Anda di halaman 1dari 132

“TINJAUAN HUKUM ISLAM

DALAM PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK


SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA
DI INDONESIA”

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Penyelesaian Program Strata Satu (S-1) pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
(Mu’amalah)

Oleh:

FIRDHA FADHILAH RIDWAN


NPM: 10010213107

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017 M / 1438 H
PERSETUJUAN

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Titin Suprihatin, Dra.,M.Hum. Eva Misfah Bayuni, S.E.I, M.E.Sy.

Mengetahui

Dekan Ketua Program Studi Hukum Ekonomi

Fakultas Syari’ah Unisba Syari’ah (Mu’amalah)

M. Roji Iskandar, Drs., M.H. Dr. Neneng Nurhasanah, Dra., M.hum.

i
PENGESAHAN

Skripsi ini telah di munaqasyahkan oleh tim penguji skripsi pada hari senin,

tanggal 14 Agustus 2017, dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana (S-1) pada Fakultas Syari’ah Program Studi Hukum

Ekonomi Syariah (Mu’amalah) Universitas Islam Bandung.

Bandung, 14 Agustus 2017 M


21 Dzulqa’dah 1438 H
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua Sekretaris

M. Roji Iskandar, Drs., MH. Dr. Neneng Nurhasanah, Dra.,M.Hum.

TIM PENGUJI:

1. Dr.H.M.Zainuddin,Lc.,Dipl.,M.H.

2. Zaini Abdul Malik, S.Ag.,M.A.

SEKRETARIS MAJELIS

Ifa Hanifia Senjiati, S.Sy., M.Si.

ii
MOTTO

)٣(ْ‫ْو ِكيال‬ َّ ِ‫ْو َكفَىْب‬


َ ِ‫اَّلل‬ َّ َ‫عل‬
َ ِ‫ىَّْللا‬ َ ْْ‫َوت َ َوكَّل‬
“dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara”.

(QS Al-Ahzab [33]: 3)

iii
ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ISLAM


DALAM PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK
SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA
DI INDONESIA
FIRDHA FADHILAH RIDWAN

Kata Kunci :Pengampunan Pajak, Pendapatan Negara, Hukum Islam


Berdasarkan laporan APBN 2017, Pendapatan negara bertumpu pada
perpajakan sebesar 85,6%. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan
kebijakan pengampunan pajak untuk menambah sisi penerimaan negara. Padahal
dalam Islam pajak hanya dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang
bersifat komplemen. Sementara itu konsep pengampunan pajak belum ada di
zaman Rasulullah Saw. Rumusan masalah yang ingin diketahui adalah:
Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pendapatan negara di Indonesia,
bagaimana penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan
negara di Indonesia, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penerapan
pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di
Indonesia.Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan
hukum Indonesia tentang pendapatan negara, untuk menganalisis dan memahami
penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di
Indonesia, untuk memahami secara mendalam mengenai tinjauan hukum Islam
terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan
negara di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan
deskriptif dan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder
yaitu laporan APBN 2017 dan laporan Dirjen Pajak mengenai statistik amnesti
pajak dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan studi kepustakaan.
Analisis data yang digunakan adalah perbandingan hukum danverifikasi penarikan
kesimpulan.
Hasil penelitian berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat di tarik
simpulan sebagai berikut: Pertama, pendapatan negara di Indonesia memiliki
beberapa perbedaan dengan pendapatan negara pada zaman Rasulullah Saw dalam
hal mengatur, mengelola, termasuk cara memperoleh penerimaan negara. Kedua,
Penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di
Indonesia belum berhasil mengoptimalkan pendapatan negara dalam jangka
pendek karena berkurangnya pemasukan pajak dan denda yang seharusnya
dibayar. Ketiga, tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak
sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, dana dari uang
tebusan yang otomatis masuk kedalam kas negara untuk menambah sisi
penerimaan negara diragukan kehalalannya karena tidak sesuai dengan konsep
perampasan harta dalam jarimah ta’zir.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan

hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul: “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Pengampunan Pajak

sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia” dengan lancar tanpa

kendala. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, sang revolusioner yang telah membawa perubahan dari zaman

jahiliyah hingga zaman yang penuh rahmat ini.

Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh

gelar sarjana strata satu (S-1) Fakultas Syari’ah Program Studi Hukum Ekonomi

Syari’ah (Mu’amalah). Ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis ucapkan

kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan

dalam berbagai bentuk. Ucapan terimakasih terutama penulis sampaikan kepada:

1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat, hidayah, kesehatan, rezeki,


dan nikmat yang tidak terhingga.
2. Orang tuaku tercinta, Dadan Muhammad Ridwan dan Diah Sabariah yang

telah memberikan cinta, semangat, motivasi dorongan do’a, moril dan

materil kepada penulis.

3. Bapak M. Roji Iskandar, Drs.,M.H. selaku Dekan Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Bandung .

4. Ibu Titin Suprihatin, Dra.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

membimbing penulis dengan sabar dan ikhlas dalam menyelesaikan

skripsi ini.

v
5. Ibu Eva Misfah Bayuni, S.E.I, M.E.Sy. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah membimbing penulis dengan sabar dan ikhlas dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. Ibu Ifa Hanifia Senjiati, M.E.Sy., M.Si. selaku Dosen sekaligus mentor

terbaik yang telah mengajarkan banyak hal dan selalu memberi dukungan

moril kepada penulis.

7. Segenap Dosen beserta seluruh jajaran staff Fakultas Syari’ah Universitas

Islam Bandung.

8. Adik ku tercinta Itsnaina Lathifah Ridwan, Nisrina Hurul’ain Raudhatul

Jannah Ridwan, Maritza Putri Humairah Ridwan, dan Adeeva Safaniya

Mahya Ridwan yang telah memberi dukungan dan semangat kepada

kakaknya dalam menyelesaikan perkuliahannya.

9. Anisa Natasya Fauziah, Salma Mufidah, Maria Dwi Pertiwi, Aris Priatna,

Geovanna Reztu Perkasa, yang selalu memberikan semangat, dorongan

do’a kepada penulis. Terimakasih selalu menjadi teman, serta telah

menjadi keluarga dan sahabat yang sangat luar biasa selama ini bagi

penulis.

10. Sahabat Jannahku Amanah Wardiah Jannah, Bunga Endah Permata Sari,

Ulfah Nasti Wili Astuti, Wulansari Putri, terimakasih telah memberikan

semangat dan dukungan moril kepada penulis.

11. Teman Seperjuanganku Risma Yulia Putri, Anna Annisa, Mayang,

Khairunnisa Safitri, Febriyanti, Shanti, Annisa Coryani, Amy, dan Arum.

vi
12. Keluarga Besar BMT Fasya Unisba Devi Rusdiana, Nadya Zahra, Rani

Sariatul, Tika, Faza, Widi, Sena, Irfan, Aris, Geo, dan Syamsu.

13. Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah (BEMFS)

Angkatan 2013-2014.

14. Keluarga Besar Dewan Amanat Mahasiswa Fakultas Syariah (DAMFS)

Angkatan 2014-2015.

15. Keluarga Besar Kepada seluruh angkatan 2013 Fakultas Syariah Unisba.

16. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan

dan penuh kekurangan, oleh karena itu dengan segenap kerendahan hati penulis

menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, serta semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

vii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
PERSETUJUAN ............................................................................................. i
PENGESAHAN .............................................................................................. ii
MOTTO .......................................................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................ 7
1.5 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 8
1.5.1 Pendapatan Negara ................................................................. 8
1.5.2 Pajak ....................................................................................... 9
1.6 Telaah Pustaka ............................................................................................ 13
1.7 Teknik Penelitian ........................................................................................ 14
1.7.1 Metode Penelitian ............................................................................ 14
1.7.2 Sumber Data..................................................................................... 15
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 15
1.7.4 Teknik Analisis Data........................................................................ 16
1.8 Sistematika Pembahasan ............................................................................. 16
BAB II PENDAPATAN NEGARA DALAM ISLAM ........................................... 18
2.1 Kelembagaan Baitul M𝑎̂l .................................................................... 18
2.2 Pendapatan Negara di Masa Nabi Rasulullah SAW ................................... 19
2.3 Sumber-sumber Pendapatan Negara Perspektif Islam ................................ 25
2.3.1 Sumber Pendapatan Primer .............................................................. 26
2.3.2 Sumber Pendapatan Sekunder .......................................................... 30
2.4 Pajak Perspektif Islam ................................................................................ 31
2.5 Pengampunan Pajak Perspektif Islam ......................................................... 32
2.5.1 Konsep Pengampunan dalam Islam ................................................. 32
2.5.2 Jarimah Ta’zir .................................................................................. 35
BAB III PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA ........................................... 39
3.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia .. 39
3.2 Sumber-sumber Pendapatan Negara di Indonesia ...................................... 40
3.3 Perpajakan di Indonesia .............................................................................. 42
3.4 Pengampunan Pajak .................................................................................... 46
3.4.1 Sejarah Pengampunan Pajak di dunia .............................................. 46
3.4.2 Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia........................................ 46
3.4.2 Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia Tahun 2016 ............... 48
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN
PENGAMPUNAN PAJAK SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI
PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA .......................................................... 55

viii
4.1 Analisis Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam ........................ 55
4.1.1 Analisis Sumber-sumber Pendapatan pada Laporan APBN 2017
Perspektif Islam ........................................................................................ 57
4.1.2 Analisis Pajak sebagai Sumber Pendapatan Negara di Indonesia .... 61
4.2 Analisis Pendapatan Pengampunan Pajak di Indonesia .............................. 63
4.3 Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak
di Indonesia....................................................................................................... 65
4.3.1 Analisis Evaluasi Implementasi Pengampunan Pajak di Indonesia
Perspektif Islam ........................................................................................ 65
4.3.2 Analisis Pengampunan Pajak Tahun 2016-2017 sebagai
Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam .... 70
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 75
5.1 Simpulan ..................................................................................................... 75
5.2 Saran ........................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 77

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 12

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Komposisi Realisasi Berdasarkan SSP yang diterima ..................... 5


Tabel 2.1 Sumber Pendapatan Negara dalam Islam......................................... 26
Tabel 3.1 Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak ..... 44
Tabel 3.2 Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi
Maupun Kabupaten/Kota ................................................................... 45
Tabel 4.1 Perbandingan Aspek APBN pada Masa Rasulullah SAW dengan
APBN di Indonesia ............................................................................ 57
Tabel 4.2 Pendapatan Negara Indonesia dalam APBN 2017 ........................... 58
Tabel 4.3 Perbandingan Pendapatan dalam APBN di Indonesia dengan
Pendapatan dalam Al-Kharaj Perspektif Abu Yusuf ......................... 59
Tabel 4.4 Realisasi Berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diterima .... 63
Tabel 4.5 Komposisi Harta Berdasarkan SPH yang diterima .......................... 64
Tabel 4.6 Perbandingan Pertumbuhan Perekonomian Indonesia sebelum
dan Sesudah Penerapan Pengampunan Pajak .................................... 71

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Riwayat Hidup


Surat Keputusan Nomor :381/SK-Dek/FS/IV/2016
Kartu Bimbingan Skripsi I
Kartu Bimbingan Skripsi II
Tabel I-Account APBN
Postur APBNP 2015 dan RAPBN 2016
Postur APBNP 2016 dan APBN 2017
Perkembangan Defisit Anggaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016-2017
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan
Lebih Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak

xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama universal yang mengatur hubungan makhluk hidup

dengan Penciptanya dan makhluk hidup dengan sesamanya. Islam adalah sebuah

sistem yang mengatur segala aspek kehidupan makhluknya mulai dari hukum,

budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. Khalifah sebagai pemimpin suatu negara

bertugas untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya yang salah satu

caranya dengan mengatur kebijakan fiskal.“Kebijakan fiskal adalah kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah dibidang keuangan meliputi penerimaan negara,

pengeluaran negara, dan utang.”1

Ketiga komponen diatas diatur oleh lembaga Baitul M𝑎̂l pada saat di

zaman Rasulullah Saw. Sementara di masa sekarang di atur dalam APBN. Sistem

ekonomi Islam muncul sejak adanya umat manusia itu sendiri. Oleh karenanya,

teori bagaimana memperoleh pendapatan telah diajarkan Allah SWT.

Menciptakan manusia sekaligus menurunkan pula petunjuk tentang bagaimana

cara-cara memperoleh pendapatan sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

‫َو ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْال َبا ِط ِل َوت ُ ْدلُوا ِب َها ِإلَى ْال ُح َّك ِام ِلتَأ ْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن‬
َ‫اْلثْ ِم َوأ َ ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
ِ ْ ‫اس ِب‬ ِ َّ‫أ َ ْم َوا ِل الن‬

1Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah,PT Raja Grafindo,Jakarta,2007,hlm.144.

1
2

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian


yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.(QS.Al-Baqarah [2]: 188).

Kemudian hadis riwayat Tirmidzi juga menerangkan mengenai kewajiban

memperoleh pendapatan sesuai syariah.

‫ع ْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع َل‬


َ ‫ع ْم ِر ِه فِي َما أ َ ْفنَاهُ َو‬
ُ ‫ع ْن‬ َ ‫َلَ تَ ُزو ُل قَدَ َما َعبْد يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َحتَّى يُسْأ َ َل‬
‫ع ْن َما ِل ِه ِم ْن‬
َ ‫َو‬
2َ َ
ُ‫ع ْن ِجس ِْم ِه ِفي َما أ ْباله‬ َ ‫سبَهُ َوفِي َما أ َ ْنفَقَهُ َو‬
َ َ ‫َما ِل ِه ِم ْن أَيْنَ ا ْكت‬
Artinya:Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari
kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang
umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia
mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana
dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.

Pada periode pemerintahan Rasulullah Saw, negara menerapkan kebijakan

fiskal dengan menggunakan prinsip anggaran berimbang (Balanced Budget). Pada

zaman itu negara hanya mengandalkan sumber pendapatan Baitul M𝑎̂l yang telah

ditetapkan oleh syariah seperti ghanimah, zakat, ushr, jizyah, kharaj,’ushur (bea

cukai), waqaf, dharibah, pendapatan dari harta milik negara/umum, dan lainnya.3

Pada pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan dengan

menerapkan kebijakan fiskal yang berbeda yaitu memakai anggaran defisit

(Defisit budget). Suatu negara yang mengalami defisit akan menyelesaikannya

dengan tiga cara umum, yaitu meningkatkan pendapatan negara, memangkas

pengeluaran, atau berhutang baik ke luar negeri ataupun dalam negeri. 4

Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Kitab Jamiús Shahih, Daarul Fikri, Beirut,
2

1400H/1980 M, jld. 4, No.2532, hlm.36.


3
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.515.
4
Gusfahmi, Utang atau Pajak , diakses dari http://www.pajak.go.id/content/article/utang-
atau-pajak pada pukul 21 Maret 2016 pukul 08.05.
3

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem

anggaran defisit. Dalam mengatasi anggaran negara yang defisit, Indonesia telah

melakukan berbagai cara mulai dari memangkas pengeluaran APBN dengan

mengurangi pengeluaran yang bersifat konsumtif dan bukan bersifat darurat serta

berusaha meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.5

Rochmat Soemitro mendefiniskan pajak sebagai peralihan kekayaan dari


sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat
ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan
digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk
mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.6

“Sementara Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa pajak adalah harta yang

diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai beragai kebutuhan

dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi

Baitul M𝑎̂l tidak ada uang/harta.”7

Eksistensi Pajak dalam Islam dijelaskan sebagaimana dalam potongan

firman Allah SWT berikut ini:

َ‫سائِلِين‬
َّ ‫سبِي ِل َوال‬ َ ‫علَى ُحبِ ِه ذَ ِوي ْالقُ ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬
َّ ‫ساكِينَ َوابْنَ ال‬ َ ‫َوآتَى ْال َما َل‬
َّ ‫ص َالة َ َوآتَى‬
َ ‫الز َكاة‬ َّ ‫ام ال‬ َ َ‫ب َوأَق‬ِ ‫الرقَا‬
ِ ‫َو ِفي‬
Artinya: “…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)

dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,

mendirikan shalat, dan menunaikan zakat…”. (QS. Al-Baqarah [2]:177).

5
Theo Yusuf, Alasan di balik Menkeu Sri Mulyani Pangkas Anggaran, diakses dari
http://www.antaranews.com/berita/578122/alasan-di-balik-menkeu-sri-mulyani-pangkas-anggaran
pada tanggal 11 Agustus 2016 pukul 15.20 WIB.
6
Rochmat Sumitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Eresco, Bandung, 1988, hlm.12.
7
Abdull Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, diterjemahkan oleh: Ahmad
S,dkk., Pustaka Thariqul Izzah,Bogor,2002,hlm.138.
4

Tafsiran dari potongan ayat di atas yakni mengeluarkan harta, sedangkan

dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Itulah jenis lain dan cara bersedekah

yang lebih tinggi kedudukannya karena lebih mengutamakan diri orang lain

daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukan tetapi mereka

tetap memberikannya dari harta yang mereka sendiri mencintai dan

memerlukannya.8

Namun, jika penarikan pajak tidak sesuai dengan rambu-rambu syariat dan

Pemerintah berlaku dzalim pada rakyat, maka Allah SWT melarangnya.9

‫ع ْن تَ َراض‬
َ ً ‫ارة‬ ِ َ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل إِ ََّل أ َ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
‫ِم ْن ُك ْم‬
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan

harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan

perdagangan yang kalian saling ridha…..” (QS. An-Nisa [4]:29).

“Karakteristik pokok dari pajak yang diterapkan di Indonesia adalah

pemungutannya harus berdasarkan Undang-Undang yang mana tercantum pada

Undang-Undang No.28 Tahun 1983 Pasal 1 angka 1.”10 Dalam upaya

meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak serta untuk meningkatkan Tax

Ratio melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, salah satunya adalah

upaya alternatif implementasi pengampunan pajak (Tax Amnesty). Amnesti pajak

pertama pada abad ke-20 dilakukan oleh Italia di condono di pene pecuniary, dan

sampai saat ini terhitung 38 negara telah menerapkan tax amnesty di negaranya.

‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir Min Ibnii Katsiir, diterjemahkan
8

oleh: ‘Abdul Ghoffar, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2013, hlm.418.


9
Gusfahmi, Pajak Haramkah?, diakses dari http://www/pajak.go.id/content/article/-
Pajak-haramkah pada tanggal 5 agustus 2016 pukul 15:21.
10
Fitri Kurniawati, Analisis Komparasi Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Sistem
Perpajakan Menururt Islam, Jurnal Infestasi, Vol. 5, No. 1, Juni 2009, hlm.24.
5

Tujuan dibuatnya kebijakan pengampunan pajak di Indonesia adalah untuk

mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi, mendorong reformasi

perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, dan meningkatkan

penerimaan pajak.11

Menurut Laporan Menteri Keuangan, “Untuk tahun 2017 pendapatan

negara akan semakin bertumpu pada penerimaan perpajakan yang mencapai

85,6% dari total pendapatan negara”.12 Pendapatan negara Indonesia dalam APBN

2017 sebesar 1.750.300.000.000 dengan sumbangan dari sektor perpajakan

termasuk uang tebusan dari Pengampunan Pajak sejumlah Rp1.498.900.000.000.

Tabel 1.1 Komposisi Realisasi Berdasarkan SSP yang diterima13


Keterangan Pembayaran Tebusan Pembayaran Bukti Pembayaran
Permulaan Tunggakan
Jumlah Rp.110.000.000.000 Rp.1.080.000.000 Rp.12.500.000.000
TOTAL Rp.124.000.000.000

Dan berdasarkan Laporan Dirjen pajak, data statistik Tax Amnesty per 28

Maret 2017, Uang tebusan yang masuk ke negara yaitu Rp. 110.000.000.000

sementara dana repatriasi akan masuk ke pasar keuangan. Terlihat bahwa

Pemerintah Indonesia ingin menambah sisi penerimaan negara dengan

mengoptimalkan perpajakan melalui kebijakan Tax Amnesty.

Kebijakan Pajak yang ditetapkan pemerintah Indonesia berbeda dengan

sistem perpajakan di zaman Rasulullah Saw jika dilihat dari subjek dan objeknya.

Dalam Islam pajak juga hanya dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang

11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2.
12
Pidato disampaikan pada Konferensi Pers APBN 2017 di Aula Djuanda Kantor Pusat
Kementian keuangan Jakarta, pada tanggal 27 oktober 2016.
13
Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Statistik Amnesti Pajak, diakses dari
http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti.
6

bersifat komplemen.14 Sementara itu konsep pengampunan pajak belum ada di

zaman Rasulullah Saw. Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas

lebih lanjut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak Sebagai Usaha Optimalisasi

Pendapatan Negara di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan masalah dalam beberapa pertanyaan diantaranya:

1. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan

negara?

2. Bagaimana penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi

pendapatan negara di Indonesia?

3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak

sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka terdapat beberapa tujuan,

diantaranya:

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang

pendapatan negara.

2. Untuk menganalisis dan memahami penerapan pengampunan pajak

sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia.

14
Gusfahmi, op-cit, hlm.33.
7

3. Untuk memahami secara mendalam mengenai tinjauan hukum Islam

terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi

pendapatan negara di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Mahasiswa : Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau

sumber rujukan bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian selanjutnya

yang berkaitan dengan penerapan pengampunan pajak di Indonesia.

2. Bagi Pemerintah: Penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah

sebagai Khalifah dalam menjalani aktivitas reformasi perpajakan dari Tax

Amnesty untuk mengoptimalkan pendapatan negara di Indonesia

berdasarkan prinsip Islam.

3. Bagi Masyarakat: Penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk

menambah wawasan bagi masyarakat tentang penerapan pengampunan

pajak di Indonesia dalam mengoptimalkan pendapatan negara yang sesuai

dengan prinsip syariah.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Pendapatan Negara

a. Pendapatan Negara di Indonesia

Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara sebagai


bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan negara. Pengelolaan
keuangan negara di Indonesia didasarkan pada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Trilogi Pembangunan.Tanpa keuangan negara, berarti
tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita
hukum belaka.Untuk mendapat keuangan negara sebagai bentuk
8

pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai hukum yang
diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar 1945.15

Sumber pendapatan di Indonesia pada dasarnya terdiri dari pajak (pajak

dalam negeri dan pajak perdagangan internasional), penerimaan bukan pajak

(penerimaan SDA, bagian laba BUMN, dan lainnya), dan hibah.16

Indonesia menggunakan sistem anggaran defisit sehingga langkah negara

untuk menutupi anggaran yang defisit salah satunya yaitu dengan melakukan

intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang perpajakan dengan menerapkan

kebijakan Tax Amnesty.

b. Pendapatan Negara dalam Perspektif Islam

Pada sistem ekonomi Islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh

Ulil Amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu Ada Nash

yang memerintahkannya, harus ada pemisahan muslim dan non muslim, hanya

golongan kaya yang menangung beban, adanya tuntutan kemaslahatan umum.17

Sumber-sumber pendapatan negara dalam Islam dibagi kedalam dua jenis yaitu

pendapatan primer dan sekunder. Pendapatan primer terdiri dari ghanimah, zakat,

ushr, jizyah, kharaj, ’ushur (bea cukai). Sedangkan pendapatan sekunder terdiri

dari uang tebusan, pinjaman, khumus, amwal fadhla, waqaf, nawaib, zakat

fitrah.18

15
Muhammad Djafar Saidi,Hukum Keuangan Negara,Rajawali Pers,Jakarta,2011,hlm.3.
16
Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Undang-Undang No.18 Tahun 2016
Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017, diakses dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/uploads/2017/01/UU-APBN-2017.pdf
17
Gusfahmi,Op.cit.hlm.147-149.
18
An Nabhani, Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi Islam Alternatif: Perspektif Islam,
alih bahasa Maghfur Wahid, Risalah Gusti , Surabaya, 1999, hlm. 268.
9

“Pemerintahan negara Islam menunjukan bahwa anggaran belanja negara

dalam Islam sudah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Hal ini akan berbeda

sekali dengan negara demokrasi (non-Islam), yang menetapkan jenis penerimaan

melalui keputusan rakyat (DPR), dan dilakukan melalui pemungutan suara.”19 Di

zaman pemerintahan Islam, anggaran berimbang memang dipilih karena waktu itu

belum terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi.20

1.5.2 Pajak

a. Pajak di Indonesia

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Perubahan Ketiga atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara

Perpajakan (Selanjutnya disebut dengan UU KUP 2007), pajak didefinisikan

sebagai: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”21

Pajak sebagai instrumen politik dapat dielaborasi dalam beberapa fungsi

antara lain sebagai sumber penerimaan negara, instrumen keadilan dan

pemerataan, instrumen kebijakan pembangunan, instrumen ketenagakerjaan,

instrumen kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.22 Jenis pajak pusat

yang dikelola oleh Dirjen Pajak Indonesia yaitu pajak pengahasilan, pajak

19
Gusfahmi, op-cit, hlm.146.
20
Gusfahmi, op-cit, hlm.162.
21
Undang-Undang Nomor 28 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2007
22
Ibid, hlm.45.
10

pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, bea materai, pajak bumi

dan bangunan.23

b. Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)

Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang,


tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana dibidang
perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).24

Pengampunan Pajak berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian

hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Tujuan penyusunan

Undang-Undang tentang pengampunan pajak yaitu untuk mempercepat

pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, mendorong

reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, basis data

perpajakan yang lebih valid, dan meningkatkan penerimaan pajak, yang antara

lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.25

Subjek dalam pengampunan pajak yaitu setiap wajib pajak berhak

mendapatkan pengampunan pajak kecuali yang sedang dalam penyelidikan dan

proses peradilan atau tengah menjalani hukuman pidana atas tindak pidana

dibidang perpajakan. Sementara objek pengampunan pajak sendiri yaitu pajak

penghasilan dan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak

penjualan atas barang mewah. 26

23
Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, “Buku Panduan Hak dan Kewajiban
Perpajakan”, diakses dari http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765 .
24
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 1, Angka1.
25
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2, Ayat (2).
26
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak,Pasal3.
11

c. Pajak dalam Perspektif Islam

Secara etimologi, “Pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah

Dharibah, yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul,

menerangkan, membebankan dan lain-lain.” Pajak di zaman Rasulullah Saw

tergolong ke dalam beberapa jenis yaitu, jizyah, kharaj, al-‘usyr, nawaib, dan

khums.27

Pajak (dharibah) menurut Islam, berbeda dengan pajak dalam sistem non-

Islam karena Pajak (dharibah) bersifat temporer, hanya boleh dipungut untuk

pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim, hanya diambil dari

kaum muslim, hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, dapat dihapus bila

sudah tidak diperlukan.28 Hubungan Pajak dengan syariat, yaitu pajak mengatur

hubungan manusia dengan manusia lainnya (Mu’amalah), oleh sebab itu ia

merupakan bagian dari syariat. Maka dari itu, pajak sudah ada di zaman

Rasulullah Saw dan diterapkan untuk menambah pendapatan negara khalifah

tentunya dengan aturan yang sesuai dengan syariat. Tanpa adanya rambu-rambu

syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa

kepada rakyat (kaum muslim).

Indonesia juga menerapkan pajak untuk menambah sisi penerimaan

negara. Kini Tax Amnesty menjadi salah satu kebijakan baru yang dibuat

pemerintah sebagai salah satu usaha “untuk mengoptimalkan pendapatan negara

dalam jangka pendek dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan tidak

memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama sanksi

27
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat,
Jakarta, 2002, hlm. 184.
28
Fitri Kurniawati, op-cit, hlm.23.
12

administrasi dan sanksi pidana dibidang perpajakan.”29 Program pengampunan

pajak ini belum ada di masa Rasulullah Saw namun konsep pengampunan,

pembayaran sanksi dengan denda, dan kedudukan pajak sebagai pendapatan

negara dipelajari dalam Islam.

Dari penjelasan variabel-variabel diatas, maka dapat dirancang kerangka

pemikiran sebagai berikut :


Pajak Menurut Islam

Pengampunan Pajak

Optimalisasi Pendapatan
Negara di Indonesia

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Telaah Pustaka

Dalam upaya penggalian informasi lebih mendalam mengenai

pengampunan pajak, penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian-

penelitaan sebelumnya. Adapun penelitian terdahulu mengenai Pengampunan

pajak dari beberapa sudut pandang dideskripsikan sebagai berikut:

1. Ragimun dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Implementasi

Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”, memaparkan bahwa

kebijakan Tax Amnesty yang telah diterapkan di Indonesia menunjukkan

hasil yang kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepatuhan Wajib

Pajak yang merupakan pemegang peranan penting dalam program ini

29
Zainal Muttaqin, Tax Amnesty di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung, hlm.11.
13

memang mengalami kenaikan, namun hal ini tidak berbanding lurus

dengan peningkatan jumlah dari pajak yang diterima.30

2. Umi Cholifah dalam Tesisnya yang berjudul “Pengampunan Pajak di

Indonesia dalam Perspektif Islam”, memaparkan kebijakan Tax Amnesty

di Indonesia berdasarkan hukum positif dan hukum Islam. Hasil penelitian

ini menunjukan bahwa penerapan Tax Amnesty di Indonesia memliki

legalitas yang kuat dan pengampunan pajak di perbolehkan dalam Islam,

hanya saja perbedaan yang paling mencolok yakni terdapat pada subjek

yang mendapatkan amnesti. Dimana amnesti dalam Islam hanya

diberlakukan kepada orang yang tidak mampu ataupun orang yang telah

memiliki beban pungutan lainnya.31

Objek kajian pada penelitian-penelitian tersebut memiliki persamaan

dengan penelitian ini secara tema besar, yakni tentang pengampunan pajak.

Sementara titik perbedaan yang paling menonjol terletak pada sudut pandang yang

diambil, yakni selain meneliti dengan analisa hukum positif dan Islam, penulis

juga akan meneliti Hukum penerimaan dana Tax Amnesty sebagai upaya

mengoptimalkan pendapatan negara dalam Islam.

30
Ragimun,“Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”,
dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal RI, dalam, http://www.kemenkeu.go.iddiakses tanggal
14 September 2016.
31
Umi Cholifah, Pengampunan Pajak di Indonesia dalam Perspektif Islam, Tesis, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017.
14

1.7 Teknik Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan

deskriptif dan yuridis normatif. Pendekatan deskriptif adalah metode penelitian

yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta dan sifat hubungan antarfenomena yang diselidiki.32 “Sedangkan

yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan mengadakan penelusuran

terhadap peraturan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti.” 33

1.7.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum

primer, yaitu yang termasuk kepada hukum positif dan hukum normatif

diantaranya Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Tax

Amnesty. Kedua, bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah jurnal dan buku

yang berkaitan dengan pajak dan keuangan publik. Ketiga, sumber bahan hukum

tersier yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu

berupa kamus hukum. Keempat, sumber bahan non hukum yaitu Al-qur’an,

sunnah, dan kitab-kitab fiqhiyah.

32
Moh.Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Bogor 2005, hlm.54.
33
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat),Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
15

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam melakukan

penelitian ini adalah:

a. Studi Kepustakaan

Dalam Penelitian ini, Penulis akan melakukan kajian literatur melalui studi

kepustakaan seperti Kitab Abdul Qadim Zallum yang berjudul Al-Amwal fi

Daulah al-Khilafah, buku-buku, jurnal, dan literatur lainnya yang berkaitan

dengan Pajak, Tax Amnesty, Keuangan Publik.

b. Dokumentasi

Penulis mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan berupa Laporan

APBN Indonesia yang dipublikasikan pada website Kementrian Keuangan

Republik Indonesia (www.kemenkeu.go.id), dan Laporan Tax Amnesty yang

dipublikasikan pada website Dirjen Pajak (www.pajak.go.id).

1.7.4 Teknik Analisis Data

Teknik analsis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup

perbandingan Hukum dan penarikan kesimpulan.

a. Perbandingan Hukum

Kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah, antara lain, bahwa


penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan
perbedaan antara pelbagai bidang tata hukum dan pengertian dasar sistem
hukum. Hasil perbandingan hukum adalah untuk mengetahui bidang mana
yang dapat di unifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur dengan
hukum antar tata hukum.34

b. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan

34
Soejorno Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , UI-Press, Jakarta, 1986, hlm.263.
16

Penulis menganalisis pola, penjelasan dan alur sebab akibat dari teori dan

data yang diperoleh dari laporan Kementrian Keuangan tentang penerapan Tax

Amnesty dan penerimaan pendapatan negara di Indonesia yang kemudian

dibandingkan dengan literatur berupa buku dan jurnal yang sesuai dengan masalah

yang dibahas serta dianalisis dengan menggunakan Pedoman Undang-Undang

No.11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty dan hukum Islam sebagai acuan.

1.8 Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam pembuatan, penulis membuat sistematika

sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan :berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, teknik

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II Pendapatan Negara Perspektif Islam: berisi tentang

kelembagaan Baitul M𝑎̂l, pendapatan Negara di masa pemerintahan Nabi

Muhammad Saw, sumber-sumber pendapatan negara perspektif Islam, pajak

dalam perspektif Islam, pengampunan pajak dalam perspektif Islam, konsep

pengampunan dalam Islam, jarimah ta’zir.

Bab III Pendapatan Negara di Indonesia: membahas mengenai

anggaran pendapatan dan belanja negara Republik Indonesia, sumber-sumber

pendapatan negara, perpajakan di Indonesia, jenis-jenis pajak di Indonesia, sejarah

dan kebijakan pengampunan pajak di Indonesia.

Bab IV Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan

Pajak Sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia:analisis


17

optimalisasi pendapatan negara di Indonesia Perspektif Islam, analisis

pengampunan pajak tahun 2016-2017 sebagai usaha optimalisasi pendapatan

negara di Indonesia perspektif Islam, analisis implementasi pengampunan pajak di

Indonesia, analisis hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak di

Indonesia.

Bab V Penutup: berisi simpulan dari hasil analisis, saran dan

rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.


BAB II
PENDAPATAN NEGARA PERSPEKTIF ISLAM

̂l
2.1 Kelembagaan Baitul M𝒂

Baitul M𝑎̂l berasal dari kata bait (rumah) dan m𝑎̂l (harta).35 Sedangkan

secara terminologi, menurut Abdul Qadim Zallum, “Baitul M𝑎̂l adalah tempat

penampungan dan pengeluaran harta, yang merupakan bagian dari pendapatan

negara.”36 Baitul M𝑎̂l menjadi institusi khusus yang menangani harta milik negara

dan dialokasikan kepada kaum Muslim yang berhak menerimanya.“Setiap harta,

baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya

adalah hak Baitul M𝑎̂l kaum Muslim.”37

Di masa Rasulullah Saw, Baitul M𝑎̂l bukan berupa bangunan melainkan

hanya sebagai pihak. Jika ada harta untuk negara, Rasulullah Saw dibantu dengan

sahabatnya langsung mencatatnya dan langsung membagikannya kepada pihak

yang berhak. Penyegaran pembagian harta Baitul M𝑎̂l juga dilakukan sejak masa

Rasulullah Saw. Masjid Nabawi digunakan sebagai kantor pusat negara sekaligus

menjadi tempat tinggal beliau dan Baitul M𝑎̂l.38

Setelah Rasulullah Saw wafat, Baitul M𝑎̂l yang dicetuskan dan

difungsikan oleh Rasulullah Saw dilanjutkan oleh Abu Bakar dan semakin

dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab.

35
A.A.Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1997, hlm.216.
36
Abdul Qadim Zallum, op-cit,hlm.17.
37
Ibid.
38
M.Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, PSEI STIS, Yogyakarta, 2003, hlm.182.

18
19

Khalifah Umar melakukan reorganisasi Baitul M𝑎̂l dengan mendirikan Diwan

Islam (DI) yaitu sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta. Khalifah Umar

juga mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji dari harta Baitul M𝑎̂l dan

Baitul M𝑎̂l memiliki cabang di setiap ibu kota Provinsi. Tiap cabang dan pusat

memiliki buku induk yang mencatat segalanya.39

Umar juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut

campur dalam mengelola harta Baitul M𝑎̂l. Di tingkat provinsi, pejabat yang

bertanggungjawab terhadap harta umat tidak bergantung pada gubernur dan

mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta

bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.40

2.2 Pendapatan Negara di Masa Pemerintahan Nabi Muhammad Saw

Pada masa awal pemerintahan Islam, negara yang dibangun Rasulullah

Saw tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirian suatu negara.

Oleh sebab itu, kebijaksanaan fiskal sangat memegang peranan penting dalam

membangun negara Islam tersebut.41

Kebijaksanaan fiskal pada pemerintahan Rasulullah Saw, anggaran negara

masih sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Negara

memakai prinsip anggaran berimbang (balanced budget). Pendapatan negara

berbeda dari tahun ke tahun bahkan dari hari ke hari.Berbagai bagian negara

mengirimkan sejumlah tertentu dari kelebihan penghasilannya sesudah membayar

39
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer, Pustaka Asatrus, Jakarta, 2005, hlm.34.
40
Ibid.
41
Mustafa E.Nasution, Beberapa Pemikiran tentang Keuangan Publik Islam, diakses dari
http://www.tazkiaonline.com/artikel, pada tanggal 31 Mei 2004.
20

berbagai pengeluaran administratif dan pengeluaran mereka lainnya.Yang paling

menarik adalah bahwa Baitul M𝑎̂l tidak menerima pendapatan kotor dan pajak

dari provinsi-provinsi, tetapi hanya surplus yang tersisa setelah dikurangi semua

jasa setempat dan pembayaran kemiliteran.42

Di masa periode awal, dasar penyusunan anggaran adalah berapa

penghasilan yang diterima yang menentukan jumlah yang tersedia untuk

dibelanjakan, kecuali dalam keadaan darurat. Jadi dapat disimpulkan, bahwa

konsep anggaran berimbang atau surpluslah yang merupakan praktik yang berlaku

di masa Islam periode awal. Karena pada saat itu tidak terdapat seruan untuk

pertumbuhan ekonomi dalam arti modern dan juga kebutuhan negara sederhana,

maka pendapatan negara dari zakat dan infak sudah memenuhi kebutuhan.43

Pada masa-masa awal pemerintahan Islam di Madinah (623 M),

pendapatan dan pengeluaran negara hampir tidak ada.Rasulullah Saw sendiri

adalah seorang kepala negara. Rasulullah Saw tidak mendapat gaji sedikitpun dari

negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan

makanan.44

Situasi mulai berubah setelah turunnya surat Al-Anfal. Pada waktu perang

Badar di tahun 2 Hijriyah, sejak itu negara mulai mempunyai pendapatan dari

hasil rampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums (seperlima),

42
Mannan, M Abdul, Islamic Economic:Theory and Practice, diterjemahkan oleh: Ahmad
Ikhrom dan Dimyauddin, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004, hlm.235.
43
Ibid.
44
M.Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf:Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian, Pusat Studi Ekonomi Islam, Yogyakarta, 2003, hlm.175.
21

berupa kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam

peperangan.45 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

‫سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَى‬ ُ ‫لر‬َّ ‫سهُ َو ِل‬ َ ‫َيء فَأ َ َّن ِ َّّلِلِ ُخ ُم‬ ْ ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َما َغنِ ْمت ُ ْم ِم ْن ش‬
‫اّلِلِ َو َما أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا‬
َّ ‫س ِبي ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم آ َم ْنت ُ ْم ِب‬ َّ ‫ين َواب ِْن ال‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ‫َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬
‫َيء قَدِير‬ ْ ‫َّللاُ َعلَى ُك ِل ش‬ َّ ‫ان َو‬ ِ ‫ان َي ْو َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬ ِ َ‫َي ْو َم ْالفُ ْرق‬
Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai
rampasan perang maka seperlima untuk Allah , Rasul, kerabat rasul, anak
yatim, orang miskin dan ibnussabil, (demikian) jika kamu beriman kepada
Allah, dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan.
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8]:41)

Selain dari khums, akibat peperangan tersebut juga diperoleh pendapatan

baru berupa uang tebusan dari tawanan perang bagi yang ditebus. Kekayaan

pertama yang merupakan sumber pendapatan resmi negara (penerimaan

penuh/resmi karena dapat digunakan sepenuhnya untuk negara), adalah setelah

diperolehnya fay’i, yaitu harta peninggalan suku Bani Nadhir, bangsa Yahudi

yang tinggal di pinggiran kota Madinah, yang melanggar piagam Madinah.46

Rasulullah Saw kemudian mendapatkan pula penerimaan negara yaitu

waqaf, berupa tanah, pemberian seorang Rabbi dari Nadhir yang telah masuk

Islam. Adapun sumber pendapatan lain berasal dari kharaj, yaitu pajak atas tanah

yang dipungut kepada non-muslim ketika Khaibar ditaklukan. Jumlah kharaj dari

tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.47

Pemerintah Rasulullah Saw juga memperoleh ‘ushr, yaitu bea impor yang

dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara yang wajib

45
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Ekonisia, Kampus FE UII, Yogyakarta, 2003,
hlm.118.
46
Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2004, hlm.41.
47
Ibid.
22

dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya

lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non-muslim adalah 5%

dan kepada Muslim sebesar 2.5%.48

Sumber pendapatan zakat dan ‘ushr walaupun sudah diundangkan sebagai

pendapatan negara sejak tahun kedua hijriyah, namun baru bisa dipungut sebatas

zakat fitrah. Kewajiban atas zakat mal baru terwujud pada tahun kesembilan

hijriyah.49

Mengenai pendapatan negara, Allah SWT telah menggariskan secara tegas

beberapa sumber primer yang boleh dipungut Ulil Amri. Dalam sistem ekonomi

Islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh Ulil Amri dalam melaksanakan

pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:50

1. Nash yang Memerintahkannya

“Setiap pendapatan dalam negara Islam harus diperoleh dan disalurkan

sesuai dengan hukum syara’.” Prinsip kebijakan penerimaan negara yang pertama

adalah harus adanya nash (Al-quran dan Hadis) yang memerintahkannya,

sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah [2]:188. Dalil-dalil

setiap pungutan yang dijadikan sumber penerimaan negara akan dibahas di sub

bab sumber-sumber pendapatan negara perspektif Islam.

Selain harta yang telah difardhukan oleh Allah SWT sebagai pendapatan

tidak boleh diambil secara mutlak. Sebab, tidak diperbolehkan sedikit pun

mengambil harta seorang muslim, selain dengan cara yang hak menurut syara’,

48
Ibid, hlm.45.
49
Herisudarsono, op-cit, hlm.120.
50
Gusfahmi,op-cit, hlm.145-146.
23

yang telah ditunjukan oleh dalil-dalil syara’ yang rinci.51 Rasulullah Saw

bersabda:52

ِ ‫َلَ يَ ِح ُّل َما ُل ْام ِرئ ُم ْس ِلم ِإَلَّ ِب ِط ْي‬


ُ‫ب نَ ْفس ِم ْنه‬
Artinya: “Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan

kerelaan dirinya.”

2. Harus ada Pemisahan Muslim dan Non-Muslim

“Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak Muslim dengan non-

Muslim.Zakat misalnya, hanya bersumber dari kaum Muslim, dan hanya

digunakan untuk kepentingan kaum Muslim. Kata “him” pada QS.Al-Taubah

[9]:103 - ‫ ُخذْ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬, bermakna mereka yang Muslim.” Ini memang petunjuk

langsung dari Allah SWT untuk membedakan mereka (Muslim atau kafir).53

3. Hanya Golongan Kaya yang Menanggung Beban

“Prinsip kebijakan pemasukan terpenting ketiga adalah bahwa sistem zakat

dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang

mempunyai kelebihan yang memikul beban utama.”54 Sesuai dengan firman Allah

SWT:

‫اس َوإِثْ ُم ُه َما‬ ِ َّ‫يَ ْسأَلُون ََك َع ِن ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما إِثْم َكبِير َو َمنَافِ ُع ِللن‬
َّ ‫أ َ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما َويَ ْسأ َلُون ََك َماذَا يُ ْن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو َكذَ ِل َك يُبَ ِي ُن‬
ِ ‫َّللاُ لَ ُك ُم ْاْليَا‬
‫ت‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَ َّك ُرون‬
Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)

mereka infakkan. Katakanlah, “kelebihan (dari apa yang diperlukan)”.

51
An Nabhani, Taqyudin, op-cit, hlm.263.
52
Al-Maliki, Abdurrahaman,As-Siyasatu al Iqtishadiyatu al-Mutsla, diterjemahkan
oleh:Ibnu Sholah, Al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hlm.227
53
Gusfahmi, op-cit, hlm.147-148.
54
Gusfahmi, Ibid, hlm. 148.
24

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu

memikirkan.” (QS.Al-Baqarah [2]:219).

Prinsip penting dalam hal ini adalah bahwa sumber penerimaan hanya di

pungut dari orang kaya saja, sekalipun dari non-Muslim. Jizyah misalnya, tidak

dipungut dari orang yang betul-betul tak mampu. Jizyah tidak diambil selain dari

kaum prianya, sehingga tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak serta orang

gila.55 Hal ini menunjukan keadilan Islam dalam pembebanan kepada masyarakat,

sekalipun terhadap non-Muslim.

4. Adanya Tuntutan Kemaslahatan Umum

“Prinsip kebijakan penerimaan negara keempat adalah adanya tuntutan

kemaslahatan umum yang mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan.

”Dalam keadaan tertentu (darurat), Ulil Amri wajib mengusahakan tersedianya

kebutuhan rakyat di saat ada atau tidaknya harta. Tanpa dipenuhinya kebutuhan

tersebut, besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar lagi.

Atas dasar tuntutan umum inilah, negara boleh mengadakan suatu jenis

pendapatan tambahan.56

2.3 Sumber-Sumber Pendapatan Negara Perspektif Islam

“Pengklasifikasian pendapatan negara sangat penting karena mengikuti

dari sifat keagamaan dan pendapatan dari setiap kategori memang harus dipelihara

secara terpisah dan tidak boleh dicampur sama sekali.”57 Ghanimah (QS.Al-Anfal

[8]:1) hanya untuk lima kelompok (QS.Al-Anfal [8]:41), zakat (QS.Al-Taubah

55
An Nabhani, Taqyudin,op-cit, hlm.257.
56
Gusfahmi, op-cit, hlm.149.
57
Azmi, Sabahudin, Islamic Economics:Public Finance in Early Islamic Thought,
diterjemahkan oleh: Widyawati, Nuansa, Bandung,2005, hlm.89.
25

[9]:103) hanya boleh diperuntukkan bagi delapan asnaf, sementara fay’i (QS.Al-

Hasyr [59]:6) dapat dibelanjakan untuk seluruh kemaslahatan kaum Muslim.

Inilah salah satu ketentuan penggunaan anggaran sistem Ekonomi Islam, yang

membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional (non-Islam).”Sumber-

sumber pendapatan negara dan jenis pengeluaran negara telah ditentukan oleh

Allah SWT sehingga Ulil Amri tidak perlu lagi membuat jenis penerimaan dan

pengeluaran yang baru.”58 Jika diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaanya,

pendapatan negara dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu pendapatan

tidak resmi negara dan pendapatan resmi negara.59

“Pendapatan tidak resmi negara, yang terdiri dari ghanimah dan shadaqah.

Pendapatan tidak resmi ini disebut demikian karena diperuntukkan hanya untuk

manfaat tertentu. Sementara pendapatan resmi negara, terangkum dalam satu

kesatuan nama fay’i yang terdiri dari jizyah, kharaj, ‘ushr-bea cukai.” Maksud

pendapatan resmi yaitu pendapatan dimana negara berhak membelanjakannya

untuk kepentingan seluruh penduduk (kepentingan umum).60

Sumber pendapatan negara Islam Madinah di masa Rasulullah Saw jika

dikelompokkan berdasarkan jenisnya dapat dibagi atas pendapatan primer dan

pendapatan sekunder.“Pendapatan primer dapat dikatakan sebagai pendapatan

wajib yang harus dikeluarkan oleh kaum Muslimin juga non-Muslim.Sedangkan

pendapatan sekunder, diperoleh tergantung situasi dan kondisi yanga ada.”61

58
Gusfahmi, op-cit, hlm.84.
59
Azmi, Sabahudin, op-cit, hlm.89.
60
Gusfahmi, op-cit, hlm.84
61
Heri Sudarsono, op-cit, hlm.123.
26

2.3.1 Sumber Pendapatan Primer

Sumber Pendapatan negara dalam Islam yang termasuk dalam sumber

pendapatan primer diklasifikasikan berdasarkan jenis, subjek, objek, tarif, dan

tujuan penggunaannya sebagaimana yang dipaparkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Sumber Pendapatan Negara dalam Islam62

No Nama Jenis Subjek Objek Tarif Tujuan


Pendapatan Pendapatan Penggunaan
1 Ghanimah Tidak Resmi Non- Harta Tertentu 5 KELP.
Muslim
2 Zakat Tidak Resmi Muslim Harta Tertentu 8 KELP.
3 Ushr- Tidak Resmi Muslim Hasil Tetap 8 KELP.
Shadaqah pertanian/Dagang
4 Jizyah Resmi Non- Jiwa Tidak UMUM
Muslim Tetap
5 Kharaj Resmi Non- Sewa Tanah Tidak UMUM
Muslim Tetap
6 Ushr-Bea Resmi Non- Barang Dagang Tidak UMUM
Cukai Muslim Tetap

Untuk lebih memahami setiap sumber pendapatan primer yang telah

diklasifiksikan dalam tabel di atas, Penulis akan menjelaskan lebih terperinci

dalam penjelasan berikut ini.

1. Ghanimah

“Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasakan kepadanya dari harta

orang kafir, baik sebelum maupun setelah peperangan.Harta tersebut bisa berupa

uang, senjata, barang-barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain.”Pengertian

ini merupakan makna dari firman Allah SWT:63

…‫ل‬
ِ ‫سو‬
ُ ‫لر‬
َّ ‫َو ِل‬ َ ‫ش ْيء فَأ َ َّن ِ َّّلِلِ ُخ ُم‬
ُ‫سه‬ َ ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َما َغ ِن ْمت ُ ْم ِم ْن‬
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai

rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, rasul…” (Al-Anfal [8]:41).

62
Gusfahmi, Ibid,hlm.31.
63
Abdull Qadim Zallum, op-cit, hlm.40.
27

2. Zakat

“Zakat adalah sejumlah (nilai/ukuran) tertentu yang wajib dikeluarkan dari

harta (yang jenisnya) tertentu pula danhanya wajib dipungut dari kaum Muslim.”64

Wajibnya zakat didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, yaitu firman Allah SWT:

َ ‫ص ِل َعلَ ْي ِه ْم ۖ إِ َّن‬
‫ص َالت َ َك‬ َ ‫ط ِه ُر ُه ْم َوتُزَ ِكي ِه ْم بِ َها َو‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬
َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
‫س ِميع َع ِليم‬ َّ ‫س َكن لَ ُه ْم ۗ َو‬
َ ُ‫َّللا‬ َ
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Taubah [9]:103).

3. ‘Ushr-Sadaqah

Menurut Gusfahmi,‘Ushr berarti sepersepuluh. Ini merupakan suatu pajak


atas hasil pertanian.‘Ushr sering juga digunakan dalam pengertian sedekah
dan zakat, sebab tidak ada garis tegas antara zakat dan ‘Ushr dalam Fiqh.
Istilah ‘Ushr tidak ditemukan di dalam Al-quran, tetapi dua ayat (QS.Al-
Baqarah [2]:267) dan (Al-An’am [6]:141) diambil sebagai acuan dan ayat
ini ditujukan kepada penguasa. Firman Allah SWT:65
َ‫س ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َر ْجنَا لَ ُك ْم ِمن‬
َ ‫ت َما َك‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن‬
ِ ‫طيِ َبا‬
‫ض‬ِ ‫ْاْل َ ْر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)

sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami

keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS.Al-Baqarah [2]:267).

َ ‫ُكلُوا ِم ْن ث َ َم ِر ِه ِإذَا أَثْ َم َر َوآتُوا َحقَّهُ َي ْو َم َح‬


ُّ‫صا ِد ِه َو ََل ت ُ ْس ِرفُوا ِإنَّهُ ََل يُ ِحب‬
ْ
َ‫ال ُم ْس ِر ِفين‬...
Artinya: “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia

berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan

64
Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.175.
65
Gusfahmi, op-cit, hlm.113-114.
28

kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”(Al-An’am[6]:141).

4. Jizyah

“Jizyah adalah hak yang Allah SWT berikan kepada kaum Muslim dari

orang-orang kafir sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam.”Apabila

orang-orang kafir itu telah memberikan jizyah, maka wajib bagi kaum Muslim

melindungi jiwa dan harta mereka. Ketentuan jizyah ini berdasarkan firman Allah

SWT:66

‫اّلِلِ َو ََل ِب ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو ََل يُ َح ِر ُمونَ َما َح َّر َم‬


َّ ‫قَا ِتلُوا الَّذِينَ ََل يُؤْ ِمنُونَ ِب‬
‫اب َحتَّى‬ َ َ ‫ق ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ ِ ‫سولُهُ َو ََل يَدِينُونَ دِينَ ْال َح‬ ُ ‫َّللاُ َو َر‬َّ
َ ‫طوا ْال ِج ْزيَةَ َع ْن يَد َوهُ ْم‬
َ‫صا ِغ ُرون‬ ُ ‫يُ ْع‬Artinya: “Perangilah orang-
orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk.” (Al-Taubah [9]:29).

5. Kharaj

“Kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh (dan menjadi

bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian

damai.” Sebagaimana firman Allah SWT:67

َّ ‫أ َ ْم ت َ ْسأَلُ ُه ْم خ َْر ًجا فَخ ََرا ُج َربِ َك َخيْر َو ُه َو َخي ُْر‬


َ‫الر ِازقِين‬
Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu

adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik.” (QS.Al-

Mu’minun [23]:72)

66
Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.74.
67
Abdul Qadim Zallum, op-cit,hlm.54.
29

6. Ushr-Bea Cukai

“Ushr dalam kata ini bermakna sepersepuluh yang diambil dari pedagang

kafir yang memasuki wilayah Islam karena membawa dagangan.” Kebijakan ini

lebih mirip dengan kebijakan pemungutan bea cukai dewasa ini.68

2.3.2 Sumber Pendapatan Sekunder

Selain sumber-sumber pendapatan primer yang telah dijelaskan di atas,

terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya, yang bersifat tambahan (sekunder).

Pendapatan sekunder ini diperoleh tidak tetap jumlah dan waktunya, tergantung

situasi. Di antara sumber pendapatan sekunder tersebut adalah:69

1. Uang tebusan dari para tawanan perang, hanya terjadi di perang Badar.

2. Pinjaman-pinjaman, untuk pembayaran uang pembebasan kaum Muslimin dan

meminjam beberapa pakaian serta hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah.

3. Khumus atas rikaz atau harta karun, temuan pada periode sebelum Islam.

4. Amwal Fadhla, berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal tanpa

ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang murtad dan pergi

meninggalkan negaranya.

5. Waqaf, harta benda yang didekasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan

agama Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul M𝑎̂l.

6. Nawaib, pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslim yang kaya raya

dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, seperti yang

pernah terjadi di perang Tabuk.

68
Gusfahmi, op-cit, hlm.130.
69
Adiwarman A.Karim, op-cit, hlm.48.
30

7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan ramadhan dan dibagi sebelum

shalat Id.

8. Bentuk lain sedekah seperti qurban dan kaffarat. Kaffarat adalah denda atas

kesalahan yang dilakukan seorang Muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah

seperti berburu pada musin haji.

2.4 Pajak dalam Perspektif Islam

Allah SWT dan Rasul-Nya telah menetapkan pembiayaan atas berbagai

kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, harus dipenuhi oleh Baitul M𝑎̂l, baik dalam

kondisi ada uang/harta didalamnya maupun tidak.Jika tidak ada uang/harta di

baitul mal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum Muslim untuk

membiayainya. Jika dari pendapatan ini tidak cukup, dan uang baitul mal kosong,

dan sumbangan dari kaum Muslim juga tidak mencukupi untuk menutupi

pembiayaan berbagai kebutuhan dan pospos pengeluaran, maka pada saat itulah

kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan untuk pos-pos pengeluaran beralih

kepada kaum Muslim. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak

dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslim. Padahal Allah SWT

juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang

menimpa kaum Muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum Muslim

tidak ada yang mendermakan.70

Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Muslim untuk

membayar pajak hanya untuk menutupi kekurangan biaya untuk memenuhi

kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih. Kewajiban

70
Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.160-161.
31

membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai

kelebihan.71 “Adapun pajak yang ada pada zaman Rasul sampai dengan kekuasaan

khalifah yaitu jizyah, kharaj, ushr, nawaib, dank khums”72 telah dijelaskan pada

sumber pendapatan primer dan sekunder yang dibahas sebelum sub bab ini.

2.5 Pengampunan Pajak dalam Perspektif Islam

Pengampunan pajak dalam Islam memang belum pernah diterapkan.

Namun, mengingat pengampunan pajak merupakan salah satu bentuk penerapan

amnesti yang merupakan “wewenang Presiden dan mempunyai akibat hukum

hilangnya kesalahan pelaku sehingga dapat dibebaskan dari sanksi atau ancaman

baik pidana maupun perdata”73, dan hal ini hampir serupa dengan konsep

pengampunan jarimah ta’zir dalam Islam. Pada dasarnya “jarimah ta’zir

merupakan hukuman yang tidak diatur dalam nash dan dijatuhkan kepada pelaku

tindak pidana yang tidak dikenai hukuman qisas atau hudud melainkan sebagai

hukuman yang bersifat mendidik.”74 Sebelum membahas lebih lanjut mengenai

jarimah ta’zir, Penulis akan membahas mengenai konsep pengampunan dalam

Islam terlebih dahulu yang akan dipaparkan dalam sub bab berikut ini.

2.5.1 Konsep Pengampunan dalam Islam

“Dalam dunia peradilan Islam juga dikenal suatu bentuk pengampunan,

dengan istilah al-‘afwu (‫ ) العفو‬dan al-syafa‘at (‫ )الشفاعة‬baik pengampunan tersebut

71
Ibid.
72
Mohammad Solekhan, “Pajak dan Zakat di lihat dari Hukum Islam”, Hukum dan
Dinamika Masyarakat, Vol.10, Oktober 2012, hlm.88-89.
73
Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.29.
74
H. E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, PT. Raja
Gafindo, 2008, hlm.465.
32

diberikan oleh pihak korban atau yang diberikan oleh penguasa kepada pelaku

dari tindak kejahatan.”75

“Al-‘afwu (‫ ) العفو‬menurut Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya

al-Razy adalah setiap pembuat dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani

hukuman menjadi terhapuskan sebab telah mendapatkan pengampunan.”76

Sementara al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani ahli ilmu kalam serta ahli

hukum mazhab Maliki, menurutnya al-syafa’at adalah:

77
‫الجنَايَة ُ فِي َحـقـِه‬ ِ ‫ع ِن الذُّنـ ُ ْو‬
ِ ‫ب ِمنَ الـَّذِي َوقَـ َع‬ ُ ‫ـؤا ُل ِإلـَى التـ َّ َج‬
َ ِ ‫ـاوز‬ َ ‫س‬ُّ ‫ى ال‬
َ ‫ِه‬
Artinya: “Suatu permohonan untuk dibebaskan atau dikurangi dari

menjalani hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan”.

“Secara umum Islam memandang bahwa pada dasarnya memberikan

syafa‘at berupa bantuan, baik materil maupun moril, atau pertolongan lainnya

menurut kebutuhan orang yang meminta syafa‘at merupakan tindakan yang

terpuji namun bisa juga menjadi suatu tindakan yang tidak terpuji.”78

Sebagaimana firman Allah SWT:

‫سيِئَةً َي ُك ْن‬
َ ً‫شفَا َعة‬
َ ‫َصيب ِم ْن َها َو َم ْن َي ْشفَ ْع‬ ِ ‫سنَةً َي ُك ْن لَهُ ن‬ َ ‫شفَا َعةً َح‬
َ ‫َم ْن َي ْشفَ ْع‬
ْ ‫َّللاُ َعلَى ُك ِل ش‬
‫َيء ُم ِقيتًا‬ َّ َ‫لَهُ ِك ْفل ِم ْن َها َو َكان‬
Artinya: “Barang siapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia

akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya dan barang siapa memberi

75
Abdul Aziz Dahlan (et.al.), Ensiklopedia Hukum Islam ,PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2006, hlm.30
76
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Razy, Mujmal al – Lughat,Dar al-Fikr,
Beirut, 1414 H/ 1994 M, hlm. 472.
77
Al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Dar al-Fikr ,Beirut, 1414 H/ 1994
M, hlm. 127.
78
Ahmad Dukan Khoeri, Analisis Hukum Islam terhadap Kewenangan Presiden dalam
Memberikan Grasi, Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015, hlm.26.
33

syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Nisa :85).

Syafa’at yang baik ialah yang digunakan untuk memelihara sesama


muslim, menolak kejahatan dan meraih kebaikan, dan dalam semua sikap
hanya satu yang diharapkan yaitu wajah Allah SWT, bukan mengharapkan
rasywah (uang suap). Maka dari itu, hendaklah yang disyafa’atkan itu
dalam perkara yang dibolehkan oleh syara’, bukan di dalam usaha
melanggar batas-batas yang ditentukan oleh Allah, atau melangkahi batas-
batas kebenaran.79

“Dengan kata lain memberikan syafa‘at dalam surah al-Nisa ayat 85 ini

supaya seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana

dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, karena syafa‘at

diberikan supaya kembali untuk berbuat kebaikan.”80 Sama halnya dengan Al-

‘afwu yang dimana menghapuskan hukuman kepada pelaku tindak kejahatan

karena telah diberi pengampunan.

“Ada sejumlah keterangan dalam beberapa kitab hadis terkait

pengampunan, diantaranya yaitu bahwa pengampunan juga dianjurkan dalam

suatu perkara tindak pidana selama itu memang masih bisa dimungkinkan.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. sebagai berikut”:

َ‫ ا ْد َر ُء ْوا ال ُحد ُْود‬: ‫سلَّ َم‬


َ ‫صلَى هللاِ َعلَ ْي ِو َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ت‬ ْ َ‫شةَ قَال‬ َ ‫َع ْن َعا ِئ‬
َ‫َع ِن ْال ُم ْس ِل ِميْن‬
‫ئ فِى‬ َ ‫ام ا َ ْن يُ ْخ ِط‬
َ ‫اَل َم‬ َ ‫ط ْعت ُ ْم فا ِْن َكانَ لَهُ َم ْخ َر ُج فَخَلُّوا‬
ِ ‫ فَا َِّن‬, ُ‫س ِب ْيلَه‬ َ َ ‫َما ا ْست‬
81
َ ‫ال َع ْف ِو َخىْر ِم ْن ا َ ْن ىُ ْخ ِط‬
‫ئ فِى العُقُ ْو بَ ِة‬

79
Hamka, Tafsir Al-Azhar: Juz V-VI, PT.Pustaka Panjimas, Jakarta, 2004, hlm.235.
80
Ahmad Dukan Khoeri, op-cit, hlm.27.
81
Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, fi Bab Ma Ja‟a fi Dar’i al-
Hudud, Dar al-Fikr, Beirut, 2005, hlm. 436.
34

Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa

direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk

menghindar, lakukan; sungguh imam salah dalam mengampuni lebih baik

daripada salah dalam menjatuhkan hukuman “.

Mengenai ketentuan pemberian pengampunan kepada pelaku tindak


pidana, telah banyak diperaktekkan oleh sebagian besar para sahabat Nabi
dan fuqaha. Mereka lebih menyukai untuk memberikan syafa’at kepada
pelaku tindak pidana tersebut, karena memberikan maaf merupakan
‘amaliyah yang dianjurkan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:82

َ‫ض َع ِن ْال َجا ِه ِلين‬ ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬


ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf (mudah memafkan di dalam menghadapi

perlakuan orang-orang, dan janganlah membalas) dan suruhlah orang

mengerjakan makruf (perkara kebaikan), dan berpalinglah daripada orang-orang

bodoh (janganlah engkau melayani kebodohan mereka).” (QS.Al-‘Araf [7] :199).

2.5.2 Jarimah Ta’zir

Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata “jarama” kemudian


menjadi bentuk masdar “jaramatan“ yang artinya: perbuatan dosa,
perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan “jarim”, dan
yang dikenai perbuatan itu adalah “mujarom ‘alaihi”.83 Menurut istilah
para Fuqoha’ yang dinamakan jarimah ialah “larangan-larangan syara’
yang diancam dengan hukum had atau ta’zir.”84

Yang dimaksud dengan larangan adalah mengabaikan perbuatan yang

diperintahkan syara’. Had adalah ketentuan hukuman yang sudah ditentukan oleh

Allah, sedangkan ta’zir ialah hukuman atau pengajaran yang besar kecilnya

ditetapkan oleh penguasa.85

82
Ahmad Dukan Khoeri, op-cit, hlm.31.
83
Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam),BAG. Penerbitan FH UII,
Yogyakarta,1991, hlm.2
84
Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ al Jina’iy al Islami, Muasasah al Risalah, Beirut, 1992,
hlm.65.
85
Ibid, hlm.65.
35

“Secara etimologis Ta’zir berarti menolak dan mencegah. Kata ini juga

memiliki arti menolong atau menguatkan.” Hal ini seperti dalam firman Allah

SWT sebagai berikut:86

ً ‫ص‬
‫يال‬ ِ َ ‫سبِ ُحوهُ بُ ْك َرة ً َوأ‬
َ ُ ‫سو ِل ِه َوتُعَ ِز ُروهُ َوت ُ َوقِ ُروهُ َوت‬ َّ ِ‫ِلتُؤْ ِمنُوا ب‬
ُ ‫اّلِلِ َو َر‬
Artinya: “Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,

menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya pagi

dan petang.”(QS.Al-Fath [48] :9).

Ta’zir juga berarti pengajaran terhadap kesalahan-kesalahan yang tidak

diancam hukuman had. Sanksi jarimah ta’zir merupakan hukuman yang sanksinya

ditentukan oleh penguasa atau Ulil Amri untuk kemaslahatan umum. 87 Tujuan

diberlakukan ta’zir yaitu:88

1. Preventif (pencegahan), yaitu bahwa sanksi ta’zir harus memberikan

dampak positif bagi orang lain, sehingga orang lain tidak melakukan

perbuatan melanggar hukum yang sama.

2. Represif (membuat pelaku jera), yang dimana dimaksudkan agar pelaku

tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari.

3. Kuratif (islah), yaitu bahwa sanksi ta’zir itu harus mampu membawa

perbaikan sikap dan perilaku terpidana dikemudian hari.

4. Edukatif (pendidikan), yaitu agar diharapkan dapat mengubah pola

hidupnya kearah yang lebih baik.

86
Nurul irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Amzah, Jakarta, 2013, hlm.136.
87
Abdul Aziz Dahlan (et.al.),op-cit, hlm.52.
88
Nurul irfan dan Masyrofah, op-cit,hlm.253.
36

Sementara itu, Jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian yaitu:89

1. Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur syubhat atau tidak
memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan
maksiat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap
anaknya, pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi
sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu,
saksi palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhianati
amanat, dan menghina agama.
3. Jarimah ta’zir yang jenis jarimah dan jenis sanksinya secara penuh
menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama.
Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas,
dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.

Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, namun Hakim diberi

wewenang untuk memilih hukuman yang tentunya sesuai dengan keadaan jarimah

serta pembuat jarimah itu sendiri. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai

berikut:90

1. Hukuman Mati

2. Hukuman Jilid (Dera)

3. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)

4. Hukuman Salib

5. Hukuman Pengucilan

6. Hukuman Ancaman, Teguran, dan Nasihat

7. Hukuman Berupa Harta

Menurut Makhrus Munajat sanksi ta’zir yang berupa harta dikelompokkan

menjadi 3 yaitu:91

89
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Teras, Yogyakarta, 2009, hlm
180.
90
Nurul irfan dan Masyrofah, op-cit, hlm.147.
91
Makhrus Munajat, op-cit, hlm.208.
37

a. Merampas Harta
Hukuman ta’zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta
pelaku untuk diri hakim atau untuk kas umum, melainkan hanya
menahannyauntuk sementara waktu.Adapun apabila pelaku tidak bisa
diharapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harta tersebut
untuk kepentingan yang mengandung maslahat.
b. Mengubah Bentuk Barang
Adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah harta pelaku antara lain
seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara
memotong bagian kepalanya sehingga mirip dengan pohon.
c. Hukuman denda
Penjatuhan hukuman denda bersama dengan hukuman yang lain bukan
merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili jarimah
ta’zir karena hakim diberi kebebasan penuh dalam masalah ini.Hukuman
denda dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan,menghilangkan,
merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja. Perampasan terhadap
harta yang diduga merupakakn hasil perbuatan jahat atau mengabaikkan hak
orang lain yang ada didalam hartanya. Dalam hal ini, boleh menyita harta
tersebut bila terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah.

Penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta‘zir dan hukumannya,

baik sebagian maupun keseluruhannya. Dalam hal ini, penguasa boleh

mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika ia melihat ada kemaslahatan

umum di dalamnya dan setelah menghilangkan dorongan hawa nafsu.92 Terdapat

pula beberapa sebab yang dapat menyebabkan hapusnya hukuman ta’zir yaitu

meninggalnya si pelaku, pemaafan, dan taubat.93

92
Abdul Qadir Audah, al -Tasyri ‘al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qan un il Wad‘iy,
Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III , P.T. Kharisma Ilmu, Bogor, tt,
hlm.169-171.
93
A.Djazuli, Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.223.
BAB III
PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA

3.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia

Menurut Nurul Huda dan Ahmad Muti dalam bukunya yang berjudul

Keuangan Publik Islami, mendefinisikan APBN sebagai berikut:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau disingkat APBN adalah


rencana keuangan tahunan pemerintah negara Indonesia yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan
terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara
selama satu tahun anggaran (1 januari-31 desember).APBN, perubahan
APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan
undang-undang.94

Penyusunan APBN berpegang teguh pada prinsip yang digolongkan ke

dalam 2 bagian berikut ini,diantaranya:95

1. Berdasarkan aspek pendapatan:


a. intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan
penyetoran;
b. intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara;
c. penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan
penuntutan denda.
2. Berdasarkan aspek pengeluaran:
a. hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan;
b. terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan;
c. semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri
dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.

Struktur APBN terdiri atas pendapatan negara dan hibah, belanja,

keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan.

94
Nurul Huda dan Ahmad Muti, “Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-kharaj (Imam
Abu Yusuf)”, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm.132.
95
Ibid, hlm.134.

39
40

Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN

dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan

pemerintah, Government Finance Statictic (GFS).96 Tabel I-Account APBN dapat

dilihat dalam lampiran.

3.2 Sumber-sumber Pendapatan Negara di Indonesia

Secara umum, sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokan

menjadi penerimaan dari beberapa sektor, sebagai berikut:97

1. Pajak

Pajak merupakan iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan
kepada negara, propinsi, kota praja dan sebagainya. Pemungutan pajak
menjadi konsekuensi logis dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sebagai pencerminan suatu keadilan untuk kesejahteraan,
dengan berlandaskan pada teori dan asas-asas perpajakan.98

Fungsi pajak adalah sebagai budgeter dan regulerend. Fungsi finansial

(budgeter) yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dalam

rangka untuk membiayai pengeluaran negara. Sementara fungsi mengatur

(regulerend) yaitu sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang

ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu.99

2. Kekayaan Alam

“Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.100

96
Nurul Huda dan Ahmad Muti, op-cit, hlm. 136.
97
Erly Suandi, “Hukum Pajak”, Salemba Empat, Jakarta Selatan, 2004, hlm.2.
98
Muhamad Turmudi “Pajak dalam Perspektif Hukum Islam: Analisa Perbandingan
Pemanfaatan Pajak dan Pajak”, Jurnal Al-‘adl, Vol.8, No.1, Januari 2015, hlm.130.
99
Erly Suandi, op-cit, hlm.12-13.
100
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, Ayat (3).
41

Dalam buku tafsir Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa maksud menguasai adalah “mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya,

menentukan dan mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dan pembuatan

hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.”101

3. Retribusi

“Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh negara sehubungan

dengan penggunaan jasa yang disediakan oleh negara.”Objek dari Retribusi yaitu

jasa umum, jasa usaha, perizinan tertentu.102

4. Sumbangan

Sumbangan disini mengandung makna bahwa biaya yang dikeluarkan

khusus untuk prestasi pemerintah namun tidak boleh dikeluarkan dari kas umum

melainkan dari penduduk golongan tertentu dengan sukarela.103

5. Laba dari Badan Usaha Milik Negara

“Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah usaha yang sebagian besar

modalnya merupakan kekayaan negara.BUMN dapat berbentuk persero, perum,

dan perjan.”104

6. Sumber-sumber Lain

Sumber-sumber lain dalam pendapatan negara misalnya percetakan uang

(defisit spending) dan pinjaman.Percetakan uang ini tidak bisa digunakan

101
Erly Suandi, loc.cit.
102
Erly Suandi, op-cit, hlm.4.
103
Ibid.
104
Ibid, hlm.5.
42

walaupun untuk menutupi anggaran negara yang defisit karena membawa akibat

yang sangat mendalam di bidang ekonomi.105

3.3 Perpajakan di Indonesia

Pada mulanya istilah pajak di Indonesia diwujudkan dalam bentuk upeti

dari perseorangan atau kelompok sebagai tanda hormat dan tunduk kepada

penguasa. Dalam wilayah agraris kerajaan di Indonesia, pajak dipungut dari

sebagian hasil bumi yang diserahkan secara langsung dan lebih sering dilakukan

disamping pajak tanah. Sedangkan bagi kerajaan-kerajaan maritim, diberlakukan

pemajakan tak langsung yaitu dengan memungut pajak dari barang

perdagangan.106

Tahun 2005, Pemerintah mulai menyusun tiga rancangan undang-undang

yang dimana juga mengubah tiga undang-undang perpajakan yang berlaku

sebelumnya yaitu undang-undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (KUP), undang-undang mengenai Pajak Penghasilan (PPh) dan

undang-undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Barang

Mewah (PPn/PPNBM). Sebelumnya pemerintah telah melaksanakan reformasi

perpajakan tahun 1984, tahun 1994, tahun 1997, dan tahun 2000. Reformasi

perpajakan kali ini cukup menarik, karena memiliki arti khusus, yaitu memperkuat

upaya penarimaan pajak yang semakin menjadi tulang punggung dalam

pembiayaan keuangan negara. Kemudian tahun 2008 disusun reformasi

105
Ibid.
Onghokman, “Pajak dalam Perspektif Sejarah”, LP3ES, Jakarta, 1985,hlm.75.
106
43

perpajakan yang merubah mengenai Pajak Penghasilan yaitu dengan mengenakan

tarif berbeda pada wajib pajak perorangan dan wajib pajak badan.107

Untuk menggali penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan

upaya-upaya nyata, serta diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah.

upaya-upaya tersebut dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi

perpajakan. Saat ini, sebagai bentuk reformasi perpajakan salah satu agendanya

adalah menerapkan Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.108

Jenis-Jenis pajak di Indonesia diklasifikasikan ke dalam 3 bagian yaitu

berdasarkan golongan, wewenang pemungut, dan sifat.

1. Berdasarkan Golongan

a. Pajak Langsung

Pajak langsung adalah pajak yang bebannya wajib ditanggung oleh wajib

pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan ke pihak lain. Contoh dari

pajak langsung adalah pajak penghasilan.109

b. Pajak Tidak Langsung

Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dialihkan kepada pihak

lain. Contoh dari pajak tidak langsung adalah pajak pertambahan nilai dan

pajak penjualan atas barang mewah.110

107
Iput Wiliyan Pradana, “Perkembangan Penerimaan Pajak di Indonesia”, Universitas
Negeri Surabaya, Januari 2013.
108
Ragimun, “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty di Indonesia)”,
2014, hlm.3.
109
Erly Suandy, op-cit, hlm. 36.
110
Erly Suandy, loc.cit (merujuk ke halaman yang sama yaitu halaman 36).
44

2. Berdasarkan Wewenang Pemungut

a. Pajak Pusat

Pajak pusat/pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya


ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat di
atur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN).111

Tabel 3.1 Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak112

No Jenis Pajak Definisi


1 Pajak PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
Penghasilan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
(PPh)

2 Pajak PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau
Pertambahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Nilai (PPN)

3 Pajak Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :


Penjualan atas a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
Barang b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
Mewah (PPn c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
BM) berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4 Bea Materai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan
efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai
dengan ketentuan.

5 PBB Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan
atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan.

6 Bea Perolehan BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
Hak Atas atau bangunan.
Tanah dan
Bangunan
(BPHTB)

111
Ibid.
Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, “Buku Panduan Hak dan Kewajiban
112

Perpajakan”, diakses dari http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765 Pada


tanggal 9 November 2009.
45

b. Pajak Daerah

Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada


pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk
ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Tabel 3.2 Pajak-Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik


Provinsi maupun Kabupaten/Kota113
No Jenis Pajak Keterangan
1 Pajak Provinsi a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas
Air
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tamah dan
Air Permukaan

2 Pajak a. Pajak Hotel


Kabupaten/Kota b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g. Pajak Parkir

3. Berdasarkan Sifat

a. Pajak Subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi /keadaan wajib


pajak yaitu dengan memperhatikan gaya pikulnya. Gaya pikul adalah
kemampuan wajib pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup
minimum.Gaya pikul mengandung dua unsur yaitu unsur subjektif dan
unsur objektif.114

2. Pajak Objektif

Pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi


objeknya saja.Maksudnya yaitu pajak yang memperhatikan objek yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari
subjeknya baik orang pribadi maupun badan.115

113
Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, Ibid.
114
Erly Suandy, op-cit, hlm.38.
115
Ibid.
46

3.4 Pengampunan Pajak

3.4.1 Sejarah Pengampunan Pajak di dunia

Amnesti pajak pertama abad ke-20 dilakukan oleh Italia, di condono di

pene pecuniarie dengan melihat kembali keputusan kerajaan pada 11 november

1900. Dari awal tahun ke dua sampai akhir-akhir ini, pemerintah ltalia telah

menghiasi pembayar pajak Italia lima puluh delapan kali yang berarti amnesti

pajak dilaksanakan lebih dari dua tahun sekali.116

Amnesti pajak yang disetujui sebelum reformasi pajak yang komprehensif

dari sistem pajak ltalia yang diperkenalkan oleh Undang-undang No. 825 tanggal

9 Oktober 1971 yang terkait hampir secara eksklusif dengan hukuman, khususnya

tindakan kriminal. Amnesti pidana umum juga mencakup kejahatan pajak.

Amnesti pertama yang membahas pajak umum semua pembayar pajak mengikuti

peraturan pajak umum. Sebagai instrumen untuk memfasilitasi transisi ke sistem

baru, untuk mengkompensasi kehilangan pendapatan sementara yang berasal dari

transisi dan untuk meringankan beban kerja pejabat agar dapat menyerahkan tugas

baru yang dipercayakan kepada mereka melalui reformasi.117

3.4.2 Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia

Pemerintah Indonesia pertamakali menerapkan kebijakan pengampunan

pajak pada tahun 1964 melalui Penetapan Presiden No.5 Tahun 1964. “Kebijakan

pengampunan didasarkan pada pertimbangan adanya kebutuhan dana yang besar

116
Jacques Malherbe, Tax Amnesties, Kluwer Law International BV , United State of
America, 2011, hlm.17-18.
117
Ibid, hlm.18.
47

untuk kepentingan revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta

Berencana.” 118

Kebijakan pengampunan pajak diberlakukan kembali pada tahun 1984

melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 yang kemudian diubah dengan

Keputusan Presiden Nomor 72 tahun 1984. Kebijakan pengampunan pajak 1984

ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sistem perpajakan yang bertujuan

untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembiayaan negara dan

pembangunan nasional.Sistem pemungutan pajak berubah dari official assessment

menjadi self assessment, yaitu menetapkan dan membayar sendiri pajak yang

terhutang dengan dilandasi kejujuran dan keterbukaan.119

Tahun 2016 Pemerintah kembali menerapkan kebijakan pengampunan

pajak dengan menerbitkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 yang

dilaksanakan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Kebijakan ini

diterapkan untuk mendukung optimalisasi penerimaan dan perbaikan sistem

perpajakan ke depan.

“Secara etimologis, istilah pengampunan pajak berasal dari kata “tax

amnesty”. Kata amnesty berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang dapat

diartikan , melupakan atau suatu tindakan melupakan.”120 Berikut beberapa hal

pokok yang terkait dengan amnesti, yaitu:121

1. Kewenangan amnesti hanya berada pada wewenang Presiden dalam


kedudukan sebagai kepala negara.

118
Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.37.
119
Ibid, hlm.38.
120
Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.27.
121
Ibid, hlm.29.
48

2. Pemberian amnesti mempunyai akibat hukum yaitu hilangnya kesalahan


pelaku pelanggaran sehingga pelaku dapat dibebaskan dari sanksi atau
ancaman baik pidana maupun administrasi.
3. Penjatuhan amnesti harus diberi wadah dalam bentuk undang-undang.
4. Amnesti diberikan pada momen tertentu (tidak setiap saat).

Pada masa sekarang amnesti disebagai konsep pengampunan diterapkan

tidak hanya dalam hukum pidana, tapi juga dalam bidang politik, hak asasi

manusia, ekonomi bahkan pajak.Dengan menggunakan pengertian amnesti

sebelumnya maka “pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan konsep

penghapusan sanksi yang diberikan oleh Presiden dalam keadaan atau situasi

tertentu kepada wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran terhadap undang-

undang perpajakan.”122

Definisi pengampunan pajak juga terdapat pada undang-undang no.11

tahun 2016 Pasal 1 Nomor 1: “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak

yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi

pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang

tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”123

3.4.3 Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia Tahun 2016

Kebijakan pengampunan pajak merupakan suatu terobosan kebijakan yang

diperlukan untuk mendukung optimalisasi penerimaan dan perbaikan sistem

perpajakan ke depan. Pengampunan Pajak berpegang teguh kepada 4 prinsip,

yaitu:124

122
Ibid, hlm.30.
123
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 1.
124
Ibid, hlm.4.
49

1. Kepastian hukum, maksudnya adalah pelaksanaan pengampunan pajak


harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
2. Keadilan, maksudnya adalah pelaksanaan pengampunan pajak menjunjung
tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.
3. Kemanfaatan, artinya seluruh pengaturan kebijakan pengampunan pajak
bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya
dalam memajukan kesejahteraan umum.
4. Kepentingan nasional, artinya pelaksanaan pengampunan pajak
mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas
kepentingan lainnya.

Tujuan Pengampunan Pajak berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun

2016 adalah sebagai berikut:125

1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui


pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan
likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga,
dan peningkatan investasi.
2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih
berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid,
komprehensif, dan terintegrasi.
3. Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk
pembiayaan pembangunan.

Sasaran dari pengampunan pajak yaitu setiap “wajib pajak yang

mempunyai kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak

penghasilan”126 dan memiliki tanggungan pajak, kecuali “wajib pajak yang tengah

dalam penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan oleh kejaksaan,

proses peradilan, dan menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang

perpajakan.”127 Namun, terdapat pula pihak-pihak yang dapat menggunakan

haknya untuk tidak mengikuti program kebijakan pengampunan pajak seperti

petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia, subjek pajak warisan yang

125
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2.
126
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan Lebih
Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak,
Pasal 1Ayat (1).
127
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 3.
50

belum terbagi, yang dimana jumlah penghasilannya pada tahun pajak terakhir

dibawah penghasilan tida kena pajak. Selain itu, warga negara Indonesia yang

tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan

tidak memiliki penghasilan dapat pula menggunakan haknya untuk tidak

mengikuti program pengampunan pajak.128

Pengampunan yang diberikan kepada wajib pajak yaitu meliputi

pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir tahun pajak

terakhir yang belum atau sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak. Kewajiban

yang dimaksud terdiri atas kewajiban pajak penghasilan dan pajak pertambahan

nilai atau pajak penjualan atas barang mewah.129 Sementara harta warisan dan

hibah tidak dijadikan objek pengampunan pajak apabila pihak penerima tidak

memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan dibawah penghasilan tidak kena

pajak, serta harta warisan/hibah telah dilaporkan dalam SPT tahunan pajak

penghasilan pewaris/penghasilan pemberi hibah.130

Wajib Pajak yang ingin diampuni kewajibannya harus melunasi utangnya

dibidang perpajakan atau mengalihkan hartanya bagi yang menyimpan hartanya di

luar negeri yaitu dengan cara membayar uang tebusan dimulai pada 1 juli 2016

sampai dengan 31 maret 2017. Tarif uang tebusan dibagi kedalam tiga bagian,

yaitu:131

(1) Tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah NKRI yang
dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah

128
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, Pasal 1 Ayat (2)-(3).
129
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 3 Ayat (4)-(5).
130
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan Lebih
Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak,
Pasal 2 ayat (1)-(3)
131
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 4.
51

NKRI dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun terhitung sejak


dialihkan, adalah sebagai sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada
bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak
undang-undang ini mulai berlaku;
b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada
bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 desember 2016; dan
c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan
terhitung sejak 1 januari 2017 sampai dengan 31 maret 2017.
(2) Tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak
dialihkan ke luar wilayah NKRI adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan
pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung
sejak undang-undang ini mulai berlaku;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan
pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai
berlaku sampai dengan tanggal 31 desember 2016; dan
c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan
terhitung sejak 1 januari 2017 sampai dengan 31 maret 2017.
(3) Tarif uang tebusan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai
dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada
tahun pajak terakhir adalah sebesar:
a. 0.5% (nol koma lima persen) bagi wajib pajak yang
mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan; atau
b. 2% (dua persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta
lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam
surat pernyataan.

Besarnya uang tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif di atas

dengan dasar pengenaan uang tebusan. Dasar pengenaan uang tebusan dihitung

berdasarkan nilai harta bersih (selisih antara nilai harta dikurangi nilai utang) yang

belum atau belum seluruhnya dilaporkan SPT PPh terakhir. Untuk perhitungan

dasar pengenaan uang tebusan besarnya nilai utang yang berkaitan secara

langsung dengan perolehan harta tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai

pengurang nilai harta sebesar 75% untuk wajib pajak badan dan 50% untuk wajib
52

pajak orang pribadi dari nilai tambahan. Berikut tata cara pengajuan pengampunan

pajak:132

1. Wajib Pajak datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak


terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri untuk meminta
penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen
yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan, yaitu:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki
Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang
dilaporkan;
d. daftar Utang serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak
yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan
g. surat pernyataan mencabut segala permohonan yang telah diajukan
ke Direktorat Jenderal Pajak
h. surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat
selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan dalam
hal Wajib Pajak akan melaksanakan repatriasi;
i. melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat
selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya
Surat Keterangan dalam hal Wajib Pajak akan melaksanakan
deklarasi;
j. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha bagi Wajib
Pajak yang bergerak di bidang UMKM.
2. Wajib Pajak melengkapi dokumen-dokumen yang akan digunakan
untuk mengajukan Amnesti Pajak melalui Surat Pernyataan, termasuk
membayar uang tebusan, melunasi tunggakan pajak, dan melunasi pajak
yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak
dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan
bukti permulaan atau penyidikan.
3. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau Tempat Lain yang ditentukan
Menteri Keuangan.
4. Wajib Pajak akan mendapatkan tanda terima Surat Pernyataan.
5. Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan
Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari

132
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “Amnesti Pajak”, diakses dari
http://www.pajak.go.id/content/amnesti-pajak, pada tanggal 12 Juli 2017 pukul 9:12.
53

kerja terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta


lampirannya dan mengirimkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak
kepada Wajib Pajak.
6. Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri
belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap
diterima.
7. Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3
(tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini
mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 di mana Surat
Pernyataan Kedua dan Ketiga dapat disampaikan sebelum atau setelah
Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya dikeluarkan.

Jika wajib pajak telah memperoleh surat keterangan namun belum atau

kurang diungkapkan dalam surat pertanyaan, atau wajib pajak yang memiliki

tanggungan pajak namun tidak berpartisipasi dalam program pengampunan pajak,

dan pemerintah menemukan data/informasi harta wajib pajak yang diperoleh

sejak 1 januari 1985 sampai dengan 31 desember 2015 dan belum dilaporkan

dalam SPT pajak penghasilan maka dianggap sebagai tambahan penghasilan dan

dikenai sanksi pajak penghasilan ditambah dengan sanksi admnistrasi perpajakan

berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari pajak penghasilan yang

tidak atau kurang dibayar.133 Data dan informasi yang bersumber dari wajab pajak

yang berpartisipasi dalam program pengampunan pajak tidak dapat dijadikan

sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana kecuali atas

persetujuan wajib pajak sendiri.134

Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain

yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan,

digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata

133
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 18-19.
134
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 20-21.
54

maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Setiap orang yang melanggar

ketentuan atau membocorkan data wajib pajak yang mengikuti pengampunan

pajak akan dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun. Penuntutan

terhadap tindak pidana ini hanya dilakukan atas pengaduan orang yang

kerahasiaannya dilanggar.135

135
Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 22-23.
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK
SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA
DI INDONESIA

4.1 Analisis Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam

Pada umumnya suatu negara dapat mengelola kebijakan fiskal negaranya

dengan menerapkan sistem anggaran defisit, sistem anggaran surplus, atau sistem

anggaran berimbang. Di masa periode pemerintahan Rasulullah SAW lebih sering

menggunakan sistem anggaran berimbang atau surplus, sementara di Indonesia

lebih sering menggunakan sistem anggaran defisit sebagaimana laporan menteri

keuangan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir periode 2012-2017 yang

menunjukan defisit negara semakin meningkat setiap tahunnya, namun defisit

APBN terhadap PDB (Product Domestic Bruto) dari tahun 2014 ke tahun 2015

menurun sebesar 0.05%.Tabel perkembangan defisit anggaran negara Republik

Indonesia tahun 2012-2017 dapat dilihat dalam lampiran.

Konsekuensi dari suatu negara yang menggunakan sistem anggaran defisit

adalah utang. Berbeda dengan Periode pemerintahan Rasulullah SAW yang

memilih sistem anggaran berimbang, karena pada saat itu anggaran negara masih

sederhana dan tidak serumit sistem anggaran seperti pada saat ini. Selain itu,

Rasulullah SAW mengikuti anjuran untuk menggunakan prinsip berimbang

sebagaimana firman Allah berikut ini:

‫َوالَّذِينَ إِذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم يُ ْس ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ َٰذَ ِل َك قَ َوا ًما‬

55
56

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka

tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di

tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan [25] :67).

Kebijakan anggaran berimbang ini tidak berorientasikan pertumbuhan,

karena ketika itu juga belum terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi.136

Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas muslim yang

menggunakan kebijakan anggaran defisit. Beberapa ulama tidak setuju dengan

penerapan sistem anggaran defisit namun ada juga yang setuju dan memiliki

konsep solusi masing-masing berdasarkan syariah untuk menangani anggaran

negara yang defisit.

Selain perbedaan kebijakan anggaran yang digunakan antara periode

pemerintahan Rasulullah SAW dengan pemerintahan Indonesia, terdapat pula

beberapa perbedaan diantara keduanya dalam mengatur, mengelola, termasuk

cara memperoleh penerimaan negara.

Pada masa Rasulullah SAW, ada yang serupa dengan APBN di Indonesia,

karena sama-sama mengatur pendapatan dan pengeluaran negara. Namun APBN

pada masa Rasulullah SAW berbentuk lembaga, sedangkan APBN di Indonesia

bukan merupakan sebuah lembaga, melainkan rencana anggaran yang disusun

satu tahun sekali dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu,

jenis-jenis penerimaan dan pengeluaran APBN pada masa Rasulullah SAW diatur

olehnash sehingga tidak perlu ditentukan kembali setiap satu tahun sekali seperti

dalam APBN di Indonesia, dan kedudukan sumber dana yang diperoleh untuk

136
Gusfahmi, loc-cit (merujuk ke halaman yang sama yaitu halaman 162).
57

menambah pendapatan negara jelas halal. Sementara di Indonesia dalam

menyusun rencana anggaran kas negara berpedoman pada undang-undang,

sehingga sumber-sumber dana untuk menambah pendapatan negara tidak terikat

konteks halal-haram. Mengenai perbandingan aspekAPBN pada masa Rasulullah

dengan APBN di Indonesia akan diringkas dalam sebuah tabel berikut ini.

Tabel 4.1 PerbandinganAspek APBN pada masa Rasulullah SAW


dengan APBN di Indonesia137
No Aspek APBN pada APBN
masa Rasulullah SAW di Indonesia
1 Keterikatan dengan halal haram Terikat Tidak terikat
(syariah)
2 Penentuan jenis-jenis Ditentukan oleh Ditetapkan oleh
penerimaan syariah pemerintah dan
DPR
3 Besarnya untuk masing-masing Ditetapkan oleh Ditetapkan oleh
jenis pendapatan Khalifah pemerintah dan
DPR
4 Periode Tidak ada periode Tahunan

4.1.1 Analisis Sumber-sumber Pendapatan pada Laporan APBN 2017

Perspektif Islam

Sumber-sumber pendapatan dalam Islam berdasarkan tujuan

penggunaannya diklasifikasikan kedalam sumber pendapatan resmi dan tidak

resmi, sedangkan berdasarkan jenisnya dikelompokkan menjadi sumber

pendapatan primer dan sumber pendapatan sekunder. Selain itu pemerintahan

khalifah juga membedakan subjek yang menjadi sasaran pemungutan dan

pengalokasian ke dalam beberapa golongan sesuai dengan nash. Berbeda dengan

pemerintah Indonesia yang tidak mengklasifikasikan sumber pendapatan yang

137
M. Shiddiq Al-Jawi, Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran, diakses dari
http://hizbut-tahrir.or.id/2013/12/01/bagaimana-khilafah-mengatasi-defisit-anggaran.
58

dipungut berdasarkan subjek pemungutannya maupun penerimaannya.Berikut

tabel mengenai sumber pendapatan negara Indonesia berdasarkan laporan APBN

2017.

Tabel 4.2 Pendapatan Negara Indonesia dalam APBN 2017138

Uraian APBN 2017 Presentase


(milliar (%)
rupiah)
PENDAPATAN NEGARA 1.750.283,4 100%
I. Penerimaan dalam Negeri 1.748.910,7
1. Penerimaan Perpajakan 1.498.871,6
Pajak Dalam Negeri 1.464.796,6
i. Pajak Penghasilan 787.704,7
ii. Pajak Pertambahan Nilai 493.888,7
iii. Pajak Bumi dan Bangunan 17.295,6 85,6%
iv. Cukai 157.158,0
v. Pajak Lainnya 8.749,6
Pajak Perdagangan Internasional 34.075,1
i. Bea Masuk 33.735,0
ii. Pajak Pungutan Ekspor 340,1
2. Penerimaan Bukan Pajak 250.039,1
Penerimaan Sumber Daya Alam 86.995,9 14,3%
Bagian Laba BUMN 41.000,0
PNBP Lainnya 84.428,1
Badan Layanan Umum 37.615,1
3. Hibah 1.372,7 0,1%

Pendapatan negara Indonesia di dominasi oleh sektor perpajakan sebesar

85,6%, sisanya dibantu dari hibah sebesar 0,1% dan dari penerimaan bukan pajak

sebesar 14,3%. Pajak dijadikan tulang punggung dan andalan negara Indonesia

dalam menambah sisi pendapatan negara. Berbeda dengan di masa pemerintahan

Rasulullah SAW yang hanya menjadikan pajak sebagai sumber negara yang

bersifat komplemen karena sumber pendapatan pada masa pemerintahan khalifah

lebih bertumpu kepada sumber-sumber pendapatan seperti ghanimah, zakat, dan

fay’i.

Republik Indonesia, “Buku II Nota Keuangan dan APBN Tahun 2017”, hlm. II.3-6 -
138

II.3-19.
59

Sumber-sumber pendapatan di masa pemerintahan Rasulullah SAW tidak

berbeda sepenuhnya dengan sumber pendapatan di negara Indonesia, karena

terdapat beberapa sumber-sumber pendapatan di masa Rasulullah SAW yang juga

diterapkan di Indonesia.Abu Yusuf telah mengklasifikasikan pendapatan yang

tidak ada dalam Islam dan pendapatan yang tidak ada dalam APBN Indonesia.

Abu Yusuf adalah pencipta kitab Al-Kharaj yang memuat tentang pembahasan

perpajakan, sumber-sumber pendapatan negara termasuk bagaimana cara

mengumpulkan hingga mengalokasikannya dengan berlandaskan nilai-nilai

syariah.Berikut perbandingan pendapatanyang tidak ada dalam APBN di

Indonesia dan yang tidak ada dalam pendapatan Al-Kharaj perspektif Abu Yusuf.

Tabel 4.3 Perbandingan Pendapatan dalam APBN di Indonesia dengan


Pendapatan dalam Al-Kharaj Perspektif Abu Yusuf139

Pendapatan
No Pendapatan dalam Al-Kharaj
Pendapatan dalam APBN di Indonesia
Perspektif Abu Yusuf
1 Pajak Penghasilan (PPh) Zakat
2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jizyah
3 Migas Ghanimah
4 Pajak Ekspor

Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa paling tidak ada 4 jenis

penerimaan APBN RI yang tidak ada dalam kebijakan penerimaan perspektif Abu

Yusuf. Abu yusuf menjadikan zakat dengan segala sektor yang dicakup olehnya

sebagai penerimaan negara sehingga tidak perlu lagi ditambahkan dengan bentuk

pajak lain. Sementara dalam APBN RI zakat, jizyah, dan ghanimah tidak

dijadikan sumber pendapatan negara. Jizyah tidak dijadikan sumber pendapatan

negara karena pada saat ini di Indonesia tidak perlu dipungut pajak kepada setiap

jiwa non muslim yang merasa terancam dan butuh perlindungan dari peperangan.

139
Nurul Huda dan Ahmad Muti, op-cit, hlm.152.
60

Ghanimah juga tidak bisa dijadikan sumber pendapatan Indonesia mengingat

kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan di masa Rasulullah SAW.

Pemungutan pajak yang berlebihan sebenarnya tidak baik untuk kegiatan

bisnis dan tidak boleh dijadikan sumber utama negara karena dalam Islam pajak

hanya dijadikan sumber pendapatan komplemen. Maka dari itu, untuk

mengoptimalkan pendapatan, negara Indonesia bisa mencoba memaksimalkan

pengelolaan sumber daya alam (SDA). Indonesia memiliki potensi SDA yang

besar, terutama sektor pertanian kelautan, kehutanan, dan pertambangan. Investasi

di sektor-sektor tersebut juga terus tumbuh, dan akan lebih efisien jika Indonesia

mandiri dalam mengelola SDA yang ada. Pemanfaatan SDA untuk menambah

pendapatan negara juga dianjurkan dalam Islam seperti diriwayatkan oleh Ibnu

Abbas dari Sha’bi bin Jatsamah, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

140
ُ ‫ََل ُح َمى اَِلَّ ِ َّّلِلِ َو ِل َر‬
‫س ْو ِل ِه‬
Artinya: “Tidak ada penguasaan (pemagaran) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.”

Maksudnya yaitu tidak boleh ada penguasaan/pemagaran kecuali

dilakukan oleh negara untuk keperluan jihad, menyantuni orang-orang fakir,

orang-orang miskin, serta untuk kemaslahatan umum.

4.1.2 Analisis Pajak sebagai Sumber Pendapatan Negara di Indonesia

Perspektif Islam

Para ulama mendukung dan memperbolehkan memungut pajak jika

sistem perpajakan yang diterapkan berprinsipkan keadilan dan selaras dengan

140
Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.101.
61

spirit Islam. Menurut mereka, sistem perpajakan yang adil adalah apabila

memenuhi tiga kriteria berikut ini, yaitu:141

1. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar


diperlukan untuk merealisasikan maqasid Syariah.
2. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan
rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap
semua orang yang mampu membayar.
3. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang
baik, karenanya itu pajak diwajibkan.

Dalam laporan APBN 2017, Pendapatan negara didominasi oleh sektor

perpajakan dengan “total keseluruhan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.498.9

T yang terdiri dari PPh sebesar Rp 787,7 T, PPN sebesar Rp 493,9 T, PBB sebesar

RP 17,3 T, bea cukai sebesar RP 157,2 T, bea masuk sebesar RP 33,7 T, bea

keluar sebesar RP 0,3 T, dan pajak lainnya sebesar RP 8,7 T.” 142 Penerimaan

perpajakan dalam APBN tahun 2017 menurun sebesar 2,6 persen jika

dibandingkan dengan APBNP tahun 2016. Menurunnya penerimaan perpajakan

tahun 2017 terutama dipengaruhi adanya kebijakan-kebijakan yang

penerimaannya sudah diperoleh di tahun 2016 seperti kebijakan pengampunan

pajak (tax amnesty), dan melemahnya perekonomian dunia yang berdampak pada

pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Melihat praktik perpajakan di Indonesia, terdapat beberapa perbedaan

antara sistem pajak (dharibah) termasuk jenis-jenis pajak menurut Islam dengan

sistem perpajakan di Indonesia. Mengenai jenis-jenis pajak, terdapat jenis pajak di

masa pemerintahan khalifah yang diterapkan di Indonesia seperti jizyah dan

khums, namun terdapat pula jenis pajak di Indonesia yang dikelola pemerintahan

141
Mohammad Solekhan, op-cit, hlm.88.
142
Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Informasi APBN 2017, diakses dari
https://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/informasi-apbn-2017 pada tanggal 6 desember 2016.
62

pusat namun tidak ada di masa pemerintahan khalifah seperti pajak penghasilan,

pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, bea materai, dan bea

perolehan hak atas tanah dan bangunan. Memang sebenarnya terdapat pula jenis

pajak di Indonesia yang serupa dengan jenis pajak di masa khalifah seperti Kharaj

dengan PBB dan ushr dengan bea cukai, namun tetap saja dalam praktiknya

terdapat perbedaan.

Perbedaan selanjutnya, pajak dalam Islam boleh dipungut ketika keadaan

kas negara kosong sehingga dapat dihapus ketika sudah tidak diperlukan,

sedangkan pajak di Indonesia karena menggunakan kebijakan anggaran defisit

sehingga kas negara selalu minus sehingga harus terus menerus memungut pajak

serta menjadikan pajak sebagai sumber utama. Kemudian Pajak di Indonesia

dipungut tanpa mengenal subjek pajak itu merupakan muslim atau non muslim

karena negara Indonesia berlandasakan pancasila dimana sangat menjunjung

tinggi keberagaman agama rakyatnya. Berbeda dengan keadaan negara dimasa

pemerintahan khalifah yangmembedakan subjek pemungutan, penerimaan, serta

sasaran pengalokasiannya.

4.2 Analisis Pendapatan Pengampunan Pajak di Indonesia

Wajib Pajak yang ingin medapatkan pengampunan dibidang perpajakan

harus menyetorkan uang tebusan ke bank persepsi atau direktorat jenderal pajak

terdekat dengan memenuhi dan melengkapi persyaratan yang telah dijelaskan

sebelumnya. Berikut tabel perolehan dana pengampunan pajak berdasarkan surat

setoran pajak yang diterima.


63

Tabel 4.4 Realisasi Berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diterima143

Uraian
Uang tebusan Penghentian Pembayaran Jumlah
Tahun Bulan (milliar
pengampunan pemeriksaan tunggakan
rupiah)
pajak bukti permulaan Pajak
2016 07 130,20 0,54 986,76 1.117,50
2016 08 4.816,17 65,66 1.137,06 6.018,88
2016 09 88.790,75 287,89 940,97 90.019,60
2016 10 734,45 44,93 0 779,38
2016 11 1.015,52 84,14 0 1.099,65
2016 12 7.734,32 256,22 6.911,14 14.901,68

2017 01 449,32 32,57 508,26 990,66


2017 02 1.110,36 11,69 813,92 1.935,99
2017 03 9.432,89 964,74 7.659,03 18.056,68
TOTAL 114.231,74 1.748,39 19.366,79 135.346,93

Berdasarkan tabel realisasi surat setoran pajak (SSP) yang diterima,

jumlah penerimaan pajak dari program pengampunan pajak ini naik turun setiap

bulannya. Untuk setoran dari pembayaran uang tebusan paling besar di periode

pertama (1 Juli 2016 - 30 September 2016) yaitu sebesar 88.790,75 miliar.Para

pembayar pajak cenderung melakukan pembayaran pada periode I karena

mengincar tarif tebusan terendah dan itu sangat menguntungkan bagi wajib pajak

yang memiliki harta banyak dan tunggakan pajak yang besar. Sementara untuk

setoran dari penghentian pemeriksaan bukti permulaan paling besar di periode

terakhir (1 januari 2017 – 31 maret 2017) yaitu sebesar Rp1.748,39 miliar. Sama

hal nya dengan setoran dari pembayaran tunggakan pajak paling besar di periode

akhir yaitu sebesar Rp7.659,03.

Berdasarkan surat pernyataan harta (SPH), dana yang berhasil terkumpul

dari program pengampunan pajak adalah sebesar Rp4.884 Triliun. Berikut ini

tabel yang menunjukan komposisi harta berdasarkan SPH yang diterima.

143
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, “Statistik Amnesti Pajak”, diakses
dari http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti pada tanggal 5 Juli 2017 pukul 09:37.
64

Tabel 4.5 Komposisi Harta Berdasarkan SPH yang diterima144

Uraian Repatriasi Deklarasi Luar Negeri Deklarasi Dalam Negeri Total

Jumlah Rp147 T Rp.1.037 T Rp3.701 T Rp4.884 T

Pemerintah menargetkan dana repatriasi yang diterima sebesar Rp1000

triliun, namun realisasinya dana yang terkumpul hanya mencapai Rp146 triliun.

Uang tebusan yang ditargetkan Pemerintah juga dibawah target yaitu hanya

terkumpul Rp114 triliun dari Rp165 triliun yang ditargetkan. Hanya dana

deklarasi yang telah melampaui target pemerintah. Dana deklarasi termasuk

deklarasi luar negeri dan deklarasi dalam negeri sebelum di targetkan sebesar

Rp4.000 triliun, Direktorat Jenderal Pajak kini telah berhasil mengumpulkan

Rp4.738 triliun. Untuk uang tebusan yang diperoleh dari pengampunan pajak akan

langsung masuk ke kas negara dan dihitung sebagai pajak penghasilan.

4.3 Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak di

Indonesia

4.3.1 Analisis Evaluasi Implementasi Pengampunan Pajak di Indonesia

Perspektif Islam

Pengampunan pajak di Indonesia pernah diterapkan pada tahun 1964 dan 1984

namun ternyata tidak berhasil. “Pen.Pres No.5 tahun 1964 yang bertujuan

menghimpun dana untuk modal pembangunan, dan Kep.Pres No.26 tahun 1983

yang menjadikan tax amnesty sebagai instrumen untuk melepaskan diri dari sanksi

perpajakan tidak berhasil memotivasi wajib pajak untuk berpartisipasi dalam

pengampunan pajak.”145 Mirip dengan pengampunan pajak, tahun 2007-2009

144
Ibid.
145
Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.49.
65

pernah diterapkan sunset policy. Perbedaan diantara keduanya, sunset policy

hanya menghapus sanksi administrasi berupa bunga saja, dengan demikian hutang

pajak dan kekurangan pembayaran pajak tetap harus di bayar. Sementara

perbedaan pengampunan pajak periode 2016-2017 dengan pengampunan pajak

tahun 1964 dan 1984 terletak pada bentuk regulasi hukum yang digunakan.

Asas-asas yang dijadikan landasan program pengampunan pajak yaitu

kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Mengingat

dalam pelaksaannya program pengampunan pajak diwadahi oleh payung hukum

yang kuat yaitu Undang-Undang No.11 tahun 2016 sehingga dalam

pelaksanaanya memiliki kepastian hukum. Diadakannya program pengampunan

pajak periode 2016-2017 juga diharapkan membawa manfaat yang besar untuk

kepentingan nasional bagi pendapatan negara dan perluasan basis data perpajakan

di masa yang akan datang dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

mensejahterakan rakyat Indonesia. Penerapan kebijakan pengampunan pajak juga

perlu berlandaskan prinsip keadilan dan diharapkan menjaga keseimbangan hak

dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat. Namun realitanya, penerapan

pengampunan pajak dianggap mencederai asas keadilan oleh sebagian besar

masyarakat khususnya wajib pajak yang patuh dan taat membayar pajak seperti

misalnya buruh. Buruh merupakan salah satu wajib pajak yang taat membayar

pajak karena pendapatannya akan selalu dipotong terlebih dahulu secara rutin

sebagai pajak penghasilan. Mereka merasa tak adil karena dengan adanya program

pengampunan pajak ini memberikan keringanan kepada pihak yang lalai dalam
66

membayar pajak yang kebanyakan rakyat berpenghasilan besar atau bahkan lebih

dengan pendapatan tentunya diatas PTKP.

Konsep pengampunan pajak ini hampir serupa dengan konsep pajak dalam

Islam yaitu Nawaib. Nawaib adalah jenis pajak yang boleh ditarik ketika kas

negara dalam keadaan darurat atau kosong. Maka tidak disalahkan pemerintah

Indonesia mengadakan kebijakan pengampunan pajak karena negara

bertanggungjawab dalam membiayai keperluan rakyatnya. Konsep Nawaib juga

sama halnya dengan pengampunan pajak yaitu hanya diberlakukan sementara atau

tidak diberlakukan terus menerus. Perbedaannya, nawaib merupakan murni jenis

pajak tanpa mengandung konsep pengampunan apalagi harus membayar utang

pajak dengan uang tebusan untuk mendapatkan hak penghapusan sanksi

administrasi dan pidana dibidang perpajakan. Dalam perspektif Islam

pengampunan pajak memang tidak ada praktiknya yang serupa sekalipun di masa

Rasulullah SAW. Namun, pengampunan pajak dapat dibahas dengan mengaitkan

konsep pemberian ampunan dalam Islam dalam menjadikan pembayaran denda

sebagai penebus kesalahan sebagai alternatif menambah pendapatan negara.

Dalam Al-Quran surat Al-Nisa ayat 85 dijelaskan bahwa pemberian

ampunan atau syafa’at diperbolehkan namun bukan bermaksud untuk melanggar

batas-batas Allah SWT ataupun melangkahi batas batas kebenaran. Pemberian

syafa’at kepada pelaku pelanggaran perlu dipertimbangkan karena merupakan

tindakan terpuji namun juga dapat menjadi tindakan tidak terpuji apabila

menyalahgunakan pemberian syafa’at tersebut. Sebagian besar para sahabat Nabi

lebih menyukai untuk memberikan syafa’at kepada pelaku tindak pidana karena
67

memberikan maaf merupakan ‘amaliyah yang dianjurkan oleh SWT apalagi jika

pemberian maaf itu untuk membuat seseorang menjadi lebih baik lagi

sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-‘araf ayat 199.

Pemberian ampunan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan yang

tidak diatur dalam hukuman had maka sanksinya ditentukan oleh Ulil Amri atau

penguasa demi kemaslahatan umat. Pengampunan pajak juga tidak diatur

sebelumnya dalam Al-Qur’an sehingga ditentukan peraturan yang memuat sanksi

oleh Presiden untuk menambah pendapatan dan meningkatkan kepatuhan wajib

pajak. Sasaran utama diberlakukan pengampunan pajak yaitu kepada pihak-pihak

yang menyimpan dana di luar negeri khususnya di negara surga pajak (tax

heaven). Sebenarnya menyimpan dana di luar negeri itu tidak salah karena itu

merupakan hak mereka sebagai warga negara yang mungkin ingin

menginvestasikan uangnya atau memiliki usaha di luar negeri. Namun, kesalahan

atau bentuk pelanggarannya itu terletak pada penghasilan atau harta kekayaan

yang dikenai pajak namun belum dilaporkan pada SPT PPh. Seseorang yang

sengaja menyimpan hartanya di negara surga pajak (tax heaven) tanpa melaporkan

harta kekayaannya yang dikenai pajak pada negara dalam bentuk SPT sampai

bertahun-tahun artinya sama dengan menghindari pembayaran pajak dan itu

termasuk pelaku kejahatan penggelapan pajak (tax evasion).

Berdasarkan laporan kementerian keuangan yang di publish di salah satu

web berita, tercatat lebih dari 6.000 WNI memiliki rekening disatu negara. Uang

yang disimpan di negara tersebut belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan

pemilik rekening di dalam SPT. Artinya selama ini pemilik rekening tersebut
68

tidak pernah membayar pajak atas asetnya yang disimpan di luar negeri.Belum

lagi data yang memuat nama-nama WNI yang menggunakan jasa firma hukum

panama bocor ke media, dan 80% data tersebut cocok dengan data pemerintah

Indonesia.

Utang negara yang semakin besar sehingga membuat anggaran negara

semakin defisit, dan banyaknya harta WNI di luar negeri yang belum dilaporkan

pada SPT PPh semakin menguatkan Pemerintah untuk melancarkan dan segera

menerapkan program pengampunan di Indonesia. Namun karena berkaca dari

skandal panama papers, tidak sedikit rakyat Indonesia yang merasa tidak diadili

khususnya mereka yang taat dalam membayar pajak karena menganggap

pemerintah mempermudah dan mengurangi sanksi para konglomerat Indonesia

yang belum melaporkan hartanya pada laporan SPT PPh dengan diberlakukannya

program pengampunan pajak.

Sebagai warga negara yang baik seharusnya mengikuti peraturan

pemerintah karena pemerintah merupakan khalifah yang ditugaskan untuk

mengatur rakyatnya demi mendapatkan kesejahteraan bersama. Pemerintah

memungut pajak semata-mata bertujuan untuk membiayai keperluan rakyat dan

manfaatnya akan dirasakan oleh rakyat itu sendiri. Pemerintah juga perlu

menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat dengan mengelola uang penerimaan

pajak secara benar dan adil.Diberlakukannya pengampunan pajak ini intinya

serupa dengan diberlakukannya jarimah ta’zir yaitu untuk mencegah wajib pajak

agar patuh atau tidak lalai dalam melakukan kewajibannya membayar pajak,

membuat jera dengan memberi sanksi yang kongkrit kepada wajib pajak yang
69

memiliki kesalahan dibidang perpajakan namun tidak mengikuti program

pengampunan pajak, memberi pelajaran yang membuat mereka memperbaiki

kesalahan mereka agar dapat menjadi wajib pajak yang patuh dikemudian hari.

Pengampunan pajak memang menjadi salah satu cara yang ampuh dalam

meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT karena memperluas

basis data dibidang perpajakan yang akan dapat diambil dampak positifnya bagi

penerimaan perpajakan di masa mendatang. Namun perlu dipertimbangkan pula

dampak negatifnya, bahwa dengan diterapkannya pengampunan pajak yang tidak

memberikan sanksi tegas pasca pemberian pengampunan akan menimbulkan

moral hazard dikalangan wajib pajak. Para wajib pajak tidak akan langsung

seluruhnya menjadi patuh karena justru malah akan bertambah lalai dan merasa

tidak jera dengan ancaman yang diberikan pemerintah karena berharap pemerintah

akan kembali mengulang penerapan program pengampunan pajak di masa yang

akan datang.

Pemerintah perlu mempertimbangkan dan berpikir panjang kedepan,

apakah dengan diberlakukannya pengampunan pajak ini lebih banyak

menimbulkan maslahat untuk kesejahteraan bersama atau malah menimbulkan

mudharat.Pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dalam menerapkan

kebijakan apalagi kaitannya sebagai alternatif mengoptimalkan pendapatan

negara.

4.3.2 Analisis Pengampunan Pajak Tahun 2016-2017 sebagai Usaha

Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam


70

Keberhasilan program pengampunan pajak sangat tergantung dari

dukungan semua pihak terutama sosialisasi tentang program ini kepada rakyat

Indonesia khususnya para wajib pajak. Indikator yang dapat dipakai untuk

keberhasilan tax amnesty yaitu tujuan diadakannya pengampunan pajak yang

tercantum dalam undang-undang no.11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak

dan telah dibahas sebelumnya pada halaman 48.

Berikut akan dipaparkan tabel yang berisi data-data dimana menunjukan

pertumbuhan perekonomian Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan program

pengampunan pajak dilihat dari sisi Produk domestik bruto, pendapatan negara,

penerimaan perpajakan, tingkat kepatuhan penyampaian SPT wajib pajak, nilai

tukar rupiah, suku bunga, investasi, dan inflasi. Data-data berikut dirangkum dari

beberapa sumber yaitu direktorat jenderal perpajakan kementrian keuangan,

laporan APBN, bappenas, tempo, serta kompas.

Tabel 4.6 Perbandingan Pertumbuhan Perekonomian Indonesia


Sebelum dan Sesudah Penerapan Pengampunan Pajak
Tahun
Uraian
2015 2016 2017
Produk Domestik Bruto/PDB (%) 4,8 5,1 5,2
Pendapatan Negara (miliar) 1.761.642,8 1.786.225,0 1.750.283,4
Penerimaan Perpajakan (miliar) 1.489.255,5 1.539.166,2 1.498.910,7
Tingkat kepatuhan penyampaian SPT wajib 60,42 63,15 72,5
pajak (%)
Nilai Tukar Rupiah (Rp) 12.500 13.500 13.300
Suku Bunga (%) 6,2 5,5 5,3
Investasi (%) 5,1 5,3 5,9
Inflasi (%) 5,0 4,7 4,0

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dinilai dari presentase PDB yang

dicapai. PDB Indonesia tahun 2015 hanya berkisar disekitar 4,8%,kemudian

meningkat di tahun 2016 sebesar 5,1% dan meningkat kembali di tahun 2017

sebesar 5,2%. Program pengampunan pajak juga membawa pengaruh positif


71

terhadap perbaikan nilai tukar rupiah, terbukti pada tahun 2017 nilai tukar rupiah

menguat menjadi Rp13.300 dibandingkan tahun sebelumnya Rp13.500. Selain

rupiah dapat menguat dan stabil, harga saham akan terangkat. Investasi di sektor

riil akan meningkat dan akan membawa pergerakan yang bagus bagi

perekonomian nasional. Faktanya Investasi di Indonesia memang meningkat

semenjak telah diterapkannya program pengampunan pajak sebesar 0,7% dari

tahun sebelumnya. Dipasar modal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

melonjak tajam menembus level 5000 pada akhir juni 2016, ini menggambarkan

peningkatan kepercayaan (level of confidence) inflasi dan suku bunga Indonesia

menurun setiap tahunnya sehingga memicu investor menjadi lebih gencar

berinvestasi di pasar modal. Tujuan Pemerintah Indonesia untuk mendorong

reformasi perpajakan dengan memperluas basis data wajib pajak juga terbilang

berhasil mengingat presentase tingkat kepatuhan wajib pajak yang menyampaikan

SPT juga meningkat yaitu sebesar 63,15% di tahun 2016 dan 72,5% di tahun

2017.

PDB Indonesia memang meningkat di tahun 2016 dan 2017, namun

penerimaan negara dan perpajakan menurun di tahun 2017. Penyebabnya, karena

pelaksanaan program pengampunan pajak dilaksanakan dua periode di tahun 2016

dan hanya satu periode di tahun 2017, terlebih lagi uang tebusan disetor paling

banyak di periode awal karena para penyetor mengincar tarif terendah namun

tetap saja pendapatan negara di tahun 2016 lebih kecil dari sebelumnya. Dengan

adanya pengampunan pajak justru mengurangi penerimaan perpajakan karena

menghilangkan potensi pemasukan itu sendiri dari tarif yang ditawarkan memang
72

relatif rendah dibanding tarif PPh yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perpajakan yaitu sebesar maksimal 30%, ditambah sanksi administrasi 48% dari

pokok. Lazimnya pengampunan pajak hanya mengampuni pajak penghasilan saja,

tidak perlu sampai pada PPN dan PPNbm sehingga benar-benar menghilangkan

potensi penerimaan pajak yang berakibat pada berkurangnya pendapatan negara

yang terbukti menurun kembali ditahun 2017.

Uang tebusan sebagai penebus kesalahan wajib pajak yang lalai dalam

membayar pajak sama halnya dengan hukuman berupa harta pada jarimah ta’zir.

Pada jarimah ta’zir, hukuman berupa harta diperbolehkan merampas harta yaitu

mengambil harta pelaku namun bukan untuk diri hakim atau kas umum,

melainkan menahannya untuk sementara waktu namun diperbolehkan

mentasarufkan harta tersebut jika pelaku tidak bisa diharapkan bertobat atau untuk

kepentingan yang mengandung maslahat, atau dapat pula dengan memberikan

denda. Pemberian denda dapat dijatuhkan kepada seseorang yang

menyembunyikan, menghilangkan, merusak barang orang lain dengan sengaja,

atau harta diduga merupakan hasil perbuatan jahat yang mengabaikan hak orang

lain di dalam hartanya jika terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang

sah. Uang tebusan ini akan disetor langsung ke kas negara melalui bank persepsi

yang ditunjuk artinya uang tebusan ini akan mejadi sektor penerimaan baru dalam

kas negara.

Seperti yang telah dijelaskan dalam hukuman berupa harta dalam jarimah

ta’zir, jika demi kepentingan yang mengandung maslahat dan apabila ada hak

orang lain di dalam hartanya maka boleh menjadikan penerimaan dana


73

pengampunan pajak itu sebagai pendapatan negara. Namun kembali lagi,

hukuman denda dalam jarimah ta’zir boleh dilakukan perampasan harta dari

pelaku ketika memang terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang

sah. Sementara, informasi dari penyetor uang tebusan pengampunan pajak sangat

dirahasiakan oleh negara, bahkan pihak lain yang berusaha membocorkan akan

dikenai sanksi penjara. Selain itu, dana repatriasi merupakan dana yang dialihkan

dari luar negeri dan tidak menutup kemungkinan ada dana dari negara surga pajak

(tax heaven) yang dimana familiar sebagai tempat menyimpannya harta kekayaan

pelaku kriminal pencucian uang, korupsi, dan penggelapan pajak, maka

kedudukan penerimaan dana tax amnesty sebagai penambah pendapatan negara

menjadi diragukan kejelasan sumber dananya. Diberlakukannya pengampunan

pajak dalam jangka pendek akan sangat merugikan kas negara. Maka dari itu,

Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan dari berbagai segi untuk

menerapkan pengampunan pajak sebagai alternatif mengoptimalkan pendapatan

negara dari sektor pajak, karena sumber-sumber pendapatan yang didapat hingga

pengalokasian dana yang diatur dan dikelola pemerintah akan dipertanyakan dan

dipertanggungjawabkan kelak di akhirat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam

QS. Al-Baqarah [2]:188 dan hadis Tirmidzi yang telah dicantumkan dalam bab I.

Dalam jangka pendek program pengampunan pajak memang belum dapat

mengoptimalkan pendapatan negara karena justru malah membuat pendapatan

negara menurun kembali ditahun 2017, namun dalam jangka panjang itupun jika

pemerintah tegas menegakkan hukum dalam menerapkan pengampunan pajak

termasuk tegas dalam pemberian sanksi bagi wajib pajak yang belum melapor
74

pada SPT PPh terakhir serta tidak berpartisipasi dalam program pengampunan

pajak, akan memberi dampak positif karena memperluas basis data perpajakan

yang mana akan menambah sisi penerimaan negara dan belanjut pada percepatan

pertumbuhan perekonomian nasional.


BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan

Hasil penelitian berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat di tarik

simpulan sebagai berikut:

1. Tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan negara, terdapat

beberapa perbedaan diantara keduanya dalam mengatur, mengelola, termasuk cara

memperoleh penerimaan negara. Di masa Rasulullah Saw pendapatan dan

pengeluaran negara diatur dalam Baitul M𝑎̂l, jenis dan besaran sumber

pendapatan negaranya telah diatur oleh nash, memisahkan subjek pemungutan

dan pengalokasian sumber pendapatan menjadi muslim dan non-muslim.

Sedangkan di Indonesia penerimaan dan pengeluaran negara diatur dalam APBN,

jenis dan besaran penerimaanya ditentukan satu tahun sekali oleh pemerintah,

sertatidak mengklasifikasikan subjek pemungutan dan sasaran pengalokasian.

2. Penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di

Indonesia belum berhasil mengoptimalkan pendapatan negara dalam jangka

pendek, karena hanya meningkat di tahun 2016 menjadi 1.786.225,0 T dan

kemudian menurun kembali di tahun 2017 menjadi 1.750.283,4 T.

3. Tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha

optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, dana dari uang tebusan yang

otomatis masuk ke dalam kas negara untuk menambah sisi penerimaan negara

diragukan kehalalannya. Karena dalam jarimah ta’zir, harta boleh dirampas untuk

kemaslahatan umat jika terbukti dana tersebut diperoleh dari jalan yang tidak sah.

75
76

Sementara sampai saat ini pemerintah masih belum mengetahui modus dibalik

wajib pajak yang tidak melaporkan hartanya ke dalam SPT PPh terakhir.

5.2 Saran

Berikut beberapa saran yang diberikan oleh penulis kepada pihak-pihak

yang berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya:

1. Pemerintah sebagai khalifah alangkah baiknya mengikuti aturan Islam untuk tidak

menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Negara Indonesia

dapat mengoptimalkan pendapatan negara dengan memaksimalkan pengelolaan

kekayaan alam yang ada secara inovatif, mandiri, dan transparan. Maka dari itu,

negara Indonesia membutuhkan generasi muda yang berwawasan luas dengan

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan tentunya dengan penanaman

moral agar memiliki rasa tanggungjawab di dunia dan akhirat. Selain itu, dalam

membuat kebijakan untuk mengoptimalkan pendapatan negara perlu

memperhatikan mudharat dan maslahat yang timbul dan tidak bertentangan

dengan prinsip Islam. Untuk program pengampunan pajak yang telah terlaksana,

diharapkan pemerintah memastikan dana yang diperoleh dari uang tebusan

merupakan dana dari harta yang terbukti didapat dari jalan yang tidak sah dan

mempertegas sanksi pasca pengampunan pajak.

2. Mahasiswa khususnya Peneliti selanjutnya yang akanmeneliti tentang topik

pengampunan pajak, diharapkan dapat menggunakan data primer sekaligus

sekunder agar mendapatkan data yang lebih lengkap dan menyeluruh.


77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


78

Firdha Fadhilah Ridwan, anak pertama dari 5 bersaudara pasangan Dadan Muhammad Ridwan
dan Diah Sabariah ini lahir di Bandung pada tanggal 06 Agustus 1996. Pada tahun 2007,
menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Arjasari II Kabupaten Bandung, tingkat menengah
pertama di SMPN 40 Bandung pada tahun 2010, dan tingkat menengah akhir di SMA
Laboratorium Percontohan UPI Bandung pada tahun 2013.
Firdha Fadhilah Ridwan tengah mendalami ilmu Hukum Ekonomi Syariah di Fakultas Syariah,
Universitas Islam Bandung (UNISBA). Sepanjang masa kuliahnya, Firdha pernah menjabat
sebagai Sekretaris Departemen PAI Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Syariah pada tahun 2014-2015 dan
anggota komisi D Dewan Amanat Mahasiswa (DAM) Fakultas Syariah tahun 2015-2016. Selain itu, dia pernah menjadi
salah satu anggota dari BMT Fasya Unisba mulai tahun 2016 dan menjabat sebagai accounting hingga berakhir di jabatan
sekretaris. Di tahun 2016 awal, Firdha sempat mewakili mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Bandung bersama 2
rekan lainnya yaitu Rani Sariatul Muhibati dan Irfan Sjahroedien untuk berpartisipasi dalam perlombaan ekonomi syariah
tingkat nasional (TEMILNAS) yang diadakan oleh Forum Silaturahmi dan Studi Ekonomi Islam (Fossei) di Universitas
Muhamadiyah Yogyakarta.
79
80
81

POSTUR APBNP 2016 DAN APBN 2017 (miliar rupiah)


82

POSTUR APBNP 2015 DAN RAPBN 2016 (miliar rupiah)


83

Perkembangan Defisit Anggaran Negara Republik Indonesia


Tahun 2012-2017
LKPP/Audited Realisasi
APBN 2017
2012 2013 2014 2015 2016
Surplus/Defisit
(153.3) (211.7) (226.7) (298.5) (307.7) (330.2)
Anggaran
Rasio Defisit
APBN thd (1.86) (2.33) (2.25) (2.59) (2.46) (2.41)
PDB (%)

Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Profil Utang dan Penjaminan Pemerintah Pusat, Kementrian Keuangan Republik
Indonesia, 2017, hlm.7.
84

Tabel I-Account APBN

A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH


I. Penerimaan dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
Pajak Dalam Negeri
i. Pajak Penghasilan
1) Minyak dan Gas
2) Non Minyak dan Gas
ii. Pajak Pertambahan Nilai
iii. Pajak Bumi dan Bangunan
iv. Bea Perolehan hak atas tanah dan Bangunan
v. Cukai
vi. Pajak Lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Pajak Pungutan Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak
85

Penerimaan Sumber Daya Alam


i. Minyak Bumi
ii. Gas Alam
iii. Pertambangan Umum
iv. Kehutanan
v. Perikanan
Bagian Laba BUMN
Penerimaan Nasional Bukan Pajak Lainnya
B. BELANJA NEGARA
I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Pembayaran Bunga Utang
i. Hutang Dalam Negeri
ii. Hutang Luar Negeri

i. Subsidi BBM
ii. Subsidi Non BBM
Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran Pembangunan
Pembiayaan Pembangunan Rupiah
Pembiayaan Proyek
II. Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)
E. PEMBIAYAAN (E.I+II)
I. Dalam Negeri
1. Perbankan dalam Negeri
2. Non Perbankan dalam Negeri
Privatisasi
Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan
Obligasi Negara (Netto)
i. Penerbitan Obligasi Pemerintah
ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN
II. Luar Negeri
1. Pinjaman Proyek
86

2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang Luar Negeri


3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang

Sumber: Sonny Sumarsono, Manajemen Keuangan Pemerintahan, Graha Ilmu., Yogyakarta, 2010, hlm.81.
87
88
89
90
91
92
93

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.131, 2016 EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5899)
94

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG
PENGAMPUNAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik


Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh
rakyat Indonesia yang merata dan berkeadilan,
memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari
penerimaan pajak;
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak
yang terus meningkat, diperlukan kesadaran dan
kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua
potensi dan sumber daya yang ada;
c. bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya masih perlu
ditingkatkan karena terdapat Harta, baik di dalam
maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan;
d. bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan
pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan
kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban

www.peraturan.go.id
2016, No.131
- 2- 95

perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan


Pajak;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, sampai dengan huruf d, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi
perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan,
dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang
Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
3. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan
ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun
bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-3- 96

4. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar


yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.
5. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6. Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum
dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di
dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk
pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
7. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke
kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak.
8. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
9. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang
selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah surat yang
digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan
Harta, Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan dan
pembayaran Uang Tebusan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan negara.
11. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya
disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan
oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan
Pajak.
12. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir
adalah:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang

www.peraturan.go.id
2016, No.131
- 4- 97

akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli


2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang
akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1
Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
13. Manajemen Data dan Informasi adalah sistem
administrasi data dan informasi Wajib Pajak yang
berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh
Menteri.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh
Menteri untuk menerima setoran penerimaan negara dan
berdasarkan Undang-Undang ini ditunjuk untuk
menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka pelaksanaan Pengampunan
Pajak.
15. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir
pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31
Desember 2015.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
(1) Pengampunan Pajak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. keadilan;
c. kemanfaatan; dan
d. kepentingan nasional.
(2) Pengampunan Pajak bertujuan untuk:
a. mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi
ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain
akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas
domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan
suku bunga, dan peningkatan investasi;

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-5- 98

b. mendorong reformasi perpajakan menuju sistem


perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan
basis data perpajakan yang lebih valid,
komprehensif, dan terintegrasi; dan
c. meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain
akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

BAB III
SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN PAJAK

Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan
Pajak.
(2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan
Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang:
a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya
telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;
b. dalam proses peradilan; atau
c. menjalani hukuman pidana,
atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
(4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum
atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.
(5) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) terdiri atas kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
- 6- 99

BAB IV
TARIF DAN CARA MENGHITUNG UANG TEBUSAN

Pasal 4
(1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta
yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat
Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan
akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang
ini mulai berlaku;
b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat
Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat
Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian
Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai
dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-
Undang ini mulai berlaku;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat
Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 2016; dan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-7- 100

c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian


Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari
2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran
usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak
Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang
mengungkapkan nilai Harta sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam
Surat Pernyataan; atau
b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang
mengungkapkan nilai Harta lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam
Surat Pernyataan,
untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Pasal 5
(1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dengan dasar pengenaan Uang Tebusan.
(2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih
yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam
SPT PPh Terakhir.
(3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai
Utang.

Pasal 6
(1) Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh
Terakhir; dan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
- 8- 101

b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum


seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(2) Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh
Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai
Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah
berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk
keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun
buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
(4) Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya
dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai
nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar untuk
Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(5) Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan
mata uang selain Rupiah, nilai Harta tambahan
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk
Harta selain kas,
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri
untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun
Pajak Terakhir.

Pasal 7
(1) Nilai Utang yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
meliputi:
a. nilai Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh
Terakhir; dan
b. nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-9- 102

(2) Untuk penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan,


besarnya nilai Utang yang berkaitan secara langsung
dengan perolehan Harta tambahan yang dapat
diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta bagi:
a. Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75%
(tujuh puluh lima persen) dari nilai Harta tambahan;
atau
b. Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar
50% (lima puluh persen) dari nilai Harta tambahan.
(3) Nilai Utang yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh
Terakhir.
(4) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai
Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan
dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang
ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan
pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT
PPh Terakhir.
(5) Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan
dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang
dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir Tahun Pajak
Terakhir.
(6) Dalam hal nilai Utang yang berkaitan dengan Harta
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
ditentukan dalam mata uang selain Rupiah, nilai Utang
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs
yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-10- 103

BAB V
TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN, PENERBITAN
SURAT KETERANGAN, DAN PENGAMPUNAN
ATAS KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Pasal 8
(1) Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak
harus menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi;
b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian
badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi
Wajib Pajak badan; atau
c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi
sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. membayar Uang Tebusan;
c. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
d. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau
melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan
bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
e. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak
yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
f. mencabut permohonan:
1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan
Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di
dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang;
3. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
yang tidak benar;
4. keberatan;

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-11- 104

5. pembetulan atas surat ketetapan pajak dan


surat keputusan;
6. banding;
7. gugatan; dan/atau
8. peninjauan kembali,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan
permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan
atau putusan.
(4) Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank
Persepsi.
(5) Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) menggunakan surat setoran pajak yang berfungsi
sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan setelah
mendapatkan validasi.
(6) Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Wajib Pajak harus mengalihkan Harta ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat
selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
a. sebelum 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang
memilih menggunakan tarif Uang Tebusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
a dan huruf b; dan/atau
b. sebelum 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang
memilih menggunakan tarif Uang Tebusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
c.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang
berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib
Pajak tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-12- 105

selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak


diterbitkannya Surat Keterangan.

Pasal 9
(1) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) memuat paling sedikit informasi mengenai
identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai Harta bersih,
dan penghitungan Uang Tebusan.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilampiri dengan:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak
yang memiliki Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan
Harta yang dilaporkan;
d. daftar Utang serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang
dibayar atau pajak yang seharusnya tidak
dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau
penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan
g. surat pernyataan mencabut permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf
f.
(3) Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), selain
melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan
mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling
singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung
sejak dialihkan.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-13- 106

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang


berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (7), selain melampirkan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus
melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta
ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun
terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.
(5) Bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai
dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), selain melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4), Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat
pernyataan mengenai besaran peredaran usaha.

Pasal 10
(1) Surat Pernyataan disampaikan ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat
lain yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan
lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai pengisian dan
pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus
dilampirkan dalam Surat Pernyataan ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain yang
ditentukan oleh Menteri.
(3) Berdasarkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Wajib Pajak membayar Uang Tebusan dan
menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya.
(4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri
menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya
dan mengirimkan Surat Keterangan kepada Wajib Pajak.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-14- 107

(5) Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja


sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri atau
pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum
menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan
dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.
(6) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri
dapat menerbitkan surat pembetulan atas Surat
Keterangan dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan.
(7) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan
paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan
tanggal 31 Maret 2017.
(8) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan
kedua atau ketiga sebelum atau setelah Surat Keterangan
atas Surat Pernyataan yang pertama atau kedua
diterbitkan.
(9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan
yang kedua atau ketiga, penghitungan dasar pengenaan
Uang Tebusan dalam Surat Pernyataan dimaksud
memperhitungkan dasar pengenaan Uang Tebusan yang
telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat
Pernyataan sebelumnya.
(10) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan
yang disebabkan oleh:
a. diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan
hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b;
atau
b. disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (8),
atas kelebihan pembayaran dimaksud harus
dikembalikan dan/atau diperhitungkan dengan
kewajiban perpajakan lainnya dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat
pembetulan atau disampaikannya Surat Pernyataan
kedua atau ketiga dimaksud.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-15- 108

Pasal 11
(1) Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan
lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
diberi tanda terima sebagai bukti penerimaan Surat
Pernyataan.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda
terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang
dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir,
terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan,
dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan dimaksud ditangguhkan sampai dengan
diterbitkannya Surat Keterangan.
(4) Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihentikan dalam
hal Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama
Menteri menerbitkan Surat Keterangan.
(5) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan,
memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:
a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan
ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi
perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di
bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-16- 109

dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun


Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan
berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak,
dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak
Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan
dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun
Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti
permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan
pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan,
dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir
Tahun Pajak Terakhir, yang sebelumnya telah
ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3),
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).
(6) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf d dilakukan oleh pejabat di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas dan
fungsi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB VI
KEWAJIBAN INVESTASI ATAS HARTA YANG DIUNGKAPKAN
DAN PELAPORAN

Pasal 12
(1) Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-17- 110

Pasal 8 ayat (6) harus mengalihkan Harta dimaksud


melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus
untuk itu paling lambat:
a. tanggal 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang
menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan
Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6)
huruf a; dan/atau
b. tanggal 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang
menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan
Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6)
huruf b.
(2) Jangka waktu investasi paling singkat 3 (tiga) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) terhitung
sejak tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk:
a. surat berharga Negara Republik Indonesia;
b. obligasi Badan Usaha Milik Negara;
c. obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh
Pemerintah;
d. investasi keuangan pada Bank Persepsi;
e. obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. investasi infrastruktur melalui kerja sama
Pemerintah dengan badan usaha;
g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang
ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau
h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
(1) Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk harus
menyampaikan laporan kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk atas nama Menteri mengenai:
a. realisasi pengalihan dan investasi atas Harta
tambahan yang diungkapkan dalam Surat

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-18- 111

Pernyataan untuk Harta tambahan yang dialihkan


ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, bagi Wajib Pajak yang harus mengalihkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6);
dan/atau
b. penempatan atas Harta tambahan yang
diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk Harta
tambahan yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bagi Wajib Pajak yang
tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama
Menteri dapat menerbitkan dan mengirimkan surat
peringatan setelah batas akhir periode penyampaian
Surat Pernyataan dalam hal:
a. Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (6); dan/atau
b. Wajib Pajak yang menyatakan tidak mengalihkan
Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
(3) Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan atas surat
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal kirim.
(4) Dalam hal berdasarkan tanggapan Wajib Pajak diketahui
bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan/atau
Pasal 8 ayat (7), berlaku ketentuan:
a. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum
dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai
penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-19- 112

penghasilan dimaksud dikenai pajak dan sanksi


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan; dan
b. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak
diperhitungkan sebagai pengurang pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(5) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tetap berlaku ketentuan mengenai perlakuan khusus
dalam rangka Pengampunan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11.

BAB VII
PERLAKUAN PERPAJAKAN

Pasal 14
(1) Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan menurut ketentuan Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
harus membukukan selisih antara nilai Harta bersih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang
disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi dengan
nilai Harta bersih yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak
dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a, sebagai tambahan atas saldo
laba ditahan dalam neraca.
(2) Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak
dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan.
(3) Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b yang berupa aktiva berwujud, tidak dapat
disusutkan untuk tujuan perpajakan.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-20- 113

Pasal 15
(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan
dan membayar Uang Tebusan atas:
a. Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau
bangunan; dan/atau
b. Harta berupa saham,
yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak,
harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama
Wajib Pajak.
(2) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan,
dalam hal:
a. permohonan pengalihan hak; atau
b. penandatanganan surat pernyataan oleh kedua
belah pihak di hadapan notaris yang menyatakan
bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah benar milik Wajib Pajak yang
menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal Harta
dimaksud belum dapat diajukan permohonan
pengalihan hak,
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31
Desember 2017.
(3) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan
dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam
jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017.
(4) Apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, Wajib
Pajak tidak mengalihkan hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), atas pengalihan hak yang dilakukan
dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak
Penghasilan.

Pasal 16
(1) Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, tidak
berhak:

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-21- 114

a. mengompensasikan kerugian fiskal dalam surat


pemberitahuan untuk bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak
Terakhir, ke bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
berikutnya;
b. mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak
dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk
masa pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir, ke
masa pajak berikutnya;
c. mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan atas
jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun
Pajak Terakhir; dan/atau
d. melakukan pembetulan surat pemberitahuan atas
jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun
Pajak Terakhir, setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Setelah Undang-Undang ini diundangkan, pembetulan
surat pemberitahuan untuk masa pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun
Pajak Terakhir yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang
menyampaikan Surat Pernyataan dianggap tidak
disampaikan.

Pasal 17
(1) Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk
masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-22- 115

sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum


Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tetap
dijadikan dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan
penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan
pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian
fiskal; dan
c. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan
pembayaran pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
(2) Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk
masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak
sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tidak
dapat dijadikan dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan
penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan
pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian
fiskal; dan
c. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan
pembayaran pajak.
(3) Dalam hal terdapat Surat Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-23- 116

Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun


Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak
Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan
Surat Pernyataan yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban pembayaran imbalan bunga bagi Direktorat
Jenderal Pajak, atas kewajiban dimaksud menjadi hapus.

BAB VIII
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM
ATAU KURANG DIUNGKAP

Pasal 18
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat
Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau
informasi mengenai Harta yang belum atau kurang
diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta
dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat
ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta
dimaksud.
(2) Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan
sampai dengan periode Pengampunan Pajak
berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau
informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang
diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai
dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada saat ditemukannya data dan/atau informasi
mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(3) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-24- 117

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang


Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi
administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200%
(dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar.
(4) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

BAB IX
UPAYA HUKUM

Pasal 19
(1) Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang ini hanya dapat diselesaikan melalui
pengajuan gugatan.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat diajukan pada badan peradilan pajak.

BAB X
MANAJEMEN DATA DAN INFORMASI

Pasal 20
Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan
dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian
Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar
penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana
terhadap Wajib Pajak.

Pasal 21
(1) Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan
Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang
ini.
(2) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan,
dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-25- 118

Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan,


menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan
informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib
Pajak kepada pihak lain.
(3) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam
rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh
siapapun atau diberikan kepada pihak manapun
berdasarkan peraturan perundang-undangan lain,
kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri.
(4) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak
digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat
Jenderal Pajak.

Pasal 22
Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan
pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan
Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan
penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik
secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan
tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 23
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan
orang yang kerahasiaannya dilanggar.

www.peraturan.go.id
2016, No.131
-26- 119

BAB XII
KETENTUAN PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK

Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. pelaksanaan Pengampunan Pajak;
b. penunjukan Bank Persepsi yang menerima pengalihan
Harta;
c. prosedur dan tata cara investasi;
d. penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1); dan
e. penunjukan pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4), Pasal 10 ayat (5), Pasal 10 ayat (6),
Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (2),
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.peraturan.go.id

Anda mungkin juga menyukai