Anda di halaman 1dari 13

Upaya Memutus Rantai Infeksi Pada Tahap Precaution dan Pencegahan

Hazard Kimia Serta Hazard Fisika

Nur Azizah Rangkuti

nurazizahr1307@gmail.com

Latar belakang

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian dari perlindungan bagi
tenga kerja yang bertujuan untuk mencegah serta mengurangi terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Kesehatan dan keselamatan kerja juga termasuk menjamin para pekerja
dan orang lain yang ada di lingkungan kerja tersebut agar selalu dalam keadaan sehat dan
selamat. Selama mereka dalam waktu dan berada di lingkungan kerja, para pekerja akan
menghadapi bebrapa risiko yang memungkinkan terjadinya kecelkaan kerja. Faktor penyebab
suatu kecelakaan dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan orang yang tidak mematuhi
keselamatan kerja (unsafe action) dan keadaan-keadaan lingkungan atau proses dan sistem
yang tidak aman.

Rumah sakit sebgai tempat kerja, tentu mempunyai risiko bahya kesehtan dan
keselamtan kerja baik yang terjadi langsung terhadap pekerja,pasien dan pengunjung pasien.
Rumah sakit sebagai penyedia layanan bagi kesehatan bagi masyarakat memiliki potensi
bahaya yang sangat besar. Potensi bahaya dirumah sakit tidak hanya terkena penyakit-
penyakit infeksi, selain itu juga ada potensi bahaya bahaya lain yang mempengaruhi situasi
dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (kebakaran, ledakan, kecelakaan yang berhubungan
dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cedera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang
berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomik.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1087/MENKES/SK/VIII/2010


peningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat menuntut
pengelolaan program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Rumah Sakit semakin tinggi
karena sumber daya manusia , pengunjung/pengantar pasien, pasien dan masyarakat sekitar
ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai
dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana prasarana yang
ada di Rumah Sakit yang tidak memenuhi standar3. Rumah Sakit dituntut untuk
melaksanakan upaya K3 yang dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga
risiko terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja di RS dapat dihindari.
Di Indonesia, data mengenai Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja
(KK) di sarana umum kesehatan secara umum belum tercatat dengan baik, namun menurut
Departemen Kesehatan (Depkes) 2007, diketahui bahwa risiko bahaya yang dialami oleh
pekerja di rumah sakit adalah infeksi HIV (0,3%), risiko pajanan membrane mukosa (1%),
risiko pajanan (<1%) dan sisanya tertusuk jarum, terluka akibat pecahan gigi yang tajam dan
bor metal ketika melakukan pembersihan gigi, low back paint akibat mengangkat beban
melebihi batas, gangguan pernapasan, dermatitis dan hepatitis (Depkes, 2007).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penularan


penyakit dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya adalah penerapan Standard
Precautions atau Kewaspadaan Standar. Berdasarkan CDC (Central Disease Control
2011, komponen utama Standard Precautions meliputi : hand hygiene, penggunaan
Alat Pelindung Diri (APD), praktik injeksi aman, penanganan dari peralatan atau
permukaan di lingkungan pasien yang potensial terkontaminasi dan respiratory
hygiene / etika batuk.

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif


adalah metode yang memberikan gambaran secara jelas dari suatu masalah dan keadaan
berdasarkan data-data yang sebenarnya. Metode deskriptif dapat menyelesaikan masalah
dengan menganalisa, membandingkan, dan mendeskripsikan langkah-langkah menetukan
diagnosa keperawatan melalui pendokumentasian yang tepat. Metode ini dilakukan untuk
menjelaskan bagaimana langkah langkah menetukan diagnosa keperawatan melalui analisa
materi yang dikumpulkan dari sumber buku dan jurnal.

Hasil

Tahapan pertama dalam penerapan Hazard identification, Risk Analysis and Risk Control
adalah proses identifikasi bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial dengan
menggunakan Job Safety Analysis (JSA) sehingga dalam mengidentifikasi bahaya yang
terdapat pada rumah sakit hewan prof. soeparwi. Identifikasi potensi bahaya pada rumah sakit
hewan prof. soeparwi dilakukan dengan membagi dalam 6 unit kerja yaitu grooming, bedah,
rawat inap, rawat jalan dan laboratorium.

Hasil penelitan di RSUD RAA Soewondo, Kelima komponen utama Standard Precautions
sudah disosialisasikan dan diterapkan di RSUD RAA Soewondo Pati namun hanya pada poin
Hand Hygiene, penggunaan APD, dan penanganan dari peralatan atau permukaan di
lingkungan pasien yang potensial terkontaminasi terkait dengan pengelolaan limbah yang
dapat diukur bagaimana penerapannya dilihat dari laporan hasil audit yang akan dijelaskan
pada bagian pembahasan.

Penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Praktik Perawat Dalam


Pelaksanaan Universal Precaution Di RSUD Brebes:

Umur

Tabel 1 distribusi karakteristik responden berdasarkan umur


Karakteristi Praktik
Kurang Baik Total
k Umur
F % F % F %
Dewasa 49 48 53 53 102 100
Awal
Dewasa 15 54 13 46 28 100
Madya

Pendidikan

Tabel 2 distribusi karakter pendidikan


Karakteristik Praktik
Kurang Baik Total
Pendidikan
F % F % F %
Diploma 33 52 31 48 64 100
Pendidikan 31 47 35 53 66 100
Tinggi

Pengetahuan

Tabel 3. Pengetahuan Perawat dalam Pelaksanaan Universal Precaution


Pengetahuan Praktik
Kurang Baik Total
F % F % F %
Cukup 34 89 4 11 38 100
Baik 30 33 62 67 92 100
Sikap

Tabel 4. Sikap Perawat Dalam Pelaksanaan Universal Precaution


Sikap Praktik
Kurang Baik Total
F % F % F %
Kurang 45 83 9 17 54 100
Baik 19 25 57 75 76 100

Hazard Fisika di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Gambar 1

30

25

20

15 Ada
Tidak Ada

10

0
Bising SuhuRuangan Panas Getaran Radiasi Penerangan

Hasil identifikasi bahaya fisika dapat dilihat pada gambar 1. Dari hasil penelitian Diagram
tersebut menunjukan bahwa potensi bahaya fisika yang paling besar adalah penerangan, hal
ini merupakan potensi yang paling berbahaya sebab dapat menyebabkan gangguan
penglihatan pada pegawai. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan untuk potensi bahaya
fisika diketahui bahwa ruangan instalasi farmasi sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan
dan peredam suara sehingga lingkungan kerja di instalasi farmasi tidak terlalu panas dan
bising. Lokasi instalasi farmasi yang jauh dari ruang radiologi mengurangi resiko potensi
bahaya yang disebabkan radiasi dan getaran.
Hazard Kimia di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Gambar 2

35
30
25
20
15
10
5
0 Ada
e i Tidak
n n ur bu ia tik g is
la o
ta ali ksid
r k De im sta rin ed
r m O e p K o K e M
sH Fo M
iru an it s
ga up tilen up h pul atS ir up
t Ga
E r r
p ir hi Te m b S a
hiru e rh ir up T er a Tu n aO ir up A kib
r T rh ke rh
Te en er an
Te e rk T Te ak
T d
Le
n ya
di
erja
T

Hasil identifikasi bahaya kimia dapat dilihat pada gambar 2. Responden menjawab potensi
bahaya terhirup debu, terkena tumpahan zat kimia dan terhirup zat yang ada di sirup kering
lebih banyak daripada potensi bahaya yang lain seperti terhirup zat-zat kimia yang lain dan
ledakan yang terjadi akibat gas medis. Potensi bahaya kimia tersebut banyak terjadi pada saat
proses penyiapan sediaan farmasi4. Dari data bahan beracun dan berbahaya yang dimiliki
instalasi farmasi terdapat 12 item bahan yang harus dikelola penggunaan dan
penyimpanannya agar tidak menyebabkan kecelakaan kerja.

Pembahasan

Menurut Puspitasari (2010) Bahaya adalah sumber, situsi atau tindakan yang
berpotensi menciderai manusia atau sakit penyakit atau kombinasu dari semuanya.
Kurniawan (2008) mengatakan bahwa hazard adalah faktor-faktor intrinsik yang melekat
pada sesuatu berupa barang atau kondiis dan mempunyai potensi menimbulkan efek
kesehatan maupun keselamatan pekerjaserta lingkungan yang membeerikan dampak buruk.

Bahaya (hazard) adalah semua sumber, situasi ataupun aktivitas yang berpotensi
menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan atau penyakit akibat kerja (OHSAS
18001:2007). Secara umum terdapt 5 faktor bahaya K3 di tempat kerja, antara lain yaitu
faktor bahaya biologi (ex: jamur,virus,bakteri,dll), faktor bahaya kimia (ex: gas,debu,bahan
beracun,dll.), faktor bahaya fisik?mekanik (ex: mesin,tekanan,dll), faktor bahaya biomekanik
(ex:posisi kerja,gerakan,dll), faktor bahaya sosial psikologis(ex:stress,kekerasan,dll).

Ndejjo (2005) menklasifikasikan bahaya menjadi 2 yaitu bahaya biologis dan bahaya
non-biologis. Yang termasuk bahaya biologis adalah luka/laserasi, luka terkait yang tajam,
kontak langusng dengan spesimen yang terkontaminasi/bahan biohazardous, bioteorisme,
yang ditularkan melalui darah patogen, penyakit infeksi/infeksi, penyakit udara penyakit
vektor yang ditangggung dan kontaminasi silang dari material kotor. Bahaya nonbiologis
dibagimenjadi bahaya fisik,psikososial, dan ergonomis. Contoh bahaya fisik termasuk slip,
perjalanan,jatuh, luka bakar,fraktur, radiasi dari sinar x, kebisingan dan radiasi nonionisasi.
Contoh bahaya psikososial adalah penyalahgunaan psikososial,seksual, dan verbal. Contoh
bahaya ergonomis adalah cedera muskulaoskeletal seperti nyeri otot/strain/terkilir.

Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dalam mengembangkan manejemen


risiko K3. Mengidentifikasi suatu bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi
bahaya yang ada di lingkungan kerja. Dengan mengetahui sifat dan karakteristik bahaya,
maka dapat lebih berhati-hati dan waspada untuk melakukan langkah-langkah pengamanan
agar tidak terjadi kecelakaan, namun tidak semua bahaya dapat dikenali dengan mudah
(Ramli,2009).

Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya risiko bahaya di instalasi Farmasi Rumah
Sakit perlu dilakukan penilaian tingkat risiko yang ditimbulkan. Penilaian tingkat risiko dapat
dijadikan dasar untuk menentukan Tindakan pencegahan yang tepat.

Kejadian dengan resiko rendah perlu dilakukan investigasi sederhana dan diselesaikan
dengan pelaksanan standar prosedur operasional. Kejadian risiko sedang perlu dilakukan
investigasi oleh midle manajemen dengan melakukan penilaian dampak terhadap biaya dan
kelola risiko. Kejadian risiko tinggi perlu dibuat analisis akar masalah dan butuh
perhatianoleh midle manajemen untuk penyelesaian masalah. Sedangkan untuk kejadian
risiko sangat tinggi perlu dibuat analisis akar masalah dan tindakan segera oleh direktur untuk
penyelesaian masalah. Setelah dilakukan penilaian risiko dilakukan pengendalian lingkungan
kerja diantaranya pengendalian lingkungan dan pengendalian perorangan Program
pengendalian dapat meliputi upaya pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
diantaranya pemeriksaan kesehatan , imunisasi, penyelarasan manusia dan alat kerja, training
keselamatan kesehatan kerja, pengobatan terhadap penyakit dan kecelakan akibat kerja dan
pelayanan yang diberikan kepada pekerja karena penyakit parah atau kecelakaan parah yang
telah mengakibatkan cacat, sehingga menyebabkan ketidakmampuan permanen, baik
sebagian atau seluruh kemampuan bekerja yang biasanya mampu dilakukan sehari-hari

Kewaspadaan Universal (precaution Universal) adalah suatu tindakan pengendalian


infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehtaan utnuk mengurangi risiko penyebaran
infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa daraj dan vairan tubuh dapat berpotensi
menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehtan (Kurniawati dan
Nursalam, 2008:40).

Salah satu standar pencegahan infeksi adalah dengan penerapan universal precaution
yang telah telah dirancang oleh Centers for Desease Control and Prevention (CDC) pada
tahun 2007 sebagai pedoman kewaspadaan dan pencegahan transmisi penyebab infeksi di
fasilitas layanan kesehatan.5 Universal precaution merupakan bagian dari Program
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang penting dilaksanakan di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain.

Prinsip kewaspadaan universal di pelayanan kesehatan adalah menjaga hygiene


sanitasi individu, hygiene sanitasi ruangan serta sterilisasi peralatan. Perawat sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan harus memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang baik
dalam praktik perilaku universal precaution. Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang
sangat penting untuk membentuk tindakan/praktik seseorang. Pengetahuan dan kemampuan
serta sikap yang baik dalam pelaksanaan universal precaution merupakan strategi yang
bermanfaat dalam pengendalian infeksi.

Hasil observasi pendahuluan pada bulan April 2017 pada saat melakukan tindakan
invasif pemasangan infus dari 8 orang perawat 5 orang tidak melaksanakan sesuai prosedur
universal precaution, yaitu 3 orang tidak cuci tangan sebelum melaksanakan tindakan dan 2
orang perawat tidak menggunakan sarung tangan. Praktik perawat dalam menjalankan
prosedur tindakan yang dilakukan cepat dalam penanganan pasien sehingga universal
precaution terkadang tidak dikerjakan dengan benar.

Pada Tabel 1 yang merupakan hasil penelitian Haris Basuni,dkk tentang Faktor-
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Praktik Perawat Dalam Pelaksanaan Universal
Precaution Di RSUD Brebes, menunjukkan bahwa responden dengan umur dewasa awal
lebih banyak yang memiliki persepsi praktik baik (52%%) dibandingkan dengan yang
memiliki persepsi kurang (48%). Sedangkan responden dewasa madya lebih banyak memiliki
persepsi kurang (54%) dibanding dengan yang memiliki persepsi baik (46%).

Hubungan antara umur dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal
precaution pencegahan infeksi dengan uji hubungan rank spearman menunjukkan nilai p-
value sebesar 0,607 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel umur
dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi
(p>0,05). Nilai rho -0,045 artinya tingkat kekuatan hubungan antara variabel umur dengan
prersepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi adalah
sangat lemah dan hubungan bernilai negatif yang berarti hubungan kedua variabel tersebut
bersifat terbalik sehingga jika nilai umur tinggi maka nilai persepsi praktik perawat dalam
pelaksanaa universal precaution pencegahan infeksi menjadi rendah dan berlaku sebaliknya.

Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Saragih
yang menyebutkan bahwa umur memiliki pengaruh bermakna terhadap kepatuhan perawat
melakukan cuci tangan dalam upaya pencegahan infeksi.

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan diploma memiliki


persepsi kurang (52%) lebih banyak dari yang memiliki persepsi baik (48%). Sedangkan
responden dengan pendidikan tinggi lebih banyak yang memiliki persepsi baik (53%)
dibandingkan yang memiliki persepsi kurang (47%). Sebagian besar responden (66 perawat :
50,8%) menempuh pendidikan ≥ 16 tahun yang masuk dalam kategori pendidikan tinggi.

Hubungan antara pendidikan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan


universal precaution pencegahan infeksi dengan uji hubungan rank spearman menunjukkan
nilai p-value sebesar 0,604 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel
pendidikan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution
pencegahan infeksi (p>0,05). Nilai rho 0,046 artinya tingkat kekuatan hubungan antara
variabel pendidikan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution
pencegahan infeksi adalah sangat lemah dan hubungan bernilai positif yang berarti hubungan
kedua variabel tersebut bersifat searah sehingga jika nilai pendidikan tinggi maka nilai
persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi juga
tinggi. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Saragih
yang menyebutkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh bermakna terhadap kepatuhan
perawat melakukan cuci tangan dalam upaya pencegahan infeksi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan baik lebih banyak yang
memiliki persepsi praktik baik (67%) dibandingkan dengan responden yang memiliki
persepsi kurang (33%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan cukup lebih
banyak yang memiliki persepsi kurang (89%) dibandingkan yang memiliki persepsi baik
(11%).

Hubungan antara pengetahuan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan


universal precaution pencegahan infeksi dengan uji hubungan rank spearman menunjukkan
nilai p-value sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel
pengetahuan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution
pencegahan infeksi (p<0,05). Nilai rho = 0,517 artinya tingkat kekuatan hubungan antara
variabel pengetahuan dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal
precaution pencegahan infeksi adalah kuat dan hubungan bernilai positif yang berarti
hubungan kedua variabel tersebut bersifat searah sehingga jika nilai pengetahuan tinggi maka
nilai persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi
juga tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Feiby yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan perawat dengan
kepatuhan perawat melakukan hand hygiene dalam mencegah infeksi di rumah sakit.

Tabel 4 menunjukkan bahwa responden dengan sikap baik lebih banyak yang
memiliki persepsi praktik baik (75%) dibandingkan dengan responden yang memiliki
persepsi kurang (25%). Sedangkan responden yang memiliki sikap kurang lebih banyak yang
memiliki persepsi kurang (83%) dibandingkan dengan responden yang memiliki persepsi
baik (17%). Hubungan antara sikap dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan
universal precaution pencegahan infeksi dengan uji hubungan rank spearman menunjukkan
nilai p-value sebesar 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel sikap
dengan persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi
(p,0,05). Nilai rho 0,575 artinya tingkat kekuatan hubungan antara variabel sikap dengan
persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution pencegahan infeksi adalah
kuat dan hubungan bernilai positif yang berarti hubungan kedua variabel tersebut bersifat
searah sehingga jika nilai sikap tinggi maka nilai persepsi praktik perawat dalam pelaksanaan
universal precaution pencegahan infeksi juga tinggi. gahan infeksi juga tinggi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiyawati yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku kepatuhan perawat
dalam pencegahan infeksi luka operasi.
Kewaspadaan standar (Standard Precaution) yaitu kewaspadaan yang utama,
dirancang untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau
kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang sebelum pasien di diagnosis,
sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien didiagnosis.Tenaga
kesehatan seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya
juga berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan
petugas tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi.

Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas) komponen


utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu kebersihan
tangan, Alat Pelindung Diri (APD),dekontaminasi peralatan perawatan pasien,kesehatan
lingkungan, pengelolaan limbah, penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas,
penempatan pasien, hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman
dan praktik lumbal pungsi yang aman.

Diantara ke-11 komponen stdar precaution, 5 komponen utamanya yaitu hand hygiene,
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), praktik injeksi aman, penanganan dari peralatan atau
permukaan di lingkungan pasien yang potensial terkontaminasi dan respiratory hygiene /
etika batuk sudah diterapkan di RSUD RAA Soewondo Pati namun hanya pada poin Hand
Hygiene, penggunaan APD, dan penanganan dari peralatan atau permukaan di lingkungan
pasien yang potensial terkontaminasi terkait dengan pengelolaan limbah yang dapat diukur
bagaimna penerapannya dilihat dari lapora hasil audit tentang kepatuhan dalam melakukan
Hand Hygiene, kepatuhan dalam pengelolaan limbah, an kepatuhan dalam penggunaan APD
yakni sebgai berikut:

1. Tingkat Kepatuhan Kebersihan Tangan/Hand Hygiene


WHO (2010) yang menyatakan bahwa kepatuhan hand hygiene perawat atau
tenaga kesehatan di rumah sakit harus lebih dari 50%.7 Kepatuhan petugas dalam
kebersihan tangan pada triwulan 3 dan 4 tahun 2015 dalam melakukan kebersihan
tangan rata-rata pada momen 1 atau sebelum kontak dengan pasien, momen ke-2 atau
sebelum melakukan tindakan aseptik, dan momen ke-5 atau setelah kontak dengan
lingkungan area pasien masih di bawah standar rumah sakit dan WHO. Namun, untuk
tahun 2016 kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene pada momen ke-2
sudah meningkat di atas standar rumah sakit. Sementara itu, rata-rata pada momen 3
atau setelah kontak dengan cairan tubuh pasien dan momen 4 atau setelah kontak
dengan pasien kepatuhan melakukan hand hygiene oleh perawat tergolong sedang di
atas standar rumah sakit berkisar pada angka 51% - 89%.
2. Tingkat Kepatuhan dalam Pengelolaan Limbah
Berdasarkan dokumen hasil evaluasi tentang kepatuhan petugas dalam
pengelolaan limbah diketahui bahwa kepatuhan terhadap pembuangan limbah belum
dilaksanakan sesuai dengan SPO atau masih dibawah standar mutu RS yaitu >100%.
Angka kepatuhan petugas dalam pengelolaan/pembuangan sampah infeksius masih
rendah dibawah indikator mutu Rsberkisar pada 29%-56%. Demikian juga pda angka
kepatuhan petugas dalam pengelolaan/ pembuangan sampah non infeksius pada tahun
2015 triwulan 3 sebesar 33% dan triwulan 4 sebsar 38%.
Tingkat kepatuhan pembuangan sampah benda tajam rata-rata petugas sudah
banyak yang patuh walaupun belum bisa mencapai angka kepatuhan 100%.
Sedangkan pengelolaan limbah darah dan komponen darah baru yang dilakukan audit
atau monitoring evaluasi pada tahun 2016 triwulan ke-2 dan hasilnya sebesar 80%
masih di bawah standar.
3. Tingkat Ketepatan Penggunaan APD
Audit ketepatan petugas dalam penggunaan APD baru dilakukan pada bulan
Juni tahun 2016 dan hanya pada ruang IKB, IGD, dan rawat inap. Dari hasil
rekapitulasi hasil audit ketepatan penggunaan APD pada bulan Juni tahun 2016
diketahui bahwa petugas di ruang IKB (Instalasi Kamar Bersalin) dan rawat inap
tingkat ketepatan dalam penggunaan APD pada diatas standar rumah sakit yakni
masing-masing sebesar 56,4% dan 54,54%. Sedangkan untuk di ruang IGD tingkat
ketepatan petugas dalam penggunaan APD rendah yaitu sebesar 31,25% masih di
bawah standar RS.

Penutup

Bahaya kerja pada lingkungan Rumah Sakit secara umum meliputi permukaan lantai
licin, tergores/tertusuk jarum suntik, kabel listrik berserakan, kontaminasi jamur/bakteri/virus
saat petugas melakukan tindakan dengan bersentuhan langsung dengan pasien tanpa
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), penggunaan produk-produk rumah sakit berbahan
kimia, kurangnya kebutuhan luas ruang kerja dan keluhan klien terkait pelayanan rumah
sakit.
Hasil analisis multivariate secara bersama-sama diketahui variabel yang berpengaruh
terhadap praktik perawat dalam pelaksanaan universal precaution adalah pengetahuan dan
sikap. Maka penting bagi pihak manajemen untuk melaksanakan pelatihan guna
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik perawat dalam pelaksanaan universal
precaution

Penerapan standard precautions dalam pencegahan dan pengendalian HAIs sudah


disosialisasikan dan diterapkan di RSUD RAA Soewondo Pati. Beberapa tingkat kepatuhan
masih dibawah standar.Pada perencanaan bahwa masih ada komponen standard precautions
yang belum ditentukan indikator keberhasilannya.

Daftar Pustaka

Krisnata,A.2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Universal Precautions


Pada Perawat Dalam Upaya Pencegahan Risiko Healthcare Associated Infections (HAIs) Di
Ruang Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang. Skripsi,Universitas Negeri Semarang. Diakses
dari http://lib.unnes.ac.id/28501/1/6411412095.pdf

Satiti,A.B.,Wigati,P.A.,Fatmasari,E.Y.(2017). Analisis Penerapan Standard Precaution


Dalam Pencegahan dan Pengendalian HAIs (Healthcare Associated Infection) Di RSUD
RAA Soewondo Pati. Jurnal Kesehatan Masyarakat ,5(1), 2356-3346. Diakses Dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/17065

Basuni,H.,Suryawati,C.,Nugrhraheni,S.A.(2019).Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap


Praktik Perawat Dalam Pelaksanaan Universal Precaution Di RSUD Brebes.Jurnal
Manajemen Kesehatan Indonesia,7(2),88-95.

Pertiwi, Nurhantari,A.,Budiharjo,S.(2019).Research Article : Hazard Identification,Risk


Assesment and Risk Control Serta Penerapan Risk Mapping Pada Rumah Sakit Hewan
Prof.Soeparwi Universitas Gadjah Mada. Berita Kedokteran (BKM journal of Community
Medicine and Public Health, 35(2),55-64.

Hilmi,I.L.,Ratnasari,D. (2020). Potensi Bahaya Penyebab Kecelakaan Kerja di Instalasi


Farmasi Rumah Sakit. PharmaCine,1(1),25-33. Diakses dari
https://journal.unsika.ac.id/index.php/pharmac/article/view/4089
Putri,S.,Santoso,Rahayu,E.P. (2018). Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja erhadap
Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat Rumah Sakit. Jurnal Endurance,3(2),271-277. DOI:
http://doi.org/10.22216/jen.v3i2.2686

Hidayah,W.F. (2019). Analisis Faktor Risiko dan Hazard Dalam Implementasi Keperawatan.
Bachelor Thesis. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Diakses dari
http://repository.ump.ac.id/9327/3/Wulan%20Fatwa%20Hidayah%20BAB%20II.pdf

Gultom,A.,Umboh,J.M.L., Polii,B.(2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Penerapan Kewaspadaan Universal Precaution) Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap Penyakit
Dalam (IRINA C) RSUP .Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Paradigma Sehat 4(3),29-42.
Diakses melalui http://www.ejournalhealth.com/index.php/PARADIGMA/article/view/20/12

Ratnawati,L., Sianturi,S.(2018).Faktor –Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan


Perawatn Dalam Menerapkan Hand Hygiene. Jurnal Ilmu Keperawatan dan
Kebidanan,9(2),148-154. Diakses Dari
https://ejr.stikesmuhkudus.ac.id/index.php/jikk/article/view/458/320

Rundiyati,E. (2015).Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Cuci Tangan Perawat


Ruang Intensive DI RSUD Taman Husada Bontang. Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda. Diakses Dari
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1113/SKRIPSI%20%20LENGKAP
%20ENDAH--.pdf?sequence=2&isAllowed=y

Simamaora,R.H.(2019).Pengruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan Menggunakan Media


Audiovisual Terhadap Pengetahuan Pasein Rawat Inap.Jurnal Keperawatan
Silampir,3(1),342-351

Simamora,R.H.(2020).Learning of Patient Identification in Patient Safety Programs Trough


Clicinal Receptor Models.Medico Legal Update, 20(3),553-556.

Anda mungkin juga menyukai