PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat Rasulullah masih hidup beliau dan para sahabat serta tabi’in pada masanya
masih mengajarkan agama Islam secara murni. Ketika Rasullullah serta para sahabat wafat
ajaran dan amalan Islam yang asalnya murni tersebut berkembang dan berubah serta
dimantapkan. Seiring berjalannya waktu muncullah golongan sufi yang mengamalkan amalan-
amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Para sufi kemudian
membedakan pengertian-pengertian syari’ah, thariqat, haqiqat, dan makrifat.
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan
kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan
nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Pelopor adanya tharekat adalah Abd
al-Qadir al-Jailani yang juga merupakan pendiri tarekat Qodiriyah. Sehingga muncullah
beberapa tarekat yang dihubungkan dengan nama pendiri tarekat tersebut, diantaranya tarekat
Naqsyabandiyah itu merupakan tharekat muktabarah yang ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tarekat
Dari segi bahasa tarikat berasal dari bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan,
aliran dalam garis sesuatu.Selanjutnya istilah tarikat lebih banyak digunakan para ahli tasawuf.
Mustafa Zuhri dalam hubungan ini mengatakan tarikat adalah jalan atau petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan
dikerjakan oleh sahabat- sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’in turun-temurun sampai kepada
guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini.1
Tarekat ini didirikan oleh sufi dan syekh besar dari Masjidil Haram di Makkah. Ia bernama
Ahmad Khatib ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878M.
1
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf(Surabaya: Bina Ilmu),56.
2
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan,1999),15.
Beliau adalah syekh Ahmad Khatib Sambas seorang ulama besar dari Kalimantan 3, yang sudah
lama tinggal di Makkah dan sampai akhir hayatnya di Makkah. Syekh Ahmad Khatib adalah
seorang mursyid tarekat Qadiriyah, disamping juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah
mursyid dari tarekat Naqsybandiyah. Akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsila tarekatnya
dari sanad tarekat Qadiriyah. Sampai sekarang belum diketahui, dari sana mana beliau menerima
baiat tarekat Naqsyabandiyah.4
Sebagai seorang mursyid yang alim dan arif, syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas untuk
membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpin. Beliau menggabungkan kedua inti
ajaran tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsybandiyah menjadi satu, yaitu menjadi tarekat
Qadiriyah wa Naqsybandiyah. Dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang berasal
dari Indonesia.Dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsybandiyah terdapat dua dzikir. Dua dzikir
tersebut yaitu dzikir nafi Istbat dan dzikir Ismu dzat atau lebih dikenal dengan sebutan dzikir
Qadiriyah wa Naqsybandiyah. Dzikir nafi istbat (dzikir yang ditekankan pada tarekat Qadiriyah)
dilakukan dengan bersuara dengan mengucapkan kalimat Laa ilaaha illaallah (tidak ada tuhan
selain Allah). Sedangkan dzikir ismu dzat (dzikir yang ditekankanpada tarekat Naqsyabandiyah)
dilakukan dengan tidak bersuara (sirri) yang mengucapkan kalimat Allah-Allah. Dzikir ini lebih
dikenal dzikir lathaif.5 Penggabungan dua dzikir tersebut dimaksudkan agar para murid-murid
dari Syekh Ahmad Khatib dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi dengan cara yang
paling efektif dan efesien.
3
Ibid, H. 214
4
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 89
5
Ibid, H. 54.
6
Anang Firdaus,Biografi KH.Adlan Ali: Karomah sang wali (Jombang: Pustaka Tebuireng,2014),91-92.
Munculnya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia ini di pelopori oleh Syekh
Ahmad Khatib Sambas pada pertengahan abad ke-19. Beliau adalah seorang ahli fiqh, tauhid,
dan tasawuf dan juga seorang ulama besar dari Kalimantan yang sudah lama menetap di Mekkah
sampai akhir hayatnya. Beliau sebagai seorang mursyid tarekat Qadiriyah, di samping ada yang
menyebutkan bahwa beliau juga sebagai mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah.7
Sekitar tahun 1970 M, terdapat empat pusat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
tersebar luas di pulau Jawa, misalnya Rejoso (Jombang) dengan Kyai Musta’in Romli, Mranggen
(dekat Semarang) dengan Kyai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya) dengan Abah Anom dan
Pangentongan (Bogor) dengan Kyai Thohir Falak. Adapun Rejoso (Jombang) mewakili jalur
Ahmad Hasbullah dari Madura sedangkan Suryalaya mengambil jalur Kyai Tholhah dari
Cirebon dan yang lainnya mengambil tarekat dari syekh Abdul Karim dari Banten.9
Tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah sama dengan tujuan Islam, yaitu menuntun
manusia agar mendapatkan ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan TQN
tergambar dalam mukadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan melakukan
dzikrullah. Kalimat yang dimaksud adalah:
“Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mu yang aku cari. Beriah aku
kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu.” 10
7
Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah, 53.
8
Samsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,2012),314.
9
Bruinessen, Kitab Kuning, 218.
10
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm. 95
Doa tersebut wajib dibaca oleh para ikhwan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah setiap
selesai sholat minimal dua kali sebagai mukadimah dan akhir pengalaman dzikir. Dalam doa
tersebut terkandung empat macam tujuan TQN, yaitu:
Ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan dzikrullah yang mana dalam hal ini dapat
dikatakan tak ada sesuatupun yang menjadi tirai penghalang antara abid dengan ma’bud, antara
khalik dengan makhluk.
Ialah menujualan yang diridhai Alah SWT. Baik dalam ‘ubudiyyah maupun di luar ubudiyyah.
Maka dalam segala gerak-gerik manusia diharuskan mengikuti/menaati perintah-perintah Tuhan
dan menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.
4. Kecintaan (mahabbah) terhadap Allah “Dzat Laisa Kamislihi Syaiun”, yang mana dalam
mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati.
Adapun dasar-dasar ajaran TQN agar dapat mencapai tujuan sebagaimana tertulis di atas,
dijelaskan oleh Tuan Syekh sendiri sebagai berikut:
Tinggi cita-cita. Barang siapa yang tinggi cita-citanya maka menjadi tinggilah martabatnya.
ALLAH
SWT
JIBRIL
AS
MUHAMMA
D SAW
11
Ibid, hlm. 97-98
Abu al-Farraj al-Turtusi M Baba Sammasi
Abdul Hasan Ali Karakhi Amir Kulali
Abu Said Mubarok al-Majzumi Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandi
Syaikh Abdul Qadir Jailani M Alauddin Attari
Abdul Aziz Ya’kub Jurehi
Muhammad Hattaq Ubaidillah Ahrari
Syamsuddin Muhammad Zahidi
Syarifuddin Darwisi Muhammad Baqi Billah
Nuruddin Al Faruqi al-Shirhindi
Waliyuddin Al Maksum al-Shirhindi
Hisyamuddin Saifuddin Alif Muhammad
Yahya Nur Muhammad Badawi
Abu Bakar Syamsuddin Habibullah Janjani
Abdurrahim Abdullah al-Dahlawi
Usman Abu Said al-Ahmadi
Abdul Fattah Ahmad Said
Muhammad Murad Muhammad Jan al-Makki
Syamsuddin (Mekkah) Khalil Hilmi
Daftar Pustaka
Firdaus, Anang. Biografi KH.Adlan Ali: Karomah sang wali. Jombang: Pustaka Tebuireng,2014.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu. 2005.