Anda di halaman 1dari 7

KONTUSIO PULMONAL

DEFINISI
Contusio paru adalah kerusakan jaringan paru yang terjadi pada hemoragie
dan edema setempat (Smeltzer, 2002), sedangkan menurut Asih (2003) diartikan
sebagai memarnya parenkim paru yang sering disebabkan oleh trauma tumpul.
Kelainan ini dapat tidak terdiagnosa saat pemeriksaan rontgen dada pertama,
namun dalam keadaan fraktur scapula, fraktur rusuk atau flail chest harus
mewaspadakan perawat terhadap kemungkinan adanya contusio pulmonal.

ETIOLOGI
Penyebab utama terjadinya contusio paru adalah trauma tumpul pada dada.
(Smeltzer, 2002)
Penyebab lain:
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma penetrasi.
3. Flail chest
4. Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan
edema parenkim.
Kontusio paru terjadi pada 25-35% dari semua trauma dada tumpul.
Terjadi pada 30-75% dari luka dada yang parah dengan angka kematian
diperkirakan 14-40%. Sekitar 70% dari kasus hasil dari tabrakan kendaraan
bermotor, cedera olah raga, ledakan adalah penyebab lainnya.

MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer ( 2002) adalah
1. Ringan : nyeri saja.
2. Sedang : sesak nafas, mucus dan darah percabangan bronchial, batuk tetapi
tidak mengeluarkan sekret.
3. Berat : sesak nafas hebat, takipnea, takhikardi, sianosis,agitasi, batuk
produktif dan kontinyu, secret berbusa, berdarah dan mukoid.
Tanda dan gejala klinis yang tampak termasuk dispnea, rales, hemoptisis, dan
takipnea. Kontusio hebat dapat juga mengakibatkan peningkatan puncak tekanan
jalan napas, hipoksemia, respiratori asidosis. Kontusio pulmonal dapat
menyerupai ARDS, dimana keduanya berespon buruk terhadap fraksi oksigen
inspirasi yang tinggi (FiO2).

PATOFISIOLOGI
Kontusio paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam
jaringan paru-paru, yang dapat menyebabkan paru menjadi kaku dan kehilangan
elastisitas normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam
pertama setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang
lebih serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru
berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia.
Perdarahan dan edema; robeknya parenkim paru menyebabkan cairan
kapiler bocor ke dalam jaringan di sekitarnya. Kerusakan membran kapiler-
alveolar dan pembuluh darah kecil menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam
alveoli dan ruang interstisial (ruang sekitar sel) dari paru-paru. Memar paru
ditandai oleh microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli
yang traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan pembuluh darah. Darah
awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian edema terjadi oleh satu
atau dua jam setelah cedera. Sebuah area perdarahan di paru-paru yang
mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah edema. Dalam pertukaran
gas yang normal, karbon dioksida berdifusi melintasi endotelium dari kapiler,
ruang interstisial, dan di seluruh epitel alveolar, oksigen berdifusi ke arah lain.
Akumulasi cairan mengganggu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan alveoli
terisi dengan protein dan robek karena edema dan perdarahan. Semakin besar
daerah cedera, kompromi pernafasan lebih parah, menyebabkan konsolidasi.
Memar paru dapat menyebabkan bagian paru-paru untuk
mengkonsolidasikan, alveoli kolaps, dan atelektasis (kolaps paru parsial atau total)
terjadi. Konsolidasi terjadi ketika bagian dari paru-paru yang biasanya diisi
dengan udara digantkan dengan bahan dari kondisi patologis, seperti darah.
Selama periode jam pertama setelah cedera, alveoli di menebal daerah luka dan
dapat menjadi konsolidasi. Sebuah penurunan jumlah surfaktan yang dihasilkan
juga berkontribusi pada rusaknya dan konsolidasi alveoli, inaktivasi surfaktan
meningkatkan tegangan permukaan paru.
Radang paru-paru, yang dapat terjadi ketika komponen darah memasuki
jaringan karena memar, juga bisa menyebabkan bagian dari paru-paru rusak.
Makrofag, neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah bisa
memasuki jaringan paru-paru dan melepaskan faktor-faktor yang menyebabkan
peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan pernapasan. Sebagai
tanggapan terhadap peradangan, kelebihan lendir diproduksi, berpotensi masuk ke
bagian paru-paru dan menyebabkan rusaknya paru-paru. Bahkan ketika hanya satu
sisi dada yang terluka, radang juga dapat mempengaruhi paru-paru lainnya. akibat
terluka jaringan paru-paru dapat menyebabkan edema, penebalan septa dari
alveoli, dan perubahan lainnya. Jika peradangan ini cukup parah, dapat
menyebabkan disfungsi paru-paru seperti yang terlihat pada sindrom distres
pernapasan akut.
Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi perfusi
adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli (ventilasi)
adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio ini menurun
pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat terisi dengan udara, oksigen
tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan darah meninggalkan paru-paru tanpa
sepenuhnya mengandung oksigen Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari
ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga
dapat berkontribusi untuk ketidakcocokan ventilasi/perfusi. Sebagai
ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah berkurang.
Vasokonstriksi pada hipoksik paru, di mana pembuluh darah di dekat alveoli
yang hipoksia mengerut (diameter menyempit) sebagai respons terhadap kadar
oksigen rendah, dapat terjadi pada kontusio paru. Para resistensi vaskular
meningkat di bagian paru-paru yang memar, yang mengarah pada penurunan
jumlah darah yang mengalir ke dalamnya, mengarahkan darah ke daerah yang
lebih baik-berventilasi. Jika sudah parah cukup, hipoksemia yang dihasilkan dari
cairan dalam alveoli tidak dapat dikoreksi hanya dengan memberikan oksigen
tambahan, masalah ini adalah penyebab sebagian besar kematian yang diakibatkan
trauma.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. AGD (Analisa Gas Darah)
Cukup oksigen dan karbondioksida berlebihan, namun kadar gas tidak
menunjukkan kelainan pada awal perjalanan luka memar paru.
2. Rontgen Thorax
Menunjukkan gambaran infiltrat.
3. CT Scan Thorax : memberikan gambaran kontusio.
4. EKG : memberikan gambaran iskemik.
5. USG : menunjukkan memar paru awal, terdapat garis putiih vertical B-garis.

PENATALAKSANAAN
A = Airway
- Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra servikal
- Dapat dengan chin lift atau jaw thrust
- Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-pharyngeal airway
- Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi leher
- Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotiroidotomy, ETT,dll) kalau ragu
berhasil
B = Breathing
- Kontrol airway pada penderita yang terganggu karena faktor mekanik,
gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran bisa dengan intubasi
ETT (oral/nasal) jika ETT tidak bisa (karena KI atau masalah teknis), bisa
surgical A / krikotiroidotomy
- Setiap penderita trauma, beri O2 jika tidak intubasi, bisa pakai sungkup
C = Circulation
- Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera dihentikan, bisa dengan balut
tekan atau dengan spalk udara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat
merusak jaringan dan menyababkan iskemia distal, sehingga torniquet
hanya dipakai jika ada amputasi traumatic
- Jika ada gangguan sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil sampel darah
untuk diperiksa lab rutin).
- Infus RL / kristaloid lain 2-3 L. Jika tidak respon beri transfusi dari gol
darah yang sesuai. Kalau tidak ada beri gol darah O Rh – / gol O Rh + titer
rendah yang dihangatkan dulu untuk mencegah hipotermia
- Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus
D = Disability
- Tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda–tanda lateralisasi,
tingkat/level cidera spinal
- Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan GCS atau APVU
- Penurunan kesadaran dapat disebabkan :
1. ↓ oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi) ke otak
2. Trauma langsung pada otak / trauma kapitis
3. Obat-obatan, alkohol
E = Exposure
- Pemeriksaan Head to toe
- Periksa kemungkinan-kemungkinan trauma lain
- Jaga suhu tubuh pasien/cegah hipotermia (selimuti pasien)

Tujuan penatalaksanaan :
- Mempertahankan oksigenasi
- Mencegah/mengurangi edema
Tindakan :
- Bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control,
diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
- Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi
mekanik dengan continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)

Penatalaksanaan pada contusio paru ringan :


1. Nebulizer

2. Postural drainage

3. Fisiotheraphy.

4. Pengisapan endotrakheal steril

5. Antimicrobial
6. Oksigenasi.

7. Pembatasan cairan.

Penatalaksanaan pada contusio paru sedang :


1. Intubasi dan ventilator.

2. Diuretik.

3. NGT.

4. Kultur sekresi trakeobronchial.

Penatalaksanaan pada contusio paru berat :


1. Intubasi ET dan ventilator.

2. Diuretic.

3. Pembatasan cairan.

4. Antimicrobial profilaktik.

5. Larutan koloid dan kristaloid.

Penalalaksanaan Keperawatan :
1. Berikan analgesic sesuai pesanan tiap 3 jam
2. Pantau tanda-tanda kelebihan cairan
a. Pertahankan semua catatan masukan dan haluaran dengan adekuat
b. Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit. Frekuensi nadi dan pernapasan
dapat diperkirakan meningkat pada keadaan kelebihan cairan
c. Pantau bunyi napas setiap 30 menit
3. Pantau status ventilator setiap 30 menit
a. Periksa terhadap tanda gawat napas; dispnea, peningkatan frekuensi napas,
dan perubahan dalam bunyi napas.
b. Periksa hasil pemeriksaan AGD
4. Pantau terhadap tanda dan gejala flail chest, yang umumnya sering menyertai
kontusio pulmonal
5. Dukung klien untuk tetap tirah baring sampai status fisik stabil (Asih, 2003).

KOMPLIKASI
1. Infeksi akut dan sindrom gangguan pernafasan (ARDS)
2. Gagal nafas.
3. Syok hipovolemi.
4. Hematothorak.
5. Pneumothorak (Smeltzer, 2002)

PROGNOSIS
1. Memar biasanya sembuh sendiri tanpa menyebabkan komplikasi permanen.
2. Kebanyakan memar membaik dalam lima sampai tujuh hari setelah cedera.
3. Tanda terdeteksi dengan radiografi biasanya hilang dalam 10 hari setelah
cedera ketika tidak terjadi komplikasi seperti pneumonia.
4. Fibrosis paru-paru dapat terjadi.
5. Selama enam bulan setelah memar paru, 90% menderita kesulitan bernafas

Sumber :
Asih, Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah; Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzzanne C.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai