Anda di halaman 1dari 10

Apa itu Pajak Transaksi Elektronik?

TRANSFORMASI digital yang pesat memunculkan anggapan aturan pajak


internasional yang ada saat ini sudah usang dan tidak lagi relevan. Pasalnya, aturan
yang telah berusia lebih dari satu abad ini belum mengakomodasi ketentuan tentang
digitalisasi ekonomi dengan baik.

Kelemahan tersebut pada akhirnya memicu peluang praktik base erosion and profit
shifting (BEPS). Praktik ini berkaitan dengan tren penghindaran pajak yang kerap kali
mengandalkan dalih tidak adanya kehadiran fisik pada suatu yuridiksi sehingga
perusahaan tidak patut dikenakan pajak.

Dalih itu membuat banyak negara jengah dan menyerukan perancangan aturan
internasional yang dapat memastikan hak pemajakan pada yuridiksi tempat di mana
keuntungan diciptakan atau kegiatan ekonomi berlangsung. Kondisi inilah yang
mendorong kian santernya pembahasan Digital Service Tax (DST).

Baca Juga: Apa Itu Dwelling Time?


Lantas, apa yang dimaksud dengan DST atau pajak layanan digital atau pajak
transaksi digital?

Definisi DST
SECARA sederhana, DST adalah pajak atas aliran pendapatan kotor tertentu yang
diterima perusahaan raksasa digital (Tax Foundation, 2020). Namun, pada hakikatnya
sampai saat ini belum ada pengertian yang secara lugas mendefinisikan apa itu DST.

Pasalnya, aturan tentang DST saat ini masih dalam proses pengerjaan oleh OECD.
OECD sendiri menjadi organisasi yang dipercaya untuk menaungi negosiasi lebih dari
130 negara yang ingin mengadaptasi sistem pajak internasional termasuk DST.

Baca Juga: Duh, Target Konsensus Global Pajak Digital Mundur ke Paruh 2021
Melalui negosiasi tersebut akan didesain skema yang membuat perusahaan
multinasional harus membayar pajak penghasilan di yuridiksi tempat konsumen atau
pengguna mereka berada. Berdasarkan kabar terakhir, OECD berharap konsensus
global tersebut dapat tercapai pada Desember 2020.

Namun, terlepas dari negosiasi multilateral yang tengah berjalan, banyak negara yang
memutuskan untuk melangkah maju dengan tindakan unilateral guna mengenakan
pajak digital. Bahkan sekitar setengah dari negara anggota OECD di Eropa telah
mengumumkan, mengusulkan atau menerapkan DST.
Secara lebih terperinci, terhitung pada Maret 2020 Austria, Prancis, Hongaria, Italia,
Turki, dan Inggris merupakan negara yang telah menerapkan DST. Selanjutnya,
Republik Ceko, Slovakia, dan Spanyol baru ditahap menerbitkan proposal untuk
memberlakukan DST.

Baca Juga: Menegakkan Kedaulatan Pajak Digital


Sementara itu, Latvia, Norwegia, dan Slovenia telah resmi menunjukkan niat
menerapkan DST. Di sisi lain, Prancis merupakan negara yang pada awalnya sangat
gencar menggaungkan DST, tetapi pada akhirnya negara yang tersohor akan Menara
Eiffel-nya ini menunda penerapan pajak digital hingga akhir 2020.

Kasus Prancis
PADA Januari 2019, Prancis mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Digital
Service Tax (DST) yang kemudian disetujui Senat. Selanjutnya, RUU tersebut diteken
oleh Presiden Prancis pada 24 Juli 2019 dan dirilis secara resmi pada 25 Juli 2019
serta berlaku surut mulai 1 Januari 2019.

DST Prancis ditetapkan dengan tarif 3% dan menyasar perusahaan digital yang
menerima pendapatan lebih dari Eu€750 juta atau setara dengan Rp11,37 triliun untuk
layanan digital yang disediakan di seluruh dunia, dan Eu€25 juta atau setara Rp3,79
triliun untuk layanan di Prancis.

Baca Juga: DPR Sepakati Usulan Penerapan Tobin Tax dan Pajak Digital
Terdapat dua cakupan kegiatan yang dikenai pajak ini, yaitu penyedia layanan
platform digital dan iklan digital. Pajak ini diestimasi akan mendatangkan penerimaan
senilai Eu€500 juta setara dengan Rp7,8 triliun. Anda juga bisa membaca perincian
skema pajak digital Prancis di sini.

Namun, setelah bersitengang dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS), pada awal
Januari 2020 lalu Pemerintah Prancis setuju untuk menangguhkan penerapan DST
hingga Desember 2020 dengan syarat Pemerintah AS menunda penarapan tarif
pembalasan atas barang-barang asal Prancis.

Kasus Indonesia
PEMERINTAH Indonesia merilis aturan DST melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 yang secara tegas menerapkan pajak
transaksi elektronik.

Baca Juga: Apa Itu Pajak Karbon?


Pasal 6 ayat (8) Perpu ini menyebut pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,
dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri
yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan tetapi tidak dapat ditetapkan
sebagai bentuk usaha tetap (BUT) karena adanya tax treaty akan dikenakan pajak
transaksi elektronik.

Dalam perpu itu pemerintah menetapkan tiga ketentuan kehadiran ekonomi


signifikan yaitu, (i) peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah
tertentu; (ii) penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau (iii)
pengguna aktif media digital di Indonesia sampai jumlah tertentu.

Apabila dicermati, Pasal 6 ayat (8) Perpu 1/2020 ini mengindikasikan pajak transaksi
elektronik merupakan pajak yang berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) secara
umum dan juga terpisah dari pajak pertambahan nilai (PPN).

Baca Juga: Sidang MK, Sri Mulyani Ungkap Alasan Pajak Digital Masuk UU 2/2020
Namun, Pemerintah Indonesia belum merilis ketentuan lebih lanjut terkait dengan
besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak transaksi elektronik
sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara lain. Perpu ini harus mendapatkan
persetujuan DPR terlebih dahulu.

Simpulan
BERDASARKAN penjabaran yang diberikan DST atau pajak layanan digital atau
pajak transaksi elektronik merupakan pajak yang dikenakan terhadap aliran
pendapatan kotor tertentu yang diterima perusahaan digital.

Namun, pajak ini memiliki dasar pengenaan, dan tarif yang berbeda-beda. Pada
intinya pajak ini menyasar penghasilan yang dihasilkan dari transaksi elektronik yang
selama ini luput dari pengaturan pajak domestik. (Bsi)

Menegakkan Kedaulatan Pajak Digital


Indrajaya Burnama, Semarang, Jawa Tengah

PENERBITAN PMK No.48/PMK.03/2020 tentang Pengenaan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (PMSE) yang notabene turunan UU No.2 Tahun 2020 menjadi sebuah kado perpajakan yang
indah di perayaan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-75.

PMK itu menjadi tonggak penting penegakan kedaulatan pajak (sovereignity tax) atas mayoritas
perusahaan digital dunia di Indonesia. Dengan PMK tersebut, Ditjen Pajak dapat menunjuk pemungut
PPN PMSE yang selama ini belum melakukan kewajiban PPN meski bertransaksi di Indonesia.

Sampai saat ini, Ditjen Pajak telah melakukan tiga kali penunjukan Pemungut PPN PMSE terhadap dua
puluh delapan perusahaan digital. Beberapa diantaranya adalah Amazon, Google, Netflix, Spotivy,
Facebook, Tiktok, Skype, JD.ID, Shopee, dan Zoom (DJP, 2020).
Rentetan perusahaan digital luar dan dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE
sepertinya terus bertambah lantaran meningkatnya aktivitas digital di tengah pandemi. Platform bisnis
digital menjadi salah satu juara saat pandemi dan memiliki potensi pajak sangat tinggi.

Kajian Kementerian Keuangan menyatakan ada potensi PPN Rp10,4 triliun dari pengenaan pajak digital.
Jika dipersempit lagi, ada potensi PPN Rp1,7 triliun diraup dari perusahaan digital yang menjadi
pemungut PPN PMSE.

Dengan catatan, jumlah potensi tersebut masih terbatas menggambarkan potensi PPN dari beberapa
perusahaan digital, belum termasuk pajak penghasilan (PPh). Padahal, sebenarnya potensi PPh jauh
lebih besar dari pada PPN.

Belajar dari negara lain yang menggunakan digital sevice tax, ada potensi pajak digital di Perancis £360
juta atau Rp60 triliun pada 2019 dari 30 perusahaan digital (BBC, 2019). Di Inggris, menurut riset
National Union of Journalists ada potensi pajak digital di Inggris £280 juta pada 2020.

Lalu bagaimana PPh perusahaan digital di Indonesia? Menurut Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus
Muhammad Haniv, Google memiliki utang Rp5 triliun, terdiri atas pokok Rp1 triliun dan denda Rp4
triliun sejak 2011-2014. (Kompas, 2016). Google menyelesaikan kewajibannya saat amnesti pajak.

Dari contoh di atas dapat disimpulkan secara kasar potensi PPh perusahaan digital nasional. Satu
perusahaan digital saja memiliki kewajiban PPh triliunan. Lantas bagaimana dengan 6, 16, 28, atau
mungkin ratusan perusahaan digital?

Apalagi jika dihitung sejak 2015 sampai sekarang. Pajak digital ibarat oase di tengah padang Covid-19
yang sangat dibutuhkan pemerintah saat kehausan karena lesunya kegiatan perekonomian dan bayang-
bayang resesi.

Namun, penegakan kedaulatan pajak digital tidak semudah membalik telapak tangan. Prancis telah
merasakan rumitnya pengenaan pajak ini. Mereka menerima ancaman dari Amerika Serikat (AS) yang
menjadi domisili mayoritas perusahaan digital. Prancis akhirnya menunda Gafa Tax sampai 2021.

Indonesia termasuk 10 negara yang diinvestigasi AS karena menerapkan pajak digital. Pemerintah
merespons dan menyatakan mempertimbangkan konsensus global sebagai perwujudan doktrin
pertahanan Indonesia yang cinta damai dengan komitmen hidup berdampingan bersama negara lain.

Akan tetapi, kita memiliki hak memajaki tanpa tekanan sesuai dengan prinsip pajak internasional. PMK
48/2020 menjadi bukti penegakan setengah kedaulatan pajak digital di Indonesia karena telah sesuai
dengan prinsip netralitas dan pajak internasional (Darussalam, 2020).

PPh atau PTE


MELIHAT kondisi terkini, usaha OECD dan AS membuat kesepakatan global tentang PPh perusahaan
digital sepertinya tidak akan tercapai pada akhir 2020 seperti target yang ditentukan sebelumnya.
Minimal ada 3 alasan kuat yang mendasari tanda-tanda kegagalan tersebut.
Pertama, batalnya pertemuan Inclusive Framework OECD sebagai salah satu kunci pematangan
konsensus pajak digital di awal Juli lalu lantaran pandemi yang merebak di Eropa (Pascal, 2020). Kedua,
Amerika menarik diri dari pembicaraan kesepakatan global (Kompas, 2020).

Ketiga,  bertambahnya negara besar yang melibatkan diri dalam proses konsensus seperti Rusia dan
Tiongkok yang memiliki agenda sendiri-sendiri. Akibatnya diperkirakan tiap negara akan menerapkan
aturan pajak digital yang beragam tetapi dengan fitur yang cenderung mirip (IMF, 2019).

Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemerintah sebenarnya sudah berusaha menarik pajak perusahaan
raksasa digital dunia melalui PMK No.35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
per 1 April 2019.

Namun, redefinisi itu belum signikan karena aturan BUT internasional masih berlandaskan pada physical
presence, bukan economic presence. Karena itu, upaya pemerintah mempersiapkan PPh digital dilapisi
pajak transaksi elektronik (PTE) pada Pasal 6 ayat (1) UU No.2/2020 sangat tepat.

Hanya, daftar panjang sengketa pajak internasional karena pengenaan pajak digital sudah menunggu di
hadapan kita (Kristiaji, 2019). Belum lagi dengan adanya potensi ancaman perang dagang seperti yang
dialami Prancis.

Menurut Kimberly Clausing (2020), isu pengenaan pajak digital menyebabkan naiknya ketegangan politik
dan ekonomi negara-negara maju yang bisa merembet ke dunia internasional. Akan tetapi itu adalah
konsekuensi logis dari sebuah pilihan di antara dua pilihan sulit yang harus diambil saat ini.

Dengan kata lain, kita dapat menjadikan investigasi pajak digital oleh United States Trade Representative
sebagai momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk merapatkan barisan dan bersiap dengan segala
kemungkinan jika PPh atau PTE diberlakukan tahun depan.

Penegakan kedaulatan pajak digital dengan semangat bela negara mutlak dilakukan di tengah
ketidakpastian ekonomi demi kepentingan bangsa. Pemungutan PPN digital sudah berjalan. Kini saatnya
mengenakan PPh atau PTE untuk menyempurnakan penegakan kedaulatan pajak.

(Disclaimer)

Topik : lomba menulis DDTC 2020, lomba menulis pajak, artikel pajak, pajak digital

KOMENTAR
Mengintegrasikan Pemajakan Digital

Ayu Chotibah, Palembang, Sumatra Selatan

DI TENGAH situasi pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan menerapkan protokol


kesehatan dan dianjurkan berdiam di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran
virus. Hal ini rupanya memengaruhi perubahan cara berbelanja masyarakat.

Fenomena berbelanja daring sebenarnya sudah popular sebelum pandemi, tetapi


semakin naik daun taktkala masyarakat diharuskan meminimalisasi kegiatan di luar
rumah. Riset McKinsey & Company menyebut 34% orang Indonesia mengakui
adanya peningkatan belanja makanan secara daring.

Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah memiliki peluang besar untuk memberlakukan


pajak transaksi digital yang menjadi tambahan pemasukan negara. Akhirnya, melalui
Perpu No. 1/2020, pemerintah merilis pajak pertambahan nilai (PPN) atas
perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Seluruh konsumen yang melakukan aktivitas pembelian barang/jasa kena pajak secara
digital harus membayar pajak konsumsi 10% dari harga beli. Peraturan ini berlaku
sejak 1 Juli 2020. Dengan demikian, diharapkan menjadi langkah baik dalam
memaksimalkan penerimaan pajak di Indonesia.

Integrasi Data
DENGAN maraknya kehadiran lokapasar digital seperti Tokopedia,
Shopee, dan Bukalapak, jumlah pelapak daring cenderung terus bertambah.
Berdasarkan survei angkatan kerja nasional 2019, jumlah penjual barang melalui
Internet mencapai 15 juta orang atau 12% dari total pekerja .

Hal ini mengharuskan pemerintah terus berinovasi untuk memaksimalkan penerimaan


pajak PMSE, terutama pada kondisi pandemi. Salah satunya dengan melakukan
integrasi data dan pemberian relaksasi kepada pelapak daring. Untuk itu, ada paling
tidak 3 langkah yang bisa dilakukan.

Pertama, pembuatan portal pangkalan data pelapak daring. Semua pelapak yang
memanfaatkan Internet untuk berniaga baik yang bekerja sama dengan lokapasar
maupun yang memanfaatkan media sosial harus mendaftarkan diri melalui portal
tersebut.

Nantinya, mereka akan mendapatkan kartu identitas pelapak daring yang


menunjukkan identitas pelapak yang terdaftar secara resmi. Pendaftaran ini dilakukan
untuk memudahkan pencatatan dan pendataan perpajakan PSME.

Kedua, mengintegrasikan data kartu pelapak daring dengan sistem administrasi


perpajakan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pelapak dalam administrasi pajak
yang aplikasinya harus diimbangi dengan sosialisasi berkala untuk memberikan
pemahaman maksimal kepada pelapak daring.

Ketiga, pemberian insentif pajak ke pelapak daring. Insentif dan dan kemudahan
lainnya diharapkan dapat menggeser stigma bahwa pajak adalah bentuk pemerasan
negara ke masyarakat. Pemerintah harus berupaya mengubah stigma itu, sebab pajak
adalah salah satu cara membela negara,.

Integrasi data pelapak daring melalui portal yang dikelola pemerintah akan
memudahkan pencatatan dan proses pemajakan. Di sisi lain, data yang terintegrasi
tersebut juga dapat memaksimalkan kinerja pelapak sekaligus menjadi stimulus untuk
memaksimalkan penerimaan.

(Disclaimer)
Pentingnya Penerapan Pajak Digital
Teknologi pasti telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan Anda. Coba Anda ingat lagi,
sebagian aktivitas yang tadinya hanya berjalan secara offline, saat ini sudah merambah ke dunia
digital, mulai dari hiburan hingga kegiatan bisnis dan ekonomi digital. Perubahan ini kemudian
memunculkan apa yang disebut dengan pajak di era digital. 

Topik pajak di era digital menjadi hal yang menarik, karena masih dikembangkannya sebuah
sistem untuk mengatur realisasi pajak digital, melihat banyaknya angka pengguna internet di
Indonesia. 

Sulitnya penerapan pajak di era digital ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan menjadi
topik perbincangan di seluruh dunia. Tahun 2019, Kementerian Keuangan Indonesia mengikuti
sidang tahunan G20 yang dilaksanakan di Jepang. Sidang tahunan yang dihadiri oleh sejumlah
negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD) ini ikut membahas tantangan pajak di era digital. Berdasarkan data yang dihimpun oleh
Kemenkeu, dari 260 juta populasi dan 100 juta pengguna internet di Indonesia, realisasi
penerimaan perpajakannya masih belum tercermin.

Sejauh mana pengenaan pajak atas aktivitas digital? Simak uraian singkat dari OnlinePajak
mengenai apa yang disebut dengan pajak digital, tantangan, serta perkembangan peraturan yang
mengikat aktivitas digital berikut ini!

Pajak Digital di Indonesia


Apa yang dimaksud dengan pajak di era digital? Definisi pajak di era digital ini merupakan pajak
atas perusahaan yang memanfaatkan teknologi internet. Mulai dari penyedia konten digital,
sosial media hingga transaksi perdagangan barang/jasa melalui sistem elektronik yang
selanjutnya disebut e-commerce. 

Dalam prakteknya, e-commerce juga memiliki ketentuan pajaknya tersendiri. Jika Anda
merupakan pegusaha yang bergerak dibidang e-commerce,

Baca Lebih Lanjut: Pajak e-Commerce, Ini Dia Hal yang Harus Diperhatikan Pebisnis Online
Di era ekonomi digital ini banyak negara mengalami persoalan memungut pajak dari perusahaan
pengembang bisnis digital, seperti Facebook, Google, Apple, Twitter, Yahoo dan Instagram.

Di Indonesia sendiri, jajak pendapat yang dipublikasikan PWC di Jakarta memperkirakan tingkat
pertumbuhan pendapatan industri hiburan dan media mencapai 10% pada 2021 mendatang atau
senilai 8.168 juta dollar AS. Industri hiburan dan media akan semakin banyak bergerak melalui
internet. Namun dari sisi infrastruktur, Indonesia masih tertinggal dari sejumlah negara tetangga.

Digitalisasi ini berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, potensi pajak di
sektor digital cukup besar sehingga pemerintah sebuah negara perlu menangkap peluang itu.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII),
Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia dengan pengakses internet
mencapai 132,7 juta orang. Jumlah ini menjadi alasan yang kuat jika Direktorat Jenderal Pajak
memberikan perhatian dan mengejar pajak perusahaan berbasis ekonomi digital. 

Rencana Peraturan Pajak Digital di Indonesia


Saat ini pemerintah sedang mengusahakan, bagaimana pajak digital tidak hanya diterapkan
kepada perusahaan digital yang memiliki kehadiran fisik di Indonesia dengan merumuskan
sejumlah peraturan terkait: 

 Melakukan redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap (BUT), dengan mempertimbangkan kompleksitas
struktur digital sebuah perusahaan. Dalam perspektif global, selama ini ada kecenderungan bahwa
penetapan BUT ditentukan melalui kehadiran fisik. Dalam kasus ekonomi digital, skema
penetapan BUT secara konvensional sudah ketinggalan zaman. 
 Tantangan lainnya adalah membuat formulasi kebijakan, khususnya perhitungan kuantitatif
terkait significant presence.
Peraturan mengenai pajak di era digital nantinya akan mengoreksi sejumlah poin penting dalam
sejumlah pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Rencana peraturan ini akan berupa Rancangan Undang-undang  (RUU) Ketentuan dan Fasilitas
Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang mencakup upaya peningkatkan aktivitas
ekonomi melalui sektor perpajakan.

Terkait peraturan ekonomi digital ini, pemerintah juga akan menjadikan perusahaan digital
seperti Google dan Amazon untuk memungut dan menyetor serta melaporkan PPN kepada
otoritas pajak untuk meminimalisir adanya penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai