Anda di halaman 1dari 5

Sahabat

Oleh : Rezadha Achmadani

“Apa ini, Sal?” tanya Andika yang sedang berada di rumah sohibnya, Faisal.
“Ini adalah negeri mimpi. Dimana semua mimpi-mimpi langsung menjadi nyata.” jawab Faisal
yang masih asyik mengotak-atik handphone yang ia genggam sejak tadi.
“Hah yang benar saja kamu. Memang gimana ciri-ciri negeri mimpi itu?” Andika tampaknya
masih penasaran tentang hal yang barusaja ia dengar, walau sebenarnya ia masih tak percaya
akan semua ini. Terlebih karena Faisal sering berkhayal tentang sesuatu yang belum pasti
adanya.
“Tempat yang begitu indah, tenang dan damai. Hehe..” ucap Faisal sambil menggerakan
tangannya seakan menjabarkan keindahan tempat itu.
“Apa kamu pernah kesana?” tanya Andika
“Ya, aku sering kesana. Disana adalah tempatku untuk bermimpi supaya dalam dunia menjadi
nyata.”
“Oh ya? Memang itu dimana?”
“Sebenarnya negeri mimpi itu berada di otak manusia masing-masing. Disana berjuta mimpi
tercipta, disana pula mimpi-mimpi semakin nyata.”
“Ah kamu ada-ada saja Sal.”
“Oh iya, apa kamu masih yakin, Ibu mu masih hidup disana?”
“Yakin banget Dik!” Faisal berucap mantap seakan tak ada keraguan yang tampak dari sorot
matanya
“Tapi kan, nggak ada yang selamat dari gempa itu. bukannya aku ngecewain kamu. Tapi..
Cobalah, kamu terima realita yang ada.” tambah Andika
“Andika, kenapa kamu selalu membahas tentang itu. Kamu itu sahabat aku Dik, seharusnya
kamu dukung aku dong. Aku selalu bermimpi, dan mimpiku mengatakan bahwa ibuku masih
hidup disana. Aku yakin itu, Dik.” Faisal menaikan nada bicaranya.
“Faisal! Kamu emang sahabatku. Tapi kamu harus tau, aku benci mimpi. Aku benci khayalan.
Hidup itu realita Sal. Pikirlah secara logis, yang dapat diterima nalar. Khayalan itu.. Khayalan itu
cuma angan-angan yang dapat membuat kita jatuh karena ngaak bisa untuk menggapainya.”
Andika bersikeras mempertahankan argumennya.
“Sudahlah! Aku memang hidup dalam mimpi. Tapi mimpiku selalu menjadi nyata. Itu yang
membuat ku percaya pada semua mimpi-mimpi.” Faisal memalingkan wajahnya dari Andika,
untuk mencoba mencari sedikit ketenangannya.
“Kalau kamu memang benci mimpi, aku nggak bisa melarang. Tapi, waktu akan membuktikan
bahwa ibuku itu masih hidup!” lanjut Faisal dalam setengah isakannya.
Memang begitu sulit menyatukan 2 orang yang benci terhadap mimpi dengan orang yang selalu
hidup dalam mimpi dalam satu ruang persahabatan. Tapi, dengan kuasa Tuhan yang telah
mentakdirkan merekan menjadi sepasang sahabat yang saling mengisi. Walau perbedaan
terlihat jelas dalam presepsi hidup mereka.
Ya, perbedaan memang tak dapat dipungkiri dari setiap persahabatan. Tapi, itulah yang
membuat persahabatan menjadi penuh warna.
Malam menjemput. Rintik hujan menemani kesunyian malam itu. Tapi, Andika tetap saja belum
bisa tidur, walau detak jam telah menunjuk angka 23:50. Ia masih memikirkan ucapannya tadi. Ia
merasa takut, jika ucapannya itu akan menyakiti sekaligus meretakan mimpi sahabatnya itu.
Hatinya terus bergejolak. Ia masih terus berusaha menutup kedua katup matanya. Tapi, ia masih
tak bisa. Mungkin karena rasa sayang Andika terhadap sahabatnya itu terlampau besar. Jadi ia
begitu gelisah, jika sedikit saja melukai hati sahabatnya.

Pagi-pagi sekali, Andika menghampiri rumah kediaman Faisal. Berharap Faisal masih berada
disana. Karena ia ingin sekali mengucap maaf pada sahabatnya itu.
“Tok-tok-tok !!” Pintu itu bergetar kuat akibat ketukan tangan Andika.
Tak ada jawaban. Andika mengetuknya sekali lagi. Kali ini, ia mengetuk lebih kuat daripada
sebelumnya, hingga kaca jendela yang berada disampinya pun ikut bergetar juga.
Tapi.. Lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya Andika melangkahkan kaki dengan lemas menjauhi
rumah Faisal. “Mungkin Faisal sudah berada di sekolah.” gumam Andika disela kepasrahannya.

“Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin Sal. Aku benar-benar tak bermaksud untuk
mengucapkannya.” Ucap Andika yang masih memandang ke arah bawah, mencoba mencari
sesuatu yang dapat membuat objek perhatiannya.
“Iya, lagian juga aku udah memaafkannya. Tapi, kenapa kamu begitu benci dengan mimpi?
Mimpi itu indah menurutku.” Ucap Faisal yang masih sibuk membolak-balikkan komik yang
dipegangnya erat
“Ya.. Aku juga ga tau. Aku begitu benci terhadap mimpi. Terhadap semua khayalan dan angan-
angan. Aku benci terhadap semua hal yang nggak pasti.”
“Tapi kan, mimpi itu harapan. HIdup perlu harapan bukan?”
“Ya mungkin.. Tapi..”
“Cobalah bermimpi Dik! Aku yakin, hidupmu lebih bewarna dengan semua mimpi-mimpi.” Faisal
masih membujuk Andika.
“Entahlah. Yang penting, aku sebagai sahabatmu. Aku akan mendukung mimpimu, bahwa ibumu
masih hidup.” ucap Andika dengan semangatnya.
“Terima kasih Dik.” Faisal memeluk Andika dengan kasih sayang nya yang begitu tulus sebagai
seorang sahabat.

Jam berdentang sempurna. Mengalunkan kenangan kisah penuh suka duka. Menjabarkan
keindahan yang dibalut rasa persahabatan. Sahabat.. Sahabat itu selalu ada, ketika orang lain
tak ada padamu. Sahabat itu selalu mampu, mendekapmu dalam kesepian, melindungimu dalam
cemoohan dan mengukir indah senyum di bibirmu.
Sahabat itu orang yang selalu kita remehkan tapi sebenarnya kita tak mampu melalui hari tanpa
seorang sahabat. Sahabat itu orang yang selalu mengerti masalah kita tanpa pernah kita ucap.
Ia selalu mengulurkan tangannya di saat kita terjatuh, walau terkadang ego kita mengalahkan
nurani untuk tidak menerima uluran tangannya. Sahabat.. walau tak bisa kita pungkiri, kita sering
melukai sahabat, tapi sahabat tetap mampu mengobati lukanya sendiri dan tidak menunjukkan
pada kita karena ia takut kita merasa bersalah. Itulah Sahabat.
Fajar menampakkan diri. Mengiringi sang raja siang keluar dari peraduannya. Menjatuhkan
embun yang ‘kan membasahi tanaman. Menebar oksigen segar yang siap dihirup jutaan jiwa.
Begitu indah Tuhan menciptakan alam semesta ini, sama indahnya Tuhan menciptakan rasa
saling menghargai, menyayangi dan melindungi dalam suatu kata yang disebut persahabatan.
“Kamu kenapa murung gitu Dik?” tanya Faisal sambil menekuri halaman demi halaman dari
Koran yang masih melekat kuat di tangan kirinya.
“Ngg..” Andika berusaha berucap tapi Faisal lebih dulu memotongnya.
“Andika, lihat!” ucap Faisal sambil memperlihatkan berita yang baru saja ia baca dari korannya.
“Seorang wanita ditemukan selamat dari reruntuhan gempa di Samarinda.” Andika mengeja
berita yang ditunjukkan Faisal.
“Kamu lihat, Dik! Itu pasti ibuku. Ayo kita berangkat kesana.” Faisal langsung menarik tangan
Andika yang masih berusaha mencerna kalimat yang baru saja ia baca.
“Udah.. Ayo!”

Akibat gempa dahsyat yang melanda kota Samarinda 1 minggu yang lalu, rumah sakit ini jadi
penuh sesak. Para kerabat dan sanak keluarga berdatangan mengisi lorong-lorong kosong di
rumah sakit ini. Berharap saudara mereka masih selamat dari gempa itu.
Banyak korban berdatangan silih berganti. Naasnya korban itu tak lagi bernyawa. Hanya duka
dan isak tangis yang menjadi harapan mereka yang masih belum menemukan sang saudara.
Begitu berbeda dengan Faisal. Seorang anak yang masih mengenakan seragam putih abu, yang
begitu percaya dengan kekuatan mimpi.
Mimpi dan terus bermimpi, ibunya kan kembali lagi ke sisinya seperti dulu kala. Dan mimpi itu
menjadi nyata. Ibu dari Faisal menjadi satu-satunya korban gempa yang selamat sampai saat ini.
Hatinya begitu bahagia. Ia semakin percaya pada kekuatan mimpi-mimpinya.
“Ibu.. Aku kangen banget sama ibu.” Faisal memeluk ibunya yang masih berselang infus di
hidungnya.
“Ibu juga kangen sama kamu, nak.” Sang ibu pun melepas rindunya pada anak semata wayang
nya ini.
“Eh.. ada Andika. Makasih ya Dik, selama ini kamu pasti sudah jagain Faisal.”
“Iya sama-sama tante” Hati Andika pun seakan lega juga, walau sebenarnya pilu sedang
menyerang lubuk hatinya.

Suara burung yang bersahut-sahutan mengiringi kepulangan sang raja siang ke Singgasana
nya. Memaparkan cahaya senja dengan degradasi warna sempurna. Daun-daun kecil itu pun
mengatup, seakan tahu, kan datang malam yang begitu temaram.
Tapi.. Dibalik itu semua, linangan air mata tengah menghiasi pipi tirus Andika. Sejak ia melihat
nama ayahnya terpampang sebagai salah satu korban dari kecelakaan pesawat yang jatuh
terbakar di pedalaman hutan Kalimantan, Kristal bening itu tak henti-hentinya mengalir dari
kedua pelipis matanya.
Ia seakan tak percaya akan semua yang telah terjadi padanya. Memang begitu pahit rasanya
untuk menelan berita yang telah memecahkan airmatanya itu.
“Ibu.. Kenapa harus ayah yang menjadi korban? Kenapa ngga aku aja? Kenapa bu?..” ucap
Andika disela isakannya.
“Andika sudah nak. Kita memang hanya bisa berharap dan berdo’a. supaya Tuhan melindungi
ayahmu.” jawab sang Ibu yang berusaha menenangkan hati anaknya yang sedang bergejolak
itu.
Kini isakan Andika semakin keras, hingga air matanya mampu menyapu seluruh wajah nya.
“Kalau aku yang jadi korban disana, pasti ayah akan menolongku. Tapi, kenapa ayah yang harus
jadi korban. Sedangkan aku gak bisa menolong ayah.” Andika masih saja menyalahkan dirinya.
Ia bahkan ingin merubah Takdir yang sudah terlanjur terjadi padanya.

Angin malam menerpa tubuh Andika yang begitu kelelahan karena hampir menangis sepanjang
hari. Wajahnya pun terlihat sembab. Bibirnya terlihat pucat. Seperti tak ada lagi semangat yang
tertanam dalam jiwanya.
“Sudahlah Dik. Jangan menangis lagi.” Faisal berusaha menenangkan hati sahabatnya itu.
“Ya tapi aku gak bisa tenang, Sal. Ayahku itu..” ucap Andika yang terpotong karena isakannya
yang kembali menyeruak dari bibirnya.
“Aku mengerti.” Faisal memeluk Andika. Ia seakan begitu tahu perasaan kalut yang sedang
menerpa hati Andika. Ia pun sengaja berbungkam. Membiarkan sang sohib mengutarakan
semua kegelisahan padanya.
“Andika apa kamu tau, keajaiban yang telah terjadi pada ibuku? Ya! Itu mungkin bisa terjadi
pada ayahmu. Aku sangat percaya pada kekuatan mimpi. Cobalah impikan ayahmu menjadi
seperti yang kamu mau.” Ucap Faisal yang masih membujuk Andika mempunyai mimpi.
“Tapi apa dengan begitu, itu semua kan menjadi nyata?” tanya Andika yang tampaknya kurang
percaya pada ucapan Faisal tadi.
“Setau aku, mimpi itu sebuah harapan. Walaupun mimpi hanya sekedar imajinasi. Tapi hanya itu
yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan.”
Andika masih belum angkat bicara. Mungkin karena ini akan membuatnya menjadi seorang
pemimpi. Ya! Suatu hal yang begitu ia benci dalam hidupnya.
“Ayolah, Dik! Hilangkan ego mu. Bermimpilah. Mimpi itu selalu nyata Dik. Lihat, disana pasti ada
sebuah cahaya harapan yang dapat menuntun kamu mewujudkan inginmu.”
“Ingatkah, bila ‘Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Bebaskan mimpimu di
angkasa, warnai bintang di jiwa.’” ucap Faisal sambil menyanyikan sebuah lirik lagu.
Andika menggangguk pelan. Satu senyuman pun berhasil terukir di wajah Andika. Separuh
semangatnya telah kembali dari diri seorang sahabatnya. Memang benar, Sahabat selalu
mampu mengubah air mata menjadi senyuman!

Andika pun berusaha bermimpi. Jika memang ini kan membuatnya menjadi seorang pemimpi,
tak apalah. Ini demi ayah dan sahabatnya. Harapan pun teruntai dari fikirannya. Merangkainya
menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang ia buat untuk pertama kalinya. Mimpi yang dulu ia begitu
benci, kini ia mampu untuk melakukannya.

“Andika, cepat lihat nak.” Ibu memanggil Andika untuk segera melihat berita yang baru saja ia
baca.
“Ada apa bu?”.
“Ayah.” Andika melihat nama ayahnya yang terpampang jelas sebagai salah satu korban yang
selamat di sisi koran yang ia baca.
“Ibu, ayo kita kesana.” Ucap Andika dengan mata berbinarnya. Hatinya penuh bunga. Ternyata
mimpinya menjadi nyata.

Dengan langkah cepatnya Andika berusaha menemukan nomor ruang yang ditempati ayahnya.
Ia sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan ayahnya.
“Ayah…” Andika menghampiri ayahnya yang sedang terkulai lemah di atas ranjang dengan
selang yang cukup banyak melekat di tubuh ayahnya.
“Ayah, bangun. Ini Andika sama ibu udah dateng.” Ucap Andika yang hampir mengaliri air
matanya lagi.
“An..di..kka” sang Ayah pun sadar. Ia berusaha berucap, walaupun ucapannya masih terbata.
“Ayah.. Andika kangen sama ayah.”
“A..yah ju..g.a ka..nge.n sa..ma. kamu.. na..k” sang Ayah pun memeluk Andika.
“A.ya..h me..nya.yangi..mu nak, ja..ga i..bu da..n adi..k mu ya. Ma..af ay..ah gak bi..sa me.ja..ga
ka..li.an la..gi” ucap sang Ayah sambil berlinang air mata.
“Ayah ngga boleh ngomong gitu. Ayah harus kuat, ayah harus temani aku lagi.”
Ya, saat itu juga sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya dipelukan Andika. Seketika
terbayang harapan yang ia ukir dari mimpinya kemarin
“Ya Tuhan
Izinkan aku untuk memeluk ayahku kembali
Jika memang waktunya telah habis, aku akan ikhlas merelakan kepergiannya dalam pelukanku.”

“Faisal, terima kasih ya, sudah memperkenalkan aku dengan mimpi. Sekarang aku percaya
pada kekuatan mimpi. Mimpi itu benar menjadi nyata, jika kita betul-betul mengingikannya.
Mungkin jika aku memimpikan ayahku akan selalu ada untukku dan selalu berdiri di sampingku
untuk lebih lama lagi, itu mungkin kan jadi kenyataan juga. Sayang, aku hanya memimpikannya
ia hanya memelukku saja.”
Faisal pun tersenyum pada Andika.
“Kini aku siap menjadi seorang pemimpi!” ucap Andika dengan mantapnya.
Ya, kini tak ada lagi keraguan dalam hatinya untuk menjadi seorang pemimpi. Walau pembuktian
itu begitu pahit ia rasakan. Tapi, dirinya telah yakin, untuk menjadi seorang pemimpi sejati.

.........................................................................................................................................................

Sahabat.. Sahabat itu ternyata begitu berpengaruh besar dalam hidup kita. Sahabat bisa
mengubah benci menjadi suka. Sahabat bisa mengubah air mata menjadi tawa. Sahabat pun
bisa mengubah ketidakpastian menjadi kepastian, bahwa ia kan selalu ada disamping kita untuk
meyakinkan apa yang menurutnya benar, melarang apa yang menurutnya itu salah, dan selalu
memberi cahaya dalam kebuntuan, menuntun kita pada sebuah cita-cita yang selalu kita
harapkan.

Anda mungkin juga menyukai