Anda di halaman 1dari 9

RINGKASAN MATERI KULIAH

Kecurangan dalam Akuntansi

Disusun oleh:

Wahyu Kartika Larasati (216020301111012)


Meilenia Rahma Salisa (2146000139)
Etika Profesi dan Tata Kelola Perusahan
GB

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PENDIDIKAN MAGISTER AKUNTANSI

MALANG

2021
Referensi:

Challenging Research for Fraud in Accounting, Organizations and Society

Accounting Scandals, Ethical Dilemmas and Educational Challenges

Dalam perusahaan peran kuntan adalah membantu manajemen dalam menyusun laporan keuangan
dan mengaudit pernyataan-pernyataan dari laporan tersebut. Sebagai akibat wajar dari hal ini, dapat
dikatakan bahwa akuntan memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan yang baik dan
praktik bisnis berkelanjutan yang etis. Pada masa ini semakin dibutuhkan lebih banyak transparansi
dan tata kelola perusahaan serta peningkatan penerapan profesional dan etika praktik oleh bisnis.
Makalah Accounting Scandals, Ethical Dilemmas and Educational Challenges membahas perdebatan
terkait dengan ketidakcukupan kurikulum universitas khususnya yang berkaitan dengan pengaruh
pendidikan etika pada lulusan akuntansi. Peneliti mensurvei siswa untuk memastikan apakah mereka
percaya pendidikan dapat mempengaruhi perilaku etis.

Pendahuluan

Berangkat dari pernyataan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt (1901-1909) “To educate a
person in mind but not in morals is to educate a menace to society”, kita menyadari jika pendidikan
erat kaitannya dengan moral juga etika dalam berprofesi. Tahun 2002 menjadi tahun bersejarah baik
profesi akuntansi dengan runtuhnya tiga perusahaan besar di Amerika yaitu Enron, WorldCom &
Tyco juga kantor akuntan publiknya Arthur Andersen. Adanya temuan terkait tindakan tidak etis yang
dilakukan oleh KAP Arthur bersama dengan tiga perusahaan tersebut menyebabkan munculnya
usulan untuk melakukan reformasi akuntansi, audit dan tata kelola perusahaan. Beberapa akan
berpendapat bahwa ini adalah tanggapan institusional yang khas oleh profesi dan badan otoritatif.
Namun, munculnya peraturan ini selalu dirasa terlambat karena terjadi setelah munculnya suatu
kejadian sedangkan dari lima faktor yang diteliti sebagai penyebab terjadinya kecurangan akuntansi,
faktor pendidikan akuntansi yang kurang cakap hingga menghasilkan lulusan yag tidak mampu dalam
pengambilan keputusann etis pada bisnis yang kompleks;

Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Skandal Akuntansi dan Bisnis

Berbagai skandal keuangan yang dilakukan oleh akuntan telah merusak kepercayaan publik, dan dari
sklandal-skandal tersebut mayoritas berupa pelanggaran kode etik. Beberapa diantaranya seperti
penilaian auditor yang menyesatkan, menyamarkan transaksi, penyalahgunaan kepercayaan, dll.
Beberapa faktor yang mengindikasi terjadinya Kecurangan Akuntansi antara lain:

1. Transparansi Perusahaan

Hal yang biasa terjadi pada kasus fraud memiliki ciri yang umum berupa ketidakberesan dalam
laporan keuangan. Ketika laporan keuangan sendiri tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang
sebenarnya, makan bukan tidak mungkin jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Namun
ada sisi lain dimana ketika eksekutif terlalu ketat dalam membuat peraturan, hal ini dapat berpengaruh
kepada keleluasaan dalam menjalankan oprasional bisnis.

2. Nilai dan Perilaku Perusahaan

“Culture is what determines how people behave when they are not being watched” Tierney (in the
EIU 2002 paper, page 9) Budaya merupakan apa yang menentukan bagaimana orang berperilaku
ketika mereka tidak diawasi, sehingga budaya yang merupakan perilaku yang terbentuk dari aturan-
autran dan sop dari perusahaan berperan penting dalam membentuk perilaku etis pada pekerjanya

3. Money Culture

Uang membuat dunia berputar, seperti yang kita ketahui juga tiap hari selalu terjadi transaksi
perputaran uang untuk manusia dapat memeprtahankan hidupnya. Tanpa uang kita tidak bisa memiliki
sumber daya untuk berkembang dan tumbuh. Tanpa uang, kita tidak bisa memiliki kehidupan yang
nyaman namun sayangnya beberapa dari kita ingin memiliki lebih dari sekedar kehidupan yang
nyaman. Budaya dimana untuk hidup yang nyaman dan terukur dengan uang inilah yang
menyebabkan banyak orang yang tujuan hidupnya adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-
banyaknya. Namun hal tersebut yang membuat potensi fraud muncul, seperti penggunaan uang
perusahaan untuk transaksi pribadi atau penggelapan pajak.

4. Keburukan dari Masyarakat Kapitalis

Peneliti berpendapat di bagian ini bahwa keburukan masyarakat kapitalistiklah yang berkontribusi
terhadap sifat skandal perusahaan dan akuntansi yang tidak pernah berakhir. Kapiralisme ini
merupakan budaya dimana masyakat akan terus menciptakan lebih banyak uang dan kekayaan dari
masyarakat lainnya. Hal ini yang lebih parah dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Kapitalisme ini
selalu menilai segala sesuatu dari sudut pandang materi, sehingga hal inilah yang menyebabkan dapat
munculnya fraud.

5. Legalistic Cuslture

Masyarakat semakin dihadapkan pada budaya legalistik yang ada dalam korporasi yang seolah-olah
mengambil sikap bahwa hukum dapat dimaknai sesuai dengan tujuannya. Ini akan menyiratkan bahwa
perusahaan mengambil legalistik sempit pandangan ketika melakukan bisnis mereka; jika mereka
tidak melanggar hukum, maka tampaknya segala sesuatu yang lain akan "diperebutkan" dalam bisnis,
terlepas dari konsekuensinya terhadap masyarakat.

Hal yang menakutkan untuk dipertimbangkanadalah apakah kita, sebagai pendidik, menyediakan jenis
pendidikan yang mendorong hukum dan lulusan akuntansi untuk mengadopsi sifat buruk kapitalistik
tersebut.
Kurang Memadainya Pendidikan Etika dan Arah Pendidikan Akuntansi

Selain adanya perubahan nilai dan perilaku perusahaan, nyatanya lulusan Akutansiakan dihadapkan
pada berbagai dilema di lingkungan kerja. Dilema inilah yang banyak menyebabkan banyak kesalahan
etis dan intelektual yang membuktikan jika hal ini terkait dengan bagaimana pendidikan akuntansi
gagal dalam mengembangan intelektual dan kedewasaan berfikit etis.

Dalam literasi akuntansi, akuntan memang melayani kapitalisme karena secara fungsi di masyarakat
memang seperti itu. Dalam pembelajarannya, Mcphail (1999) menjelaskan jika akuntansi
berkontribusi dalam lahirnya kapitalisme namun hal ini disertai juga dengan munculnya etika profesi
yang digunakan untuk mendisiplinkan diri. Korten (1998) menyatakan jika sekolah bisnis yang baik
adalah yang dimana lembaga pendidik dapat memberikan visi terbaik dan cerdas juga kesadaran kritis
untuk mengubah ekonomi kapitalis menjadi ekonomi pasar yang demokratis. Seperti yang sudah
dijelaskan sebenarnya akuntan memiliki peran penting dalam masyatakat untuk merupah sistem
keuangan duni dan mengubah cara pandang menyarakat, sehingga perlu adanya pendidikan etika
akutansi yang ditanamkan bukanhanya sekedar pengetahunan namun benar-benar dalam perilaku.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa nilai-nilai kualitas, integritas, transparansi dan akuntabilitas
harus diintegrasikan di seluruh kurikulum.

Penelitian ini menggunakan 2 survey terhadap pelajar, yang pertama dilakukan pada mashasiswa
jurusan akuntansi untuk menganalisis tanggapan mereka ketika dihadapkan pada proposisi yang
meragunkan (sebuah dilema). Survey kedua yaitu mengumpulkan informasi tentang persepsi siswa
tentang pendidikan etika. Pada survey pertama didapatkan hasil yang mengejutkan bahwa nilai-nilai
pribadi individu memainkan peran penting peran yang lebih menonjol daripada kode etik yang
diangkat dalam pendidikan etika sehingga sangat penting untuk menanamkan bagaimana siswa
menganggap diri mereka memiliki nilai yang lebih tinggi dengan adanya standar etika tersebut. Dari
penelitian kedua didapatkan hasil jika dominasi siswa enggan untuk melakukan kursus mengenai etika
karena mereka mengganggap etika lebih ditertanan dan dipengaruhi oleh pendidikan dari keluarga,
masyarakat dan budaya.

Kesimpulan dan Diskusi

Makalah ini mengeksplorasi masalah nilai-nilai dan perilaku perusahaan dalam kaitannya dengan
perusahaan transparansi, budaya uang, keburukan masyarakat kapitalistik dan budaya legalistik yang
berlaku di masyarakat kita dalam upaya untuk memberikan beberapa wawasan tentang mengapa kita
terus memiliki skandal perusahaan dan akuntansi. Seruan untuk reformasi standar akuntansi dan
pelaporan keuangan tidak akan menjawab pertanyaan mendasar tentang mengapa kita terus memiliki
skandal seperti itu. Yang bisa dilakukan adalah mengintegrasikan etika ke dalam proses akuntansi
untuk menunjukkan bagaimana perlakuan teknis yang berbeda mungkin memiliki konsekuensi yang
berbeda yang mungkin menimbulkan konsekuensi etis jangka panjang. Kemampuan untuk
mengintegrasikan etika dengan lancar ke dalam pengajaran akuntansi membutuhkan pemikiran dan
pengembangan keterampilan baru.

FRAUD DALAM AKUNTANSI, ORGANISASI DAN MASYARAKAT: MEMPERLUAS


BATAS PENELITIAN

Kekhawatiran tentang fraud telah menjadi permasalahan signifikan selama ini dan menjadi alasan
yang signifikan untuk pengembangan penelitian fraud (Basu & Waymire, 2006; Ezamel, 2012).
Banyak literatur fraud dimulai dengan kasus akuntansi terkenal (Clikeman, 2009) dan skandal dan
fraud perusahaan (Punch, 1996) yang sering kali membangkitkan minat dan perhatian publik.

Fraud adalah permasalahan yang telah dibahas dari berbagai perspektif. Akan tetapi, sangat
mengejutkan bahwa banyak istilah, konsep, pemahaman, dan perilaku seputar fraud belum dibahas
atau diperiksa dalam literatur akuntansi dan literatur audit. Literatur tersebut menggunakan rentang
perspektif yang terbatas dan mengasumsikan bahwa fraud adalah fenomena objektif; bahwa kita
semua setuju apa itu fraud dimana ada moral yang rusak atau ambiguitas etika tentang sifat dan efek
fraud, dan bahwa hal semacam ini tidak berubah di seluruh ruang dan waktu. Tujuan dari penelitian
ini adalah memperluas jangkauan perspektif yang digunakan untuk memahami fraud dan memeriksa
perilaku dan praktik yang biasanya kurang diteliti dalam akuntansi.

Pendekatan penelitian untuk memperluas perspektif adalah dengan memanfaatkan beragam disiplin
ilmu yang telah membahas masalah fraud dalam organisasi dan masyarakat. Dalam penelitian ini
kami menekankan tiga topik: pentingnya mengkontekstualisasikan fraud, konstruksi sosial dari fraud,
dan keterlibatan tingkatan manajemen dalam fraud.

Topik pertama penelitian yaitu mengontekstualisasikan fraud, menyarankan bahwa fraud perlu
dipahami secara sosial, hukum, politik dan ekonomi, serta bagaimana masyarakat berperan dalam
pengambilan risiko, mensosialisasikan efek dari fraud, dan mendorong untuk mengikuti aturan. Apa
yang dilihat sebagai fraud atau korupsi cenderung bervariasi di setiap perspektif.

Topik kedua penelitian adalah batas dan hubungan sosial dari fraud. Misalnya, kontroversi baru-baru
ini yang melibatkan perusahaan multinasional seperti Google, Amazon, dan Starbucks penghindaran
pajak. Hal ini masih dipertanyakan apakah perlu diperlakukan sebagai hal yang tidak etis, criminal,
atau memang rasional. Sebuah pendekatan penting dalam kriminologi meneliti pelabelan
penyimpangan, sehingga kegiatan tertentu dianggap kriminal sedangkan lainnya dianggap non
kriminal. Becker (1963) menyatakan bahwa fraud dibangun secara sosial dan bagaimana aturan
diikuti adalah pertanyaan penelitian yang penting.
Topik ketiga adalah bahwa fraud terjadi di beberapa tingkatan manajemen. Masalah fraud tidak hanya
mencakup kejadian kegiatan yang secara hukum didefinisikan sebagai fraud, tetapi juga mencakup
aturan dan hukum yang mendefinisikan fraud dengan cara tertentu dalam konteks yang berbeda.
Misalnya, apa yang mungkin dianggap sebagai perilaku tidak etis (tetapi biasanya dianggap di luar
definisi hukum dari fraud).

Meneliti Fraud dan Pelanggaran

Pengambilan Keputusan

Pandangan fraud yang paling dominan menekankan bahwa tindakan fraud dapat menjadi hasil dari
proses pengambilan keputusan. Biasanya, hal ini mengasumsikan bahwa pelaku memulai fraud ketika
mereka menyimpulkan bahwa manfaatnya lebih besar daripada biayanya. Terdapat tiga teori dalam
pengambilan keputusan. Pertama, teori pilihan rasional dipengaruhi tingkat risiko, Teori kedua adalah
teori keputusan perilaku yang melemahkan asumsi rasionalitas. Misalnya, studi tentang pengambilan
keputusan etis sering kali berfokus pada bagaimana atribut individu (usia, pelatihan, jenis kelamin,
dll.) memengaruhi cara seseorang dalam menentukan apa yang secara konvensional dipahami sebagai
perilaku tidak etis. Teori ketiga adalah model pengambilan keputusan garbage can (Cohen, March, &
Olsen, 1972; Macht & Olsen, 1976). Hal ini berfokus pada apa yang dapat digambarkan sebagai fraud
merupakan hasil dari tidak membuat keputusan secara sadar dan cenderung menekankan peran
impulsif, kesalahan, dan rutinitas dan struktur organisasi dalam penciptaan fraud. Hal ini
mengasumsikan bahwa tindakan fraud bisa disengaja, tidak disengaja, atau berdasarkan kompleksitas
situasi teknis. Sejauh yang telah diketahui, hanya ada sedikit pengakuan tentang kemungkinan fraud
yang tidak disengaja dalam literatur akuntansi dan audit. Peran audit dalam pencegahan dan deteksi
fraud adalah bidang utama penelitian akuntansi tentang fraud yang memiliki fokus pengambilan
keputusan. Hal ini terutama berfokus pada bagaimana memengaruhi keputusan penipu potensial untuk
tidak melakukan fraud atau dalam membantu auditor dalam mengambil keputusan untuk bertindak
berdasarkan potensi kecurangan.

Setelah skandal Enron dan WorldCom, badan audit profesional merevisi aturan mereka mengenai
tanggung jawab auditor untuk mendeteksi kecurangan (AICPA, 2002; IFAC, 2006), dan
mengkonseptualisasikan fraud akuntansi berdasarkan model pengambilan keputusan individu yang
menekankan tiga elemen: kesempatan, insentif, dan rasionalisasi. Model ini dikenal sebagai fraud
triangle. Model ini secara signifikan mempengaruhi tidak hanya literatur profesional tetapi juga dunia
pengajaran dan penelitian.

Waktu

Ilmu sosial telah mengakui waktu sebagai dimensi penting kehidupan. Seperti yang ditunjukkan
Ezzamel dan Robson (1995), ada banyak konseptualisasi waktu, termasuk tampilan waktu yang paling
umum sebagai linier (waktu jam) maupun tampilan yang menekankan urutan peristiwa. Jadi, pada
dasarnya, fraud bisa dipahami baik sebagai fenomena satu kali atau sebagai proses di mana tindakan
dan keputusan berkembang dari waktu ke waktu. Banyak studi kasus fraud memiliki elemen sejarah
yang kuat. Ide pengorganisasian di balik penelitian historis tentang fraud adalah pengembangan
metode dan eskalasi dari upaya dari waktu ke waktu. Jones (2011) dan Clikeman (2009)
mendokumentasikan beragam fraud perusahaan dan skandal yang terkait dengan manipulasi akuntansi
di banyak negara dan sepanjang sejarah.

Konteks

Meskipun banyak pendekatan akuntansi fraud dalam perusahaan, terdapat kekhawatiran untuk
menemukan fraud dalam lingkungan sosial, ekonomi, etika, dan politik. Hal ini berarti bahwa
moralitas dan fraud tidak bersifat pribadi atau universal, tetapi terletak dalam konteks sosial dan
sejarah tertentu. Konteks telah dikonseptualisasikan dalam banyak cara, misalnya sebagai sistem,
budaya, institusi, dan struktur kekuasaan. Salah satu pendekatan adalah dengan mempertimbangkan
struktur administrasi yang meliputi organisasi dan pemerintah. Model ekonomi organisasi dan
pemerintah memberikan penekanan khusus pada tata kelola dan sistem pemantauan. Pendekatan
budaya terhadap konteks fraud mengasumsikan bahwa pelaku memiliki asumsi, norma, nilai, dan
keyakinan yang sama dengan yang lain. Pendekatan budaya dapat diperluas untuk
mempertimbangkan konteks dalam hal bidang ide, tradisi, kebiasaan, dan praktik yang diterima begitu
saja. Untuk lingkup nasional, konteks juga sering dipahami sebagai budaya nasional atau kesukuan.
Konteks juga dapat dipahami dari segi kekuasaan dimana ada banyak versi dan konsep kekuasaan dari
menyamakan kekuasaan dengan otoritas untuk mempelajari pluralisme dan ideologi (Lukes, 2005).

Efek

Selain efek yang jelas seperti hukuman pidana dan perdata, efek fraudsetelah terdeteksi menimbulkan
anksi ekonomi dan sosial (stigma). Jonson, Greve, dan Fujiwara-Greve (2009) menunjukkan bahwa
organisasi yang diasosiasikan dengan pelaku fraud yang terstigmatisasi itu akan mendapatkan stigma
juga. Meskipun ada banyak pemeriksaan tentang efek fraud, peneliti menyoroti dua efek yang
menonjol dalam literatur akuntansi dan memiliki implikasi untuk penilaian praktik akuntansi
perusahaan.

Efek pertama yang menonjol adalah reaksi pasar saham terhadap berbagai bentuk manipulasi laba
atau fraud oleh perusahaan. Feroz dkk. (1991) dan Dechow dkk. (1996) memeriksa reaksi pasar
saham terhadap berita investigasi fraud. Perusahaan mengalami penurunan saham sebesar 16,7%
dalam 2 hari setelah berita dipublikasi.

Efek kedua dari penelitian terkait penelitian fraud adalah mengenai efek penelitian korupsi. Banyak
dorongan awal untuk menganalisis korupsi muncul dari perusahaan multinasional. Penelitian ini
menyoroti bahwa fraud dan korupsi beroperasi di banyak tingkat individu, keluarga, perusahaan dan
pemerintah. Pandangan yang lebih radikal tentang korupsi (Everett, Neu, & Rahaman, 2007)
mengidentifikasinya sebagai seperangkat ide, program, dan teknologi yang mempengaruhi kelompok
yang dirugikan seperti masyarakat adat, masyarakat miskin, dan wanita. Hal ini berfokus pada
keterlibatan perusahaan, elit adat, dan badan-badan internasional sendiri dalam proses korupsi yang
menempatkan korupsi di dalam sejarah penjajahan, globalisasi, dan marginalisasi. Transparansi dan
akuntabilitas dipandang sebagai ide dan praktik netral yang akan memerangi korupsi dan praktik tidak
etis.

Fraudusi dalam Isu Khusus

Braithwaite memberi contoh analisis sosial-hukum fraud dalam konteks kapitalisme peraturan.
Ilustrasinya berfokus pada kepatuhan dan penghindaran pajak. Penelitian ini mengutip bukti empiris
yang menunjukkan bahwa sebagian besar pembayar pajak menginginkan penasihat pajak yang jujur,
tidak rewel, tetapi ada juga permintaan untuk skema penghindaran pajak agresif yang dapat kemudian
berkembang pesat dalam kondisi tertentu.

Davis dan Pesch mengembangkan model penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman
dan memberikan wawasan tentang efek dari berbagai intervensi pada fraud. Dengan demikian, tujuan
pemodelan mereka adalah untuk mengidentifikasi seperangkat asumsi yang cukup untuk menganalisis
perusahaan yang mengalami fraud. Dalam kesimpulan mereka, Davis dan Pesch menunjukkan bahwa
penting untuk memperluas model mereka untuk juga mempertimbangkan interaksi berbagai
mekanisme (poin yang juga ditekankan dalam temuan Schnatterly (2003)).

Gabbioneta dkk. menawarkan analisis institusional yang pada dasarnya menyoroti keterbatasan model
fraud triangle. Mereka menekankan bagaimana pengaturan kelembagaan dapat menjadi kaki tangan
untuk ilegalitas perusahaan. Sebuah konsep kelembagaan yang signifikan bahwa penelitian
berkembang dan berfokus pada status dan jabatan tinggi organisasi yang berpengaruh. Menggunakan
kumpulan data dokumen yang luas, termasuk cerita media, dengar pendapat, dan laporan pengadilan,
Gabbioneta et al. mendokumentasikan tidak hanya bagaimana petinggi bertindak curang, tetapi
bagaimana petinggi menggunakan koneksinya untuk melakukan fraud. Penelitian ini dengan hati-hati
mendokumentasikan bagaimana jurnalis dan analis keuangan beroperasi dalam jaringan fraud.

Berbeda dengan kepercayaan umum bahwa akuntansi dan audit dapat membantu dan mengidentifikasi
fraud, Neu et al. menyoroti peran akuntansi dalam memungkinkan fraud dankorupsi. Penelitian ini
membahas mekanisme fraud, sistematika pencatatan dan pengendalian internal yang dengan demikian
dapat dilihat sebagai pendekatan pasca strukturalis untuk fraud. Power juga menawarkan skema yang
berpotensi untuk memahami risiko fraud, dengan klasifikasi yang berfokus pada praktik berorientasi
masa depan yang sesuai. Skemanya tidak hanya menyoroti keragaman risiko fraud tetapi juga
bagaimana fraud bergerak dari manajerial, regulasi pada deteksi, hingga penekanan pada pencegahan
fraud. Lebih khusus lagi, dengan mempertimbangkan konsekuensi dari risiko fraud, penelitian ini
mengidentifikasi praktik yang muncul dalam organisasi.

William mengeksplorasi masalah yang juga dibahas dalam penelitian Power, yaitu pentingnya
memperhatikan mekanisme teknologi yang digunakan untuk mengidentifikasi fraud dan
risiko.Williams menggunakan studi konstruktif yang berfokus pada alat dan instrumen analitis
berbasis komputer yang digunakan oleh lembaga keuangan Kanada. Penelitian ini membahas
bagaimana alat IT menjadi agen dalam proses regulasi itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai