalam ucapan Imam Ath-

Thabari diatas. Pakaian syuhrah (ketenaran) didefinisikan para ulama sebagai pakaian yang muncul

dalam bentuk aneh sehingga menarik perhatian orang banyak dan ia menjadi populer karenanya.

(lihat: Tahdzib Al-Lughah: 6/53).

Adapun batasan pakaian agar diketahui sebagai pakaian syuhrah adalah: bila pakaian tersebut

menyelisihi pakaian adat kebiasaan suatu negeri, atau dalam kaitannya dengan warna pakaian, yaitu

warna pakaian yang menyelisihi warna yang menjadi adat kebiasaan negeri tertentu, baik dalam

bentuk pakaian mewah ataupun pakaian kumuh. (lihat Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah: 6/136-137).

Dalam kontek kenusantaraan kita, misalnya adalah pakaian yang menyala atau mengkilat; bila

hanya warna merah, hijau, atau kuning biasa, ini warna yang merupakan hal biasa dibanyak daerah

nusantara, namun apabila warna-warna ini mengkilat, maka tentunya sudah menjadi pakaian

syuhrah, atau bahkan sudah lebih mengarah pada pakaian berhias.

4.Pakaian dengan warna hiasan motif tertentu seperti motif kembang, atau lainnya, sebagaimana

yang banyak dipakai kaum wanita secara umum.

Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah ditanya: "Apa hukumnya wanita memakai pakaian berwarna

www.wahdah.or.id 25
hijau, atau kuning, atau selainnya pada masa haji ?"

Beliau menjawab: "Tidak mengapa bagi wanita untuk memakai pakaian sesuai kehendaknya dengan

warna apapun, kecuali bila pakaian tersebut dianggap sebagai pakaian tabarruj (berhias) atau

mempercantik diri (dihadapan umum) maka ia tidak boleh melakukannya, karena ia pasti akan

mendapati banyak laki-laki yang menyaksikannya … Misalnya: pakaian putih yang dalam adat

istiadat kita (Arab Saudi) dianggap sebagai pakaian kecantikan dan hiasan bagi wanita, maka wanita

tidak boleh memakai pakaian putih sewaktu ihram, karena hal itu akan menarik perhatian orang

banyak, lantaran perkara yang populer dikalangan kita semua adalah bahwa pakaian putih tersebut

merupakan pakaian kecantikan dan hiasan bagi wanita, sedangkan wanita diperintahkan untuk tidak

berhias dalam cara berpakaiannya." (Jalasaat Al-Hajj: hal.45).

Dr. Riyadh Al-Musaimiri (Dosen Fakultas Universitas Muhammad bin Suud, Riyadh) berkata:

"Pada dasarnya seorang wanita hendaknya keluar rumah dalam keadaan berhijab secara syar'i, yaitu

pakaian longgar dan luas yang tidak menampakkan jasad dan lekuk tubuhnya, tidak pula merupakan

pakaian berhias atau diberi wewangian. Adapun warna, maka tidak disyaratkan baginya untuk

memakai warna tertentu, hanya saja ia harus menjauhi pakaian yang bisa menarik perhatian orang-

orang dan membuat mereka terfitnah, sembari tetap memperhatikan adat kebiasaan yang berlaku

dinegerinya, sebab kaidah ushul yang populer menyebutkan bahwa "Al-'Adah Muhakkamah" (atau

"adat kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum"), Misalnya, di Arab Saudi adat kebiasaan wanita

adalah memakai pakaian luar yang berwarna hitam, sehingga seorang wanita disini tidak boleh

keluar rumah dengan memakai pakaian luar berwarna selain hitam walaupun dengan dalih bahwa

syariat islam tidak menyebutkan wajibnya pakaian warna hitam."

(http://www.islamtoday.net/questions/...t.cfm?id=10011 )

Dari banyak pernyataan para ulama diatas kita menyimpulkan bahwa: semua warna bisa dipakai

www.wahdah.or.id 26
oleh kaum wanita dengan syarat tidak termasuk dalam kategori warna khusus pakaian laki-laki,

warna khusus pakaian wanita kafir, warna khusus pakaian syuhrah, atau yang merendahkan wibawa

wanita muslimah, atau warna yang bukan merupakan adat kebiasaan suatu negeri tertentu. Wallaahu

a'lam.

Penutup: Satu Pencerahan

Setelah mengkaji berbagai dalil dan riwayat tentang warna pakaian wanita muslimah, maka

kesimpulannya adalah bahwa semua warna bisa dipakai oleh kaum wanita dengan syarat tidak

termasuk dalam kategori warna khusus pakaian laki-laki, warna khusus pakaian wanita kafir, warna

khusus pakaian syuhrah, atau yang merendahkan wibawa wanita muslimah, atau warna yang bukan

merupakan adat kebiasaan suatu negeri tertentu. Dengan kesimpulan ini, penulis ingin memberikan

beberapa pencerahan seputar warna pakaian muslimah ini, yaitu:

Pertama: Tidak boleh mengingkari wanita muslimah yang memakai pakaian dengan warna terang

seperti hijau, biru, merah atau lainnya, selama pakaian tersebut bukan pakaian haram atau makruh

dipakai, ia harus dibiarkan dan tidak boleh diingkari apalagi menuduh pemakainya dengan tuduhan-

tuduhan yang buruk.

Kedua: Pakaian dengan warna gelap tidak serta merta lebih utama dibanding dengan pakaian

berwarna terang, sebab keutamaan tidaknya suatu pakaian tergantung pada adat kebiasaan

masyarakat atau negeri tertentu. Boleh jadi pakaian warna hitam lebih utama di suatu negeri karena

ia adalah ikon adat kebiasaan wanita mereka, dan boleh jadi dinegeri lain warna hitam tersebut

malah dianggap menyeramkan, atau tidak sesuai dengan adat kebiasaan mereka yang lebih

mengutamakan warna lain, atau warna terang.

www.wahdah.or.id 27
Ketiga: Warna pakaian muslimah Indonesia harusnya disesuaikan dengan adat kebiasaan nusantara,

atau adat kebiasaan daerah masing-masing; baik warna terang seperti hijau, merah, biru, kuning,

atau pun gelap seperti hitam, coklat, abu-abu, selama warna tersebut bukan warna yang diharamkan

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan arahan Ustadz DR

Muhammad Zaitun Rasmin, Lc , MA (Ketua Ikatan Ulama dan Dai ASEAN, dan Pimpinan Umum

Wahdah Islamiyah) beberapa waktu yang lalu, selain karena warna pakaian bukanlah perkara

haram, juga karena adanya alasan penting lainnya yaitu:

1.Tolok ukur warna pakaian baik muslim atau muslimah adalah adat kebiasaan masyarakat atau

negeri tertentu. Sehingga muslimah Indonesia hendaknya tidak membawa-bawa warna yang

merupakan budaya negeri lain.

2.Dalam kaitannya dengan uslub atau trik dakwah islam, pakaian hitam seringkali membuat

masyarakat merasakan adanya kesenjangan dari segi sikap dan budaya antara mereka dengan para

dai atau daiyah yang memakai hitam-hitam. Belum lagi dibanyak daerah pakaian hitam plus cadar

hitam diidentikkan dengan istri teroris, atau pakaian khusus komunitas tertentu, padahal para dai

atau daiyah harusnya melebur dalam komunitas masyarakat dan menyatu dengan mereka. Demi

menghilangkan buruk sangka masyarakat tersebut, seorang wanita muslimah harusnya memakai

pakaian dengan warna yang tidak asing bagi masyarakatnya, agar dakwahnya bisa lebih diterima

masyarakat dan mereka merasa bahwa para dai dan daiyah tersebut tidak lah jauh berbeda dengan

adat kebiasaan harian mereka.

Keempat: Pembuatan potret hijab wanita muslimah Indonesia, baik versi cadar ataupun tidak,

tentunya disesuaikan dengan syarat-syarat pakaian wanita dalam islam, adapun warnanya maka

dengan mengikuti warna budaya Indonesia. Hal ini tentunya bertujuan agar muslimah Indonesia

bisa mengetahui secara pasti dan mudah tentang kriteria hijab atau pakaian wanita yang sesuai

islam, dan juga agar tersebar luas dikalangan masyarakat Indonesia secara umum sehingga mereka

www.wahdah.or.id 28
pun bisa mengaplikasikannya.

Demikian tulisan sederhana ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi penulis

sendiri, Wallaahu a'lam.

Haarrah Syarqiyyaah, Madinah Munawwarah, 19 Jumaada Al-Aakhir 1437 H / 29 Maret 2016 M

Penyusun: Maulana La Eda, Lc

www.wahdah.or.id 29

Anda mungkin juga menyukai