Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN STIGMA PENDERITA


GANGGUAN DEPRESI PADA REMAJA

Penelitian Keperawatan Jiwa

PUTRI INDAH PERMATA


1711313014

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
FEBRUARI 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan mental telah menjadi sorotan dunia saat ini. Sekitar satu dari lima

orang di dunia memiliki kondisi kesehatan mental yang buruk. Menurut WHO

(2020) masalah kesehatan mental meningkat 16% dari beban penyakit dan cedera

global pada orang berusia 10-19 tahun. Separuh dari semua gangguan kesehatan

mental di masa dewasa dimulai pada usia 14 tahun, tetapi kebanyakan kasus tidak

terdeteksi dan tidak diobati. Berdasarkan data statistik WHO menyebutkan bahwa

estimasi individu yang mengalami gangguan mental terdapat 450 juta jiwa di

dunia. Secara global, diperkirakan 264 juta orang terkena depresi, 45 juta orang

yang mengalami gangguan bipolar, 20 juta orang terkena skizofrenia, dan sekitar

50 juta orang menderita demensia (WHO, 2019). Menurut data National Institute

of Mental Health (NIMH) menjelaskan bahwa usia dewasa muda 15-18 tahun

memiliki prevalensi lebih tinggi (29,4%) dibandingkan usia dewasa berusia 26-49

tahun (25,0%), dan usia 50 ke atas (14,1%) jiwa yang terdeteksi (NIMH, 2019).

Di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

melaporkan prevalensi gangguan mental yang terjadi di Indonesia mencapai 9,8%

dari 706.688 subjek yang dianalisis. Menurut perhitungan beban penyakit tahun

2017 Disabilty Adjusted Life Year (DALYs) gangguan depresi menjadi prioritas

masalah kesehatan mental yang menjadi urutan pertama dalam tiga dekade
terakhir (1990-2017) (Infodatin Kesehatan Jiwa, 2019). Gangguan depresi sudah

mulai terjadi sejak usia 15-24 tahun sebanyak 6,1% atau setara dengan 11 juta

jiwa. Semakin tinggi tingkat usia maka pola prevalensi depresi semakin

meningkat (Riskesdas, 2018).

Terdapat Sebanyak 8,15% populasi yang mengalami depresi di Sumatera

Barat. Kota Padang berada di peringkat pertama dengan jumlah kasus depresi

sebanyak 4.547 jiwa dari jumlah penduduk 25.227 jiwa yang terdata (Laporan

Riskesdas Sumbar, 2018). Proporsi yang memiliki gangguan mental yang pernah

dipasung menurut tempat tinggal lebih banyak di perdesaan (31,8%) dari pada di

perkotaan (31,1%) (Kemenkes RI, 2019). Hal tersebut disebabkan karena sikap

pasrah keluarga yang membiarkan penderita gangguan mental untuk dipasung

karena tidak adanya biaya untuk pengobatan dan pengetahuan keluarga terhadap

penderita tidak ter-edukasi dengan baik sehingga terjadilah stigma negatif oleh

masyarakat bahwa penderita gangguan mental tidak akan pernah sembuh (Dewi,

2019)

Depresi merupakan bagian dari gangguan mental yang bersifat universal

ditandai dengan kesedihan berkepanjangan serta kurangnya minat dalam

beraktifitas yang produktif atau menyenangkan. Hal tersebut juga mengganggu

tidur, nafsu makan berkurang, perasaan bersalah, kelelahan, konsentrasi yang

buruk, kesulitan membuat keputusan, mengalami kegelisahan fisik, berbicara atau

bergerak lebih lambat dari biasanya, keputusasaan, hingga tindakan untuk bunuh
diri. Depresi dan gangguan mental dapat berdampak besar pada semua aspek

kehidupan, termasuk aktivitas di sekolah, produktivitas di tempat kerja, hubungan

antar keluarga, pergaulan dengan teman, dan kemampuan untuk berpartisipasi

dalam masyarakat (World Health Organization, 2020).

Depresi salah satu kontributor yang paling berpengaruh terhadap angka

kematian akibat bunuh diri. Hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri

setiap tahun. Tercatat satu orang setiap 40 detik kejadian bunuh diri (WHO,

2019). Di Indonesia, estimasi angka kematian akibat bunuh diri tahun 2018

sebesar 0,71/100.000 penduduk dari jumlah populasi di Indonesia sebanyak 265

juta jiwa. Perkiraan angka kematian terhadap bunuh diri di Indonesia sekitar

1.800 kasus per tahun. Menurut hasil Survei Kesehatan berbasis Sekolah (GSHS)

pada tingkat SMP-SMA menemukan 44,54% pelajar mengalami kesepian dan

40,75% memiliki masalah kecemasan (Nurdiyanto dalam Kemenkes RI 2016,

2020). Proporsi keinginan untuk bunuh diri pada pelajar SMP dan SMA menurut

sumber GSHS tahun 2015 remaja perempuan lebih banyak keinginan bunuh diri

(5,9) dibandingkan remaja laki-laki (4,3%) (Pusdatin Kemenkes RI, 2019).

Akibat prevalensi yang banyak ini tentu menjadi gawat untuk kesehatan mental di

Indonesia karena depresi bisa berdampak pada bunuh diri. Apabila frekuensi

tersebut terus bertambah, maka angka kematian juga akan semakin meningkat.

Label pada penderita depresi adalah salah satu label yang paling

menstigmatisasi. Kebanyakan orang dengan penyakit mental menghadapi stigma


di beberapa titik dari sumber eksternal, baik dari teman, anggota keluarga, bahkan

dari lingkunga sekitar (NAMI, 2021). Stigma dalam masyarakat tentang

gangguan mental telah membuat penderita mengalami kesulitan dalam

mendapatkan hak-hak pribadinya. Stigma adalah presepsi negatif dari informasi

yang telah diterima dan menjadi sumber perhatian di masyarakat (Rika S, 2017).

Stigma depresi dapat mencakup ketidaktahuan dan informasi yang salah tentang

depresi, tetapi dibedakan dari literasi kesehatan mental dengan penggabungan sikap

prasangka dan diskriminasi perilaku (Thornicroft et al, 2007; Carly et al, 2018).

Keyakinan stigmatisasi yang umum termasuk persepsi bahwa orang dengan depresi

tidak dapat diprediksi atau berbahaya, bahwa depresi disebabkan oleh kelemahan

pribadi dan dapat dikendalikan, dan perasaan bersalah atau malu karena mengalami

depresi (Reavley dan Jorm, 2012).

Penderita depresi sering dianggap aib, sehingga keluarga penderita depresi

lebih memilih mengurung dan memasung anggota keluarga yang sedang

menderita depresi di rumah daripada memberikan pendampingan serta perawatan

khusus. Dengan stigma negatif akan sulit untuk membantu penderita yang

memerlukan perawatan. Sedikitnya pengetahuan tentang kesehatan mental,

ataupun gangguan depresi menjadikan masyarakat untuk memilih diam, serta

melaksanakan hal yang sangat sederhana selaku dalam upaya pengobatan

(Anastasia et al, 2020).

Bentuk stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma diri pada orang tersebut (self

stigma) suatu bentuk internalisasi stigma social terhadap diri sendiri sedangkan
stigma pada masyarakat (stigma publik) perilaku dan sikap stigma yang terjadi

pada masyarakat (Asti, 2016). Usia yang lebih muda cenderung memiliki

stigmatisasi pada penderita gangguan mental (Riset Tirto.id, 2018).

Dampak stigma bagi remaja memiliki beberapa komponen meliputi alienation,

stereotype endorsement, discrimination experience, dan Social withdrawal.

Komponen alienation (keterasingan) yaitu perasaan malu, kecewa pada diri

sendiri karena sakit. Merasa bahwa apa yang sedang dideritanya adalah sebuah

kesalahan dan merasa orang lain tidak mampu memahami perasaannya. Pada

komponen sterotype endorsement (dukungan stereotype) yaitu memandang

stereotip pada diri sendiri, seperti orang dengan penyakit mental yang bersifat

kekerasan, tidak dapat menjalani kehidupan yang baik atau bermanfaat, tidak

dapat melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain pada umumnya. Pada

discrimination experience (pengalaman diskriminasi) yaitu merasa didiskriminasi,

diabaikan atau tidak dianggap, percaya bahwa orang lain tidak menginginkan

berhubungan dengannya, dan merasa tidak mampu mencapai banyak hal. Pada

komponen social withdrawal (penarikan diri dari sosial) menghindari dekat

dengan orang lain, merasa seperti beban, menganggap dirinya memalukan bagi

orang yang dicintai (National Alliance on Mental Health, 2021).

Salah satu faktor penyebab terbentuknya stigma dikalangan remaja adalah

pengetahuan. Berdasarkan penelitian di Jawa Timur yang membuat stigmatisasi

pada penderita depresi adalah edukasi dan pengetahuan yang rendah terhadap
kesehatan mental (Riset Tirto.id, 2018). Kurangnya pengetahuan tentang

kesehatan mental dan kesalahpahaman terhadap orang penderita depresi

(Liamputtong, 2013). Hal-hal tersebut disebabkan karena minimnya tingkat

pengetahuan seseorang. Pengetahuan adalah sumber dari informasi yang

ditangkap melalui proses sensori dari panca indera terutama pada suatu objek

yang dilihat dan didengar. Pengetahuan yang lebih rendah tentang penyakit

mental telah dikaitkan dengan sikap stigmatisasi dalam beberapa penelitian (Jorm

et al., 2006; Thornicroft, 2006; Koschorke et al, 2017). Pengetahuan dipengaruhi

oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya (Wawan

dan Dewi, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Sarbhan Singh dan Rafdzah (2019) dengan

judul A systematic review of depression literacy: Knowledge, help-seeking and

stigmatising attitudes among adolescents studi ini melaporkan komponen literasi

depresi seperti pengetahuan, pencarian bantuan, dan sikap stigmatisasi. Literasi

depresi paling sering (58%) dinilai menggunakan alat yang menggunakan

metodologi berbasis sketsa. Remaja kurang mengenali depresi, cenderung

mencari bantuan dari sumber informal dan cenderung memasang stigma pada

depresi.

Di Jerman penelitian yang dilakukan oleh schiller (2013) menyatakan bahwa

untuk menguji peningkatan pengetahuan melalui buklet dengan tujuan

mengurangi stigma dan memfasilitasi kesadaran akan kebutuhan pengobatan


sendiri. Buklet tersebut sebagai pendekatan pendidikan ambang rendah dapat

secara signifikan meningkatkan pengetahuan khusus tentang depresi pada siswa.

Karenanya, ini membantu remaja untuk mengetahui gejala dan kebutuhan

perawatan mereka sendiri serta mengenali masalah kesehatan mental spesifik ini

pada teman sebayanya. Dengan demikian, buklet dapat berkontribusi pada

pengurangan stigma dan hambatan pengobatan pada remaja.

Kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan stigma ini adalah

dengan mengadakan pelayanan, penyuluhan dan penanganan yang terintegrasi

berbasis pelayanan kesehatan primer (puskesmas), yang menjangkau seluruh area

sampai ke area yang sulit dijangkau. Pemerintah juga mengadakan program

pelatihan bagi semua pelayanan kesehatan termasuk kader masyarakat, yang

nantinya akan disosialiasikan di masyarakat yang bertujuan meningkatkan

pengetahuan masyarakat mengenai gangguan jiwa dan nantinya diharapkan bisa

mengurangi akan stigma ini.

Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan mental mempengaruhi penderita

untuk mencari bantuan kesehatan bagi yang mengalami depresi. Sehingga hal

tersebut mengakibatkan stigma bagi diri sendiri, teman sebaya, dan dikalangan

masyarakat. Maka dari itu perlu adanya upaya preventif dan promotif untuk

mengedukasi masyarakat tentang penanganan kesehatan mental. Sehingga tidak

ada lagi masyarakat yang menstigma bahwa orang dengan gangguan mental bisa

sembuh dengan memberikan support sistem kepada mereka yang mengalami


gangguan. Apabila diberikan edukasi maka pengetahuan masyarakat terbekali

dengan baik, hal tersebut dapat mengurangi stigma negatif pada masyarakat.

Penelitian ini akan dilakukan di kota Padang dikarenakan menurut

RISKESDAS Sumatera Barat prevalensi depresi di kota Padang lebih tinggi

angka kejadiannya daripada kabupaten yang ada di Sumatera Barat. Berdasarkan

fenomena stigma yang terjadi pada remaja, mengakibatkan rendahnya

pengetahuan tentang gangguan depresi . Maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang Hubungan Pengetahuan Dengan Stigma Penderita

Gangguan Depresi Pada Remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah tersebut maka peneliti tertarik melakukan

penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan Dengan Stigma Penderita Gangguan

Depresi Pada Remaja.”

C. Tujuan

Adapun tujuan penulis dibagi menjadi 2:

a) Tujuan umum

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk melihat Hubungan

Pengetahuan dengan Stigma Depresi pada Remaja.

b) Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui Distribusi frekuensi Pengetahuan Remaja

terhadap Depresi.

2. Untuk mengetahui Distribusi frekuensi Stigma depresi pada

Remaja.

3. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan remaja dengan depresi

4. Untuk mengetahui hubungan stigma depresi pada remaja

D. Manfaat

a) Bagi Peneliti

Peneliti dapat mengembangkan dan meningkatkan ilmu pengetahuan

yang didapat selama masa perkuliahan dan dilapangan serta menambah

wawasan peneliti.

b) Bagi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan

yang berguna bagi remaja dan dapat menjadi bahan perencanaan program

kesehatan di kemudian hari terutama dalam program promotif dan

program preventif.

c) Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu keperawatan dan menjadi acuan penelitian

selanjutnya dan dapat menambah informasi untuk memperluas

pengetahuan tentang stigma depresi pada remaja.

d) Bagi Sekolah
Dapat dijadikan data atau informasi bagi sekolah tentang kejadian

depresi pada remaja dan meningkatkan pengetahuan remaja tentang

depresi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata lain adolecere (kata

Belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan

saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan

mental,emosional, spasial dan fisik (Sarwono, 2015).

Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1991) yang mengatakan

bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu

terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak

merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua

melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat


dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia

pubertas (Muhammad Ali, 2016).

2. Tugas – Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada uapaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk

mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun

tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) dalam

Mohammad Ali (2016) adalah berusaha :

a. Mampu menerima keadaan fisiknya

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa c

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlainan jenis

d. Mencapai kemandirian emosional

e. Mencapai kemandirian ekonomi

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa

i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan


j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga.

3. Tahap Perkembangan Remaja

Menurut Sarwono (2015), ada tiga tahap perkembangan remaja

dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa :

a. Remaja Awal (Early Adolescene)

Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun

masih terheranheran akan perubahan-perubahan yang terjadi

pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai

perubahanperubahan itu. Mereka mengembangkanpikiran-

pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah

terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh

lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang

berlebihan-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali

terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit

dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja Madya (Middle Adolescene)

Tahap ini berusia 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja

sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak

kawan yang menyukainya. Ada kecenderungan “narastic” yaitu

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang

mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia


berada dalam kondisi kebingunagn karena ia tidak tahu harus

memilih yang mana : peka atau tidak peduli, ramai0ramai atau

sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialistis, dan

sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus

Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-

kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan

dari lawan jenis.

c. Remaja Akhir (late Adolescene)

Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi

menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima

hal dibawah ini:

1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan

orangorang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru

3. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan pernah

berubah lagi

4. Egosentris (terlalu memusatkan perhatian pada diri

sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan

diri sendiri dan orang lain.

5. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya dan

masyarakat umum.

4. Ciri - Ciri Remaja


Ciri ciri pada remaja menurut (Zulkifli, 2012) adalah :

a. Pertumbuhan Fisik

Pertumbuhan fisik remaja mengalami perubahan dengan cepat,

lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa

dewasa. Perkembangan fisik remaja terlihat jelas pada tungkai

dan tangan kaki dan tangan, otot-otot tubuh berkembang pesat,

sehingga remaja kelihatan bertumbuh tinggi, tetapi kepalanya

masih mirip dengan anak-anak.

b. Perkembangan Seksual

Tanda-tanda perkembangan seksual pada remaja laki-laki yaitu

mengalami masa mimpi yang pertama, yang tanpa sadar

mengeluarkan sperma. Ciri-ciri lainnya adalah pada leher

menonjol buah jakun yang membuat nada suaranya menjadi

pecah. Kemudian di atas bibir dan kemaluannya mulai tumbuh

bulu-bulu (rambut). Sedangkan pada remaja perempuan, bila

rahimnya sudah dibuahi karena ia sudah mendapat menstruasi

(datang bulan) yang pertama.

c. Cara Berfikir Kausalitas

Berfikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab dan

akibat. Remaja cenderung mempertanyakan hal-hal yang dilarang

oleh orang tuanya Remaja sudah mulai berfikir kritis. Ia akan

melawan bila orangtua, guru, lingkungan, masih menganggap


mereka sebagai anak kecil. Bila guru dan orangtua tidak

memahami cara berfikir remaja maka akan mengakibatkan

kenakalan remaja seperti perkelahian antar pelajar yang sering

terjadi di kota-kota besar.

d. Emosi yang Meluap-luap

Keadaan emosi pada remaja masih labil karena erat

hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat

merasa sedih berlebihan, di lain waktu remaja dapat merasa

marah berlebihan. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai

diri mereka daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai Tertarik Kepada Lawan Jenis

Dalam kehidupan sosial, remaja sudah mulai tertarik kepada

lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang tua

kurang mengerti, kemudian melarangnya, maka akan timbul

permasalahan dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang

tuanya.

f. Menarik Perhatian Lingkungan

Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari

lingkungannya, remaja akan berusaha mendapatkan status dan

peranan dalam kegiatan remaja dikampung-kampungnya.

g. Terikat Dengan Kelompok Dalam kehidupan sosial remaja sangat

tertarik kepada kelompok sebanyanya, sehingga tidak jarang


terjadi orang tua dinomor duakan sedangkan kelompoknya

dinomor satukan. Pada pengalaman, kelompok remaja berusaha

berbuat sama, misalnya berpacaran, berkelahi dan mencuri

walaupun yang dilakukan itu tidak baik.

B. Depresi

1. Definisi Depresi

Pada tahun 400 S.M. depresi disebut sebagai melankolia, yang

ditandai dengan kesedihan yang berlebih akibat kelebihan cairan

empedu. Namun pada tahun 1905 telah berubah menjadi depresi karena

penyebabnya sangat banyak.15 Menurut Kaplan depresi merupakan

gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan kendali dan

pengalaman subjektif karena adanya penderitaan yang berat. Dikatakan

gangguan mood karena merupakan gangguan emosional internal yang

sifatnya meresap dan bertahan lama bukan satu saat saja

Sedangkan CDC berpendapat bahwa depresi adalah gangguan mental

yang umumya ditandai dengan penurunan mood, hilangnya minat,

perasaan bersalah, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, rasa tidak

berdaya dan sulit konsentrasi.16 Hawari juga berpendapat bahwa depresi

merupakan gangguan mood yang ditandai dengan kesedihan yang

mendalam sampai merasa harapan untuk hidup hilang tetapi tidak terjadi

gangguan dalam menilai realita dan kepribadian.


2. Epidemiologi

Berdasarkan data dari WHO diperkirakan depresi terjadi pada 350 juta

orang dan merupakan penyakit terbesar ke-4 yang menyebabkan beban

sosial. Pada tahun 2020 WHO memperkirakan depresi akan menjadi

penyakit dengan beban sosial terbesar ke-2 di dunia.3 Berdasarkan CDC

tahun 2007-2010, prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok usia

40-59 tahun (9,45%), diikuti oleh kelompok usia 18- 39 tahun (8%), dan

kelompok usia 12-17 tahun (6,3%).

Depresi ringan (timbul perasaan kurang percaya diri dan kesepian)

terjadi pada 25% remaja, 3-5% remaja mengalami depresi sedang hingga

berat. Kematian akibat depresi berat tinggi oleh karena banyaknya kasus

bunuh diri sebesar 25%. Wanita lebih sering terkena depresi dibanding

dengan pria (2:1) dimana perbedaan ini sangat Nampak pada usia remaja.

3. Etiologi dan Faktor Risiko Depresi

a. Etiologi

Menurut atlas depresi penyebab depresi dapat dibedakan

menjadi 3 faktor, yaitu faktor biologi, faktor genetik, dan faktor

psikososial.

 Faktor biologis

Pada pasien gangguan mood terdapat abnormalitas dari

kadar monoamine neurotransmitter (norepinephrine,


serotonin, dopamine dan histamine). Norepinephrine dan

serotonin merupakan neurotransmitter yang sangat berperan

dalam gangguan mood (depresi).

 Faktor genetik

Terdapat faktor turunan pada depresi. Pada 2 orang

kembar, apabila salah satu diantaranya mengalami depresi

maka 70% kemungkinannya saudara kembarnya akan

mengalami depresi pula. Sedangkan pada individu dengan

riwayat keluarga depresi (orang tuanya, kakak-adiknya,

atau kakek dan neneknya) akan memiliki kemungkinan

untuk terkena depresi juga. Terlebih lagi pada anak yang

diadopsi dari keluarga yang memiliki riwayat depresi, akan

memiliki kemungkinan terkena depresi 3 kali lebih besar

dibanding anak kandung dari keluarga yang mengadopsi.

 Faktor psikososial

Manusia merupakan makhluk sosial, apabila manusia

mengalami kerusakan dalam suatu hubungan dengan

sesama ataupun masalah seperti ditinggalkan oleh keluarga,

kekerasan dalam keluarga, dan penyiksaan oleh teman

dapat menyebabkan orang tersebut untuk terkena depresi.

b. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan

kemungkinan seseorang untuk menjadi depresi, yaitu :

 Jenis kelamin

Depresi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan

pria. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu karena adanya

pengaruh kadar hormonal pada pria dan wanita yang berbeda.6

Sedangkan menurut APA (American Psychological Association)

depresi pada wanita lebih sering karena banyaknya jumlah stres

yang dihadapi oleh wanita.23

 Usia

Segala kalangan usia dapat terkena depresi. Namun pada

rentang usia remaja sering terjadi depresi dengan rata-rata onsetnya

pada usia 20.23

 Faktor sosial ekonomi dan budaya

Perubahan budaya dan sosial ekonomi seperti konflik internal,

abuse, perang, meningkatnya tingkat kriminalitas, tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat meningkatkan risiko

seseorang terkena depresi.

4. Klasifikasi Depresi

Ada berbagai tipe dari depresi, berikut klasifikasi dari depresi, yaitu:

a. Gangguan depresi mayor


Gangguan ini merupakan depresi yang paling umum tanpa

episode manic dan/atau hipomanic, namun memiliki gejala-gejala

seperti perubahan nafsu makan, berat badan, pola tidur, anergi

(tidak memiliki energy untuk melakukan aktivitas), perasaan

bersalah, dan pikiran untuk mati atau bunuh diri. Lama gejala yang

dialami paling tidak sudah berlangsung 2 minggu.

b. Gangguan depresi minor

Gangguan ini sering disebut dengan “blue days”, dimana

terdapat episode mood depresi tetapi intensitasnya rendah dan

paling tidak selama 2 minggu dan ada minimal 1 gejala namun

kurang dari 5 dari gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan,

gangguan tidur, agitasi, kesusahan untuk konsentrasi, kelelahan,

kurang energy, kurang percaya diri, dan merasa bersalah

c. Gangguan distimia

Depresi ini merupakan depresi ringan tetapi dalam jangka

waktu yang lama (kronik). Seseorang baru dapat dikatakan

memiliki distimia bila telah memiliki gejala yang sama dengan

derpesi mayor paling tidak selama 2 tahun atau lebih. Jika

dibandingkan dengan depresi mayor, distimia ini lebih berat tetapi

individu dengan gangguan ini masih dapat berinteraksi dan

beraktivitas sehari-hari.

d. Gangguan depresi psikotik


Merupakan gangguan depresi berat yang telah ditandai dengan

gejala-gejala seperti halusinasi, delusi (gangguan menilai realita).

e. Gangguan depresi musiman

Dikatakan sebagai depresi musiman karena hanya muncul pada

saat musim dingin

C. Stigma

1. Definisi Stigma

Pengertian stigma menurut Goffman (2013) dalam (Purnama, 2016)

merupakan tanda-tanda yang dibuat tubuh seseorang yang diperlihatkan

dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang

mempunya tanda tersebut merupakan seorang criminal atau seorang

pengkhianat serta suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburuan status

moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu pada atribut

yang memperburuk citra seseorang.

2. Proses Stigma

Proses stigma menurut International Federation –Anti Leprocy

Association (ILEP,2011): Orang-orang yang dianggap berbeda sering

diberi label misalnya pasien gangguan jiwa, masyarakat cenderung

berprasangaka dengan pandangan tertentu dengan apa yang orang alami

seperti sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya, tidak dapat

diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus mental.


Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnyatetapi hanya

melihat label saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan

menggunakan istilah “kita” dan “mereka” sehingga menyebabkan

penderita terstigmatisasi dan mengalami diskriminasi. Menurut ILEP ada

beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang menghadapi stigma:

a. Pemahaman masyarakat yang positif atau negatif terhadap suatu

penyakit

b. Dukungan keluarga dan masyarakat

c. Sejauhmana stigma mempengaruhi kehidupan dan rutinitas sehari-

hari

d. Kepribadian dan kemampuan koping

3. Jenis Stigma

Rusch et.al (2005), menjelaskan bahwa stigma terbagi menjadi dua hal

yaitu stigma masyarakat (public stigma) dan stigma pada orang itu sendiri

(self stigma).

a. Stigma masyarakat (public stigma)

Komponen pada stigma masyarakat meliputi stereotype,

prejudice, dan discrimination. Komponen stereotype (label) pada

stigma masyarakat meliputi kepercayaan negatif tentang kelompok

masyarakat tertentu meliputi ketidakmampuan, kelemahan, dan

membahayakan. Sebutan orang gila digambarkan sebagai orang


yang tidak normal, tidak bertanggung jawab, dikucilkan dari

masyarakat dansulit untuk disembuhkan

 Pada komponen prejudice (prasangka) merupakan suatu sikap

sering kali mengarah pada evaluasi yang bersifat negatif terdapat

unsur persetujuan terhadap kepercayaan atau reaksi negatif seperti

marah dan takut. Prasangka yang timbul berupa prososial perasaan

(perlu untuk membantu, kasihan, simpati), perasaan 11 takut dan

terkait(tidak nyaman, tidak aman), perasaan marah dan jengkel

(Angermeyer, 2013)

 Pada komponen discrimination (mengucilkan) merupakan

perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan

untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok,

berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat katagorikal, atau atribut-

atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama atau

keanggotaan kelas-kelas sosial fulthoni, et al (2009).

b. Stigma pada orang itu sendiri (self stigma)

Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa stigma pada

diri sendiri mempunyai pandangan negatif pada diri sendiri,

bereaksi dengan emosional dan berperilaku menghindar. Sikap dan

perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa tidak mampu,

lemah, harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung,


berbeda dari orang lain dan gagal mendapatkan kesempatan kerja

(Angermeyer, 2013).

4. Dampak Stigma

Stigma dengan berbagai identitas negatif dari masyarakat akan

mempengaruhi interaksi dan dukungan social terhadap penderita,

sehingga penderita sering tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja

dan menjadi pengangguran. Dalam stigma diinternalisasi atau self-

stigma, proses bertahap asimilasi psikologis stereotip masyarakat

terhadap penyakit mental dikatakan terjadi sehingga orang dengan

penyakit mental semakin kehilangan apa yang mereka pikirkan dan

keinginan mereka di masa depan (Yanos PT et al, 2008).

Pada dasarnya, Orang tidak hanya percaya bahwa orang lain

berpikir bahwa dia berharga atau tidak, misalnya menikah, tapi juga

berpendapat bahwa ia tidak benar-benar layak dan tidak boleh menikah.

Hal ini akan mengubah fundamental persepsi orang tersebut tentang

diri mereka sendiri dan mengarah ke perubahan perilaku seseorang

dengan cara melakukan persepsi terinternalisasi yang dianggap sesuai

(Thornicroft G et al, 2007).

D. Pengetahuan

1. Pengertian Definisi
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan

terhadap obyek terjadi melalui panca indera manusia yakni pengelihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu

penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2013).

Pengetahuan menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2013), merupakan

satu dari tiga domain yang mempengaruhi perilaku manusia. Pengetahuan

memiliki peranan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan.

2. Cara memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa faktor yang dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu cara tradisional dan cara modern

(Notoatmodjo, 2013).

a. Cara tradisional Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukannya

metode ilmiah, cara tersebut antara lain:

1) Cara coba salah


Cara coba salah dikenal dengan trial and error. Cara coba

salah ini dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah, apabila kemungkinan itu tidak

berhasil dicoba kemungkinan yang lain, dan apabila ketiga

gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai

masalah tersebut dapat dipecahkan.

2) Cara kekuasaan atau otoritas

Cara pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintah, tokoh

agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya

mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan

penegetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima

pendapat yang disampaikan oleh orang yang mempunyai

otoritas, tanpa menguji atau membuktikan kebenarannya

terlebih dahulu baik secara empiris ataupun berdasarkan

penalaran sendiri. Orang yang menerima pendapat

menganggap bahwa apa yang ditemukan orang yang

mempunyai otoritas selalu benar.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya

memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara

mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam


pemecahan masalah yang dihadapi pada masa-masa yang

lalu.

4) Melalui jalan pikiran

Seiring dengan perkembangan kebudayaan umat manusia,

cara berfikir manusia pun ikut berkembang, sehingga telah

mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh

pengetahuan, baik secara berpikir deduksi ataupun induksi.

b. Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan

dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut

metode penelitian. Melalui metode ini selanjutnya dikenal dengan

metode ilmiah penelitian.

3. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), ada enam tingkatan pengetahuan yang

dicapai dalam domain kognitif, yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

disepakati sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat

ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui.

c. Aplikasi (Appllication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

riil (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi

atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di

dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya

satu sama lain.

e. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk melaksanakan

atau bagianbagian di dalam suatu keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Depkes R.I dalam Wawan dan Dewi (2013), pengetahuan

dipengaruhi oleh:

a. Faktor internal
1) Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap

pola hidup terutama dalam motivasi sikap. Semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka semakin mudah untuk

penerimaan informasi.

2) Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu cara mencari nafkah yang

membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Pekerjaan

dilakukan untuk menunjang kehidupan pribadi maupun

keluarga. Bekerja dianggap kegiatan yang menyita waktu.

3) Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai dari

dilahirkan sampai berulang tahun, semakin cukup umur,

tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih

matang dalam berfikir.

b. Faktor eksternal

1) Faktor lingkungan

Lingkungan sekitar dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku individu maupun kelompok. Jika lingkungan

mendukung ke arah positif, maka individu maupun kelompok

akan berperilaku positif, tetapi jika lingkungan sekitar tidak


kondusif, maka individu maupun kelompok tersebut akan

berperilaku kurang baik.

2) Sosial budaya Sistem sosial budaya yang ada dalam

masyarakat dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5. Indikator Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan diamati dalam penelitian ini adalah menurut Arikunto

(2010), pengetahuan seseorang dapat diketahuai dan diinterpretasikan

dengan skala, yaitu:

a. Baik apabila 76-100% pertanyaan dapat dijawab dengan benar

b. Cukup apabila 56-75% pertanyaan dapat dijawab dengan benar

c. Kurang apabila < 56% pertanyaan dapat dijawab dengan benar.


DAFTAR PUSTAKA

Anastasia et al. (2020). Pengetahuan mengenai Gangguan Depresi dan Stigma

mengenai Orang dengan Gangguan Depresi pada Orang Muda Usia 15 sampai

25 Tahun di Indonesia.

Asti, A. D. (2016). PUBLIC STIGMA TERHADAP ORANG DENGAN

GANGGUAN JIWA DI KABUPATEN KEBUMEN. Jurnal Ilmiah Kesehatan

Keperawatan, 12(3), 176.

CarlyJohnco. (2018). Depression literacy and stigma influence how parents perceive

and respond to adolescent depressive symptoms. Journal of Affective Disorders,

241, 599–607.

Dewi, E. I. (2019). STIGMA AGAINST PEOPLE WITH SEVERE MENTAL

DISORDER (PSMD) WITH CONFINEMENT “PEMASUNGAN.” NurseLine

Journal, 4(2), 131.

Koschorke, M. (2017). Experiences of stigma and discrimination faced by family


caregivers ofpeople with schizophrenia in India. Social Science & Medicine, 66–

77.

Laporan Riskesdas Sumbar. (2018). Laporan Provinsi Sumatera Barat, Riskesdas

2018.

National Alliance on Mental Health. (2021). The Many Impacts of Self-Stigma.

National Alliance on Mental Health. https://www.nami.org/Blogs/NAMI-

Blog/February-2021/The-Many-Impacts-of-Self-Stigma?

fbclid=IwAR0B4mzj7e07I8QDOwAZJw7wOZkw8oSn9NPuU8jPrepLBwE2itw

CbVtL2Mc_aem_Aa-thqJPymJWXF8IC0B9zetskuzabKz11W10wxxWcQ2pet-

JleVpcwzJdMwxwCpHQMASFocmHFWnHUI_vM2EMdKxW9LTp0HKnQ4

National Institute of Mental Health. (2019). Mental Illness.

https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/mental-illness.shtml#part_154784

Nurdiyanto, F. (2020). Masih ada harapan: Eksplorasi pengalaman pemuda yang

menangguhkan bunuh diri. Jurnal Psikologi Indonesia, 9(2), 369.

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2019). Info Datin Kesehatan Jiwa di

Indonesia.

Pusdatin Kemenkes RI. (2019). Infodatin situasi dan pencegahan bunuh diri.

Rika Sarfika. (2017). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

STIGMA SOSIAL TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA PADA REMAJA DI


SUMATERA BARAT.

Riset Tirto.id. (2018). Stigma Sosial Menghalangi Kesembuhan Penderita Gangguan

Jiwa. https://tirto.id/stigma-sosial-menghalangi-kesembuhan-penderita-

gangguan-jiwa-ekv2

Riskesdas. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018.

Schiller, Y. (2013). Increasing knowledge about depression in adolescents: effects of

an information booklet. Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 49, 51–58.

Singh, S. (2019). A systematic review of depression literacy: Knowledge, help-

seeking and stigmatising attitudes among adolescents. Journal of Adolescence,

74, 154–172.

World Health Organization. (2019a). Mental disorders. https://www.who.int/news-

room/fact-sheets/detail/mental-disorders

World Health Organization. (2019b). World Suicide Prevention Day.

https://www.who.int/news-room/events/detail/2019/09/10/default-

calendar/world-suicide-prevention-day

World Health Organization. (2020a). Adolescent mental health.

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health

World Health Organization. (2020b). Depression. https://www.who.int/news-

room/fact-sheets/detail/depression

Anda mungkin juga menyukai