Anda di halaman 1dari 15

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA PERBUATAN YANG

DILARANG BAGI PELAKU USAHA

PENDAHULUAN

a. Deskripsi

Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum di dalamnya ada dua

segi. Dua segi itu adalah disatu pihak adalah hak, sedangkan dipihak lain ada

kewajiban. Kedua hak tersebut di dalam hukum perlindungan konsumen juga

diatur secara terperinci.

Ada beberapa hal penting yang terkait dengan masalah hak dan kewajiban

konsumen antara lain : iktikad baik, informasi yang benar dan hak-hak yang diatur

dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Disamping hal tersebut di atas ada

hal lain yang berkaitan dengan perlindungan hak konsumen yaitu tentang

perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

b. Relevansi

Bab ini membahas hak dan kewajiban, serta hal-hal lainnya yang sangat

berkaitan dengan perlindungan konsumen. Mahasiswa dibekali materi yang

menyangkut tentang bagaimana seorang konsumen dapat melindungi diri akan

haknya dan sekaligus juga sebaliknya bagaimana secara yuridis pelaku usaha

dalam melaksanakan kewajiban dapat dianggap benar dan bagaimana pula

seyogyanya berbuat sesuatu dalam menjalankan usahanya.

c. Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang hak-hak dasar

konsumen.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kepentingan-kepentingan yang

dilindungi.

21
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang hak dan kewajiban konsumen dan

pelaku usaha.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang hubungan hak dan kewajiban

konsumen dengan iktikad baik.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan hak konsumen dengan

informasi yang benar dari pelaku usaha.

6. Mahasiswa mampu menjelaskan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi

pelaku usaha.

1. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila

kepada subyek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan

hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu

pihak hak, sedang di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban,

sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak (Mertokusumo, 1985:38).

Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam

melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban,

sehingga yang menonjol ialahsegi aktif dalam hubungan hukum itu, yaitu hak.

Kita lihat juga bahwa yang pada umumnya ditonjolkan adalah hak-hak asasi,

sedangkan mengenai kewajiban-kewajiban asasi dapatlah dikatakan tidak pernah

disebut-sebut. Hak-hak asasi seorang terdakwa selalu mendapat perhatian, selalu

ditonjolkan, selalu diperjuangkan, tetapi sebaliknya kewajiban asasinya terhadap

masyarakat boleh dikatakan tidak pernah disinggung. Apakah dalam hal ini hak

asasi korban kejahatan tidak perlu mendapat perhatian? Sebaliknya apakah

tidakada kewajiban asasi dari pihak terdakwa? (Mertokusumo, 1985:39).

Kansil (1979:119) menyatakan bahwa izin atau kekuasaan yang diberikan

Hukum itu disebut “Hak” atau “Wewenang”. Sedangkan pada alinea berikutnya

22
dikatakan, untuk membedakan Hak dan Hukum dalam bahasa Belanda

dipergunakan istilah “subjectief recht” untuk “Hak” dan “objectief recht” untuk

“Hukum” atau peraturan-peraturan yang menimbulkan hak bagi seseorang.

Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy mengemukakan

empat hak dasar konsumen yang meliputi :

a. the right to safe product;

b. the right to be informed about products;

c. the right the defibite choices in selecting products;

d. the right to be heard regarding consumer interest. (Gunawan Wijaya at all,

2000:27)

Masyarakat Eropa (Europese Economisce Gemeenscaap atau EEG) juga

telah menyepakati lima dasar hak konsumen sebagai berikut :

a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veilegheid).

b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn

economische belangen).

c. Hak atas penerangan (rechtnop voorlichting en vorming).

d. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord) (Ahmadi Miru at all,

2004:40)

Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan

Konsumen (Guidelines for consumer protection). Memuat kepentingan-

kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

23
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi tersebut untuk

menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan mereka. (Wijaya at all, 2003:28).

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 untuk memberi keadilan

bagi pihak-pihak yang terkait dengan perlindungan konsumen, maka masing-

masing pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha diberikan hak dan kewajiban

yang diharapkan dapat untuk dilaksanakan secara seimbang, tidak hanya memberi

perlindungan hukum bagi pihak yang lemah saja yaitu pihak konsumen, tetapi

sekaligus juga memberi perlindungan hukum bagi pelaku usaha.

Hak-hak konsumen terdapat dalam Pasal 4 Undang-undang tentang

Perlindungan Konsumen yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/ atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/ atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang

digunakan.

24
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau jasa yang diterima

tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif pada huruf g. diatas, maksudnya adalah hak untuk diperlakukan atau

dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama,

budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.

Kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang tentang

Perlindungan Konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.

c. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya

konsumen saja yang mempunyai hak, tetapi pelaku usaha juga diberi hak-hak

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beriktikad tidak baik.

25
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang

diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajban pelaku usaha adalah :

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa

yang berlaku.

e. Mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau

garansi atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi; ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang

diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/

atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Beberapa hal yang perlu dicermati dalam membahas masalah hak dan

kewajiban, antara lain adalah :

a. Iktikad baik

b. Informasi yang benar

26
ad a. Iktikad baik

Iktikad baik ini merupakan suatu asas di dalam hukum, yang mempunyai

arti yang sama dengan asas kejujuran. Hal ini terlihat pada pendapat Subekti

(1979:41) yang menyatakan bahwa, dalam Hukum Benda, istilah iktikad baik

yang berarti kejujuran atau bersih. Dalam Hukum Perdata dapat diketemukan

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan semua perjanjian itu

harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut Subekti (1979:41), norma yang

dituliskan di atas tersebut merupakan salah satu sendi yang terpenting dari Hukum

Perjanjian.

Dalam UUPK asas iktikad baik dapat diketahui dari 2 pasal yaitu :

1) Pasal 5 huruf b yang menentukan kewajiban konsumen adalah beriktikad baik

dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.

2) Pasal 7 a. yang menentukan kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik

dalam melakukan usahanya.

Asas iktikad baik ini jika dilihat 2 pasal diatas adalah suatu kewajiban

yang harus ditunaikan oleh kedua belah pihak konsumen maupun pihak pelaku

usaha, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa, pihak pemerintah yang membuat

undang-undang atau peraturan berkewajiban pula membuat undang-undang atau

peraturan yang tidak memihak dan bersifat netral serta dapat berbuat adil terhadap

kedua pihak di atas. Jadi jangan sampai kelihatannya pihak pemerintah

menyediakan suatu peraturan yang seolah-olah melindungi pihak yang lemah

(konsumen) tetapi ternyata di dalam peraturan itu banyak pasal yang mempunyai

lubang/kelemahan yang dapat diterobos atau menguntungkan pihak pelaku usaha,

sehingga keadilan tidak akan dapat diwujudkan.

Pihak konsumen disamping haknya harus dilindungi sebagai pihak yang

umumnya lemah juga diwajibkan untuk beriktikad baik. Pertanyaan yang muncul

selanjutnya apakah pihak konsumen dapat beriktikad tidak baik? Untuk menjawab

27
ini penulis memberikan contoh fiktif yang merupakan ilustrasi saja, misalnya

seorang pembeli sebuah truk pada dealer mobil dengan perjanjian syarat

pembayaran dilakukan secara mengangsur selama 4 tahun, apabila sebelum empat

tahun pihak konsumen mengalami kemacetan pembayaran maka truk yang dibeli

tersebut akan dicabut oleh dealer atau dikembalikan. Pihak konsumen setelah

mengangsur selama satu tahun beriktikad tidak baik yaitu konsumen dicabut oleh

dealer mobil. Dari contoh di atas jelas bahwa pihak konsumen juga dapat

beriktikad tidak baik.

Pihak pelaku usaha sebagai pihak yang kuat diwajibkan pula beriktikad

bak. Pertanyaan akan muncul pula, apakah pelaku usaha sering beriktikad tidak

baik dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan hanya mengejar

keuntungan semata? Untuk menjawab ini penulis tidak perlu memberikan ilustrasi

sebagai contoh, karena sudah sering kali terlihat pada mass media bahwa pihak

produsen memang beriktikad tidak baik dalam memberikan pelayanannya dan

hanya mengejar keuntungan belaka. Iklan komersial digunakan untuk mendukung

penjualan produk yang menyentuh kebutuhan sekunder dan tersier, di samping itu

iklan menjembatani dunia produksi dan distribusi.

Iklan ini juga dipergunakan untuk memadukan suatu ide atau gagasan

supaya masuk “di bawah kesadaran” orang untuk mempergunakan suatu produk

yang setiap hari ditawarkan melalui beberapa media baik radio, TV dan koran,

sehingga pengaruhnya apabila manusia itu terserang penyakit atau membutuhkan

barang maka langsung teringat kepada produk iklan yang dimasukkan ke “bawah

sadar” pikiran orang, misalnya orang terkena sakit kepala maka orang tersebut

langsung teringat bodrex, atau apabila membutuhkan penyedap rasa masakan

maka orang langsung teringat ajinomoto.

Pada prinsipnya iklan merupakan sarana informasi yang diperlukan oleh

konsumen, namun dapat juga iklan dipergunakan secara salah atau dipergunakan

28
dengan iktikad tidak baik oleh pelaku usaha apabila iklan tersebut digunakan

secara tidak benar, menyesatkan dan tidak memuat aspek risiko dari barang yang

diiklankan. Di perusahaan, sebuah iklan merupakan jenis propektus perusahaan

yang berisi sesuatu informasi dan janji-janji tentang apa-apa yang akan dijamin

oleh perusahaan.

ad b. Informasi Yang Benar

Pada hakekatnya, setiap orang adalah konsumen, bahkan produsenpun

menjadi konsumen untuk produk lainnya. Dalam banyak hal konsumen

membutuhkan perlindungan, termasuk perlindungan terhadap informasi yang

benar. Menurut penulis informasi yang benar adalah :

1. Informasi yang tidak menyesatkan.

2. Informasi yang memuat aspek risiko dari barang yang diinformasikan.

3. Informasi yang tidak ada unsur kebohongan, kecurangan, ketidakjujuran,

menjerumuskan, pengelabuhan, mengaburkan, menyiasati peraturan.

4. Informasi yang mentaati kode etik dan peraturan-peraturan yang berkaitan

dengan pemberian informasi dalam memberikan keterangan kepada

konsumen.

5. Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

6. Informasi yang lengkap, sehingga tidak menyebabkan timbulnya interpretasi

yang salah atau interpretasi yang tidak sepenuhnya benar.

Dalam membicarakan tentang informasi maka prakteknya tidak akan

terlepas dari masalah tentang periklanan. Iklan ini merupakan segala bentuk pesan

tentang suatu produk yang disampaikan lewat suatu media, dan dibiayai oleh

pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh

masyarakat. Menurut “ Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia” dalam

Bab III huruf b. nomor 6 disebutkan, perusahaan periklanan berkewajiban untuk

29
mempunyai data yang lengkap tentang media, agar dapat memberi usul yang baik

dalam pemilihan media kepada pengiklannya. Data ini sekurang-kurangnya

meliputi :

 untuk media cetak :

sirkulasi, oplah, profil pembacanya, tarif iklan, tehnik cetak, kala terbit, dan

sebagainya.

 untuk media elektronik :

jam siaran, audience, frekuensi siaran, tarif iklan dan sebagainya.

 untuk media bioskop :

jam pertunjukan, kapasitas tempat duduk, tarif iklan, golongan bioskop dan

sebagainya.

Periklanan sebagai salah satu sarana pemasaran dan sarna penerangan,

memegang peranan penting dalam pemberian informasi dan merupakan bagian

dari kehidupan media komunikasi yang vital bagi pengembangan dunia usaha

serta harus berfungsi menunjang pembangunan.

Asas-asas umum periklanan :

1. iklan harus jujur dan bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku.

2. iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat,

agama, tata susila, adat budaya, suku dan golongan.

3. iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat.

Dalam memperjelas asas-asas umum tersebut adi atas, perlu kiranya diberi

sedikit keterangan yang bersumber dari Tata Krama dan Tata Periklanan di

Indonesia.

1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum

yang berlaku.

a. Jujur :

30
Iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan memberikan

keterangan yang tidak benar, mengelabuhi, dan memberikan janji yang

berlebihan.

b. Bertanggung jawab :

Iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan

masyarakat.

c. Tidak bertentangan dengan hukum :

Iklan harus mematuhi undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah

yang berlaku.

2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan martabat

agama, tata susila, adat budaya, suku dan golongan.

a. Tidak boleh menyinggung perasaan :

1) Iklan harus berselera baik dan pantas

2) Iklan harus menggunakan bahasa yang baik dan istilah-istilah yang

tepat.

b. Agama / kepercayaan :

Iklan tidak boleh merendahkan dan atau mencemoohkan agama /

kepercayaan.

c. Tata susila, adat dan budaya :

Iklan tidak boleh melanggar norma-norma tata susila, adat dan budaya

bangsa.

d. Suku dan Golongan

Iklan tidak boleh menyinggung atau mempertentangkan suku / golongan.

3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.

a. Penggunaan kata-kata yang berlebihan :

Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “ter”, “paling”, “nomor satu”,

dan sejenisnya tanpa menjelaskan dalam bidang apa keunggulannya itu.

31
b. Perbandingan langsung :

Iklan yang baik tidak mengadakan perbandingan langsung dengan produk-

produk saingannya. Apabila perbandingan semacam ini diperlukan, maka

dasar perbandingan harus sama dan jelas.

c. Merendahkan :

Iklan tidak boleh secara langsung ataupun tidak langsung merendahkan

produk-produk lain.

d. Peniruan :

Iklan tidak boleh meniru iklan lain sedemikian rupa sehingga

menimbulkan penyesatan.

Hal ini meliputi merk dagang, logo, komposisi huruf dan gambar, slogan-

positioning, cara penampilan dan jingle.

Menurut Dony Lanazura (2001:40), hubungan pelaku periklanan dan

konsumen adalah :

a. Pelaku peiklanan wajb menyadari, bahwa upaya melindungi konsumen

merupakan bagian integral dari proses, perwujudan dan penyebarluasan iklan.

b. Pelaku periklanan wajib menyadari, bahwa iklan yang tidak baik atau tidak

benar dapat berdampak lebih negatif bagi konsumen yang berpendidikan

rendah atau berpenghasilan rendah.

c. Konsumen wajib menyadari, bahwa sikap kritis dan terbuka merupakan kunci

utama untuk tercapainya periklanan yang sehat, jujur dan bertanggung jawab.

Secara yuridis untuk bidang periklanan di Indonesia belum ada peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hal ini. Pasal 13

ayat (6) Undang-Undang Pokok Pers beserta penjelasannya menegaskan bahwa

ketentuan mengenai periklanan akan diatur oleh pemerintah setelah mendengar

pertimbangan Dewan Pers. Ketentuan pelaksanaan dari pasal tersebut belum

32
dikeluarkan. Oleh karenanya kontrol dan pengawasan periklanan dilakukan oleh

Departemen Penerangan (sebelum dibubarkan), antara lain didasarkan pada :

a. Peraturan Menteri Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Ijin

Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang pada Pasal 26 menegaskan bahwa

pengasuh penerbitan pers harus menaati kode etik periklanan;

b. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan

No. 255/Menkes/SKB/VIII/1980 dan No. 122/Kep/Menpen/1980 tentang

Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan, Minuman, Kosmetika

dan Alat Kesehatan. (Yusuf Shofie, 2000:141-142)

Dalam UUPK Nomor 8 Tahun 1999, hanya mengatur mengenai aturan

hukum yang harus ditaati oleh pelaku usaha periklanan, yaitu yang terdapat dalam

Bab IV tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, terutama dalam Pasal

9, 10, 12, 13 yang berhubungan dengan berbagai macam larangan dalam

mempromosikan barang dan atau jasa tertentu, serta ketentuan Pasal 17 yang

khusus diperuntukkan bagi perusahaan periklanan.

Belum adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai

periklanan ini, membuat kalangan bisnis periklanan dan pihak-pihak yang

berkompeten didalamnya menyusun dan menetapkan suatu kode etik dan kode

praktek periklanan Indonesia, yang dikenal dengan Tata Krama dan Tata Cara

Periklanan Indonesia (TKTCPI). TKTCPI ini dibentuk pertama kali pada tahun

1981 oleh Konvensi Periklanan yang diselenggarakan pada tanggal 17 September

1981. Pada waktu itu para pemrakarsanya terdiri dari :

1) Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO);

2) Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI);

3) Badan Periklanan Media Pers Nasional-Serikat Penerbit Surat Kabar (BPMN-

SPS);

4) Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI);

33
5) Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). (A.Z. Nasution,

1995:84)

Selain aturan dalam UUPK dan kode etik TKTCPI yang demi hukum

mengikat para pelaku usaha periklanan, sebagai bagian dari media promosi dan

penerangan, sebagai bagian dari media promosi dan penerangan, berikut ini

dikutip berbagai kode etik yang berlaku dalam dunia public relation atau

kehumasan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi dunia periklanan

walaupun secara yuridis hanya mengikat secara moral saja :

1. IPRA (International Public Relation Association Code of Conduct),

Dalam IPRA Code of Conduct butir (c) tentang perilaku terhadap publik dan

media, angka (3), dikatakan bahwa lembaga kehumasan tidak diperkenankan

untuk menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan;

2. Kode Etik Kehumasan Indonesia (KEKI),

Dalam salah satu butir ketentuan Pasal III KEKI tentang perilaku terhadap

masyarakat dan media massa, disebutkan bahwa Anggota Perhumas harus

tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan

sehingga dapat menodai profesi kehumasan;

3. Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Public Relation Indonesia (APPRI)

Dalam Pasal 2 Kode Etik APPRI tentang Penyebarluasan Informasi dikatakan:

“Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak

bertanggung jawab, informasi yang palsu atau yang menyesatkan, dan

sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadina

hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan

informasi”. (Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2000: 47-48).

Hubungan interdependensi antara pelaku periklanan dan konsumen harus

terus dijaga. Bahwa iklan produk harus memperhatikan kecenderungan dan

tingkat pendidikan konsumen, realistis dan tidak mengada-ada. Karena

34
bagaimanapun iklan yang negatif dapat mempengaruhi konsumen sehingga

konsumen kesulitan untuk mebuka alternatif pilihannya pada suatu produk,

disamping tentu saja salah menentukan pilihan.

35

Anda mungkin juga menyukai