Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

1. SC ( SECTIO CAESAREA )
a. Pengertian SC
Ada beberapa teori tentang defenisi sectio caesarea, dan masing
masing mempunyai pengertian yang berberda tetapi makna yang sama
yaitu : section caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut dan
vagina, atau sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan
janin dalam rahim (Mochtar, 2012).
Sectio caesarea adalah suatu persalianan buatan, dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram (Prawirohardjo, 2009).

b. Jenis SC
1. Segmen Bawah: Insisi Melintang Insisi melintang
Segmen bawah ini merupakan prosedur pilihan. Abdomen
dibuka dan uterus disingkapkan. Lipatan vesicouterina periteoneum
(bladder flap) yang terletak dekat sambungan segmen atas dan
bawah uterus ditentukan dan disayat melintang, lipatan ini dilepaskan
dari segmen bawah dan bersama-sama kandung kemih didororng
kebawah serta ditarik agar tidak menutupi lapangan pandangan.
Pada segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yang kecil,
luka insisi ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan
berhenti didekat daerah pembuluh-pembuluh darah uterus. Kepala
janin yang pada sebagian besar kasus terletak dibalik insisi
diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan
kemudian plasenta serta selaput ketuban. Insisi melintang tersebut
ditutup dengan jalan jahitan kembali pada dinding uterus sehingga
seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga peritoneum
generalisata. Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis (Oxorn dan
Forte, 2012).

1
Keuntungan dari insisi ini adalah insisi dilakukan pada segmen
bawah uterus, otot tidak dipotong tetapi dipisahkan ke samping, cara
ini mengurangi perdarahan. Lapisan otot yang tipis dari segmen
bawah rahim lebih mudah dirapatkan disbanding segmen atas yang
tebal sehingga keseluruhan luak insisi terbungkus oleh lipatan
vesicouterina sehingga mengurangi perembesan ke dalam cavum
peritonia generralisata (Andriani, 2012).
2. Segmen Bawah: Insisi Membujur
Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama
pada insisi melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapel dan
dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada
bayi. Insisi membujur mempunyai keuntungan, yaitu kalau perlu luka
insisi bisa diperlebar ke atas. Pelebaran ini diperlukan kalau bayinya
besar, pembentukan segmen bawah jelek, ada malposisi janin
seperti letak lintang atau kalau ada anomaly janin seperti kehamilan
kembar yang menyatu (conjoined twins).
Sebagian ahli kebidanan menyukai jenis insisi ini untuk
plasenta previa. Salah satu kerugian utamanya adalah perdarahan
dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot. Juga,
sering luka insisi tanpa dikehendaki meluas ke segmen atas
sehingga nilai penutupan retroperitoneal yang lengkap akan hilang
(Oxorn dan Forte, 2010).
3. Sectio Caesarea Klasik
Insisi klasik atau vertical dilakukan ketika terdapat adhesi
akibat kelahiran caesarea sebelumnya, jika janin berada dalam
keadaan letak lintang, atau jika implantasi plasenta terjadi di sebelah
anterior.
Insisi klasik dilakukan lewat abdomen pada uterus atas.
Jenis insisi ini dapat digunakan pada pasien plasenta previa karena
insisi dapat dilakukan tanpa memotong plsenta.
Kemungkinan kelahiran pervaginam sesudah kelahiran caesarea
pada jenis insisi ini sangat kecil karena insisi dilakukan pada bagian
utama uterus yang paling aktif melakukan kontraksi (Lockhart dan
Saputra, 2014).

2
4. Sectio Caesarea Extraperitoneal
Pembedahan ini dikerjakan untuk menghindari perlunya
histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan
mencegah peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Ada
beberapa metode sectio caesarea extraperotoneal, seperti metode
Waters, Latzko dan Norton.
Teknik pada prosdur ini relative sulit, sering tanpa sengaja
masuk ke dalam vacum peritonei, dan insidensi cedera vesica
urineria meningkat. Perawatan prenatal yang lebih baik, penurunan
insidensi kasus yang terlantar, dan tersedianya darah serta antibiotic
telah mengurangi perlunya Teknik extraperitoneal. Metode ini tidak
boleh dibuang tetapi tetap disimpan sebagai cadangan bagi kasus-
kasus tertentu (Oxorn dan Forte, 2010).
5. Histerektomi Caesarea
Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang dilanjutkan
dengan pengeluaran uterus. Kalau mungkin histerektomi harus
dikerjakan lengkap (histerektomi total). Akan tetapi, karena
pembedahan subtotal lebih mudah dan dapat dikerjakan lebih cepat,
maka pembedahan subtotal menjadi prosedur pilihan kalau terdapat
perdarahan hebat dan pasiennya shock, atau kalau pasien dalam
keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus-kasus semacam
ini, tujuan pembedahan adalah menyelesaikannya secepat mungkin.
Histerektomi caesarea dilakukan atas indikasi; perdarahan
akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal, perdarahan yang
tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus plasenta previa dan
abruption plsenta tertentu, plasenta accrete, fibromyoma yang
multiple dan luas, pada kasus-kasus yang terlantar dan terinfeksi
kalau resiko peritonitis generalisata tiak dijamin dengan
mempertahankan uterus, misalnya pada seorang ibu yang sudah
memiliki beberapa anak dan tidak ingin menambahnya lagi.
Sebagai suatu metode sterilisasi, prosedur ini memiliki
beberapa keuntungan tertentu dibandingkan dengan pengikatan
tuba, yaitu termasuk angka kegagalan yang lebih rendah dan

3
pengeluaran organ yang kemudian hari bisa menimbulkan kesulitan.
Namun demikian, komplikasi histerektomi caesarea cukup banyak
sehingga prosedur ini tidak dianjurkan sebagai prosedur rutin
sterilisasi (Oxorn dan Forte, 2010).

c. Indikasi SC
Indikasi sectio caesarea bisa indikasi absolut atau relatif. Setiap
keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin
terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sectio abdominal. Di
antaranya adalah kesempitan panggul yang sangat berat dan neoplasma
yang menyumbat jalan lahir. Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina
bisa terlaksana tetapi keadaan adalah sedemikian rupa sehingga
kelahiran lewat sectio caesarea akan lebih aman bagi ibu, anak atau pun
keduanya (Oxorn dan Forte, 2010).
Dibawah ini adalah indikasi dilakukannya sectio caesarea :
1. Indikasi menurut Lockhart dan Saputra (2014)
a. Postmaturitas (kehamilan lebih dari 42 minggu) yang dapat
b. menyebabkan insufisiensi plasenta atau gangguan janin.
c. Ketuban pecah dini yang dapat meningkatkan risiko infeksi
intrauteri
d. Hipertensi gestasional yang dapat bertambah parah
e. Isoimunisasi Rh yang dapat menyebabkan eritroblastosis fetalis
f. Diabetes maternal yang dapat menimbulkan kematian janin
akibat
g. insufiensi plasenta
h. Koriomnionitis
i. Kematian janin
2. Indikasi menurut Manuaba (2012)
a. Plasenta previa sentralis/lateralis
b. Panggul sempit
c. Disproporsi sepalo pelvic
d. Ruptura Uteri mengancam
e. Partus lama
f. Distosia Serviks

4
g. Malpresentasi janin: letak lintang, letak bokong, presentasi
ganda,
h. gamelli (anak pertama letak lintang), locking of the twins.
i. Distosia karena tumor
j. Gawat janin
k. Indikasi lainnya
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar sectio caesarea
adalah:
a. Prolong labour sampai Neglected labour
b. Rupture uteri imminens
c. Fetal distress
d. Janin besar melebihi 4000 gram
e. Perdarahan ante partum
Indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan section
caesarea adalah:
a. Tindakan sectio caesarea pada letak sungsang
b. Sectio caesarea berulang
c. Kehamilan prematuritas
d. Kehamilan dengan resiko tinggi
e. Pada kehamilan ganda
f. Kehamilan dengan pre-eklampsia dan eklampsia
g.Konsep well born baby dan well health mother dengan oerientasi
persalinan spontan, outlet forcep

d. Kontraindikasi SC
Dalam praktek kebidanan modern, tidak ada kontra indikasi tegas
terhadap sectio caesarea, namun demikian sectio caesarea jarang
dilakukan bila keadaan-keadaan sebagai berikut (Cunningham, 2007) :
1. Janin mati
2. Terlalu prematur untuk bertahan hidup
3. Ada infeksi pada dinding abdomen
4. Anemia berat yang belum diatasi
5. Kelainan kongenital
6. Tidak ada / kurang sarana / fasilitas / kemampuan

5
e. Komplikasi Tindakan SC
Beberapa komplikasi yang paling banyak dari operasi adalah
akibat tindakan anetesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama
operasi
berlangsung, komplikasi penyulit, endometriosis (radang endometrium),
tromboplebitis (pembekuan darah pembuluh balik), embolisme
(penyumbatan pembuluh darah paru-paru), dan perubahan bentuk serta
letak rahim menjadi tidak sempurna (Prawirohardjo, 2009).
Dalam bukunya Harry Oxorn dan William Forte (2010)
menyebutkan beberapa kompliasi yang serius pasca tindakan SC adalah
perdarahan karena atonia uteri, pelebaran insisi uterus, kesulitan
mengeluarkan plasenta, hematoma ligamentum latum (broad ligament).
Selain itu infeksi pada traktus genitalia, pada insisi, traktrus urinaria,
pada paru-paru dan tractus respiratorius atas. Komplikasi lain yang
bersifat ringan adalah kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari
selama masa nifas.
Ada beberapa komplikasi persalinan dengan sectio caesarea yang
terjadi pada ibu dan atau anak sebagai berikut :
1. Pada ibu yaitu terjadi infeksi puerperal, perdarahan dan komplikasi
lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru, dan
sebagainya jarang terjadi.
2. Pada anak seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang
dilahirkan dengan sectio caesarea banyak tergantung dari keadaan
yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut
statistic di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra
natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesarea berkisar
antara 4 dan 7 % (Wiknyosastro, 2007)

6
f. PATHWAY SC (Mansjoer, 2002)

2. IMPENDING EKLAMSI
a. Preeklampsia
Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik kehamilan dengan
penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme dan aktivasi
endotel (Prawirohardjo, 2009)

7
Preeklamsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan
proteinuria, edema atau keduanya, yang terjadi akibat kehamilan setelah
minggu ke-20, atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat
perubahan hidatidiformis yang luas pada vili khorialis
(Cunningham,1995).

b. Pembagian Preeklamsi
Preeklamsi dibagi menjadi dua (Prawirohardjo,2009) :
1. Preeklamsi ringan
Diagnosis preeklamsi ringan ditegakkan berdasarkan atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/edema setelah kehamilan 20
minggu.
 Hipertensi : sistolik/diastolik ≥ 140/90. Kenaikan sistolik ≥ 30
mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak di pakai lagi
sebagai kriteria preeklamsi.
 Proteinuria : 300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstick
 Edema : edema local tidak dimasukkan dalam kriteria
preeklamsi, kecuali edema pada lengan, muka dan perut,
edema generalisata.
2. Preeklamsi berat
Preeklamsi berat adalah preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai
proteinuria lebih 5 g/24 jam.
Preeklamsi di golongkan preeklamsi berat bila ditemukan satu atau
lebih gejala sebagai berikut (Prawirohardjo, 2009)
 Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah
menjalani tirah baring.
 Proteinuria lebih 5 gram/24 jm atau 4 + dalam pemeriksaan
kualitatif
 Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
 Kenaikan kadar kreatinin plasma

8
 Gangguan visus dan serebral (penurunan kesadaran, nyeri
kepala, scotoma dan pandangan kabur)
 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson)
 Edema paru-paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit dengan cepat
 Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular):
peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase
 Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
 Sindrom HELLP
Preeklamsi Berat dibagi menjadi :
1. Preeklamsi berat tanpa impending eclampsia
2. Preeklamsi berat dengan impending eclampsia

c. Impending Eclamsia
Impending Eclamsia adalah preeklamsi berat disertai gejala-gejala
subjektif berupa nyeri kepala berat, gangguan visus, muntah-muntah,
nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah (Prawirohardjo,
2009).

3. HELLP SYNDROM
a. Definisi Hellp Syndrome
HELLP syndrome merupakan suatu kerusakan multisistem
dengan tanda-tanda : hemolisis, peningkatan enzim hati, dan
trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel sistemik. Keadaan ini
merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko
partus preterm, hambatan pertumbuhan janin (Habli & Sibai, 2010)
H: Hemolysis
EL: Elevated Liver Enzyme
LP : Low Platelet Count

9
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik
yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus,
preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta
(kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang
dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal
kehamilan. Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia
menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah.
Sindrom ini biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31
minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah.
Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua
hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap
selama seminggu (Gupta T,2013).

b. Patofisiologi
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang
ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler,
vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan
faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari
kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi
dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.
Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati
merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati
pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada
sediaan apus darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular
cells dan burr cells. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder
akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi
ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat
terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik
yang paling sering ditemukan (Cunningham, 2007).
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau
destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP

10
sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC),
karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu
parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal.
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia
menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah.
Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31
minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah.
Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua
hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap
selama seminggu (Sibai, 2004).

c. Etiologi
Belum ada yang bisa menjelaskan penyebab dari Sindrom
HELLP.
Hal ini dihubungkan dengan preeklamsia dan eklamsi dan biasanya
terjadi sebagai komplikasi dari gejala ini. Sindrom ini kelihatannya
merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi
vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi
kerusakan endotel (Prawirohardjo, 2007).

d. Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang
sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan
tanda pada pasien preeklampsieklampsi yang tidak menderita sindrom
HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan
keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa
mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi
virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama
beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri
epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati,

11
yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP
biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan
oedem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat
(sistolik160 mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan.
Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986)
mempunyai tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolic 90 mmHg. (Sibai,2004).

e. Faktor Resiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi.
Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25
tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP
(rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada
populasi kulit
putih dan multipara.
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun
pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa
antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%.
Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam
pertama post partum (Barton & Sibai, 2004)

f. Diagnosis

12
 Tanda dan gejala yang tidak khas : mual, muntah, nyeri kepala,
malaise, kelemahan, mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan
gejala infeksi virus)
 Tanda dan gejala pre eklampsia : hipertensi, proteinuria, nyeri
epigastrium, edema, dan kenaikan asam urat.
 Tanda-tanda hemolisis intravaskuler : kenaikan LDH, AST dan
bilirubin indirek.
 Tanda kerusakan / disfungsi sel hepatosit hepar : Kenaikan ALT, AST,
LDH.
 Trombositopenia : Trombosit 150.000/ml atau kurang.
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas
abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejla preeklamsia,
harus dipertimbangkan sindroma HELLP (Prawirohardjo, 2009).

g. Diagnosis Banding
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang
sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat.
Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan
pemberian obat dan pembedahan
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi (Prawirohardjo,2009) :
 Perlemakan hati akut dalam kehamilan
 Apendistis
 Gastroenteritis
 Kolesistitis
 Batu ginjal
 Pielonefritis
 Ulkus peptikum
 Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
 Trombositipeni purpura tromboti
 Sindrom hemolitik uremia
 Ensefalopati dengan berbagai etiologi
 Sistemik lupus eritematosus (SLE)
h. Klasifikasi

13
1. Klasifikasi berdasarkan jumlah kelainan (Sibay,2004).
Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial
(mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga
kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita
komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom
HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya
dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial
dapat diterapi konservatif.
2. Klasifikasi berdasarkan jumlah trombosit (Prawirohardjo,2009)
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP
diklasifikasikan dengan nama “ klasifikasi Mississippi”
a. kelas I
 kadar trombosit ≤ 50.000/ml
 LDH ≥600 IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
b. Kelas II
 Kadar trombosit antara >50.000 ≤100.000/mm
 LDH ≥600 IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
c. Kelas III
 Kadar trombosit antara >100.000 ≤150.000/mm
 LDH ≥600IU/l
 AST dan atau ALT ≥40IU/l
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan
penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal.Sindrom
HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi
dibandingkan pasien kelas II dan kelas III

i. Komplikasi
1. Komplikasi terhadap ibu
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory
distress

14
syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular,
dan rupture hati.
2. Komplikasi terhadap bayi
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,
hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin
berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom
gangguan pernafasan (RDS) (Hemant, Chabi, & Frey, 2009)

j. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit pre
eclampsia penatalaksanaan pre eklampsia antara lain (Sibai, 2005)
1. melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
4. melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera
mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin
atau ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.

Sindroma HELLP merupakan salah satu keadaan preeklampsia yang


memburuk yang dapat didiagnosis dengan parameter laboratorium
sementara proses kerusakan endotel juga terjadi diseluruh sistem tubuh,
karenanya diperlukan suatu parameter yang lebih dini dimana12
preeklampsia belum sampai menjadi perburukan, dan dapat ditatalaksana
lebih awal yang akan menurunkan terutama morbiditas dan mortalitas ibu,
dan mendapatkan janin se-viable mungkin.
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien
preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi
ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. Pada pemeriksaan darah tepi
terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya kerusakan sel eritrosit,

15
antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini mengakibatkan
peningkatan kadar
bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH). Disfungsi hepar di refleksikan
dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate transaminase (AST/GOT),
Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan LDH. Semakin
lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan
hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial
tromboplastin time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana
trombosit sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan didapatkan hasil-
hasil degradasi fibrin dan aktivasi antitrombin III yang mengarah
terjadinya Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC). Insidens DIC
pada sindroma hellp 4 - 38%.

Terapi Medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa preeklampsia-eklampsia dengan
melakukan monitoring kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit
<50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus
diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.
Pemberian dexamethasone rescue, pada antepartum diberikan dalam
bentuk double strength dexamethasone (double dose) (Prawirohardjo,
2009).
Jika didapatkan kadar trombosit <100.000/ml atau trombosit 100.000-
150.000/ml dengan disertai tanda-tanda, eklampsia, hipertensi berat,
nyeri epigastrium, maka diberikan dexamethasone 10 mg IV tiap 12 jam.
Pada post partum dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam 2 kali,
kemudian diikuti 5 mg IV tiap 12 jam 2 kali. Terapi dexamethasone
dihentikan, bila terjadi perbaikan laboratorium, yaitu trombosit
>100.000/ml dan penurunan LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala
klinik preeklampsia-eklampsia. Dapat dipertimbangkan pemberian
transfusi trombosit, bila kada trombosit <50.000/ml dan antioksidan
(Prawirohardjo,2009).

16
Tabel 2. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35
minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn
HELLP dengan umur kehamilan 35 minggu).

1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu


 Jika ada DIC, atasi koagulopati
 Profilaksis anti kejang dengan MgSO
 Terapi hipertensi berat
 Rujuk ke pusat ksehatan tersier
 Computerized tomography (CT scan) atau ultrasonografi (USG
 abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
 Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
 Profil biofisik
 USG
3) Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan <35 minggu
 Jika matur, segera akhiri kehamilan
 Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan

Pemberian obat antikejang MgSO4


Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eclampsia.

Cara pemberian MgSO4

17
 Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
 Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam;
atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan
4 gram im tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4


 Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
 Refleks patella (+) kuat
 Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress
pernafasa
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
 Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
 Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
 Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
 Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas) (Prawirohardjo, 2009)

Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payahjantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin (Prawirohardjo,
2009).

Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)

18
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan
cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg
(Prawirohardjo, 2009).

Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik
(akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia
berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan
indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio
cesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif
untuk
memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan
kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal
Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom
gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan
dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat
(Prawirohardjo, 2009).

k. Pencegahan
Tidak ada cara untuk mencegah penyakit ini. Hal terbaik yang dapat Anda
lakukan adalah senantiasa kontrol ke dokter secara teratur dan beritahukan
gejala-gejala yang Anda alami selama melahirkan. Identifikasi awal wanita
yang berisiko Sindrom HELLP mungkin membantu mencegah beberapa
komplikasi penyakit. Pendidikan tentang tanda-tanda bahaya juga penting
karena penegenalan awal mungkin membantu seorang wanita untuk
menerima pengobatan dan komplikasi penyakit.

19
20

Anda mungkin juga menyukai