Anda di halaman 1dari 5

Dwi Purnomo S1 - SPak Pendidikan Agama Kristen

KEKERASAN DI SEKOLAH

I. Potret Buram Pendidikan Indonesia

Pendidikan adalah sarana yang mencetak generasi penerus bangsa untuk


menjadi manusia-manusia berkualitas. Tak dapat dipungkiri pendidikan
merupakan ujung tombak dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara.
Menurut ilmuwan Prof. H. Mahmud Yunus, “Pendidikan adalah suatu usaha
dengan sengaja mempengaruhi dan membantu anak-anak yang bertujuan
meningkatkan ilmu pengetahuan, Jasmani dan akhlak, sehingga secara perlahan
bisa mengantarkan mereka kepada tujuan dan cita-cita, supaya memperoleh
kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.”
Pada kenyataannya semua tak seindah yang dibayangkan. Kita dikejutkan
dengan maraknya budaya kekerasan di sekolah-sekolah kita. Kekerasan, dalam
metafora yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan
baik secara fisik maupun psikologis. Terlintas di fikiran dan teringat kisah
Mahasiswa STIP yang tewas akibat penganiayaan oleh seniornya pada bulan
Januari 2017. Tiga orang Mahasiswa UII Yogyakarta tewas karena menjadi
korban kekerasan saat mengikuti Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) The
Great Camping (TGC) di Gunung Lawu, Jawa Tengah. Kejadian lain menimpa
Krisna Wahyu Nurachmad (15 th), siswa di sekolah favorit SMA Taruna
Nusantara, yang di bunuh oleh rekannya siswa lain berinisial AMR (16 th).
Beberapa kejadian diatas adalah contoh nyata betapa kekerasan sudah menjadi
momok yang menakutkan di lingkungan sekolah. Berbagai kasus yang menjerat
siswa, guru dan orang tua dalam perilaku kekerasan, serta perlakuan kasar kakak
kelas terhadap adik kelas saat proses penerimaan siswa baru, ialah contoh buruk
betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari dan sekaligus melawan
kekerasan.
Belum terhitung kasus kekerasan oleh guru kepada murid atau sebaliknya,
dalam berbagai bentuk mulai dari kekerasan verbal dengan kata-kata, pelecehan
oleh guru terhadap muridnya, bahkan menimpa murid-murid TK seperti yang

1
Dwi Purnomo S1 - SPak Pendidikan Agama Kristen

terjadi di salah satu sekolah terkenal di Jakarta. Tawuran antar pelajar yang juga
marak terjadi, bukan cuma sekelas anak SMA / SMP tapi juga di Perguruan
tinggi. Keterlibatan anak-anak pelajar dalam berbagai aktifitas geng motor dan
tindak kejahatan di jalanan. Kasus-kasus penyalahan gunaan obat dan narkotika
dikalangan pelajar dan mahasiswa, praktek-praktek asusila yang melibatkan
pelajar dan mahasiswa. Semua itu menambah daftar kelam potret buram dari
pendidikan kita. Hal ini diperburuk dengan rendahnya kualitas lulusan yang
dihasilkan oleh sekolah-sekolah kita, yang belum sepenuhnya dapat menjawab
kebutuhan di dunia kerja, industri atau market place, yang berakibat pada
tingginya angka pengangguran dikalangan lulusan sekolah kita. Kita akui ada
banyak prestasi anak-anak didik kita baik di tingkat nasional bahkan Internasional.
Anak-anak binaan Prof. Surya terbukti berhasil mengharumkan nama bangsa
Indonesia di kancah internasional melalui prestasi mengagumkan di Olimpiade
Matematika, Fisika, Sains, dll. Namun secara umum kondisi pendidikan kita
belum terlalu menggembirakan.

II. Gunung Es

Untuk menemukan akar dari semua persoalan diatas tentu bukan pekerjaan
mudah. Berbagai faktor dapat menjadi penyebabnya. Krisis moral menjadi salah
satu pemicu buramnya potret pendidikan kita. Sebagai contoh dalam kasus
pembunuhan oleh AMR. Dia adalah teman korban yang dibunuhnya pada malam
hari, dan korban ditemukan oleh pengasuh asrama saat hendak membangunkan
nya untuk salat subuh. AMR nekat membunuh karena kesal karena beberapa kali
dipergoki mencuri barang-barang milik siswa lain. Perilaku ini dilakukannya
beberapa kali, dimana pelaku mencuri buku tabungan, mengambil uang milik
siswa lain, dan diketahui oleh korban. Pelaku juga sakit hati kepada korban karena
korban menyebabkan ponsel pelaku disita oleh fihak sekolah. Semua hal itu
dilakukan oleh AMR salah satunya karena lemahnya pendidikan moral yang
tertanam dalam dirinya, yang diperkuat dengan lemahnya dasar-dasar kerohanian
yang tertanam dalam dirinya. Hal itu menyebabkan lemahnya pertahanan mental
pelaku, sehingga ketika ada tekanan secara emosional dia cenderung

2
Dwi Purnomo S1 - SPak Pendidikan Agama Kristen

melampiaskan dengan cara-cara yang brutal dan tak terkendali tanpa


pertimbangan dan berfikir panjang. Dan berakibat mencelakakan orang lain.
Begitu juga dengan kasus-kasus yang lain. Lemahnya pertahanan mental yang
berdampak pada lemahnya daya kontrol dan memudarnya etika serta rasa malu,
menyebabkan berbagai hal buruk terjadi, beberapa bahkan dilakukan dengan
tanpa rasa bersalah dan sudah cukup lama dilakukan hingga perbuatannya
diketahui oleh orang lain. Dalam bahasa kristiani “tidak adanya takut akan Tuhan
yang benar dalam diri seseorang menyebabkan lemahnya benteng pertahanan
moral dalam diri orang tersebut”.
Hal ini diperburuk dengan kondisi kejiwaan atau sisi psikologis sebagai
anak muda yang berada pada masa transisi peralihan, pencarian identitas / jati diri
yang menyebabkan terombang-ambing dan labil dalam mengambil keputusan. Ini
adalah fase yang rawan dalam hidup. Jika tidak ditopang dengan dasar keimanan
(religius) dan dasar moral etika yang kuat, maka di usia muda seperti pelajar dan
mahasiswa, akan mudah terjerumus dalam pilihan-pilihan sikap yang bukan
membangun dan positif tapi sebaliknya merusak dan menyakiti orang lain dan
dirinya sendiri. Tidak berfikir panjang dan cenderung mengikuti dorongan nafsu
semata-mata; puas sesaat, senang sesaat, untung sesaat, serta cenderung mencari
penyelesaian pintas yang sebenarnya bukan solusi. Tidak punya kemampuan
berempati, menimbang rasa dan mendahulukan orang lain, berkorban untuk orang
lain, merendahkan diri, mengalah, sabar, dan memaafkan.
Sistem pendidikan yang tidak tepat, yang cenderung membebani murid
dengan berbagai tuntutan akademis yang berat dan tidak sesuai dengan ke khusus
an masing-masing siswa. Seperti yang tergambar dari potret siswa di Indonesia
yang dijejali dengan berbagai ilmu, yang kadang-kadang kebanyakan tidak
aplikatif dan tidak relevan dengan pribadi dan talenta siswa. Jauh dari kesan
“Having fun” seperti yang dominan dari pola belajar siswa di Finlandia yang
memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Semua itu turut berperan besar
menciptakan tekanan mental dan psikis bagi siswa. Lemahnya figur guru sebagai
sosok yang jadi panutan (seharusnya), kurangnya keteladanan, rusaknya tatanan
keluarga dan dibeberapa kasus mungkin juga tekanan karena kebutuhan biaya
pendidikan yang tinggi, dll turut menyumbang kompleksitas persoalan di “bawah

3
Dwi Purnomo S1 - SPak Pendidikan Agama Kristen

air” dari gunung es kekerasan dan perilaku buruk di kalangan pendidikan di


Indonesia.
O’Sullivan (Urban Economic: 2000) membuat analisis menarik tentang
faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat dengan praktik
kekerasan, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Dalam pandangannya,
kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya merupakan dampak
langsung dari kebijakan tentang: ukuran ruang kelas (class size), sumber
pembiayaan sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum),
efek pergaulan sejawat (peer effects), dan latar belakang orang tua (parent’s
background). Pertanyaan nya ialah, mana diantara faktor dan indikator itu yang
paling determinan dan dominan dalam kasus dan praktek kekerasan para siswa
kita ? Dalam banyak riset tentang kekerasan yang melibatkan siswa di sekolah
(Gorski dan Pilotto: 1993), faktor psikologis seperti ukuran kelas, akibat
pergaulan sejawat, dan latar belakang orang tua menyumbang resiko tertinggi
pada praktek kekerasan

III. Solusi

Kualitas lulusan bukan sekedar terletak pada kemampuan akademis yang


hebat –yang seringkali hanya diukur dari angka nilai mata pelajaran tertentu- serta
kompetensi yang tinggi dalam berbagai bidang tertentu. Namun lahirnya lulusan
yang memiliki budi pekerti yang baik, moralitas yang matang dan dewasa, serta
memiliki fondasi iman yang kokoh. Dalam konteks kristiani memiliki roh takut
akan Tuhan yang benar.
Untuk mencapai kualitas tersebut memang butuh kemauan, kerja keras dan
kerja sama semua stage holder didunia pendidikan. Mulai dari orang tua, guru,
para tenaga administrasi, pejabat di jajaran terkait, masyarakat sekitar dan tak
kalah penting siswa itu sendiri. Menerapkan pendekatan dan sistem belajar yang
tepat dan menyenangkan. Menitik beratkan pendidikan karakter menjadi pelajaran
utama disekolah. Meminimalisir stress pada siswa dengan sistem pendidikan yang
santai tapi efektif. Seperti yang diterapkan di Finlandia, dimana siswa lebih
banyak belajar secara informal dan menyenangkan, namun terbukti meningkatkan

4
Dwi Purnomo S1 - SPak Pendidikan Agama Kristen

daya serap siswa terhadap pelajaran dan merangsang kreatifitas anak murid
berkembang aktif dalam pola-pola interaksi yang sehat dan menyenangkan.
Menciptakan lingkungan yang positif di sekolah merupakan kebutuhan yang tidak
bisa ditawar lagi. Terutama dalam menjamin kelangsungan proses belajar yang
aman, damai, serta mendukung pencapaian akademis siswa dan meningkatkan
keterampilan sosial siswa. Ada banyak instrumen yang bisa di gunakan para
pemangku kepentingan pendidikan untuk mencegah radikalisme dan kekerasan di
sekolah. Salah satunya mengoptimalkan mekanisme pengambilan keputusan
tentang apapun yang terjadi di sekolah, melalui sistem keputusan bersama yang di
lembagakan kedalam mekanisme pengelolaan konflik berbasis sekolah.
Membangun komitmen pendidikan damai ialah kata kunci yang harus di
lakukan oleh komunitas sekolah dalam rangka merancang bangunan resolusi
konflik yang memadai di lingkungan sekolah agar anak-anak kita terhindar dari
semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari. Dengan praktik tak ada
kekerasan di sekolah, baik guru maupun siswa harus berusaha menghindarkan diri
dari kebiasaan buruk berlaku kasar pada saat mengajar maupun belajar di
lingkungan sekolah. Kredo tentang asas nirkekerasan ini merupakan disiplin
serius yang harus ditegakkan di seluruh sekolah kita.
Dalam perspektif kristen dilingkungan sekolah kristen, memasukkan agenda
rohani yang secara khusus mengarah kepada penyembuhan / pemulihan roh dan
jiwa, menjadi agenda wajib disekolah, bisa menjadi alternatif solusi untuk
meredam budaya kekerasan di sekolah. Sebagai contoh ada satu perguruan tinggi
kristen yang menjadikan pelayanan HMC (Healing Movement Camp) sebagai
agenda wajib secara berkala yang wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa. Karena
ketika seseorang disembuhkan jiwanya, saat rohnya berdamai dengan Tuhan dan
dengan dirinya sendiri serta berdamai dengan orang lain dan masa lalunya, dalam
tindakan mengampuni orang yang menyakiti dia, serta menerima pekerjaan Roh
Tuhan dalam dirinya, itu akan menjadi “obat” yang ampuh untuk mematikan
semua virus kekerasan dan memutus rantai kekerasan.

== 0#0 ==

Anda mungkin juga menyukai