Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan
1. Bagaimana Tuhan dirasakaan kehadirannya dalam Perspektif Psikologis? Menurut hadis
Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Allah Swt, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang lain saat itulah kehadiran Allah dapat kita rasakan.
2. Bagaimana Tuhan Disembah Masyarakat Dalam Perspektif Sosiologis? Berbeda dengan
perspektif teologis, perspektif sosiologi memandang agama tidak berdasarkan teks keagamaan (baca kitab suci dan sejenisnya), tetapi berdasarkan pengalaman konkret pada masa kini dan pada masa lampau. Hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan manusia. Bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia yang paling modern sekalipun tak lepas dari Agama. Hal ini membuktikan bahwa Agama tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai kebenaranya. Agama tidak saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan hal-hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil. Karena pada waktu yang bersamaan Agama juga menyuguhkan hal-hal yang riil. Begitulah Agama, sangat kompleks sehingga betul-betul membutukan mata yang sanggup “melek” (keseriusan) untuk memahaminya. Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran Agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit saling menciptakan dan meniadakan 3. Bagaimana Tuhan Dirasionalisasikan Dalam Perspektif Filosofis ? Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan. Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise . Jadi pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif , realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.
4. Konsep tentang Tuhan dalam Perspektif Teologis ?
Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan keberagamaan harus
dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik- buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi- nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen. Pernyataan- pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat beragama. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, baik-buruk, dan cara beragama dalam perspektif teologis tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi terjadi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang bertuhan dan beribadah kepada-Nya