FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
FEBRUARI 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan mental telah menjadi sorotan dunia saat ini. Sekitar satu dari lima
orang di dunia memiliki kondisi kesehatan mental yang buruk. Menurut WHO
(2020) masalah kesehatan mental meningkat 16% dari beban penyakit dan cedera
global pada orang berusia 10-19 tahun. Separuh dari semua gangguan kesehatan
mental di masa dewasa dimulai pada usia 14 tahun, tetapi kebanyakan kasus tidak
terdeteksi dan tidak diobati. Berdasarkan data statistik WHO menyebutkan bahwa
estimasi individu yang mengalami gangguan mental terdapat 450 juta jiwa di
dunia. Secara global, diperkirakan 264 juta orang terkena depresi, 45 juta orang
yang mengalami gangguan bipolar, 20 juta orang terkena skizofrenia, dan sekitar
50 juta orang menderita demensia (WHO, 2019). Menurut data National Institute
of Mental Health (NIMH) menjelaskan bahwa usia dewasa muda 15-18 tahun
memiliki prevalensi lebih tinggi (29,4%) dibandingkan usia dewasa berusia 26-49
tahun (25,0%), dan usia 50 ke atas (14,1%) jiwa yang terdeteksi (NIMH, 2019).
dari 706.688 subjek yang dianalisis. Menurut perhitungan beban penyakit tahun
2017 Disabilty Adjusted Life Year (DALYs) gangguan depresi menjadi prioritas
masalah kesehatan mental yang menjadi urutan pertama dalam tiga dekade
terakhir (1990-2017) (Infodatin Kesehatan Jiwa, 2019). Gangguan depresi sudah
mulai terjadi sejak usia 15-24 tahun sebanyak 6,1% atau setara dengan 11 juta
jiwa. Semakin tinggi tingkat usia maka pola prevalensi depresi semakin
Barat. Kota Padang berada di peringkat pertama dengan jumlah kasus depresi
sebanyak 4.547 jiwa dari jumlah penduduk 25.227 jiwa yang terdata (Laporan
Riskesdas Sumbar, 2018). Proporsi yang memiliki gangguan mental yang pernah
dipasung menurut tempat tinggal lebih banyak di perdesaan (31,8%) dari pada di
perkotaan (31,1%) (Kemenkes RI, 2019). Hal tersebut disebabkan karena sikap
karena tidak adanya biaya untuk pengobatan dan pengetahuan keluarga terhadap
penderita tidak ter-edukasi dengan baik sehingga terjadilah stigma negatif oleh
masyarakat bahwa penderita gangguan mental tidak akan pernah sembuh (Dewi,
2019)
bergerak lebih lambat dari biasanya, keputusasaan, hingga tindakan untuk bunuh
diri. Depresi dan gangguan mental dapat berdampak besar pada semua aspek
kematian akibat bunuh diri. Hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri
setiap tahun. Tercatat satu orang setiap 40 detik kejadian bunuh diri (WHO,
2019). Di Indonesia, estimasi angka kematian akibat bunuh diri tahun 2018
juta jiwa. Perkiraan angka kematian terhadap bunuh diri di Indonesia sekitar
1.800 kasus per tahun. Menurut hasil Survei Kesehatan berbasis Sekolah (GSHS)
2020). Proporsi keinginan untuk bunuh diri pada pelajar SMP dan SMA menurut
sumber GSHS tahun 2015 remaja perempuan lebih banyak keinginan bunuh diri
Akibat prevalensi yang banyak ini tentu menjadi gawat untuk kesehatan mental di
Indonesia karena depresi bisa berdampak pada bunuh diri. Apabila frekuensi
tersebut terus bertambah, maka angka kematian juga akan semakin meningkat.
Label pada penderita depresi adalah salah satu label yang paling
yang telah diterima dan menjadi sumber perhatian di masyarakat (Rika S, 2017).
Stigma depresi dapat mencakup ketidaktahuan dan informasi yang salah tentang
depresi, tetapi dibedakan dari literasi kesehatan mental dengan penggabungan sikap
prasangka dan diskriminasi perilaku (Thornicroft et al, 2007; Carly et al, 2018).
Keyakinan stigmatisasi yang umum termasuk persepsi bahwa orang dengan depresi
tidak dapat diprediksi atau berbahaya, bahwa depresi disebabkan oleh kelemahan
pribadi dan dapat dikendalikan, dan perasaan bersalah atau malu karena mengalami
khusus. Dengan stigma negatif akan sulit untuk membantu penderita yang
Bentuk stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma diri pada orang tersebut (self
stigma) suatu bentuk internalisasi stigma social terhadap diri sendiri sedangkan
stigma pada masyarakat (stigma publik) perilaku dan sikap stigma yang terjadi
pada masyarakat (Asti, 2016). Usia yang lebih muda cenderung memiliki
sendiri karena sakit. Merasa bahwa apa yang sedang dideritanya adalah sebuah
kesalahan dan merasa orang lain tidak mampu memahami perasaannya. Pada
stereotip pada diri sendiri, seperti orang dengan penyakit mental yang bersifat
kekerasan, tidak dapat menjalani kehidupan yang baik atau bermanfaat, tidak
dapat melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain pada umumnya. Pada
diabaikan atau tidak dianggap, percaya bahwa orang lain tidak menginginkan
berhubungan dengannya, dan merasa tidak mampu mencapai banyak hal. Pada
dengan orang lain, merasa seperti beban, menganggap dirinya memalukan bagi
pada penderita depresi adalah edukasi dan pengetahuan yang rendah terhadap
kesehatan mental (Riset Tirto.id, 2018). Kurangnya pengetahuan tentang
ditangkap melalui proses sensori dari panca indera terutama pada suatu objek
yang dilihat dan didengar. Pengetahuan yang lebih rendah tentang penyakit
mental telah dikaitkan dengan sikap stigmatisasi dalam beberapa penelitian (Jorm
oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya (Wawan
Penelitian yang dilakukan oleh Sarbhan Singh dan Rafdzah (2019) dengan
mencari bantuan dari sumber informal dan cenderung memasang stigma pada
depresi.
perawatan mereka sendiri serta mengenali masalah kesehatan mental spesifik ini
untuk mencari bantuan kesehatan bagi yang mengalami depresi. Sehingga hal
tersebut mengakibatkan stigma bagi diri sendiri, teman sebaya, dan dikalangan
masyarakat. Maka dari itu perlu adanya upaya preventif dan promotif untuk
ada lagi masyarakat yang menstigma bahwa orang dengan gangguan mental bisa
dengan baik, hal tersebut dapat mengurangi stigma negatif pada masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
a) Tujuan umum
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk melihat Hubungan
b) Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui Distribusi frekuensi Pengetahuan Remaja
terhadap Depresi.
Remaja.
D. Manfaat
a) Bagi Peneliti
wawasan peneliti.
b) Bagi Keperawatan
yang berguna bagi remaja dan dapat menjadi bahan perencanaan program
program preventif.
d) Bagi Sekolah
Dapat dijadikan data atau informasi bagi sekolah tentang kejadian
depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata lain adolecere (kata
merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua
berlainan jenis
orang tua
kehidupan keluarga.
berubah lagi
masyarakat umum.
a. Pertumbuhan Fisik
b. Perkembangan Seksual
lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang tua
tuanya.
B. Depresi
1. Definisi Depresi
empedu. Namun pada tahun 1905 telah berubah menjadi depresi karena
mendalam sampai merasa harapan untuk hidup hilang tetapi tidak terjadi
Berdasarkan data dari WHO diperkirakan depresi terjadi pada 350 juta
40-59 tahun (9,45%), diikuti oleh kelompok usia 18- 39 tahun (8%), dan
terjadi pada 25% remaja, 3-5% remaja mengalami depresi sedang hingga
berat. Kematian akibat depresi berat tinggi oleh karena banyaknya kasus
bunuh diri sebesar 25%. Wanita lebih sering terkena depresi dibanding
dengan pria (2:1) dimana perbedaan ini sangat Nampak pada usia remaja.
a. Etiologi
psikososial.
Faktor biologis
Faktor genetik
Faktor psikososial
b. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan
Jenis kelamin
pria. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu karena adanya
Usia
4. Klasifikasi Depresi
Ada berbagai tipe dari depresi, berikut klasifikasi dari depresi, yaitu:
bersalah, dan pikiran untuk mati atau bunuh diri. Lama gejala yang
c. Gangguan distimia
beraktivitas sehari-hari.
C. Stigma
1. Definisi Stigma
moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu pada atribut
2. Proses Stigma
penyakit
hari
3. Jenis Stigma
Rusch et.al (2005), menjelaskan bahwa stigma terbagi menjadi dua hal
yaitu stigma masyarakat (public stigma) dan stigma pada orang itu sendiri
(self stigma).
(Angermeyer, 2013)
(Angermeyer, 2013).
4. Dampak Stigma
berpikir bahwa dia berharga atau tidak, misalnya menikah, tapi juga
D. Pengetahuan
1. Pengertian Definisi
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
(Notoatmodjo, 2013).
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak
(Notoatmodjo, 2013).
a. Cara tradisional Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk
lalu.
b. Cara modern
dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut
3. Tingkatan Pengetahuan
a. Tahu (Know)
Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
c. Aplikasi (Appllication)
riil (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
e. Sintesis (Syntesis)
f. Evaluasi (Evaluation)
dipengaruhi oleh:
a. Faktor internal
1) Pendidikan
penerimaan informasi.
2) Pekerjaan
3) Umur
b. Faktor eksternal
1) Faktor lingkungan
mengenai Orang dengan Gangguan Depresi pada Orang Muda Usia 15 sampai
25 Tahun di Indonesia.
CarlyJohnco. (2018). Depression literacy and stigma influence how parents perceive
241, 599–607.
77.
2018.
Blog/February-2021/The-Many-Impacts-of-Self-Stigma?
fbclid=IwAR0B4mzj7e07I8QDOwAZJw7wOZkw8oSn9NPuU8jPrepLBwE2itw
CbVtL2Mc_aem_Aa-thqJPymJWXF8IC0B9zetskuzabKz11W10wxxWcQ2pet-
JleVpcwzJdMwxwCpHQMASFocmHFWnHUI_vM2EMdKxW9LTp0HKnQ4
https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/mental-illness.shtml#part_154784
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2019). Info Datin Kesehatan Jiwa di
Indonesia.
Pusdatin Kemenkes RI. (2019). Infodatin situasi dan pencegahan bunuh diri.
Jiwa. https://tirto.id/stigma-sosial-menghalangi-kesembuhan-penderita-
gangguan-jiwa-ekv2
74, 154–172.
room/fact-sheets/detail/mental-disorders
https://www.who.int/news-room/events/detail/2019/09/10/default-
calendar/world-suicide-prevention-day
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health
room/fact-sheets/detail/depression