A. PENDAHULUAN
Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi dalam neurology dan menjadi masalah kesehatan oleh karena
penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif.
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun
pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan
trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma
dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun
dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50%
kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor
menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya,
75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanent” (York, 2000). Sedangkan menurut Brunner &
Suddarth (2000), trauma capitis adalah “gangguan traumatic yang menyebabkan
gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak
mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu
jaringan otak”
Manajemen trama kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas hidup
yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya yang mayoritas berusia
muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk pengembangan karirnya.
1
B. DEFINISI
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai
gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black,
1997) Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara Langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi, 2003) Cedera kepala adalah cedera yang
Menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan
jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan. (Lukman, 1993)
C. ETIOLOGI
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala
melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.
2
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada :
1. Lokasi
2. Kekuatan
3. Fraktur infeksi/ kompresi
4. Rotasi
5. Delarasi dan deselarasi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula
dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang
dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 %
dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
3
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium
dan ventrikel, takikardia.
4
E. KLASIFIKASI
5
- Lesi kerusakan vaskuler otak
- Lesi fokal
i. Kontusio dan laserasi cerebri
ii. Hematom intrakranial
1. hematom ekstradural
2. hematom subdural
3. hematom intraparenkimal
- hematom sub arachnoid
- hematom intraserebral
- hematom intrserbellar
3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale)
Catatan:
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di unit gawat darurat
2. Jika abnormalitas Ct-Scan berupa perdarahan intrakranial penderita dimasukkan
klasifikasi trauma kapitis berat.
Tipe-Tipe Trauma :
The Traumatic Coma Data Bank mendefinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4):
6
Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia
pasca trauma yang di bagi menjadi :
7
Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme,
keparahan dan morfologi cidera.
1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah,
kulit kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya
infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di
sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan
dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup.
Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
3. Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan
hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena
8
darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak
dapat mengalami regenerasi.
4. Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam
waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio
dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang
berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu
dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan
kerja.
5. Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami
memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari,
pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal,
kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
6. Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah
kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali
lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan
herniasi otak serta peningkatan TIK.
7. Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala,
darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura.
Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal
tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini
menyebabkan penekanan pada otak.
8. Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura
dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub
dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah
yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d
hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi.
Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di
curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala.
Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi
paling sering pada lansia.
9
9. Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke
dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana
tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak;
cidera kumpil).
F. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama ( Hoffman,
dkk, 1996):
HEMATOMA EPIDURAL
Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematom massif, akibat
pecahnya arteri meningea media atau sinus venosus.
10
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal
Penunjang diagnosis:
CT Scan Otak : gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan dura,
umumnya di daerah temporal, dan tampak bikonveks
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arachnoid, akibat rusaknya ‘bridging vein’
(vena jembatan)
Jenis :
1. Akut : interval lucid 0-5 hari
2. Subakut : interval lucid 5 hari-beberapa minggu
3. Kronik : interval lucid > 3 bulan
11
HEMATOM INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono
atau multiple
Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan cerebrospinal secara sederhana dengan tes halo
- Scanning otak resolusi tinggi dengan irisan 3 mm (50% +) (high
resolution and thin section)
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)
Gejala dan tanda klinis :
- Koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)
- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi
Penunjang diagnostik :
CT Scan otak
- Awal-normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
- Ulangan setelah 24 jam-edema otak luas
12
PERDARAHAN SUBARACHNOID
Gejala dan tanda klinis :
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik :
- CT Scan otak : perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
- Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval
lucid
- Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
- Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
- Linier
- Impresi
- Terbuka/tertutup
5. CT Scan Otak: Untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa
- Gambaran kontusio
- Gambaran edema otak
- Gambaran perdarahan (hiperdens)
- Hematoma epidural
- Hematoma subdural
- Perdarahan Subarachnoid
- Hematom intraserebral
6. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
13
7. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
8. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
9. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
10. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
11. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
12. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
13. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
14. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
15. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
16. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
H. KOMPLIKASI
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
14
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak → gejala pernapasan abnormal :
Chyne stokes
Hiperventilasi
Apneu
2. Sistem Kardiovaskuler
15
Trauma kepala → perubahn fungsi jantung : kontraksi, edema paru,
tekanan vaskuler.
Perubahan saraf otonom pada fungsi ventrikel : Disritmia, Fibrilasi,
Takikardia.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis → terjadi penurunan
kontraktilitas ventrikel → curah jantung menurun → meningkatklan
thanan ventrikel kiri → edema paru.
3. Sistem Metabolisme
16
17
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera
otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis
atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan
nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner,
2000).
Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi
yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai kemungkinan
adanya fraktur tulang leher)
18
- B = Breathing (pernafasan)
Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada kanan dan kiri (simetris).
Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada
sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-paru). Bila
perlu, berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2>92%.
- C = Circulation (sirkulasi)
Pasang sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat. Hindari cairan hipotonus. Bila perlu berikan vasopresor dan inotropik.
Penatalaksanaan lainnya:
19
7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan.
Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa
5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.
1. dukungan ventilasi.
2. Pencegahan kejang.
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
4. Terapi anti konvulsan.
5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
6. Pemasangan selang nasogastrik.
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat; kebiasaan merokok, riwayat peminum
alkohol, kesibukan, olah raga.
2. Pola nutrisi dan metabolisme; makan teratur, minum perhari, kesulitan menelan,
diet khusus, BB, postur tubuh, tinggi badan.
3. Pola eliminasi; BAB dengan jumlah feses, warna feses dan khas, BAK dengan
jumlah urine, warna urine dengan kejernihan, pada eliminasi alvi, relative tidak
ada gangguan buang air.
4. Pola tidur dan istirahat; kebiasaan sehari-hari tidur dengan suasana tenang
20
5. Pola aktivitas dan latihan; aktivitas sehari-hari bekerja
6. Pola hubungan dan peran; hubungan dengan orang lain dan keluarga, kooperatif
dengan sesamanya.
7. Pola sensori dan kognitif; mampu melihat dan mendengar serta meraba,
disorientasi, reflek.
8. Pola persepsi dan konsep diri; melakukan kebiasaan bekerja terlalu keras, senang
ngobrol dan berkumpul.
9. Pola seksual dan reproduksi
10. Pola mekanisme/pola penanggulangan stres dan koping; keluhan tentang
penyakit.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan; adnya perubahan status kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh.
12. Personal higiene; kebiasaan mandi/hari, gosok gigi/hari, dan cuci rambut/minggu.
13. Ketergantungan; ketergantungan terhadap orang lain terutama keluarga.
14. Aspek psikologis; cemas akan penyakit, merasa terasing,dan sedikit stres.
15. Aspek sosial/interaksi; hubungan antar keluarga, teman kerja, maupun masyarakat
disekitar tempat tinggal.
16. Aspek spiritual; ajaran agama, dijalankan setiap saat, mengukui kegiatan agama,
pemenuhan kebutuhan spiritualnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius.. Jakarta
PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Traum Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta : CV Prikarsa Utama.
22