Anda di halaman 1dari 26

1

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH


DALAM PERBANKAN SYARIAH
SESUAI DENGAN PRINSIP EKONOMI SYARIAH

Oleh:
Dr. M. Sudirman, SH, MH, SpN, MKn1

ASPEK LEGAL DAN PELATIHAN AKAD PERBANKAN SYARIAH


Pengurus Wilayah Kalimantan Timur Ikatan Notaris Indonesia
Hotel Grand Tjokro Balikpapan, Kalimantan Timur
Tanggal 29-30 Agustus 2017

1
Penulis adalah Notaris, PPAT, Pejabat Lelang Kelas II, Kota Administrasi Jakarta Barat, Provinsi
DKI Jakarta, Dosen, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) dan Pengurus Pusat Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PP IPPAT), disampaikan pada acara Aspek Legal dan Pelatihan Akad Perbankan
Syariah, Pengurus Wilayah Kalimantan Timur Ikatan Notaris Indonesia, bertempat di Hotel Grand Tjokro
Balikpapan, Kalimantan Timur pada tanggal 29-30 Agustus 2017.
2

BAB I
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DALAM
PERBANKAN SYARIAH SESUAI DENGAN PRINSIP SYARIAH

I.1. PRINSIP SYARIAH


Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang
tidak mengandung unsur:
a.Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan
(fadhl) atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah
Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
b.Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan;
c.Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur
lain dalam syariah;
d.Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e.Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
(Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah).

I.2. EKONOMI SYARIAH


Islam adalah agama rahmat yaitu menyediakan jalan melalui ajaran dan syariatnya
agar manusia dapat memperoleh kedamaian, keselamatan, kesucian dan kebahagiaan
dunia-akhirat, kita menyadari bahwa jalan ini yang terbaik dan harus ditempuh, tetapi
godaan dan ajakan selalu menghadang dan di dunia yang kita huni saat ini telah
menyediakan jalan ke surga sekaligus juga ke neraka, tinggal menetukan pilihan. Kita
3

harus sadar bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi atau kewajiban yang tidak boleh
dielakan sesudah memilih. Kita telah menentukan pilihan menjadi orang-orang beriman,
maka konsekuensinya adalah memenuhi kewajiban kita sebagai orang beriman. Ini
adalah salah satu keharusan (it must) bukan alternatif (opsional). (Thohir Luth, 2011).
Kita hidup dalam era welfare state, saat pelayanan masyarakat menjadi tugas
utama pemerintah atau negara. Pada era ini, pemerintah dibutuhkan aktif mengurus
berbagai kepentingan warga negaranya. Sebagai negara hukum, maka perbuatan
mengatur dan mengurus harus berdasarkan hukum, namun, jika undang-undang belum
mengatur, sementara ada urusan teknis yang belum ada aturan hukumnya, maka urusan
publik bisa terbengkalai. Kebutuhan bertindak cepat tersebut memerlukan discrestionary
power atau freis ermessen. (Moh. Fadli, 2011).
Ekonomi Syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari'ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. Asuransi syari'ah;
d. Reasuransi syari'ah;
e. Reksa dana syari'ah;
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. Sekuritas syari'ah;
h. Pembiayaan syari'ah;
i. Pegadaian syari'ah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. Bisnis syari'ah. (Penjelasan Pasal 49 Huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama).
4

I.3. ASPEK PENYELESAIAN SENGKETA


Aspek penyelesaian sengketa dalam transaksi keuangan pada perbankan syariah
merupakan hal yang penting. Hal ini mengingat dalam setiap hubungan bisnis terkadang
tidak dapat dihindarkan terjadinya sengketa diantara para pihak yang berawal dengan
adaya rasa tidak puas salah satu pihak atau terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak.
Penyelesaian sengketa keperdataan, termasuk didalamnya sengketa yang terjadi antara
pihak bank syariah dengan nasabah masuk dalam ranah hukum perjanjian. Untuk itu,
maka asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang merupakan asas utama
dalam hukum perjanjian berlaku dalam hal ini. Kebebasan berkontrak mengandung arti
bahwa para pihak bebas untuk menentukan isi perjanjian, bentuk perjanjian dan
mekanisme penyelesaian sengketa. (Abdul Ghofur Anshori, 2013).
Ada kemungkinan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah,
terjadinya keadaan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam kehidupan
dunia ekonomi harus diantisipasi dengan cermat. (Muhammad Sfayi’i Antonio, 2013).
Penyelesaian sengketa perdata mengenal dua bentuk penyelesaian, yaitu
penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian di pengadilan (litigasi).
(Oyo Sunaryo Mukhlas, 2011).
Islam membolehkan menempuh segala sarana yang dapat mengantarkan pada
penyelesaian sengketa dan perwujudan kedamaian selama tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah syar’i dan dipastikan dapat menciptakan maslahat bagi umat manusia
secara umum dan kaum muslimin khususnya, disamping itu Islam menggalakan upaya-
upaya preventif bagi segala yang dapat menjadi sumber sengketa, baik dalam skala
individu maupun internasional. (Muhammad Ashri & Rapung Samudin, 2013).
Perbedaan kepentingan diantara dua pihak atau lebih dalam perbankan syariah
yang mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pihak atau pihak-pihak tertentu dan
perbedaan kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada pihak yang dianggap
menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak lain dan pihak lain tersebut memberikan
pendapat yang berbeda. (Adrian Sutendi (2009).
5

Bank syariah dalam memberikan pembiayaan berharap bahwa pembiayaan tersebut


berjalan dengan lancar, nasabah mematuhi apa yang telah disepakati dalam perjanjian dan
membayar lunas bilamana jatuh tempo, akan tetapi bisa terjadi dalam jangka waktu
pembiayaan nasabah mengalami kesulitan dalam pembayaran yang bersifat kerugian bagi
bank syariah. (Trisadini Prasastinah Usanti, 2005).
Kewajiban memenuhi prestasi harus dipenuhi oleh debitur sehingga jika debitur tidak
memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian, maka
dikatakan debitur telah melakukan wanprestasi. Ada empat keadaan dikatakan
wanprestasi:
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Debitur memenuhi prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
3. Debitur terlambat memenuhi prestasi.
4. Debitur melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. (Trisadini
P. Usanti & Abd. Shomad, 2013).
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para pihak ketika terjadi sengketa:
a. Kembali pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya. Ada klausula pilihan
hukum (choice of law) dan pilihan forum/lembaga penyelesaian sengketa (choice of
forum).
b. Para piha kembali duduk bersama untuk fokus terhadap masalah yang
dipersengketakan.
c. Mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan.
d. Pengadilan solusi terakhir jika diperlukan. (Abdul Ghofur Anshori, 2009).

I.4. DASAR HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT HUKUM


SYARIAH.
Bersumber pada:
a. Al-Quran
b. Al-Hadits atau As-Sunnah
6

c. Ijma
d. Qiyas

Berikut ini adalah ketentuan syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah:

Musyawarah Mediasi/Perdamaian Arbitrase Pengadilan


(Al-Sulh/Ishlah) (Tahkim) (Qadha)

QS Ali Imran (3) QS An-Nisa (4) ayat QS An-Nisa (4) QS Al-Baqarah (2)
ayat (159) (59) ayat (35) ayat (213)
QS Ash-Shuraa QS An-Nisa (4) ayat HR Ahmad, Abu QS Ali Imran (3)
(42) ayat (38) (114) Daud dan An- ayat (23)
Nasa’i
QS An-Nisa (4) ayat HR Abu Hanafiah QS Al-Maidah (5)
(128) ayat (47-50)
QS Al-Hujarat (49) HR Bukhari QS Al-An’am (6)
ayat (9-10) Muslim dari Abu ayat (57)
Hurairah ra.
HR. Tirmidzi, Ibnu Ijma Sahabat HR Baihaqi dan
Majah, Al-Hakim dan Tabrani
Ibnu Hibban

I.5.SUMBER HUKUM MATERIL DALAM MENGADILI PERKARA EKONOMI


SYARIAH
a. Isi Perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
b. Peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah.
c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah.
7

d. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).


e. Yurisprudensi
f. Doktrin.

I.6.SUMBER HUKUM SIYASAH SYARIAH (HUKUM POSITIF YANG


BERLAKU DI INDONESIA)
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867. (UU Perbankan
Syariah).
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. (UU Arbitrase).
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358 (UU Kekuasaan
Kehakiman, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku).
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076 (UU Kekuasaan
Kehakiman).
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 3327,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327 (UU Peradilan
Umum, dirubah sebagian).
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia (UU Peradilan Umum, dirubah sebagian).
8

g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077 (UU Peradilan Umum).
h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316 (UU Mahkamah Agung,
dirubah sebagian).
i. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia (UU Mahkamah Agung, dirubah
sebagian).
j. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958 (UU Mahkamah Agung).
k. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
Perubahan Kedua yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama. (UU Peradilan Agama).
l. Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.Kep-
09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003 tentang BASYARNAS.
(BASYARNAS)
m. Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia).
n. Peraturan Bank Indonesia Nomor.10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor.8/5/PBI/2006.
9

o. Peraturan Bank Indonesia Nomor.13/9/PBI/2011 tentang Perubahan Atas


Peraturan Bank Indonesia Nomor.10/18/PBI/2008 tentang restrukturisasi
pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah.
p. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288 (UU Advokat)
q. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. (Prosedur Mediasi)
r. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan. (Prosedur Mediasi)
s. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan. (Lembaga Paksa Badan).
t. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES).
u. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4443.
v. Peraturan Lelang (vide Vendu Reglement, Vendu Instructie, Peraturan Menteri
Keungan dan peraturan terkait lainnya).
10

BAB II
BENTUK PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH
(DALAM PERBANKAN SYARIAH)

➢ MEDIASI ATAU PERDAMAIAN (AL-SULH/ISHLAH)


➢ ARBITRASE (TAHKIM) DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA/APS (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION/ADR).
➢ KEKUASAAN KEHAKIMAN/PENGADILAN (WILAYAT AL-QADLA)
➢ HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH.
➢ KEPAILITAN & PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(PKPU)
➢ LELANG

II.1 PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM PERBANKAN


SYARIAH) MELALUI PERDAMAIAN (AL-SULH/ISHLAH)
a. Rukun Perdamaian
1. Ijab (offering)
2. Qabul (acceptance)
3. Lafadz (kata/materi)
b. Syarat:
1. Subjek
2. Objek
c. Persoalan yang boleh didamaikan.
d. Pelaksanaan perdamaian.
e. Penerapan Teknik Negosiasi:
a. Isu-isu kunci dalam perancangan proses
b. Pranegosiasi
11

c. Faktor-faktor yang menguntungkan untuk bernegosiasi


d. Lokasi dan tingkatan negosiasi
e. Persiapan sebelum memasuki negosiasi
f. Prinsip negosiasi
g. Strategi dan gaya negosiasi
- Strategi dasar negosiasi (strategi bersaing, strategi berkompromi, strategi
kerjasama atau penyelesaian masalah)
- Gaya bernegosiasi
h. Bentuk negosiasi
i. Aturan-aturan dasar negosiasi
j. Teknik bernegosiasi
k. Tahapan-tahapan negosiasi
- Persiapan
- Membangun strategi
- Pembuatan keputusan dan pemecahan masalah
- Implementasi kesepakatan. (Rachmad Safa’at, 2016)

II.2. PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM


PERBANKAN SYARIAH) MELALUI ARBITRASE (TAHKIM) DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA/APS (ALTERNATIVE DISPUTE
RESOLUTION/ADR).
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum
publik.
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
12

sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal termohon.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase.
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa.
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
(Pasal 1 UU Arbitrase).
13

BENTUK ARBITRASE:
a. Arbitrase Ad-hoc atau arbitrase sukarela (volunteer), dipilih sendiri oleh orang
perseorangan.
b. Arbitrase Institusional (lembaga arbitrase), bersifat tetap dan permanen.
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia)
KLAUSUL ARBITRASE:
a. Pactum de Compromittendo (PC).
Kesepakatan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
dilakukan sebelum timbul sengketa.
b. Acta Compromis (AC).
Kesepakatan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
dilakukan setelah timbul sengketa.
ARBITER
WEWENANG (YURISDIKSI)
PROSES PENANGANAN PERKARA DI BASYARNAS
a. Pendaftaran Arbitrase
b. Penetapan Arbiter dan Proses Beracara
c. Proses Beracara
d. Eksekusi putusan Basyarnas
e. Pembatalan Putusan Basyarnas
KELEBIHAN LEMBAGA ARBITRASE
ORGANISASI BASYARNAS
a. BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia)
b. BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)
14

II.3. PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM


PERBANKAN SYARIAH) MELALUI KEKUASAAN
KEHAKIMAN/PENGADILAN (WILAYAT AL-QADLA)
a. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah merupakan
Yurisdiksi/Kewenangan Pengadilan Agama
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq;
shadaqah; dan ekonomi syari'ah. (Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama).
b. Hukum Formil yang digunakan dalam Proses Beracara di Pengadilan
Agama
- Dasar hukum acara sengketa ekonomi syariah
- Eksekusi putusan pengadilan agama
- Pelaksanaan putusan badan arbitrase
- Eksekusi jaminan atau parate eksekusi
c. Pengadilan Agama Wajib Menyelesaikan Sengketa yang berada dalam
Kewenangannya
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan
"antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan din dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini. (Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan
Agama).
d. Hukum Materil yang dipergunakan di Peradilan Agama
e. Sengketa Bisnis antara Orang-Orang Islam dan Non Muslim
Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
15

dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi


kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. (Penjelasan
asal 49 Undang-Undang Peradilan Agama).
f. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
g. Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari'ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16

16. Pencabutan kekuasaan wali;


17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
wari dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
17

Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok
orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari'ah.

Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "shodaqoh" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan
sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho
Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
18

Huruf i
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari'ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. Asuransi syari'ah;
d. Reasuransi syari'ah;
e. Reksa dana syari'ah;
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. Sekuritas syari'ah;
h. Pembiayaan syari'ah;
i. Pegadaian syari'ah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. Bisnis syari'ah.

II.4. PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM


PERBANKAN SYARIAH) MELALUI HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
a. Hapus buku
b. Hapus tagih
Hapus buku adalah tindakan administrative bank untuk menghapus buku
pembiayaan yang memiliki kualitas macet di neraca sebasar kewajiban nasabah, tanpa
menghapus hak tagih bank kepada nasabah.
Hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak
dapat diselesaiakan dalam arti kewajiban nasabah ddihapuskan tidak tertagih kembali.
Hapus buku dan hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap pembiayaan yang
memiliki kualitas macet. Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian
pembiayaan (partial write off), sedangkan hapus tagih dapat dilakukan baik untuk
19

sebagian atau seluruh pembiayaan. Hapus tagih terhadap sebagian pembiayaan hanya
dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi pembiayaan atau dalam rangka
penyelesaian pembiayaan. Hapus buku dan hapus tagih dapat dilakukan setelah bank
syariah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali aktiva produktif yang
diberikan. (Trisadini P. Usanti & Abd. Shomad, 2013).

II.5. PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM


PERBANKAN SYARIAH) MELALUI KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
Vide UU Kepailitan dan PKPU dan peraturan terkait lainnya. (akan dibahas lebih lanjut).

II.6. PENYELESAIAN SEGKETA EKONOMI SYARIAH (DALAM


PERBANKAN SYARIAH) MELALUI LELANG.
Ketentuan Lelang (Vendu Reglement, Vendu Instructie, Peraturan Menteri Keuangan dan
ketentuan terkait lainnya). (akan dibahas lebih lanjut).
20

BAB III
KESIMPULAN

1. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya dalam Perbankan Syariah dapat


dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Mediasi atau Perdamaian (Al-Sulh/Ishlah) termasuk Negosiasi; atau
b) Arbitrase (Tahkim) dan Alternatif Penyelesaian Sengketa/APS (Alternative
Dispute Resolution/ADR); atau
c) Kekuasaan Kehakiman/Pengadilan (Wilayat Al-Qadla); atau;
d) Kepailitan dan PKPU
e) Lelang
f) Hapus Buku dan Hapus Tagih.
g) Lainnya (terkait dengan Bank Syariah)
2. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya dalam Perbankan Syariah harus
sesuai dengan Prinsip Syariah sesuai dengan Al-Quran, Al-Hadits atau As-Sunnah,
Ijma, Qiyas dan sesuai dengan Siyasah Syariah (Hukum Positif yang berlaku di
Indonesia).
3. Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha
yang tidak mengandung unsur: a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah
(batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima
melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. maisir, yaitu
transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat
untung-untungan; c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki,
tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. haram, yaitu transaksi yang objeknya
dilarang dalam syariah; atau e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan
21

ketidakadilan bagi pihak lainnya. (Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan


Syariah).
22

REFERENSI:

BUKU-BUKU:
i. Al-Qur’an
ii. Tafsir Al-Qur’an
iii. Al-Hadits atau As-Sunnah
iv. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
v. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah.
vi. Abdul Ghofur Anshori (2013), Hukum Perbankan Syariah, (UU No.21 Tahun
2008), Cetakan Kedua (Bandung: PT. Refika Aditama).
vii. ___________________(2009), Perbankan Syariah di Indonesia, Cetakan Kedua
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).
viii. Adrian Sutendi (2009), Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum
(Bogor: Ghalia Indonesia).
ix. Bambang Sugeng AS & Sujayadi (2013), Pengantar Hukum Acara Perdata &
Contoh Dokumen Litigasi, Cetakan Kedua (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group).
x. Faturrahman Djamil (2014), Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank
Syariah, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika).
xi. Juhaya S. Praja (2011), Teori Hukum dan Aplikasinya (Bandung: CV. Pustaka
Setia).
xii. Mardani (2013), Hukum Perikatan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika)
xiii. Moh. Fadli (2011), Peraturan Delegasi Di Indonesia, (Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press).
23

xiv. Muhammad Ashri & Rapung Samudin (2013), Hukum Internasional dan Hukum
Islam tentang Sengketa dan Perdamaian), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama).
xv. Muhammad Sfayi’i Antonio (2013), Islamic Banking, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, Cetakan Keduapuluh (Jakarta: Gema Insani).
xvi. Oyo Sunaryo Mukhlas (2011), Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di
Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia).
xvii. Rachmad Safa’at (2016), Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi
Revisi Cetakan Kedua (Malang: Surya Pena Gemilang).
xviii. Rahmadi Usman (2014), Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cetakan
Kedua (Jakarta: Sinar Grafika).
xix. Thohir Luth (2011), Syariat Islam Mengapa Takut, Cetakan Pertama, (Malang:
Universitas Brawijaya Press (UB Press).
xx. Trisadini Prasastinah Usanti (2005), Fungsi Agunan pada Pembiayaan di Bank
Syariah, Jurnal Ilmu Sosial, Universitas Sunan Giri No.16/04/01/2005.
xxi. Trisadini P. Usanti & Abd. Shomad (2013), Transaksi Bank Syariah, (Jakarta:
Bumi Aksara).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
i. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
ii. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 Tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES).
iii. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Fatwa DSN-MUI).
iv. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/Pbi/2004 tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 122 Dpbs, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4434.
24

v. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:


Pradnya Paramita, 1983).
vi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
vii. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
viii. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
ix. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia.
x. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
xi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867.
xii. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
xiii. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5491.
xiv. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893.
xv. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
xvi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.
25

xvii. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
xviii. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 3327, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327.
xix. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia.
xx. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077.
xxi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.
xxii. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia.
xxiii. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4958.
xxiv. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan
26

Perubahan Kedua yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009


tentang Peradilan Agama.
xxv. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4443.
xxvi. Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.Kep-
09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003 tentang BASYARNAS.
xxvii. Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia).
xxviii. Peraturan Bank Indonesia Nomor.10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor.8/5/PBI/2006.
xxix. Peraturan Bank Indonesia Nomor.13/9/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor.10/18/PBI/2008 tentang restrukturisasi pembiayaan bagi
bank syariah dan unit usaha syariah.
xxx. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4288.
xxxi. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
xxxii. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
xxxiii. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan
xxxiv. Peraturan Lelang (vide Vendu Reglement, Vendu Instructie, Peraturan Menteri
Keungan dan peraturan terkait lainnya).

Anda mungkin juga menyukai