Dhani Tsandika - 18803241037
Dhani Tsandika - 18803241037
Disusun Oleh :
Dhani Tsandika
NIM. 18803241037
KELAS U14
FAKULTAS EKONOMI
2019
A. Artikel
Jakarta, CNN Indonesia -- Para pensiunan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk
menuding bank pelat merah tersebut menyelewengkan dana pensiun yang merupakan
hak pensiun pegawai hingga Rp550,67 miliar. Pensiunan yang tergabung dalam
Forum Perjuangan Pensiun (FPP) BNI tersebut menilai bahwa instansi keuangan
tempat mereka bekerja selama ini telah melakukan praktik penyalahgunaan keuangan.
“Bahkan, Rp550 miliar itu belum termasuk hitungan kerugian Jaminan Hari Tua
(JHT) dan suplesi manfaat Pensiun. Kalau JHT dan suplesi manfaat dihitung kerugian
sekitar Rp700 miliar," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Karena hal itulah, FPP-BNI membawa persoalan ini ke meja Otoritas Jasa Keuangan.
FPP-BNI menemui Komisioner OJK, kemarin. Forum yang beranggotakan 820
pensiunan BNI tersebut terbentuk sejak 2013 lalu. Pembentukan didasari oleh
ketidakpuasan para pensiunan atas manfaat program kesejahteraan purna kerja.
Sejak terbentuk, FPP BNI terus memperjuangkan hak pensiunan mereka yang
diyakini masih menjadi utang BNI. Sebelum mampir ke meja OJK, forum ini pernah
mengadu ke Kementerian Tenaga Kerja, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Komisi IX DPR dan Presiden Joko Widodo.
Sayang, informasi yang disampaikan FPP-BNI itu belum membuahkan hasil. Bahkan,
hingga kini, manajemen perseroan tidak pernah menemui FPP-BNI. Alasannya,
perseroan hanya mengakui Persatuan Pensiunan BNI yang menaungi para pegawai
purna tugas BNI. Adapun, Persatuan Pensiunan BNI beranggotakan sekitar 10.000
orang.
"Saya sudah berusaha bertemu, tapi mereka (manajemen BNI) menolak. Saya juga
sudah menulis surat kepada Dewan Komisaris BNI tetapi tidak ditanggapi," jelas
Martinus.
Pengaduan ke OJK tercatat sudah dilakukan sebanyak tujuh kali. Hal itu sesuai
dengan hasil rapat Komisi IX DPR mengingat permasalahan ini menyangkut
kekurangan pembayaran uang pensiun, THT, dan JHT. Sementara, untuk persoalan
pesangon, FPP-BNI melayangkan aduan ke Kemenaker.
Selain itu, pihak BNI dinilai telah melakukan kesalahan dalam menerapkan
penggunaan rumus perhitungan uang pesangon pasal 167 ayat 3 Undang-undang (UU)
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Surat
Divisi HCT yang ditujukan kepada Dana Pensiun BNI cf Surat No. HCT/4/04277
tertanggal 29 November 2011.
Dalam perkembangannya, pihak BNI setuju untuk menggunakan pasal 167 ayat (3)
UU 13 Nomor 2013, namun penerapan atas ketentuan tersebut dilakukan
menyimpang. Perseroan memberlakukan perhitungan dimana iuran pensiun yang
berasal dari BNI ditarik kembali dari uang pensiun.
Artinya, seolah-olah seluruh iuran dana pensiun menjadi beban pekerja atau dibayar
penuh oleh pekerja. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun bagian III pasal 15. Akibatnya, jumlah uang pesangon yang diterima
pegawai jadi lebih kecil atau hanya sekitar 20 persen dari nilai yang diyakini hak.
"Manfaat pensiun bulanan kami juga dilakukan rekayasa dengan melanggar UU
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Kami terima hanya 30 persen dari yang
seharusnya," imbuhnya.
B. Analisis
Penylewengan pada kasus diatas terkait dengan pembayaran pesangon, manfaat
pensiun bulanan, tunjangan hari tua, jaminan hari tua dari Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan (sekarang BPJS Ketenagakerjaan), serta perawatan kesehatan
pensiunan dan keluarganya.
Praktek penyalahgunaan dana yang menjadi hak para tenaga kerja diperkirakan
potensi kerugian:
Kekurangan pesangon dari 255 anggota Rp. 153.666.317.871
Kekurangan pensiun bulanan dari 566 anggota Rp. 254.203.974.247
Kekurangan THT dari 565 anggota Rp. 142.805.667.713
Total Rp. 550.675.959.831
Perhitungan diatas belum termasuk hitungan kerugian Jaminan Hari Tua (JHT) dan
Suplesi manfaat Pensiun.
Bahwa merujuk pada UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun tanggal 20 April 1992,
terdapat program pensiun manfaat pasti (PPMP) dan atau program pensiun iuran pasti
(PPIP) dengan produk pensiun yaitu:
Dana Pensiun pemberi kerja (DPPK) sesuai dengan UU No. 11/1992 tanggal
20 April 1992 tentang Dana Pensiun. Pegawai BNI diikutkan sebagai peserta
dari DPPK sejak masuk bekerja di BNI
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), di mana Pegawai BNI
diikutsertakan program ini sekitar tahun 2002/2003
Sebelum berlakunya UU No. 11/1992 Tentang Dana Pensiun, BNI telah
melaksanakan dana Pensiun dan THT yaitu:
Iuran bulanan Dana Pensiun setiap pegawai tetap = 22,5 % beban BNI + 7,5%
beban pegawai x gaji bruto/TC kemudian diubah menjadi berbasis PDP. Jika
pegawai memasuki pensiun akan mendapat manfaat pensiun bulanan dengan
rumus = 2,25 % x Masa Kerja x Gaji bruto/TC terakhir.
Iuran tunjangan hari tua pegawai tetap = 3,5 % beban BNI + 1,5% Jika
pegawai memasuki pensiun akan mendapat THT = 20 x gaji bruto/TC
Setelah berlaku UU no. 11/1992 iuran per bulan dalam program pensiun ini besarnya
7,5% beban pegawai dan 22,5% beban BNI x Penghasilan Dasar Pensiun (PDP). BNI
baru melaksanakan UU no. 11/1992 Tentang Dana Pensiun sejak Juli 2000 yakni
dengan sistem PDP namun diterapkan kepada seluruh pegawai tetap. Dampak dari
pemberlakuan ini, penerimaan uang pensiun bulanan dan THT ketika pegawai
pensiun menjadi jauh berkurang.
Pemberlakuan kebijakan berbasis PDP ini sangat merugikan pegawai yang memasuki
pensiun setelah Juli 2000. Contoh pegawai yang pensiun tahun 2004, dimana mereka
telah membayar dana pensiun dan THT berbasis gaji bruto (TC) selama 26 tahun dan
berbasis PHDP (turun hingga 27% x TC) selama 4 tahun tetapi ketika pensiun hak-
haknya berkurang drastis karena basis penghitungannya dari PHDP
Program Jaminan Hari Tua Jamsostek merupakan program yang dipilih BNI dan
merupakan pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja. Berdasarkan ketentuan tersebut, sejak tahun 1992 BNI berkewajiban untuk
membayarkan iuran setiap bulannya yang berasal dari perhitungan gaji bruto pegawai
BNI ditambah subsidi BNI. Namun, pihak BNI membayar iuran tersebut dengan basis
Gaji pokok dan/atau PDP sehingga mengakibatkan kecilnya jumlah iuran Jamsostek.
Baru sejak Januari 2005, BNI mengubah hal tersebut dengan menggunakan Gaji
Bruto untuk basis pembayaran iuran Jamsostek. Akan tetapi permasalahannya adalah
BNI tidak bersedia untuk melakukan suplesi pembayaran iuran berlaku mundur sejak
berlakunya UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Akibatnya
ketika pegawai BNI pensiun maka besarnya jumlah seluruh iuran berikut hasil
pengembangannya Jaminan Hari Tua jauh lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Dana Hospitalisasi merupakan kebijakan BNI sejak tahun 1987 berupa pemungutan
iuran bulanan kepada semua pegawai aktif dan pensiunan dengan tujuan untuk tolong
menolong untuk seluruh pegawai BNI baik yang masih aktif maupun yang telah
pensiun. Dana Hospitalisasi adalah juga dana iuran bergulir yakni ketika pegawai BNI
masih aktif sudah dipungut iuran untuk dana kesehatan pensiunan meskipun saat
masih aktif jika opname ditanggung oleh BNI sehingga ini kebijakan ini tidak dapat
dihentikan sepihak. Dengan kata lain, karena sifat dan lingkupnya, maka kebijakan ini
tidak dapat dihentikan.
Dasar dari kebijakan tersebut adalah Surat keputusan Direksi BNI yakni
KP/072/DIR/R tanggal 23 Juli 1987; KP/154/DIR/R tanggal 23 November 1992; dan
KP/134/DIR/R tanggal 07 Juni 1993.
Pada awal pemberlakuan kebijakan ini atau sejak Agustus 1987, hanya pegawai aktif
dan direksi BNI yang melakukan pembayaran iuran per bulan sekitar 0,5% dari gaji
bruto, sementara pensiunan tidak diwajibkan untuk membayar iuran. Namun sejak
Desember 1991, pensiunan dipungut iuran 4,55% dari uang Pensiunan bulanan,
kemudian prosentase iuran dinaikkan lagi menjadi 6,55% per bulan.
Sementara itu, ketika pegawai pensiun, mereka masih tetap dipungut iuran
hospitalisasi dipotong langsung dari uang pensiun tanpa adanya Surat Kuasa
pemotongan di atas meterai.