Kerusakan Na K
Kerusakan Na K
Abstrak
Keong matah merah merupakan salah satu hasil perairan yang mengandung gizi
tinggi terutama mineral dan dipercaya masyarakat bisa digunakan sebagai penambah
kebugaran bila dikomsumsi. Adanya proses pengolahan sebelum dikonsumsi sangat
berpengaruh terhadap kandungan, kehilangan dan kelarutan zat gizi dari keong tersebut,
sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pengolahan. Tujuan
penelitian ini adalah menentukan komposisi kimia (proksimat), menentukan kandungan mineral
makro dan mikro pada keong matah merah, menentukan pengaruh pengolahan (perebusan
tanpa garam, perebusan dengan garam dan pengukusan) terhadap kandungan mineral dan
kehilangan mineral, menganalisis kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium)
akibat pengolahan serta menentukan metode pengolahan terbaik. Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan uji lanjut Duncan.
Hasil analisis proksimat pada daging keong matah merah segar memiliki nilai kadar air
77,37%, abu 5,38%, protein 10,01%, lemak 2,95% dan karbohidrat (by difference) 4,28%
serta kadar abu tidak larut asam 0,19 %. Kandungan mineral makro tertinggi adalah
natrium sebesar 713,23 mg/100 g bb, sedangkan untuk mineral mikro tertinggi adalah besi
sebesar 7,98 mg/100 g bb. Metode pengolahan yang menurunkan kandungan mineral
(kalsium, fosfor, kalium, besi dan seng) pada keong matah merah. Metode pengolahan juga
meningkatkan persentase kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium) keong
matah merah. Berdasarkan ketiga proses pengolahan disimpulkan bahwam metode
pengolahan terbaik adalah metode yang memberikan kehilangan mineral terendah dan
kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium) tertinggi yaitu metode pengolahan
pengukusan.
Kata kunci: Cerithidea obtusa, kandungan mineral, kelarutan mineral, komposisi kimia
PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi bahan pangan baik yang berasal dari tumbuhan (mineral nabati) maupun
hewan (mineral hewani). Kekurangan mineral dalam tubuh dapat mengakibatkan anemia,
kurangnya nafsu makan, lemah, letih dan lesu. Menurut Adeyeye dan Afolabi (2003), keong
laut merupakan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung mineral dan protein tinggi,
serta kaya akan asam amino lisin dan rendah kolesterol.
Keong matah merah (Cerithidea obtusa), merupakan salah satu komunditas hasil
perairan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena bisa dijumpai disepanjang pantai
Indonesia. Keong ini juga biasanya digunakan sebagai penambah stamina oleh masyarakat,
karena mempunyai kandungan gizi dan diduga mempunyai kandungan mineral yang tinggi.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah keong matah merah
(Cerithidea obtusa) yang diperoleh dari Muara Sungai Musi, Sumatra Selatan. Bahan kimia
yang digunakan untuk uji proksimat antara lain: akuades, HCl 0,02 N, H2SO4 pekat, NaOH,
H3BO3, indikator metilen merah; larutan heksana, kertas saring Whatman no. 42, HCl 10%
dan AgNO3 sedangkan untuk analisis kandungan dan kelarutan mineral adalah HNO3, HClO4,
akuades, asam sitrat pekat dan larutan standar.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) merk Perkin Elmer AAnalyst 100, sentrifuse, homogenizer, gelas
piala, gegep, labu takar, pisau, panci stainless stell, gelas ukur, oven, timbangan, pipet,
cawan dan termometer.
Metode
Penelitian diawali dengan pengambilan sampel keong matah merah, kemudian
dilakukan pengukuran morfometrik dan pengukuran rendemen. Komposisi kimia diketahui
dengan analisis proksimat (AOAC 1995), dan kadar abu tidak larut asam (SNI 2354.1-
2010). Tahap selanjutnya adalah analisis kandungan mineral dan logam berat (APHA 2005),
serta analisis kelarutan mineral meliputi natrium, kalsium, fosfor dan magnesium (Santoso
2003) terhadap bahan mentah dan bahan setelah pengolahan. Metode pengolahan yang
dilakukan adalah pengukusan pada suhu 100 °C selama 30 menit, perebusan dan perebusan
garam pada suhu 100 °C selama 15 menit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie 1993).
% Proksimat
Parameter
Hasil penelitian Purwaningsih (2006) Prabowo (2009)
Air 77,37 ± 0,74 80,30 75,98
Abu 5,38 ± 0,79 4,50 5,73
Lemak 2,95 ± 0,62 2,80 2,55
Protein 10,01 ± 1,83 11,80 8,85
Karbohidrat (by difference) 4,28 ± 0,33 - -
Abu tidak larut asam 0,19 ± 0,00 - -
Kadar air rata-rata hasil penelitian sebesar 77,37% lebih tinggi dibandingkan
dengan penelitian Prabowo (2009) sebesar 75,98%, namun lebih rendah dibandingkan
dengan penelitian Purwaningsih (2006) sebesar 80,30%. Hal ini diduga waktu pengambilan
sampel keong matah merah yang berbeda akan mempengaruhi kadar air keong tersebut.
Menurut Ayas dan Ozugul (2011) menyatakan bahwa perbedaan kadar air dapat
disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran organisme
tersebut. Tingginya kadar air dapat menyebabkan produk perikanan tersebut mudah sekali
mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara baik.
Hasil pengukuran kadar abu dari keong matah merah pada penelitian ini sebesar
5,38%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Purwaningsih (2006) dan
Prabowo (2009) secara berturut-turut sebesar 4,5% dan 5,73%. Hal ini diduga setiap
5,60
rata-rata uji organoleptik
5,40
5,20
rasa
5,00
4,80
4,60
4,40
1 1,5 2 2,5 3
konsentrasi garam (%)
Kandungan natrium pada proses perebusan dengan garam berbeda dengan sampel
segar, pengukusan dan perebusan tanpa garam. Hal ini diduga pada proses perebusan
dengan garam sebesar 2,5% dari volume air yang digunakan terjadi proses penetrasi garam
ke dalam daging keong sehingga dapat meningkatkan kadar natrium dalam daging keong.
Metode perebusan tanpa garam mengakibatkan penurunan terhadap kandungan
natrium keong segar. Kehilangan kandungan mineral natrium tertinggi keong matah merah
adalah proses perebusan tanpa garam yaitu sebesar 48,92% dari keong segar. Hasil ini
didukung oleh penelitian Gokuglu et al. (2004) yang menyatakan bahwa proses perebusan
700
600 b
500
400
a
300
200
100
0
sampel segar pengukusan perebusan perebusan
tanpa garam dengan garam
Metode pengolahan
Gambar 2 Nilai rata-rata mineral natrium keong matah merah; angka-angka yang diikuti
superscript yang beda (a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Berdasarkan angka kecukupan gizi usia dewasa, 100 g keong matah merah yang
sudah mengalami proses pengukusan dapat menyumbang mineral natrium sebesar 21,28%;
keong rebus sebesar 15,15% dan keong rebus garam 33,80% dari angka kecukupan gizi.
Hasil perhitungan dari 100 g keong matah merah belum dapat memenuhi kebutuhan mineral
natrium dalam tubuh. Menurut Lauritzen dan Saunders (2009), kekurangan natrium dapat
mengganggu keseimbangan ion dalam tubuh dan tekanan osmotik serta transmisi impuls
saraf.
Kandungan kalsium pada proses pengukusan berbeda dengan sampel segar dan
proses pengolahan lain, dimana proses pengukusan memberikan penurunan mineral kalsium
paling sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian Gsianturi (2002) yang menyatakan bahwa
pengukusan akan mengurangi zat gizi namun tidak sebesar pada proses perebusan karena
bahan makanan tidak langsung bersentuhan dengan air. Persentase kehilangan mineral
kalsium keong matah merah akibat pengukusan, perebusan tanpa garam dan perebusan
dengan garam secara berturut-turut sebesar 29,77%; 48,20% dan 45,90% dari keong
matah merah segar. Nilai rata-rata mineral kalsium dapat dilihat pada Gambar 3.
Rata-rata kalsium
(mg/100g bb)
500
b
400
a a
300
200
100
0
sampel segar pengukusan perebusan perebusan
tanpa garam dengan garam
Metode pengolahan
Gambar 3 Nilai rata-rata mineral kalsium keong matah merah; angka-angka yang diikuti
superscript yang beda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Konsumsi 100 gram keong matah merah kukus dapat menyumbangkan mineral kalsium
sebesar 47,37%; keong rebus sebesar 34,94%; dan keong rebus garam sebesar 36,49%
dari angka kecukupan gizi. Kandungan kalsium daging keong matah merah belum bisa
memenuhi angka kecukupan gizi untuk usia 19-65 tahun ke atas. Menurut Abrams dan
Atkinson (2003), kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun dan
dapat menyebabkan osteoporosis yang dicirikan oleh rendahnya massa tulang serta
kemunduran struktur jaringan tulang yang menyebabkan kerapuhan.
Kandungan mineral fosfor pada proses perebusan tanpa garam berbeda dengan
pengukusan dan sampel segar namun tidak berbeda dengan proses perebusan dengan
garam. Hal ini diduga selama proses perebusan terjadi penurunan kadar fosfor karena
daging keong bersentuhan langsung dengan air sehingga menyebabkan hilangnya kadar
fosfor dalam daging keong.
Persentase kehilangan fosfor untuk perebusan tanpa garam sebesar 49,92% dan
perebusan dengan garam sebesar 46,99%. Hasil ini didukung oleh penelitian
Gokoglu et al. (2004) yang menyatakan bahwa kadar fosfor pada Oncorhynchus mykiss
menurun secara signifikan dari 337,87 mg/100 g menjadi 247,64 mg/100 g setelah
dilakukan perebusan dengan persentase kehilangan fosfor sebesar 26%.
Berdasarkan angka kecukupan gizi usia 19-65 tahun ke atas, 100 gram keong matah
merah yang sudah mengalami proses pengukusan dapat menyumbang mineral fosfor sebesar
36,17% dari AKG. Keong matah merah sudah direbus dapat menyumbang sebesar 24,54%
dari AKG dan keong matah merah yang direbus dengan garam dapat menyumbang 25,98%
dari AKG. Menurut Nieves (2005), kekurangan fosfor dapat menyebabkan peningkatan
resiko patah tulang.
Perlakuan (%)
Komposisi
mineral perebusan tanpa perebusan
sampel segar pengukusan
garam dengan garam
Natrium 57,51a 65,11 b 76,82c 74,06c
Kalsium 45,41a 59,55b 79,54c 77,79c
Fosfor 47,42a 61,05 b 77,97c 79,82c
magnesium 53,07a 62,66b 77,39c 71,70c
Keterangan: angka-angka yang diikuti superscript yang beda (a, b, c) pada baris yang sama menunjukkan
beda nyata (p<0,05)
Persentase kelarutan mineral tertinggi dicapai oleh metode pengolahan dengan cara
direbus, sedangkan persentase kelarutan mineral terendah dicapai oleh sampel segar
(kontrol). Hal ini diduga bahwa proses pengolahan dapat mengubah struktur kimia kompleks
KESIMPULAN
Kandungan mineral makro tertinggi pada daging keong matah merah yaitu natrium
sebesar 713,23 mg/100 g bb, sedangkan untuk mineral mikro tertinggi yaitu besi sebesar
7,98 mg/100 g bb. Metode pengolahan memberikan penurunan kandungan mineral kalsium,
fosfor, kalium, besi dan seng pada keong matah merah. Metode pengolahan juga
memberikan peningkatan persentase kelarutan mineral natrium, kalsium, fosfor dan
magnesium keong matah merah. Berdasarkan ketiga proses pengolahan yang memberikan
kehilangan mineral terendah dan kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium)
tertinggi yaitu metode pengolahan pengukusan.
Tabel 4 Kandungan mineral dan presentase kehilangan serta kelarutan mineral keong matah merah (Cerithidea obtusa).
Metode pengolahan
Sampel segar Pengukusan Perebusan Perebusan dengan garam
Komposisi
mineral Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan
mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral
(*) (**) (**) (*) (**) (**) (*) (**) (**) (*) (**) (**)
Natrium 713,23 - 57,51 510,67 28,48 65,11 363,62 48,92 76,82 811,20 - 74,06
Kalsium 539,57 - 45,41 378,94 29,77 59,55 279,49 48,20 79,54 291,93 45,90 77,79
Fosfor 392,15 - 47,42 289,33 26,21 61,05 196,33 49,92 77,97 207,84 46,99 79,82
Magnesium 125,36 - 53,07 94,33 24,35 62,66 61,74 50,50 77,39 150,57 - 71,70
Kalium 218,82 - - 148,45 32,18 - 89,93 58,87 - 96,13 56,02 -
Besi 7,98 - - 6,64 16,74 - 3,56 55,45 - 3,70 53,62 -
Seng 3,37 - - 2,51 25,57 - 1,69 49,84 - 1,93 42,65 -
Keterangan: (*) : dalam satuan mg/100 g bb; (**) : dalam satuan %
DAFTAR PUSTAKA
Abrams SA, Atkinson SA. 2003. Calcium, magnesium, phosphorus and vitamin D fortification of
complementary food. Journal of Nutrition. 133: 299-308.
Adeyeye EI, Afolabi EO. 2003. Amino acid composition of three different types of land snails
consumed in Nigeria. Journal Food Chemistry. 85: 535–539.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standars Methods For The Examination of
water and Wastewater. Washington. American Public Health Association.
Ando K, Matsui H, Fujita M, Fujita I. 2010. Protective effect of dietary potassium against
cardiovascular damage in salt-sensitive hypertension: posible role of antioxidan action.
Journal of nutrition. 8(1): 59-63.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of The
Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official
Analytical Chemist, Inc.
Ayas D, Ozugul Y. 2011. The chemical composition of carapace meat of sexually mature blue
crab (Callinectes sapidus, Rathbun 1896) in the Mersin Bay. Journal of Fisheries Sciences.
38: 645-650.
Babalola OO, Akinsoyinu AO. 2009. Proximate composition and mineral profile of snail meat
from different breeds of land snail in Nigeria. Journal of Nutrition. 8 (12): 1842-1844.
Basmal J, Syarifudin dan WF ma’ruf. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida
terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstrak dari Eucheuma cottonii. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (5): 396-411.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Cara uji kimia-Bagian 1: penentuan kadar abu dan
abu tak larut dalam asam pada produk perikanan. SNI 2354.1-2010. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Charles LA, Sriroth K, Huang T. 2004. Proximate composition, mineral contents, hydrogen
cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes. Journal of Food Chemistry. 92: 615–
620
Dance PS. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press.
Ersoy B. 2011. Effects of cooking methods on the proximate, minerals and fatty acid
composition of Anguilla anguilla. Journal Food Science and Technology. 46: 522-527.
Gokce M A, Tazbozan O, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Seasonal variation in proximate and
fatty acid of female common sole (Solea solea). Journal of Food Chemistry. 88: 419-
423.
Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengis E. 2004. Effects of cooking methods on the proximate
composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Journal Food
Chemistry. 84: 9-12.
Gsianturi. 2002. Mengurangi Susut Gizi. http://www.gizi.net [19 April 2011]
Kagawa Y. 1999. 4th Amanded Japaness Food Content Tables, 485-486. Di dalam: Okuzumi
M dan Fujii T, editor. 2000. Nutritional and Fucntional Properties of Squid and Cuttlefish.
Tokyo: National Cooperative Assosiation of Squid Processor.
Karppanen H, Karppanen P, Mervaala E. 2005. Why and how to implement sodium,
potassium, calcium, and magnesium changes in food items and diets. Journal of Human
Hypertension. 19: S10–S19