Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL KEONG

MATAH MERAH (Cerithidea obtusa)


Sri Purwaningsih, Ella Salamah, Nadya Mirlina
Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB

Abstrak

Keong matah merah merupakan salah satu hasil perairan yang mengandung gizi
tinggi terutama mineral dan dipercaya masyarakat bisa digunakan sebagai penambah
kebugaran bila dikomsumsi. Adanya proses pengolahan sebelum dikonsumsi sangat
berpengaruh terhadap kandungan, kehilangan dan kelarutan zat gizi dari keong tersebut,
sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pengolahan. Tujuan
penelitian ini adalah menentukan komposisi kimia (proksimat), menentukan kandungan mineral
makro dan mikro pada keong matah merah, menentukan pengaruh pengolahan (perebusan
tanpa garam, perebusan dengan garam dan pengukusan) terhadap kandungan mineral dan
kehilangan mineral, menganalisis kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium)
akibat pengolahan serta menentukan metode pengolahan terbaik. Rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan uji lanjut Duncan.
Hasil analisis proksimat pada daging keong matah merah segar memiliki nilai kadar air
77,37%, abu 5,38%, protein 10,01%, lemak 2,95% dan karbohidrat (by difference) 4,28%
serta kadar abu tidak larut asam 0,19 %. Kandungan mineral makro tertinggi adalah
natrium sebesar 713,23 mg/100 g bb, sedangkan untuk mineral mikro tertinggi adalah besi
sebesar 7,98 mg/100 g bb. Metode pengolahan yang menurunkan kandungan mineral
(kalsium, fosfor, kalium, besi dan seng) pada keong matah merah. Metode pengolahan juga
meningkatkan persentase kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium) keong
matah merah. Berdasarkan ketiga proses pengolahan disimpulkan bahwam metode
pengolahan terbaik adalah metode yang memberikan kehilangan mineral terendah dan
kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium) tertinggi yaitu metode pengolahan
pengukusan.

Kata kunci: Cerithidea obtusa, kandungan mineral, kelarutan mineral, komposisi kimia

PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi bahan pangan baik yang berasal dari tumbuhan (mineral nabati) maupun
hewan (mineral hewani). Kekurangan mineral dalam tubuh dapat mengakibatkan anemia,
kurangnya nafsu makan, lemah, letih dan lesu. Menurut Adeyeye dan Afolabi (2003), keong
laut merupakan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung mineral dan protein tinggi,
serta kaya akan asam amino lisin dan rendah kolesterol.
Keong matah merah (Cerithidea obtusa), merupakan salah satu komunditas hasil
perairan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena bisa dijumpai disepanjang pantai
Indonesia. Keong ini juga biasanya digunakan sebagai penambah stamina oleh masyarakat,
karena mempunyai kandungan gizi dan diduga mempunyai kandungan mineral yang tinggi.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 89


Kandungan mineral dapat dimanfaatkan dengan sempurna jika bioavailabilitasnya
tinggi. Mineral akan bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral
terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable, sehingga kondisi mineral
terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam proses penyerapan mineral (Santoso et al.
2006). Proses pengolahan sangat berpengaruh terhadap kandungan dan kelarutan mineral
bahan pangan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pengolahan
tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan kandungan mineral makro dan mikro pada
keong matah merah, menentukan pengaruh pengolahan terhadap kandungan mineral
(kehilangan mineral), menganalisis kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium)
akibat pengolahan, serta menentukan metode pengolahan terbaik yang memberikan
kehilangan mineral terendah dan kelarutan mineral tertinggi.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah keong matah merah
(Cerithidea obtusa) yang diperoleh dari Muara Sungai Musi, Sumatra Selatan. Bahan kimia
yang digunakan untuk uji proksimat antara lain: akuades, HCl 0,02 N, H2SO4 pekat, NaOH,
H3BO3, indikator metilen merah; larutan heksana, kertas saring Whatman no. 42, HCl 10%
dan AgNO3 sedangkan untuk analisis kandungan dan kelarutan mineral adalah HNO3, HClO4,
akuades, asam sitrat pekat dan larutan standar.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) merk Perkin Elmer AAnalyst 100, sentrifuse, homogenizer, gelas
piala, gegep, labu takar, pisau, panci stainless stell, gelas ukur, oven, timbangan, pipet,
cawan dan termometer.
Metode
Penelitian diawali dengan pengambilan sampel keong matah merah, kemudian
dilakukan pengukuran morfometrik dan pengukuran rendemen. Komposisi kimia diketahui
dengan analisis proksimat (AOAC 1995), dan kadar abu tidak larut asam (SNI 2354.1-
2010). Tahap selanjutnya adalah analisis kandungan mineral dan logam berat (APHA 2005),
serta analisis kelarutan mineral meliputi natrium, kalsium, fosfor dan magnesium (Santoso
2003) terhadap bahan mentah dan bahan setelah pengolahan. Metode pengolahan yang
dilakukan adalah pengukusan pada suhu 100 °C selama 30 menit, perebusan dan perebusan
garam pada suhu 100 °C selama 15 menit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie 1993).

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 90


HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Keong Matah merah
Hasil pengukuran morfometrik menunjukkan bahwa berat rata-rata adalah 4,53±1,01
gram, panjang rata-rata adalah 3,75±0,35 cm, lebar rata-rata adalah 1,73±0,18 cm dan
tebal rata-rata adalah 1,80±0,13 cm. Pertumbuhan suatu biota dipengaruhi faktor eksternal
dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, suhu dan ketersediaan makanan, sedangkan
faktor internal yang berpengaruh antara lain umur dan keturunan.
Rendemen keong matah merah diperoleh dari presentase perbandingan berat daging
keong dengan berat awal keong sebagai bahan baku. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa keong matah merah memiliki nilai rendemen daging keong sebesar 17,16%. Menurut
Dance (1977), cara pengambilan daging yang baik dapat dilihat dari sedikitnya daging
yang masih menempel pada cangkang sehingga diperoleh nilai rendemen daging keong
yang cukup tinggi.
Hasil analisis proksimat meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat (by
difference) serta kadar abu tidak larut asam beserta data pembandingnya disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis proksimat dan kadar abu tidak larut asam keong matah merah
(Cerithidea obtusa)

% Proksimat
Parameter
Hasil penelitian Purwaningsih (2006) Prabowo (2009)
Air 77,37 ± 0,74 80,30 75,98
Abu 5,38 ± 0,79 4,50 5,73
Lemak 2,95 ± 0,62 2,80 2,55
Protein 10,01 ± 1,83 11,80 8,85
Karbohidrat (by difference) 4,28 ± 0,33 - -
Abu tidak larut asam 0,19 ± 0,00 - -

Kadar air rata-rata hasil penelitian sebesar 77,37% lebih tinggi dibandingkan
dengan penelitian Prabowo (2009) sebesar 75,98%, namun lebih rendah dibandingkan
dengan penelitian Purwaningsih (2006) sebesar 80,30%. Hal ini diduga waktu pengambilan
sampel keong matah merah yang berbeda akan mempengaruhi kadar air keong tersebut.
Menurut Ayas dan Ozugul (2011) menyatakan bahwa perbedaan kadar air dapat
disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran organisme
tersebut. Tingginya kadar air dapat menyebabkan produk perikanan tersebut mudah sekali
mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara baik.
Hasil pengukuran kadar abu dari keong matah merah pada penelitian ini sebesar
5,38%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Purwaningsih (2006) dan
Prabowo (2009) secara berturut-turut sebesar 4,5% dan 5,73%. Hal ini diduga setiap

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 91


organisme mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam mengabropsi mineral dan
logam. Menurut Charles et al. (2005), masing-masing organisme memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam meregulasikan dan mengabsorpsi logam berdasarkan cara makan
suatu organisme, hal ini nantinya akan mempengaruhi kadar abu dalam bahan.
Hasil pengukuran kadar lemak pada penelitian ini adalah sebesar 2,95%. Hasil
tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Purwaningsih (2006) sebesar 2,80% dan
Prabowo (2009) sebesar 2,55%. Perbedaan kadar lemak dapat dipengaruhi oleh tingkat
kematangan gonad dan umur suatu spesies. Hal ini sesuai dengan pernyataan Majewska et
al. (2009), bahwa suatu spesies yang sudah matang gonadnya akan mengalami peningkatan
kadar lemak.
Kadar protein keong matah merah pada penelitian ini sebesar 10,01%. Hasil ini lebih
rendah dari penelitian Purwaningsih (2006) sebesar 11,8% dan lebih tinggi dari penelitian
Prabowo (2009) sebesar 9,85%. Kadar karbohidrat keong matah merah pada penelitian ini
sebesar 4,28%. Nilai tersebut diperoleh dari hasil perhitungan secara by difference.
Rata-rata kadar abu tidak larut asam pada penelitian ini adalah sebesar 0,19%.
Keong matah merah merupakan salah satu bahan konsumsi yang bersifat filter feeder dan
menempel pada substrat. Menurut Basmal et al. (2003), pengukuran kadar abu tidak larut
asam bertujuan untuk mengetahui adanya kemungkinan kontaminasi logam berat dan silika.
Konsentrasi Garam
Penentuan konsentrasi garam dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan formulasi
yang tepat pada proses perebusan dengan air garam. Konsentrasi garam adalah 1%; 1,5%;
2%; 2,5% dan 3% kemudian diuji secara hedonik oleh 30 panelis. Nilai rata-rata parameter
rasa keong matah merah pada proses perebusan dengan berbagai konsentrasi garam dapat
dilihat pada Gambar 1.

5,60
rata-rata uji organoleptik

5,40
5,20
rasa

5,00
4,80
4,60
4,40
1 1,5 2 2,5 3
konsentrasi garam (%)

Gambar 1 Nilai rata-rata parameter rasa keong matah merah.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 92


Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa konsentrasi garam tidak
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasa keong matah merah. Hal ini karena
dari semua konsentrasi garam yang diujikan cenderung bersifat memberikan rasa asin yang
sama. Perebusan dengan konsentrasi garam 2,5% terpilih sebagai konsentrasi garam terbaik
menurut nilai rata-rata tertinggi.
Komposisi Mineral
Mineral dapat ditemukan di dalam sel, jaringan dan organ tubuh manusia. Unsur-unsur
mineral terbagi menjadi dua golongan, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur cairan di dalam tubuh (Almatsier 2003).
Informasi kandungan mineral keong matah merah dengan berbagai perlakuan proses
pengolahan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan mineral pada keong matah merah (Cerithidea obtusa) dengan berbagai
perlakuan

Perlakuan (mg/100 g bb)


Komposisi mineral sampel pengukusan perebusan tanpa perebusan dengan
segar garam garam
Mineral makro
Natrium 713,23c 510,67b 363,62a 811,20d
Kalsium 539,57c 378,94b 279,49a 291,93a
Fosfor 392,15c 289,33b 196,33a 207,84a
Kalium 218,82c 148,45b 89,93a 96,13a
Magnesium 125,36bc 94,33ab 61,74a 150,57c
Mineral mikro
Besi 7,98c 6,64b 3,56a 3,70a
Seng 3,37c 2,51b 1,69a 1,93a
Tembaga < 0,015 < 0,015 < 0,015 < 0,015
Selenium < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001
Logam berat
Timbal < 0,030 - - -
Merkuri < 0,001 - - -
Keterangan: angka-angka yang diikuti superscript yang beda (a, b, c, d) pada baris yang sama
menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Kandungan natrium pada proses perebusan dengan garam berbeda dengan sampel
segar, pengukusan dan perebusan tanpa garam. Hal ini diduga pada proses perebusan
dengan garam sebesar 2,5% dari volume air yang digunakan terjadi proses penetrasi garam
ke dalam daging keong sehingga dapat meningkatkan kadar natrium dalam daging keong.
Metode perebusan tanpa garam mengakibatkan penurunan terhadap kandungan
natrium keong segar. Kehilangan kandungan mineral natrium tertinggi keong matah merah
adalah proses perebusan tanpa garam yaitu sebesar 48,92% dari keong segar. Hasil ini
didukung oleh penelitian Gokuglu et al. (2004) yang menyatakan bahwa proses perebusan

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 93


dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar natrium pada Oncorhynchus mykiss segar
sebesar 45,5 mg/100 g menjadi 33,55 mg/100 g dengan persentase kehilangan mineral
natrium sebesar 26,26%. Terjadi penurunan natrium akibat pengukusan dengan persentase
kehilangan sebesar 28,48%. Hasil ini didukung oleh penelitian Ersoy (2011) yang
mempelajari tentang Anguilla anguilla yang telah mengalami proses pengukusan dapat
menurunkan kandungan mineral natrium. Nilai rata-rata mineral natrium dapat dilihat pada
Gambar 2.
900 d
800 c
Rata-rata natrium
(mg/100g bb)

700
600 b
500
400
a
300
200
100
0
sampel segar pengukusan perebusan perebusan
tanpa garam dengan garam
Metode pengolahan

Gambar 2 Nilai rata-rata mineral natrium keong matah merah; angka-angka yang diikuti
superscript yang beda (a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Berdasarkan angka kecukupan gizi usia dewasa, 100 g keong matah merah yang
sudah mengalami proses pengukusan dapat menyumbang mineral natrium sebesar 21,28%;
keong rebus sebesar 15,15% dan keong rebus garam 33,80% dari angka kecukupan gizi.
Hasil perhitungan dari 100 g keong matah merah belum dapat memenuhi kebutuhan mineral
natrium dalam tubuh. Menurut Lauritzen dan Saunders (2009), kekurangan natrium dapat
mengganggu keseimbangan ion dalam tubuh dan tekanan osmotik serta transmisi impuls
saraf.
Kandungan kalsium pada proses pengukusan berbeda dengan sampel segar dan
proses pengolahan lain, dimana proses pengukusan memberikan penurunan mineral kalsium
paling sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian Gsianturi (2002) yang menyatakan bahwa
pengukusan akan mengurangi zat gizi namun tidak sebesar pada proses perebusan karena
bahan makanan tidak langsung bersentuhan dengan air. Persentase kehilangan mineral
kalsium keong matah merah akibat pengukusan, perebusan tanpa garam dan perebusan
dengan garam secara berturut-turut sebesar 29,77%; 48,20% dan 45,90% dari keong
matah merah segar. Nilai rata-rata mineral kalsium dapat dilihat pada Gambar 3.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 94


600 c

Rata-rata kalsium
(mg/100g bb)
500
b
400
a a
300

200

100

0
sampel segar pengukusan perebusan perebusan
tanpa garam dengan garam
Metode pengolahan
Gambar 3 Nilai rata-rata mineral kalsium keong matah merah; angka-angka yang diikuti
superscript yang beda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05).

Konsumsi 100 gram keong matah merah kukus dapat menyumbangkan mineral kalsium
sebesar 47,37%; keong rebus sebesar 34,94%; dan keong rebus garam sebesar 36,49%
dari angka kecukupan gizi. Kandungan kalsium daging keong matah merah belum bisa
memenuhi angka kecukupan gizi untuk usia 19-65 tahun ke atas. Menurut Abrams dan
Atkinson (2003), kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun dan
dapat menyebabkan osteoporosis yang dicirikan oleh rendahnya massa tulang serta
kemunduran struktur jaringan tulang yang menyebabkan kerapuhan.
Kandungan mineral fosfor pada proses perebusan tanpa garam berbeda dengan
pengukusan dan sampel segar namun tidak berbeda dengan proses perebusan dengan
garam. Hal ini diduga selama proses perebusan terjadi penurunan kadar fosfor karena
daging keong bersentuhan langsung dengan air sehingga menyebabkan hilangnya kadar
fosfor dalam daging keong.
Persentase kehilangan fosfor untuk perebusan tanpa garam sebesar 49,92% dan
perebusan dengan garam sebesar 46,99%. Hasil ini didukung oleh penelitian
Gokoglu et al. (2004) yang menyatakan bahwa kadar fosfor pada Oncorhynchus mykiss
menurun secara signifikan dari 337,87 mg/100 g menjadi 247,64 mg/100 g setelah
dilakukan perebusan dengan persentase kehilangan fosfor sebesar 26%.
Berdasarkan angka kecukupan gizi usia 19-65 tahun ke atas, 100 gram keong matah
merah yang sudah mengalami proses pengukusan dapat menyumbang mineral fosfor sebesar
36,17% dari AKG. Keong matah merah sudah direbus dapat menyumbang sebesar 24,54%
dari AKG dan keong matah merah yang direbus dengan garam dapat menyumbang 25,98%
dari AKG. Menurut Nieves (2005), kekurangan fosfor dapat menyebabkan peningkatan
resiko patah tulang.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 95


Kandungan mineral kalium pada sampel segar yang berbeda dengan proses
pengukusan, perebusan tanpa dan perebusan dengan garam. Hal ini diduga selama proses
pengolahan dengan panas dapat merusak kandungan gizi dari suatu bahan. Menurut
Sediaoetama (1993), pengolahan bahan pangan akan menurunkan kandungan mineral
karena mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagian besar
proses pengolahan yang disebabkan oleh pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasinya.
Persentase kehilangan mineral kalium keong matah merah akibat perebusan tanpa
garam dan perebusan dengan garam secara berturut-turut 58,87% dan 56,02% dari keong
matah merah segar. Hasil ini didukung oleh penelitian Gokuglu et al. (2004) yang
menyatakan bahwa proses perebusan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar
kalium Oncorhynchus mykiss segar sebesar 306,0 mg/100 g menjadi sebesar 241,7 mg/
100 g dengan persentase kehilangan mineral natrium sebesar 21,20%. Kandungan kalium
pada proses pengukusan keong matah merah juga mengalami penurunan dengan persentase
kehilangan mineral kalium sebesar 28,48%. Hasil ini didukung oleh penelitian Ersoy (2011)
yang mempelajari bahwa Anguilla anguilla yang telah mengalami proses pengukusan dapat
menurunkan kandungan mineral kalium.
Mengkonsumsi 100 g keong matah merah yang sudah mengalami proses pengukusan
dapat menyumbang sebesar 7,42% dan keong matah merah sudah direbus dapat
menyumbang sebesar 4,50%; sedangkan keong matah merah yang direbus dengan garam
dapat meyumbang 4,81% dari angka kecukupan gizi untuk usia dewasa. Menurut Ando et al.
(2010), kalium bersama-sama dengan natirum membantu menjaga tekanan osmotik dan
keseimbangan asam basa. Kandungan kalium yang seimbang dalam darah dapat mencegah
tekanan darah tinggi.
Kandungan mineral magnesium pada perebusan dengan garam berbeda dengan
pengukusan dan perebusan tanpa garam namun tidak berbeda dengan kontrol (sampel
segar). Hal ini diduga akibat adanya penetrasi garam ke dalam keong matah merah pada
saat perebusan. Hasil ini didukung oleh penelitian Suzuki et al. (2000) yang menyatakan
bahwa kandungan mineral magnesium pada kerang dapat meningkat akibat metode
perebusan menggunakan air dan garam.
Persentase kehilangan mineral magnesium keong matah merah akibat pengukusan dan
perebusan tanpa garam secara berturut-turut sebesar 24,35% dan 50,50%, sedangkan
untuk perebusan dengan garam tidak terjadi kehilangan magnesium karena adanya
penambahan garam. Hasil ini didukung oleh penelitian Gokoglu et al. (2004) yang
menyatakan bahwa kadar magnesium Oncorhynchus mykiss segar (40,9 mg/100 g)

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 96


mengalami penurunan yang signifikan setelah diberi perlakuan perebusan (24,2 mg/100 g)
dengan persentase kehilangan magnesium sebesar 40,83%.
Berdasarkan hasil penelitian, mengkonsumsi 100 g keong matah merah yang sudah
mengalami pengukusan dapat menyumbang mineral magnesium sebesar 31,44-34,94%;
keong rebus sebesar 20,58-22,87% dan keong rebus garam sebesar 50,19-55,77% dari
angka kecukupan gizi. Menurut Karppanen et al. (2005), kekurangan magnesium pada
manusia akan mengakibatkan kurang nafsu makan, gangguan dalam pertumbuhan dan gagal
jantung.
Proses pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap sampel segar,
perebusan tanpa garam dan perebusan dengan garam, sedangkan perebusan dengan
garam tidak berbeda dengan perebusan tanpa garam. Hal ini diduga setiap metode
pengolahan memberikan penurunan mineral yang berbeda-beda.
Persentase kehilangan mineral besi untuk pengukusan sebesar 16,74%; perebusan
tanpa garam sebesar 55,45% dan perebusan dengan garam sebesar 53,62%. Hasil
penelitian ini didukung oleh Musaiger dan D’Souza (2008), yang melaporkan bahwa metode
pengukusan memberikan penurunan mineral besi paling sedikit dibandingkan dengan metode
perebusan dan penggorengan pada horse mackerel.
Berdasarkan angka kecukupan gizi usia 19-65 tahun ke atas, konsumsi 100 g keong
matah merah yang sudah mengalami proses pengukusan dapat menyumbang sebesar 25,54-
51,08%; keong rebus sebesar 13,69-27,38% dan keong rebus garam sebesar 14,23-
28,46% dari angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil perhitungan AKG dapat dilihat bahwa
dari 100 g keong matah merah belum memenuhi kebutuhan mineral besi dalam tubuh.
Menurut Ulfah (2009), kekurangan zat besi akan mengalami anemia.
Kandungan mineral seng pada proses pengukusan memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap sampel segar, perebusan tanpa garam, sedangkan perebusan dengan
garam tidak berbeda dengan perebusan tanpa garam. Persentase kehilangan mineral seng
akibat proses pengukusan sebesar 25,57%, perebusan tanpa garam sebesar 49,84% dan
perebusan dengan garam sebasar 42,65%. Hasil ini didukung oleh penelitian Gokoglu et al.
(2004) yang menyatakan bahwa kadar seng pada Oncorhynchus mykiss segar menurun
secara signifikan dari 0,96 mg/100 g menjadi 0,32 mg/100 g setelah dilakukan perebusan
dengan persentase kehilangan sebesar 66,67%.
Konsumsi 100 g keong matah merah yang sudah mengalami pengukusan dapat
menyumbangkan seng sekitar 18,73-26,99%; keong rebus 12,61-18,17% dan keong rebus
garam 14,40-20,75% dari angka kecukupan gizi untuk usia 19-65 tahun ke atas. Kadar seng
keong matah merah masih belum bisa memenuhi angka kecukupan gizi harian. Hal ini dapat

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 97


dipenuhi dengan konsumsi makanan yang kaya akan sumber seng. Menurut
Piliang dan Djojosoebagjo (2006), mineral seng banyak terkandung pada daging, hati, telur
dan makanan-makanan dari laut terutama kerang. Kekurangan mineral seng dapat
menyebabkan muntah-muntah dan diare.
Kandungan tembaga pada keong matah merah <0,015 mg/100 g bb, sedangkan
menurut hasil penelitian Babalola dan Akinsoniyu (2009), kandungan tembaga pada
Archachatina marginata sebesar 1,3 mg/100 g bb. Perbedaan kandungan mineral tembaga
dapat disebabkan oleh keberagaman biota terutama keong yang digunakan, lingkungan dan
ukuran keong. Gokce et al. (2004) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
keragaman komposisi mineral meliputi umur, jenis, ukuran, habitat, letak geografis dan kondisi
lingkungan.
Kandungan selenium pada keong matah merah sebesar <0,001 mg/100g bb. Hasil
ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Kagawa (1999) yang menyatakan bahwa
kandungan mineral selenium dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar
0,016 mg/100 g bb. Hal ini mengindikasikan bahwa keong matah merah bukan merupakan
sumber pangan yang kaya akan selenium.
Kandungan logam berat timbal (Pb) dan logam berat merkuri (Hg) pada penilitian ini
sangat rendah secara berturut-turut sebesar <0,030 mg/100 g bb dan <0,001 mg/100 g
bb. Batas aman timbal dan merkuri dalam makanan yang ditetapkan oleh World Health
Organization (2010) secara berturut-turut 1 ppm dan 0,5 ppm sehingga dapat disimpulkan
keong matah merah (Cerithidea obtusa) aman untuk dikonsumsi.
Kelarutan Mineral
Kelarutan mineral adalah kemampuan suatu mineral untuk larut (solute) dalam suatu
pelarut (solvent). Informasi mengenai kelarutan mineral disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persentase kelarutan mineral keong matah merah (Cerithidea obtusa)

Perlakuan (%)
Komposisi
mineral perebusan tanpa perebusan
sampel segar pengukusan
garam dengan garam
Natrium 57,51a 65,11 b 76,82c 74,06c
Kalsium 45,41a 59,55b 79,54c 77,79c
Fosfor 47,42a 61,05 b 77,97c 79,82c
magnesium 53,07a 62,66b 77,39c 71,70c
Keterangan: angka-angka yang diikuti superscript yang beda (a, b, c) pada baris yang sama menunjukkan
beda nyata (p<0,05)

Persentase kelarutan mineral tertinggi dicapai oleh metode pengolahan dengan cara
direbus, sedangkan persentase kelarutan mineral terendah dicapai oleh sampel segar
(kontrol). Hal ini diduga bahwa proses pengolahan dapat mengubah struktur kimia kompleks

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 98


menjadi sederhana sehingga akan meningkatkan daya kelarutan mineral. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Santoso et al. (2006) yang menyatakan bahwa mineral pada makanan
dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses pengolahan atau akibat interaksi
dengan bahan lain. Kelarutan mineral dapat meningkat atau menurun tergantung pada
prosesnya. Faktor yang mempengaruhi kelarutan mineral adalah pH, sehingga penggunaan
asam asetat dapat meningkatkan kelarutan mineral kalsium dan magnesium pada beberapa
jenis rumput laut.
Penentuan Metode Pengolahan Terbaik
Proses pengolahan dengan menggunakan panas merupakan salah satu tahap penting
dalam pengolahan suatu bahan pangan. Informasi mengenai metode pengolahan terbaik
yang memberikan kehilangan mineral terendah dan kelarutan mineral tertinggi disajikan
pada Tabel 4.
Metode pengolahan terbaik adalah metode pengukusan. Hal ini tercermin dari
persentase hilangnya mineral kurang dari 50% dan persentase kelarutan mineral untuk
natrium, kalsium, fosfor dan magnesium lebih dari 50%. Menurut Musaiger dan D’Souza
(2008), proses pengukusan adalah metode pengolahan dengan uap panas dimana bahan
pangan tidak bersentuhan langsung dengan air melainkan dengan uap air, sehingga
menghasilkan retensi zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan pengukusan dengan air
(perebusan).

KESIMPULAN
Kandungan mineral makro tertinggi pada daging keong matah merah yaitu natrium
sebesar 713,23 mg/100 g bb, sedangkan untuk mineral mikro tertinggi yaitu besi sebesar
7,98 mg/100 g bb. Metode pengolahan memberikan penurunan kandungan mineral kalsium,
fosfor, kalium, besi dan seng pada keong matah merah. Metode pengolahan juga
memberikan peningkatan persentase kelarutan mineral natrium, kalsium, fosfor dan
magnesium keong matah merah. Berdasarkan ketiga proses pengolahan yang memberikan
kehilangan mineral terendah dan kelarutan mineral (natrium, kalsium, fosfor dan magnesium)
tertinggi yaitu metode pengolahan pengukusan.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 99


Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah MPHPI 2011││

Tabel 4 Kandungan mineral dan presentase kehilangan serta kelarutan mineral keong matah merah (Cerithidea obtusa).
Metode pengolahan
Sampel segar Pengukusan Perebusan Perebusan dengan garam
Komposisi
mineral Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan Total Kehilangan Kelarutan
mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral mineral
(*) (**) (**) (*) (**) (**) (*) (**) (**) (*) (**) (**)
Natrium 713,23 - 57,51 510,67 28,48 65,11 363,62 48,92 76,82 811,20 - 74,06
Kalsium 539,57 - 45,41 378,94 29,77 59,55 279,49 48,20 79,54 291,93 45,90 77,79
Fosfor 392,15 - 47,42 289,33 26,21 61,05 196,33 49,92 77,97 207,84 46,99 79,82
Magnesium 125,36 - 53,07 94,33 24,35 62,66 61,74 50,50 77,39 150,57 - 71,70
Kalium 218,82 - - 148,45 32,18 - 89,93 58,87 - 96,13 56,02 -
Besi 7,98 - - 6,64 16,74 - 3,56 55,45 - 3,70 53,62 -
Seng 3,37 - - 2,51 25,57 - 1,69 49,84 - 1,93 42,65 -
Keterangan: (*) : dalam satuan mg/100 g bb; (**) : dalam satuan %

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 100


Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah MPHPI 2011││

DAFTAR PUSTAKA
Abrams SA, Atkinson SA. 2003. Calcium, magnesium, phosphorus and vitamin D fortification of
complementary food. Journal of Nutrition. 133: 299-308.
Adeyeye EI, Afolabi EO. 2003. Amino acid composition of three different types of land snails
consumed in Nigeria. Journal Food Chemistry. 85: 535–539.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[APHA] American Public Health Association. 2005. Standars Methods For The Examination of
water and Wastewater. Washington. American Public Health Association.
Ando K, Matsui H, Fujita M, Fujita I. 2010. Protective effect of dietary potassium against
cardiovascular damage in salt-sensitive hypertension: posible role of antioxidan action.
Journal of nutrition. 8(1): 59-63.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis of The
Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official
Analytical Chemist, Inc.
Ayas D, Ozugul Y. 2011. The chemical composition of carapace meat of sexually mature blue
crab (Callinectes sapidus, Rathbun 1896) in the Mersin Bay. Journal of Fisheries Sciences.
38: 645-650.
Babalola OO, Akinsoyinu AO. 2009. Proximate composition and mineral profile of snail meat
from different breeds of land snail in Nigeria. Journal of Nutrition. 8 (12): 1842-1844.
Basmal J, Syarifudin dan WF ma’ruf. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potasium hidroksida
terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstrak dari Eucheuma cottonii. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (5): 396-411.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Cara uji kimia-Bagian 1: penentuan kadar abu dan
abu tak larut dalam asam pada produk perikanan. SNI 2354.1-2010. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Charles LA, Sriroth K, Huang T. 2004. Proximate composition, mineral contents, hydrogen
cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes. Journal of Food Chemistry. 92: 615–
620
Dance PS. 1977. The Encyclopedia of Sheel. London: Blanford Press.
Ersoy B. 2011. Effects of cooking methods on the proximate, minerals and fatty acid
composition of Anguilla anguilla. Journal Food Science and Technology. 46: 522-527.
Gokce M A, Tazbozan O, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Seasonal variation in proximate and
fatty acid of female common sole (Solea solea). Journal of Food Chemistry. 88: 419-
423.
Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengis E. 2004. Effects of cooking methods on the proximate
composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Journal Food
Chemistry. 84: 9-12.
Gsianturi. 2002. Mengurangi Susut Gizi. http://www.gizi.net [19 April 2011]
Kagawa Y. 1999. 4th Amanded Japaness Food Content Tables, 485-486. Di dalam: Okuzumi
M dan Fujii T, editor. 2000. Nutritional and Fucntional Properties of Squid and Cuttlefish.
Tokyo: National Cooperative Assosiation of Squid Processor.
Karppanen H, Karppanen P, Mervaala E. 2005. Why and how to implement sodium,
potassium, calcium, and magnesium changes in food items and diets. Journal of Human
Hypertension. 19: S10–S19

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 101


Lauritzen GC, Saunders K. 2009. Current Prospective on The Sodium Issue. Newyork: General
Mills Inc
Majewska D, Jakubowska M, Ligocki M, Tarasewicz Z, Szczerbin D, Karamucki T, Sales J.
2009. Physicochemical characteristics, proximate analysis and mineral composition of
ostrich meat as influenced by muscle. Journal of Food Chemistry. 117: 207–211
Musaiger AO, D’Souza R. 2008. The effects of different methods of cooking on proximate,
mineral and heavy metal composition of fish and shrimps consumed in the Arabian
Gulf. Journal of Nutrition. 58(1): 11-18.
Nieves JW. 2005. Osteoporosis: the role of micronutrient. The American Journal of Clinical
Nutrition 81:1232-1239.
Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat kerang darah
(Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan. 8 (2): 1-10.
Piliang W, Djojosoebagjo S. 2006. Fisiologi Nutrisi. Bogor: IPB Press
Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan keong matah merah (Cerithidea obtusa) [skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Purwaningsih S. 2006. Kajian pemanfaatan keong matah merah (Cerithidea obtusa) dan uji
aktivitas antiproliferasi pada sel lestari tumor secara in vitro dan in vivo. [Disertasi].
Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso J. 2003. Studies on nutritional component and antioxidant activity in several Indonesia
seaweeds. [Disertasi]. Tokyo: Laboratory Chemistry of Food and Nutrition, Department
of Food Science and Technology, Tokyo University of Fisheries.
Santoso J, Satako G, Yumiko YS, Takeshi S. 2006. Mineral content of Indonesian seaweed
solubility affected by basic cooking. Journal of Food Science and Technology. 12 (1):
59-66.
Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat.
Steel RGD, Torie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Ed ke-
3. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:
Principle and Procedure of Statistics.
Suzuki T, Yoshie Y, Horri A. 2000. Solubility of minerals in shellfish by heathing with salt water.
Di dalam: Carman O, Sulistiono, Purbayanto A, Suzuki T, Watanabe S, Arimoto T,
editor). The proceeding of the JSPS-DGHE international symposium on fisheries science in
tropical area (pp.236-568). TUF International JSPS Project, Tokyo.
Ulfah N. 2010. Pusing-Pusing Karena Kelebihan Zat Besi. http://health.detik.com [13 Maret
2011]
[WHO]. World Health Organization. 2010. Food additive. http://www.who.int [16 Juni 2011]
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2008. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

| Prosiding Pertemuan Ilmiah dan Seminar Nasional MPHPI 2011 102

Anda mungkin juga menyukai