Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BAHASA INDONESIA
“Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa
Indonesia”

KELOMPOK VI

- Hengky Pala'langan D131211032


- Nurzalzabila D131211034
- Nuraini Hijria D131211036

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan banyak keanekaragaman. Untuk
mempersatukan keanekaragaman tersebut, diperlukan satu bahasa yang harus disepakati
oleh seluruh rakyat Indonesia.Dan bahasa Indonesia hadir sebagai jawabannya .
Indonesia juga adalah salah satu negara di dunia yang mempunyai bahasa nasional
sendiri, tidak seperti banyak negara lain yang masih mengangkat bahasa dari luar
negaranya untuk menjadi bahasa nasional. Bahasa Indonesia merupakan bahasa Melayu
yang diangkat menjadi bahasa negara di tengah banyaknya bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa Indonesia masih eksis sampai sekarang di tengah perkembangan zaman, bahkan
banyak menyerap bahasa daerah dan juga bahasa asing. Struktur dari Bahasa Indonesia
dapat dikatakan sederhana, sehingga mudah beradaptasi di berbagai daerah di Indonesia.
Mata kuliah bahasa Indonesia juga sudah dibuka di beberapa univeritas di berbagai
negara. Dari fakta-fakta tersebut kita sebagai rakyat Indonesia, terkhusus sebagai
mahasiswa wajib bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian kita. Mata
kuliah bahasa Indonesia ini sangat penting diberikan bagi kami sebagai mahasiswa, agar
kami menyadari betapa mahalmya sejarah dari bahasa Indonesia dan juga agar peran
penting bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak tergantikan
oleh bahasa-bahasa asing.
Rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu:
1) Perkembangan bahasa Indonesia.
2) Kedudukan bahasa Indonesia.
3) Fungsi bahasa Indonesia.
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1) Mengisi wawasan kita akan sejarah bahasa Indonesia.
2) Mengetahui peran penting kedudukan bahasa Indonesia.
3) Mengetahui fungsi dari bahasa Indonesia

2. Pembahasan
1) Sejarah Bahasa Indonesia
Para ahli sependapat bahwa cikal bakal bahasa Indonesia adalah bahasa melayu
kuno yang dalam perkembangannya kemudian melahirkan sejumlah dialek regional
dan dialek sosial yang tersebar luas di wilayah Asia Tenggara. Selain itu, bahasa
melayu yang menurut para pakar (Blust 1983,1984, Nothofer 1996, Collins 2005)
berasal dari wilayah Kalimantan Barat telah pula melahirkan dua dialek/ragam politis,
yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, disamping dua ragam politis lain yaitu
bahasa Melayu di Singapura dan bahasa Melayu di Brunei Darussalam.
Bukti bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu kuno adalah adanya
sejumlah prasasti yang di temukan di pulau Sumatera, Pulau Bangka, Semenanjung
Malaya (wilayah Malaysia sekarang) dan di Pulau Jawa. Prasasti-prasasti itu ditulis
dengan menggunakan huruf pallawa, yakni aksara yang dibawah oleh orang-orang
Hindu ke Indonesia. Ada juga, menurut Teeluw(1961) prasasti yang ditulis dengan
huruf Arab, dan ini tentunya prasasti yang dibuat sesudah masuknya agama Islam ke
Indonesia. Menurut Kridalaksana (1991) sudah ada 18 buah prasasti yang sudah
teridentifikasi dan besar kemungkinan akan bertambah lagi.
Sebagai contoh sebagai contoh bentuk bahasa melayu kuno berikut dikutipkan
bagian dari sebuah prasasti yang telah ditranslitrasi kedalam huruf latin.
Nipahat di welanya yang wala griwijaya kaliwatmanapik yang bhumi jaya tida
bhakti ka griwajaya.
Secara harfiah artinya: Dipahat di waktunya yang tentara sriwijaya telah
menyerang tanah jawa tidak takluk ke sriwijaya. Makna sebenarnya: Dipahat pada
waktu tentara sriwijaya telah menyerang tanah jawa yang tidak takluk pada sriwijaya.
Dari kutipan tersebutdapat dikenali sejumlah kata yang hingga yang kini masih biasa
digunakan. Kata kata itu adalah pahat, di, yang, wala(bala) bhumi(bumi), tida(tidak),
bhakti (bakti), dan ka (ke). Kata wala menjadi bala dimana fonem [w] berubah
menjadi [b] adalah perubahan yang umum dan biasa. Ada contoh lain, yaitu watu
menjadi batu dan wankai menjadi bangkai. Fonem [bh] menjadii [b] pada kata bhumi
dan bhakti adalah juga perubahan yang biasa terjadi begitupun fonem[a] berubah
menjadi [e] pada kata ka juga merupakan peubahan yang biasa ada contoh lain, yaitu
kata tantara menjadi tentara dan kata karena menjadi kerana (dalam bahasa Melayu
kini).
a. Bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan
Pada dasarnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman
Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa penghubung antar suku di
Nusantara dan sebagai bahasa yang di gunakan dalam perdagangan antara
pedagang dari dalam Nusantara dan dari luar Nusantara.Membahas tentang
sejarah perkembangan bahasa indonesia sebelum merdeka tidak terjadi dalam
suatu waktu yang singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan berabad-abad
lamanya.
Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai
berikut:
a) Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua franca
(bahasa perantara atau bahasa pergaulan dibidang perdagangan) di seluruh
wilayah Nusantara.
b) Bahasa Melayu mempunyai struktur sederhana sehingga mudah dipelajari,
mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar
untuk memerkaya dan menyempurnakan fungsinya.
c) Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya
perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial
pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan
perpecahan.
d) Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain
untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
e) Adanya semangat rela berkorban dari masyarakat Jawa demi tujuan yang
mulia.

Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaanBrunei, Indonesia, Malaysia,


dan Singapura. Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa
kebangsaan dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia merupakan sebuah
dialek bahasa Melayu, yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau (bahasa
Melayu dari provinsi Riau, Sumatera, Indonesia). Agaknya terlalu sederhana
untuk mengatakan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau.
Orang-orang lupa bahwa bahasa Melayu Riau hanyalah merupakan satu dialek
dari sekian banyak dialek Melayu yang lain.Diatas semua ini sudah terkenal di
seluruh Nusantara suatu bahasa perhubungan, suatulingua Franca yang disebut
dengan Melayu Pasar. Melayu Pasar inilah yang merupakan faktor yang
paling penting untuk di terimanya.

Nama Melayu mula-mula digunakan sebagai nama kerajaan tua di daerah


Jambi di tepi sungai Batanghari, yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan
oleh kerajaan Sriwijaya. Selama empat abad, kerajaan ini berkuasa di daerah
Sumatera Selatan bagian Timur dan di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra
bukan saja menjadi pusat politik di Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat
ilmu pengetahuan.
Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal mula terdapatnya
faktor-faktor historis hingga sekarang, baiklah kita mengikuti beberapa
perkembangan berikut.
a) Masa Prakolonial
Walaupun bukti-bukti tertulis masih kurang, dapat di pastikan
bahasa yang di pakai oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa
Melayu. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih
jelas dari berbagai peninggalan–peninggalan bersejarah misalnya: Tulisan
yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M,
Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683, Prasasti Talang
Tuo, di Palembang, pada tahun 684, Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat,
pada tahun 686, Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada
tahun 688.
Walaupun bukti tertulis hampir tidak ada, dengan adanya
bermacam-macam dialek Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara
seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang Betawi, dan Manado,
dapatlah dipastikan bahwa bahasa Melayu sudah mengalami penyebaran
seluas itu.
Dalam kesusastraan Tiongkok terdapat berita-berita tentang
musafir-musafir Cina yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia.
Mereka mempergunakan bahasa penduduk asli yang disebut Kwu’un Lun.
I Tsing yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII juga menggunakan
bahasa itu.
b) Masa Kolonial
Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad ke XVI,
mereka menghadapi suatu kenyataan, yaitu bahasa Melayu merupakan
suatu bahasa resmi dalam pergaulan dan bahasa perantara dalam
perdagangan (lingua franca). Hal ini dapat di buktikan dari beberapa
kenyataan berikut. Seorang Portugis bernama Pigafetta, setelah
menjunjung Tidore, menyusun semacam daftar kata pada tahun 1522;
berarti sebelum itu bahasa Melayu sudah tersebar sampai Kepulauan
Maluku.
Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke
Indonesia mendirikan sekolah-sekolah. Mereka terbentur pada soal bahasa
pengantar. Usaha-usaha untuk memakai bahasa Portugis atau bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan.
Demikianlah pengakuan seorang Belanda yang bernama Danckaerts dalam
tahun 1631. Ia menyatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku itu
kebanyakan memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Kegagalan di dalam memakai bahasa-bahasa Barat itu memuncak dengan
keluarnya suatu keputusan pemerintah kolonial, KB 1871 No. 104, yang
menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah Bumi Putra, kalau tidak
digunakan bahasa Melayu, di berikan dalam bahasa daerah.
c) Masa Pergerakan Kemerdekaan
Dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 sebagai
penggerakan kemerdekaan, terasa sangat diperlukan suatu bahasa untuk
mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indonesia. Pergerakan yang
besar dan hebat hanya dapat berhasil kalau semua rakyat diikutsertakan.
Untuk itu mereka mencari suatu bahasa yang dapat dipahami dan dipakai
semua orang.
Pada mulanya memang sulit untuk menentukan bahasa mana yang
akan menjadi bahasa persatuan. Tiap perhimpunan pemuda, apakah Jong
Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon, lebih suka menggunakan bahasa
daerahnya sendiri. Budi Utomo, misalnya lebih menekankan kebudayaan
dan bahasa Jawa. Hal-hal ini dirasakan sangat menghambat persatuan dan
kesatuan yang hendak dicapai.
Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai
suku bangsa di Indonesia, pada tahun 1926 Jong Java merasa perlu
mengakui suatu bahasa daerah sebagai media penghubung pemuda-
pemudi Indonesia. Bahasa melayu dipilih sebagai bahasa pengantar.
Pemuda-pemudi di Sumatra sudah lebih dulu menyatakan dengan tegas
hasrat mereka agar bahasa Melayu Riau, yang juga disebut Melayu Tinggi,
diakui sebagai bahasa persatuan. Walaupun dengan adanya hasrat yang
tegas ini, sebagai majalah Jong Java dan Jong Sumatranen Bond masih
ditulis dalam bahasa Belanda.
Perlu pula dicatat jasa beberapa Surat kabar yang turut
menyebarluaskan bahasa Melayu, seperti Bianglala, Bintang Timoer,
Kaum Moeda, dan Neratja. Disamping pengaruhnya yang sangat besar
dalam perkembangan bahasa Melayu, media tersebut sekaligus menjadi
penghubung dan tempat latihan bagi putra-putri Indonesia untuk
mengutarakan berbagai macam masalah.
Dengan adanya bermacam-macam faktor seperti disebutkan diatas,
akhirnya tibalah saat diadakan Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta, yaitu
pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebagai hasil yang paling gemilang dari
kongres itu, diadakan ikrar bersama yang terkenal dengan nama Sumpah
Pemuda, yang berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.

b. Bahasa Indonesia Setelah Kemerdekaan


Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, dalam
UUD 1945 ditetapkanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada pasal 36.
Pada tanggal 19 Maret 1947”bahasa Negara adalah bahasa Indonesia”.
Penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) diresmikan menggantikan Ejaan
van Ophuysen yang berlaku sejak tahun 1901.
Ejaan Van Ophuysen ditetapkan pada tahun 1901 dan diterbitkan dalam
sebuah buku Kitab Logat Melajoe. Sejak ditetapkannya itu, ejaan Van Ophuysen
pun dinyatakan berlaku. Sesuai dengan namanya ejaan itu disusun oleh Ch.A.Van
Ophuysen, yang dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Sebelum ejaan Van Ophuysen disusun para
penulis pada umumnya mempunyai aturan sendiri-sendiri dalam menuliskan
konsonan, vokal, kata, kalimat, dan tanda baca. Oleh karena itu, sistem ejaan yang
digunakan pada waktu itu sangat beragam. Terbitnya ejaan Van Ophuysen
mengurangi kekacauan ejaan yang terjadi pada masa itu.
Beberapa hal yang cukup menonjol dalam Ejaan Van Ophuysen antara
lain sebagai berikut :
• Huruf y ditulis dengan j, misalnya:
Sayang → Sajang
Yakin →Jakin
Saya →Saja
• Huruf u ditulis dengan oe, misalnya::
Umum →Oemoem
Sempurna →Sempoerna
• Huruf k pada akhir kata atau suku kata ditulis dengan tanda koma diatas,
misalnya:
Rakyat → Ra’yat
Bapak → Bapa’
Rusak → Rusa’
• Huruf j ditulis dengan dj, misalnya :
Jakarta→ Djakarta
Raja → Radja
Jalan → Djalan
• Huruf c ditulis dengan tj, misalnya :
Pacar → Patjar
Cara → Tjara
Ejaan Republik ialah ejaan baru yang disusun oleh Mr. Soewandi. Penyusunan
ejaan baru dimaksudkan untuk menyempurnakan ejaan yang berlaku sebelumnya
yaitu ejaan Van Ophuysen juga untuk menyederhanakan sistem ejaan bahasa
Indonesia. Pada tanggal 19 Maret 1947, setelah selesai disusun ejaan baru itu
diresmikan dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A, tanggal 19
Maret 1947. Ejaan baru itu diresmikan dengan Nama Ejaan Republik.

Ejaan Repubik lazim disebut Ejaan Soewandi karena Nama itu disesuaikan
dengan Nama orang yang memprakarsainya. Seperti kita ketahui, Soewandi
merupakan Nama Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan ketika ejaan
itu disusun oleh karena itu, kiranya wajar jika ejaan yang disusunnya juga dikenal
sebagai Ejaan Soewandi.
Ejaan yang terakhir yang berlaku sampai sekarang adalah Ejaan yang
disempurnakan. Ejaan ini diresmikan pada tahun 1972. Sebelum EYD, Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan
lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para
pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia
ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang
kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan
menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri
Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk
melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang
Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan
Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan
bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan
Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari
Ulang Tahun Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17
Agustus 1972 diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh
Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972,
ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja
panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan
Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta
penyempurnaan dari pada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak
bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah
penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975
Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
Garis Waktu Peresmian Ejaan
a) Tahun 1901 ejaan yang digunakan ejaan van ophuijsen
b) Ejaan republik diresmikan 1947
c) Berdasarkan Putusan Presiden No.57, Tahun 1972, diresmikan pemakaian.
Ejaan Bahasa Indonesia. Departemen pendidikan dan Kebudayaan
menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan.
d) Tahun 1975 dikeluarkan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD) dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No.
0196/1975.
e) Lima tahun sekali, Ejaan Bahasa Indonesia senantiasa disempurnakan
hingga sekarang melalui Kongres Nasional Bahasa Indonesia dengan
motor penggerak Pusat Bahasa.
f) Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan
dengan Surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
g) Di era kesejagatan kini, Bahasa Indonesia dipelajari di berbagai Perguruan
Tinggi nasional dan internasional.

2) Kedudukan Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum
pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Ini berarti bahwa bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional; kedudukanya berada di atas
bahasa-bahasa daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum
pasal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang
menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, ada dua
macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia berkedudukan
sebagai bahasa nasional sesuai dengan sumpah pemuda 1928; kedua, bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945. Dalam kedudukanya bahasa Indonesia harus benar-benar dipahami oleh semua
kalangan terutama kaum muda dan pelajar, agar jiwa patriotisme dan nasionalisme
terus terjaga.
3) Fungsi Bahasa Indonesia
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki fungsi, diantaranya:
a) Lambang Kebanggaan Kebangsaan
Di dalam fungsinya sebagai Lambang Kebangaan Kebangsaan, bahasa
Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa
kebangsaan.
b) Lambang Indentitas Nasional
Bahasa Indonesia fungsinya sebagai Indentitas Nasional, yang mengarah
pada penghargaan terhadap bahasa Indonesia selain bendera dan lambang negara.
Di dalam fungsinya bahasa Indonesia tentulah harus memiliki indentitasnya
sendiri, sehingga serasi dengan lambang kebangsaan yang lain.
c) Alat Perhubungan Antarwarga, Antardaerah, Antarbudaya
Bahasa Indonesia memiliki peranan yang fital dimasyarakat umum dan
nasional. Berkat adanya bahasa Indonesia masyarakat dapat berhubungan satu
dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat
perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikawatirkan.
d) Alat Pemersatu Suku Budaya dan Bahasanya.
Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu suku, budaya dan bahasa
maksudnya, bahasa Indonesia memungkinkan keserasian di antara suku-suku,
budaya dan bahasa di Nusantara, tanpa harus menghilangkan indentitas kesukuan
dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah
yang bersangkutan.
Sedangkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara memiliki
fungsi diantaranya:
a. Bahasa Resmi Kenegaraan
Maksud dari Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahwa
bahasa Indonesia dipakai di 290 Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa
UNIB2015 dalam kegiatan-kegiatan resmi kenegaraan seperti upacara, peristiwa
dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan.
b. Bahasa Pengatar dalam Pendidikan
Bahasa Indonesia memiliki fungsi fital di dunia pendidikan di nusantara
ini, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh
Indonesia, kecuali pada daerah-daerah tertentu yang masih menggunakan bahasa
daerah sebagai bahasa pengantarnya seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura,
Bali dan Makasar, akan tetapi hanya sampai tahun ke tiga pendidikan Sekolah
Dasar.
c. Alat Perhubungan pada Tingkat Nasional
Dalam hal ini bahasa Indonesia dipakai bukan saja sebagai alat
komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja
sebagai alat perhubungan antardaerah, dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat
perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan
bahasanya
d. Alat Pegembangan Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang
memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional
sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan indentitasnya
sendiri, yang membedakanya dengan kebudayaan daerah.

3. Penutup
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36”bahasa Negara adalah
bahasa Indonesia”. Sejarah bahasa Indonesia telah tumbuh dan berkembang sekitar abad
ke VII dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa
perhubungan. Bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga di seluruh Asia
Tenggara.
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, diumumkanlah penggunaan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa untuk Negara Indonesia pascakemerdekaan. Secara yuridis, baru tanggal
18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya dan ditetapkan
dalam UUD 1945 pasal 36.
Ada beberapa ejaan yang pernah diguankan di Indonesia, antara lain ejaan Van
Ophuysen, ejaan republik, dan ejaan yang masih digunakan sampai sekarang yaitu ejaan
yang disempurnakan atau biasa disingkat EYD.

Kedudukan sebagai Bahasa Nasional:

a) Lambang kebanggaan Nasional


b) Lambang Identitas Nasional
c) Alat pemersatu
d) Alat penghubung antarbudaya
Kedudukan sebagai Bahasa Negara :
a) Bahasa resmi kenegaraan
b) Bahasa pengantar resmi lembaga Pendidikan
c) Bahasa resmi di dalam perhubungan dan pembangunan
d) Bahasa resmi kebudayaan dan IPTEK
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho. Agung. 2015. PEMAHAMAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA


INDONESIA SEBAGAI DASAR JIWA NASIONALISME. STKIP-PGRI. Lubuklinggau

Sari. Inda Puspita. 2015. PENTINGNYA PEMAHAMAN KEDUDUKAN DAN


FUNGSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA (NKRI). STKIP PGRI. Lubuklinggau

Anda mungkin juga menyukai