Anda di halaman 1dari 58

PROPOSAL

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN STIGMA DEPRESI PADA


REMAJA

Penelitian Keperawatan Jiwa

PUTRI INDAH PERMATA


1711313014

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
FEBRUARI 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan mental telah menjadi sorotan dunia saat ini. Sekitar satu dari lima

orang di dunia memiliki kondisi kesehatan mental yang buruk. Menurut WHO

(2020) masalah kesehatan mental meningkat 16% dari beban penyakit dan cedera

global pada orang berusia 10-19 tahun. Separuh dari semua gangguan kesehatan

mental di masa dewasa dimulai pada usia 14 tahun, tetapi kebanyakan kasus tidak

terdeteksi dan tidak diobati. Berdasarkan data statistik WHO menyebutkan bahwa

estimasi individu yang mengalami gangguan mental terdapat 450 juta jiwa di

dunia. Secara global, diperkirakan 264 juta orang terkena depresi, 45 juta orang

yang mengalami gangguan bipolar, 20 juta orang terkena skizofrenia, dan sekitar

50 juta orang menderita demensia (WHO, 2019). Menurut data National Institute

of Mental Health (NIMH) menjelaskan bahwa di Amerika usia dewasa muda 15-

18 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi (29,4%) dibandingkan usia dewasa

berusia 26-49 tahun (25,0%), dan usia 50 ke atas (14,1%) jiwa yang terdeteksi

(NIMH, 2019).

Di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

melaporkan prevalensi gangguan mental yang terjadi di Indonesia mencapai 9,8%

dari 706.688 subjek yang dianalisis. Menurut perhitungan beban penyakit tahun

2017 Disabilty Adjusted Life Year (DALYs) menyebutkan bahwa gangguan


depresi menjadi prioritas masalah kesehatan mental yang menjadi urutan pertama

dalam tiga dekade terakhir (1990-2017) (WHO, 2017). Gangguan depresi sudah

mulai terjadi sejak usia 15-24 tahun sebanyak 6,1% atau setara dengan 11 juta

jiwa. Semakin tinggi tingkat usia maka pola prevalensi depresi semakin

meningkat (Riskesdas, 2018).

Terdapat Sebanyak 8,15% populasi yang mengalami depresi di Sumatera

Barat. Kota Padang berada di peringkat pertama dengan jumlah kasus depresi

tertimbang sebanyak 4.547 jiwa dari jumlah penduduk 25.227 jiwa yang terdata

dengan persentase angka kasus sebanyak 7,76% (Laporan Riskesdas Sumbar,

2018). Proporsi yang memiliki gangguan mental yang pernah dipasung menurut

tempat tinggal lebih banyak di perdesaan (31,8%) dari pada di perkotaan (31,1%)

(Kemenkes RI, 2019). Hal tersebut disebabkan karena sikap pasrah keluarga yang

membiarkan penderita gangguan mental untuk dipasung karena tidak adanya

biaya untuk pengobatan dan pengetahuan keluarga terhadap penderita tidak ter-

edukasi dengan baik sehingga terjadilah stigma negatif oleh masyarakat bahwa

penderita gangguan mental tidak akan pernah sembuh (Dewi, 2019)

Depresi merupakan bagian dari gangguan mental yang bersifat universal

ditandai dengan kesedihan berkepanjangan serta kurangnya minat dalam

beraktifitas yang produktif atau menyenangkan. Hal tersebut juga mengganggu

tidur, nafsu makan berkurang, perasaan bersalah, kelelahan, hilangnya

konsentrasi, kesulitan membuat keputusan, mengalami kegelisahan fisik,


berbicara atau bergerak lebih lambat dari biasanya, keputusasaan, hingga tindakan

untuk bunuh diri. Depresi dan gangguan mental dapat berdampak besar pada

semua aspek kehidupan, termasuk aktivitas di sekolah, produktivitas di tempat

kerja, hubungan antar keluarga, pergaulan dengan teman, dan kemampuan untuk

berpartisipasi dalam masyarakat (World Health Organization, 2020).

Depresi salah satu kontributor yang paling berpengaruh terhadap angka

kematian akibat bunuh diri. Hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri

setiap tahun. Tercatat satu orang setiap 40 detik kejadian bunuh diri (WHO,

2019). Di Indonesia, estimasi angka kematian akibat bunuh diri tahun 2018

sebesar 0,71/100.000 penduduk dari jumlah populasi di Indonesia sebanyak 265

juta jiwa. Perkiraan angka kematian terhadap bunuh diri di Indonesia sekitar

1.800 kasus per tahun. Menurut hasil Survei Kesehatan berbasis Sekolah (GSHS)

pada tingkat SMP-SMA menemukan 6,61% anak yang merasa kesepian dan

40,75% memiliki masalah kecemasan. Proporsi keinginan untuk bunuh diri pada

pelajar SMP dan SMA menurut sumber GSHS tahun 2015 remaja perempuan

lebih banyak keinginan bunuh diri (5,9) dibandingkan remaja laki-laki (4,3%)

(Global School-based Student Health Survey, 2015). Akibat prevalensi yang

banyak ini tentu menjadi gawat untuk kesehatan mental pada remaja karena

depresi bisa berdampak pada bunuh diri. Apabila frekuensi tersebut terus

bertambah, maka angka kematian juga akan semakin meningkat.


Label pada penderita depresi adalah salah satu label yang paling

menstigmatisasi. Kebanyakan orang dengan penyakit mental menghadapi stigma

di beberapa titik dari sumber eksternal, baik dari teman, anggota keluarga, bahkan

dari lingkungan sekitar (NAMI, 2021). Stigma dalam masyarakat tentang

gangguan mental telah membuat penderita mengalami kesulitan dalam

mendapatkan hak-hak pribadinya. Stigma adalah presepsi negatif dari informasi

yang telah diterima dan menjadi sumber perhatian di masyarakat (Rika S, 2017).

Stigma depresi dapat mencakup ketidaktahuan dan informasi yang salah tentang

depresi, tetapi dibedakan dari literasi kesehatan mental dengan penggabungan

sikap prasangka dan diskriminasi perilaku (Thornicroft et al, 2007; Carly et al,

2018). Keyakinan stigmatisasi yang umum termasuk persepsi bahwa orang

dengan depresi tidak dapat diprediksi atau berbahaya. Stigma ini disebabkan oleh

kelemahan pribadi yang dapat dikendalikan, dan perasaan bersalah atau malu

karena mengalami depresi (Reavley dan Jorm, 2012).

Penderita depresi sering dianggap aib bagi masyarakat, oleh karena itu

keluarga penderita depresi lebih memilih mengurung dan memasung anggota

keluarga yang sedang menderita depresi di rumah daripada memberikan

pendampingan serta perawatan khusus. Dengan stigma negatif akan sulit untuk

membantu penderita yang memerlukan perawatan. Sedikitnya pengetahuan

tentang kesehatan mental, ataupun gangguan depresi menjadikan masyarakat


untuk memilih diam, serta melaksanakan hal yang sangat sederhana selaku dalam

upaya pengobatan (Anastasia et al, 2020).

Bentuk stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma diri pada orang tersebut (self

stigma) yaitu suatu bentuk internalisasi stigma social terhadap diri sendiri,

sedangkan stigma pada masyarakat (stigma publik) yaitu perilaku dan sikap

stigma yang terjadi pada masyarakat (Asti, 2016). Usia yang lebih muda

cenderung memiliki stigmatisasi pada penderita gangguan mental (Riset Tirto.id,

2018).

Dampak stigma bagi remaja memiliki beberapa komponen meliputi

alienation, stereotype endorsement, discrimination experience, dan Social

withdrawal. Pada komponen alienation (keterasingan) yaitu perasaan malu,

kecewa pada diri sendiri karena sakit. Merasa bahwa apa yang sedang dideritanya

adalah sebuah kesalahan dan merasa orang lain tidak mampu memahami

perasaannya. Komponen sterotype endorsement (dukungan stereotype) yaitu

memandang stereotip pada diri sendiri, seperti orang dengan penyakit mental

yang bersifat kekerasan, tidak dapat menjalani kehidupan yang baik atau

bermanfaat, dan tidak dapat melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain

pada umumnya. Pada discrimination experience (pengalaman diskriminasi) yaitu

merasa didiskriminasi, diabaikan atau tidak dianggap, percaya bahwa orang lain

tidak menginginkan berhubungan dengannya, dan merasa tidak mampu mencapai

banyak hal. Pada komponen social withdrawal (penarikan diri dari sosial) yaitu
menghindari dekat dengan orang lain, merasa seperti beban, menganggap dirinya

memalukan bagi orang yang dicintai (National Alliance on Mental Health, 2021).

Salah satu faktor penyebab terbentuknya stigma dikalangan remaja adalah

pengetahuan. Berdasarkan penelitian di Jawa Timur yang membuat stigmatisasi

pada penderita depresi adalah edukasi dan pengetahuan yang rendah terhadap

kesehatan mental (Riset Tirto.id, 2018). Kurangnya pengetahuan tentang

kesehatan mental dan kesalahpahaman terhadap orang penderita depresi

(Liamputtong, 2013). Hal-hal tersebut disebabkan karena minimnya tingkat

pengetahuan seseorang. Pengetahuan adalah sumber dari informasi yang

ditangkap melalui proses sensori dari panca indera terutama pada suatu objek

yang dilihat dan didengar. Pengetahuan yang lebih rendah tentang penyakit

mental telah dikaitkan dengan sikap stigmatisasi dalam beberapa penelitian (Jorm

et al., 2006; Thornicroft, 2006; Koschorke et al, 2017). Pengetahuan dipengaruhi

oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya (Wawan

dan Dewi, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Sarbhan Singh dan Rafdzah (2019) di

Malaysia menemukan bahwa remaja kurang mengenali depresi, mereka

cenderung mencari bantuan dari sumber informal dan cenderung memasang

stigma pada depresi. Remaja lebih menerima secara sosial dari teman yang

mengalami depresi jika mereka yakin bahwa teman sebaya yang depresi memiliki

sedikit kendali atas penyebab depresinya. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Sharma dkk mayoritas remaja melaporkan bahwa mereka tidak akan memberi

tahu siapa pun jika mereka menderita depresi dan menganggap orang yang

menderita depresi tidak dapat diprediksi. Ini mengkhawatirkan, karena

mencerminkan kurangnya pemahaman bahwa depresi adalah masalah medis yang

membutuhkan bantuan professional yang harus dicari.

Di Jerman penelitian yang dilakukan oleh schiller (2013) menyatakan bahwa

untuk menguji peningkatan pengetahuan melalui buklet dengan tujuan

mengurangi stigma dan memfasilitasi kesadaran akan kebutuhan pengobatan

sendiri. Buklet tersebut sebagai pendekatan pendidikan ambang rendah dapat

secara signifikan meningkatkan pengetahuan khusus tentang depresi pada siswa.

Karenanya, ini membantu remaja untuk mengetahui gejala dan kebutuhan

perawatan mereka sendiri serta mengenali masalah kesehatan mental yang

spesifik pada teman sebayanya. Dengan demikian, buklet dapat berkontribusi

pada pengurangan stigma dan hambatan pengobatan pada remaja.

Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan mental mempengaruhi stigma pada

remaja untuk mencari bantuan kesehatan bagi yang mengalami depresi. Sehingga

hal tersebut mengakibatkan stigma bagi diri sendiri, teman sebaya, dan

dikalangan masyarakat. Maka dari itu perlu adanya upaya preventif dan promotif

untuk mengedukasi masyarakat tentang penanganan kesehatan mental. Sehingga

tidak ada lagi masyarakat yang menstigma bahwa orang dengan gangguan mental

bisa sembuh dengan memberikan support sistem kepada mereka yang mengalami
gangguan. Apabila diberikan edukasi maka pengetahuan masyarakat terbekali

dengan baik, hal tersebut dapat mengurangi stigma negatif pada masyarakat.

Penelitian ini akan dilakukan di kota Padang dikarenakan menurut Dinas

Kesehatan Kota Padang prevalensi yang paling banyak angka kasus depresi itu

berada di wilayah kecamatan Lubuk Begalung yaitu sekitar 92 kasus yang

terdeteksi. Selain itu kecamatan Padang Timur memiliki kasus depresi sebanyak

72 dan kecamatan Kuranji sebanyak 71 kasus yang dilaporkan. Berdasarkan

fenomena stigma yang terjadi pada remaja, mengakibatkan rendahnya

pengetahuan tentang gangguan depresi . Maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian lebih lanjut tentang Hubungan Pengetahuan Dengan Stigma Depresi

Pada Remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik

melakukan penelitian tentang: “Hubungan Pengetahuan Dengan Stigma Depresi

pada Remaja di SMK …. Padang.”

C. Tujuan

Adapun tujuan penulis dibagi menjadi 2:

a) Tujuan umum

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui

pengetahuan tentang depresi dengan stigma depresi pada remaja

b) Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui Distribusi frekuensi Pengetahuan Remaja

terhadap Depresi.

2. Untuk mengetahui Distribusi frekuensi Stigma Depresi pada

Remaja.

3. Untuk mengetahui Hubungan pengetahuan remaja dengan depresi

4. Untuk mengetahui hubungan stigma depresi pada remaja

D. Manfaat

a) Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan

dan pengalaman serta mengetahui bagaimana kekuatan hubungan

pengetahuan dengan stigma depresi pada remaja.

b) Bagi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan

yang berguna bagi remaja dan dapat menjadi bahan perencanaan program

kesehatan di kemudian hari terutama dalam program promotif dan

program preventif.

c) Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu keperawatan dan menjadi acuan penelitian

selanjutnya dan dapat menambah informasi untuk memperluas

pengetahuan tentang stigma depresi pada remaja.

d) Bagi Sekolah
Dapat dijadikan data atau informasi bagi sekolah tentang kejadian

stigma depresi pada remaja dan meningkatkan pengetahuan remaja

tentang depresi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja menurut kamus (Merriam-Webster) merupakan periode

kehidupan individu mengalami pertumbuhan fisik dan perubahan

psikologis yang sangat besar. Pada masa ini usia seseorang berumur

belasan tahun. Masa remaja diklasifikasikan sebagai masa dalam

kehidupan manusia yang bukan lagi anak-anak, melainkan belum

dewasa.

Menurut teori Erickson yang menafsirkan remaja adalah masa mencari

identitas diri dan terjadinya krisis identitas. Gagasan Erickson ini

dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status
identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/confussion,

moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia,

dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang

sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering

menimbulkan masalah pada diri remaja (Ahyani, 2018).

2. Tahap Perkembangan Remaja

Menurut Kartono (1990) dalam (Ahyani, 2018), ada tiga tahap

perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa :

a. Remaja Awal (Early Adolescene)

Pada tahap ini remaja berusia 12-15 tahun atau yang

biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan,

dimana terjadinya perubahan pada dirinya baik secara fisik,

psikis, dan social. Pada masa peralihan tersebut kemungkinan

dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan

kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi

tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku

yang menggangu. Selain itu pada masa ini remaja sering

merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa

kecewa.

b. Remaja Madya (Middle Adolescene)


Remaja pertengahan terjadi di usia 15-18 tahun.

Remaja pada tahap ini lebih mudah untuk diajak kerja sama,

lebih mampu berkompromi, belajar berpikir secara independent

dan membuat keputusan sendiri, tidak lagi terfokus pada diri

sendiri, dan merasa perlu mengumpulkan pengalaman baru,

mengujinya walaupun berisiko.

Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan

melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis.

Bermula dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja

awal maka pada rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada

diri sendiri. Rasa Percaya diri pada remaja menimbulkan

kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap

tingkah laku yang dilakukannya.

c. Remaja Akhir (late Adolescene)

Pada tahap ini (18-21 tahun), remaja memasuki era

yang lebih ideal dari tahap sebelumnya. Remaja sudah

mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang

digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai

memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya.

Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu

pola yang jelas yang baru ditemukannya. Remaja mulai terlibat

dalam kehidupan pekerjaan dan hubungan di luar keluarga.


Mulai belajar mengatasi stress yang dihadapinya namun

kecemasan dan ketidakpastian masa depan merusak harga diri

dan keyakinan diri ramaja. Harus belajar untuk mencapai

kemandirian, baik dalam bidang financial maupun emosional.

Remaja hampir siap untuk menjadi orang dewasa yang

mandiri.

3. Tugas – Tugas Perkembangan Remaja

Semua tugas-tugas perkembangan masa remaja terfous pada

bagaimana melalui sikap dan pola perilaku kanak-kanak serta berusaha

mempersiapkan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku

secara dewasa. Adapun rincian tugas-tugas perkembangan pada masa

remaja menurut Hurlock (1991) dalam Mohammad Ali (2014) adalah

sebagai berikut :

a. Mampu menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuhnya

secara efektif

b. Mencapai relasi yang lebih matang dengan teman seusia dari lawan

jenisnya.

c. Mampu mencapai peran social dan membina hubungan baik

dengan anggota kelompok yang berbeda jenis

d. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

e. Mencapai perilaku untuk bertanggung jawab secara sosial


f. Mencapai kemandirian secara emosional dari orang tua dan orang

dewasa lainnya

g. Mencapai kemandirian dalam mempersiapkan karir ekonomi

h. Mempersiapkan dan mengembangkan konsep dan keterampilan

secara intelektual untuk melakukan peran pentingnya sebagai

anggota masyarakat.

i. Memahami nilai-nilai internal orang dewasa dan orang tua.

j. Memperoleh suatu nilai dan sistem etis untuk mengarahkan

perilaku.

k. Mempersiapkan diri untuk menikah dan berkeluarga.

l. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga.

4. Ciri - Ciri Remaja

Ciri ciri pada remaja menurut (Zulkifli, 2012) adalah :

a. Pertumbuhan Fisik

Perubahan bentuk dan ciri-ciri fisik berkaitan mulainya

pubertas pada remaja. Hormon pertumbuhan memproduksi

dorongan pertumbuhan yang cepat, yang membawa tubuh

mendekati tinggi dan berat dewasanya dalam sekitar dua tahun.

Pertumbuhan lebih awal terjadi pada wanita dibandingkan dengan

pria. Hal ini menandakan bahwa wanita lebih dahulu matang

secara seksual daripada pria. Pencapaian kematangan seksual


pada gadis remaja ditandai oleh kehadiran menstruasi dan pada

pria ditandai oleh produksi semen. Perubahan fisik dapat

berhubungan dengan penyesuaian psikologis; beberapa studi

menganjurkan bahwa individu yang menjadi dewasa di usia dini

lebih baik dalam menyesuaikan diri daripada rekan-rekan mereka

yang menjadi dewasa lebih lambat.

b. Perkembangan Seksual

Tanda-tanda perkembangan seksual pada remaja laki-laki yaitu

mengalami masa mimpi yang pertama, yang tanpa sadar

mengeluarkan sperma. Ciri-ciri lainnya adalah pada leher

menonjol buah jakun yang membuat nada suaranya menjadi

pecah. Kemudian di atas bibir dan kemaluannya mulai tumbuh

bulu-bulu (rambut). Sedangkan pada remaja perempuan, bila

rahimnya sudah dibuahi karena ia sudah mendapat menstruasi

(datang bulan) yang pertama.

c. Cara Berfikir Kausalitas

Berfikir kausalitas yaitu menyangkut hubungan sebab dan

akibat. Remaja cenderung mempertanyakan hal-hal yang dilarang

oleh orang tuanya Remaja sudah mulai berfikir kritis. Ia akan

melawan bila orangtua, guru, lingkungan, masih menganggap

mereka sebagai anak kecil. Bila guru dan orangtua tidak


memahami cara berfikir remaja maka akan mengakibatkan

kenakalan remaja seperti perkelahian antar pelajar yang sering

terjadi di kota-kota besar.

d. Emosi yang Meluap-luap

Keadaan emosi pada remaja masih labil karena erat

hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat

merasa sedih berlebihan, di lain waktu remaja dapat merasa

marah berlebihan. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai

diri mereka daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai Tertarik Kepada Lawan Jenis

Dalam kehidupan sosial, remaja sudah mulai tertarik kepada

lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang tua

kurang mengerti, kemudian melarangnya, maka akan timbul

permasalahan dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang

tuanya.

f. Menarik Perhatian Lingkungan

Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari

lingkungannya, remaja akan berusaha mendapatkan status dan

peranan dalam kegiatan remaja dikampung-kampungnya.

g. Terikat Dengan Kelompok

Dalam kehidupan sosial remaja sangat tertarik kepada

kelompok sebanyanya, sehingga tidak jarang terjadi orang tua


dinomor duakan sedangkan kelompoknya dinomor satukan. Pada

pengalaman, kelompok remaja berusaha berbuat sama, misalnya

berpacaran, berkelahi dan mencuri walaupun yang dilakukan itu

tidak baik.

5. Masalah Kesehatan Jiwa pada Remaja

Adanya penyimpangan dan hambatan dalam tahapan perkembangan

remaja, jika tidak terselesaikan dengan baik dapat menimbulkan masalah

kesehatan mental. Masalah tersebut dapat berasal dari diri remaja itu

sendiri, hubungan orang tua dengan remaja, maupun akibat interaksi

sosial di luar lingkungan keluarga, sehingga akibat lanjutnya terjadi

masalah kesehatan mental dengan manifestasi yang bermacam-macam,

seperti kesulitan dalam proses belajar, bingung dalam mengenali peran,

kenakalan remaja, dan perilaku seksual yang menyimpang (Sumiati,

2009).

Penggolongan masalah kesehatan mental pada remaja sangat beragam,

hal ini berkaitan dengan :

a. Gangguan Kecemasan

Remaja yang merasakan gangguan ini akan mengalami indikasi

kegelisahan, susah tidur, konsentrasi lemah, gampang tersinggung

serta tertekan, merasakan sakit kepala, pusing, dan mudah lelah.

Umumnya gangguan kecemasan ini dipengaruhi oleh fobia sosial


serta fobia khusus. Fobia sosial ialah kecemasan yang terjadi di

saat situasi tertentu, sebaliknya fobia khusus ialah ketakutan yang

terjadi secara berulang serta tidak rasional terhadap situasi serta

obyek tertentu dan menimbulkan sikap menjauh.

b. Gangguan Mood (Afektif)

Gangguan afektif sering dipengaruhi oleh perubahan mood

antara perasaan bahagia dengan depresi tanpa adanya penyebab

yang jelas. Ketika mood meningkat, maka energi seolah selalu

penuh dan mampu mengerjakan aktivitas dan tugas dengan

semangat menggebu. Namun, ketika mood kurang baik, aktivitas

dan tugas-tugas dapat dibiarkan begitu saja dan susah untuk tekun.

Mood yang terus berubah ini juga akan terganggu terhadap

hubungan sosial mereka.

c. Stres

Menurut penelitian Lazarus dan Folkman, stres adalah

hubungan antara individu dengan lingkungan yang menganggap

hal tersebut menjadi beban dan mengancam kesehatannya. Stress

bersifat subjektif dimana individu yang merasakan dalam kondisi

yang sama menilai hal tersebut positif, netral atau negatif oleh

orang yang berbeda. Oleh sebab itu, seseorang merasa dirinya

lebih stres daripada orang lain walaupun mengalami kejadian yang

sama. Selain itu, semakin banyak kejadian yang dianggap stres


oleh seseorang, maka semakin besar kemungkinan seseorang

tersebut mengalami stres yang lebih berat.

d. Depresi

Depresi ditandai oleh suasana hati yang sangat buruk, dengan

hilangnya minat dan merasakan bahagia dalam aktivitas yang

biasanya terasa menggembirakan. Depresi dapat bersifat ringan,

menengah, dan berat. Depresi ringan, biasanya membutuhkan

usaha untuk mengerjakan tugas-tugas sehari-hari. Depresi

menengah, ditandai dengan melemahnya kemampuan bekerja dan

bersosial, Depresi berat, melibatkan melemahnya kemampuan

bekerja dan bersosial secara mencolok, biasanya diikuti dengan

halusinasi dan delusi.

e. Bullying

Remaja korban bully sering mengalami depresi dan memiliki

ide bunuh diri, dan penurunan kemampuan berfungsi. Anak-anak

yang menjadi korban bully cenderung memiliki perilaku nakal saat

mereka beranjak dewasa. Bullying pada remaja juga sering terjadi

melalui dunia maya atau dikenal dengan cyber bullying melalui

cara mengirimkan pesan singkat yang isinya mengintimidasi,

menyebarkan informasi pribadi pada situs umum, berpura-pura

menjadi orang lain dengan maksud mempermalukan remaja


tersebut, atau mengeluarkan seseorang dari ruang percakapan

(Stuart, 2016).

f. Kekerasan

Kebanyakan remaja yang menampilkan perilaku agresif

mengalami frustasi dan memiliki role model yang melakukan

kekerasan pada masa kanak-kanaknya. Faktor resiko terjadinya

kekerasan pada remaja disebabkan oleh ikatan emosi yang lemah

dengan orang lain, pola asuh tidak efektif (pola menghukum yang

berlebihan atau tidak konsisten dan pengawasan yang kurang),

terpapar sikap kekerasan di rumah atau di komunitas, dan faktor

sosial. Senjata merupakan penyebab kematian ketiga pada anak

usia 10-14 tahun dan penyebab kedua yang paling umum

terjadinya kematian pada remaja usia 15-24 tahun.

Penyalahgunaan obat-obat terlarang, perilaku anti sosial dan

terpapar kekerasan dari berbagai media meningkatkan angka

kejadian kekerasan pada remaja (Stuart, 2016).

g. Menciderai Diri

Mencederai anggota tubuh secara secara sengaja dengan tujuan

untuk mendapatkan perasaan yang nyaman atau untuk

menunjukkan diri, sebagai bentuk pemberontakan, atau agar

diterima oleh kelompok teman sebayanya. Bentuk mencederai diri

yang biasa dilakukan seperti mengukir, menggores, membakar,


memotong, membuat tato, menindik tubuh secara berlebihan,

menarik, menjambak kulit, dan bahkan mutilasi diri sebagai cara

menggambarkan perasaan putus asa, marah, harga diri rendah atau

butuh perhatian. Perilaku mencederai diri pada remaja biasanya

disebabkan karena kesulitan mengungkapkan perasaan,

ketidaknyamanan fisik atau penilaian diri negatif (Stuart, 2016).

h. Penggunaan Zat Adiktif

Penggunaan zat adiktif berdampak seirus pada remaja dan

menyebabkan 50% kematian pada remaja usia 15-24 tahun.

Penggunaan alkohol dan obat-obatan juga berkontribusi terhadap

timbulnya perilaku penyerangan dan kasus pemerkosaan yang

dilakukan oleh remaja. Alkohol merupakan zat yang paling sering

digunakan dan disalahgunakan oleh remaja. Remaja yang

menggunakan alkohol di usia sebelum 15 tahun beresiko empat

kali lipat untuk menjadi pecandu alkohol dibanding mereka yang

mencoba alkohol ketika berusia 21 tahun. Tingginya angka

penggunaan alkohol pada remaja berhubungan dengan tiga

penyebab kematian paling umum pada remaja yaitu kematian

akibat kecelakaan, pembunuhan dan bunuh diri. Penggunaan zat

adiktif merupakan pengaruh dari lingkungan seperti pengaruh

teman sebaya yang menggunakan narkoba. Selain itu, juga

disebabkan oleh faktor herediter, misalnya orang tua dengan


pencandu alkohol dapat mempengaruhi anaknya untuk mencoba

hal yang sama (Varcarolis, 2013).

B. Depresi

1. Definisi Depresi

Depresi adalah gangguan mental umum yang mempengaruhi lebih dari

264 juta orang di seluruh dunia. Ini ditandai dengan kesedihan yang

terus-menerus dan kurangnya minat dalam beraktivitas, memiliki

gangguan tidur dan nafsu makan, kelelahan dan konsentrasi yang buruk.

Depresi adalah penyebab utama kecacatan di seluruh dunia dan

berkontribusi besar pada beban penyakit global. Efek depresi dapat

berlangsung lama atau berulang dan dapat secara dramatis memengaruhi

kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupannya. (World Health

Organization, 2020b)

Usia yang paling rentan terjadinya depresi adalah remaja dikarenakan

separuh dari semua gangguan kesehatan mental di masa dewasa dimulai

pada usia 14 tahun. Depresi merupakan penyakit mental serius yang

biasanya ditandai oleh perasaan sedih atau cemas. Sebagian besar gejala

yang terjadi yaitu merasa sedih atau cemas, tetapi emosi ini biasanya

berlalu dengan cepat dalam beberapa hari. Depresi yang tidak diobati

dapat mengganggu aktivitas sehari-hari (Kamble, 2018).


2. Epidemiologi

Berdasarkan data dari WHO diperkirakan depresi terjadi pada 350 juta

orang dan merupakan penyakit terbesar ke-4 yang menyebabkan beban

sosial. Pada tahun 2020 WHO memperkirakan depresi akan menjadi

penyakit dengan beban sosial terbesar ke-2 di dunia.3 Berdasarkan CDC

tahun 2007-2010, prevalensi depresi tertinggi terjadi pada kelompok usia

40-59 tahun (9,45%), diikuti oleh kelompok usia 18- 39 tahun (8%), dan

kelompok usia 12-17 tahun (6,3%).

Depresi ringan (timbul perasaan kurang percaya diri dan kesepian)

terjadi pada 25% remaja, 3-5% remaja mengalami depresi sedang hingga

berat. Kematian akibat depresi berat tinggi oleh karena banyaknya kasus

bunuh diri sebesar 25%. Wanita lebih sering terkena depresi dibanding

dengan pria (2:1) dimana perbedaan ini sangat Nampak pada usia remaja.

3. Etiologi dan Faktor Risiko Depresi

a. Etiologi

Menurut atlas depresi penyebab depresi dapat dibedakan

menjadi 3 faktor, yaitu faktor biologi, faktor genetik, dan faktor

psikososial.

 Faktor biologis
Pada pasien gangguan mood terdapat abnormalitas dari kadar

monoamine neurotransmitter (norepinephrine, serotonin, dopamine

dan histamine). Norepinephrine dan serotonin merupakan

neurotransmitter yang sangat berperan dalam gangguan mood

(depresi).

 Faktor genetik

Terdapat faktor turunan pada depresi. Pada 2 orang kembar,

apabila salah satu diantaranya mengalami depresi maka 70%

kemungkinannya saudara kembarnya akan mengalami depresi

pula. Sedangkan pada individu dengan riwayat keluarga depresi

(orang tuanya, kakak-adiknya, atau kakek dan neneknya) akan

memiliki kemungkinan untuk terkena depresi juga. Terlebih lagi

pada anak yang diadopsi dari keluarga yang memiliki riwayat

depresi, akan memiliki kemungkinan terkena depresi 3 kali lebih

besar dibanding anak kandung dari keluarga yang mengadopsi.

 Faktor psikososial

Manusia merupakan makhluk sosial, apabila manusia

mengalami kerusakan dalam suatu hubungan dengan sesama

ataupun masalah seperti ditinggalkan oleh keluarga, kekerasan

dalam keluarga, dan penyiksaan oleh teman dapat menyebabkan

orang tersebut untuk terkena depresi.


b. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan

kemungkinan seseorang untuk menjadi depresi, yaitu :

 Jenis kelamin

Depresi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan

pria. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu karena adanya

pengaruh kadar hormonal pada pria dan wanita yang berbeda.6

Sedangkan menurut APA (American Psychological Association)

depresi pada wanita lebih sering karena banyaknya jumlah stres

yang dihadapi oleh wanita.23

 Usia

Segala kalangan usia dapat terkena depresi. Namun pada

rentang usia remaja sering terjadi depresi dengan rata-rata onsetnya

pada usia 20.23

 Faktor sosial ekonomi dan budaya

Perubahan budaya dan sosial ekonomi seperti konflik internal,

abuse, perang, meningkatnya tingkat kriminalitas, tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat meningkatkan risiko

seseorang terkena depresi.

4. Klasifikasi Depresi

Ada berbagai tipe dari depresi, berikut klasifikasi dari depresi, yaitu:
a. Gangguan depresi mayor

Gangguan ini merupakan depresi yang paling umum tanpa

episode manic dan/atau hipomanic, namun memiliki gejala-gejala

seperti perubahan nafsu makan, berat badan, pola tidur, anergi

(tidak memiliki energy untuk melakukan aktivitas), perasaan

bersalah, dan pikiran untuk mati atau bunuh diri. Lama gejala yang

dialami paling tidak sudah berlangsung 2 minggu.

b. Gangguan depresi minor

Gangguan ini sering disebut dengan “blue days”, dimana

terdapat episode mood depresi tetapi intensitasnya rendah dan

paling tidak selama 2 minggu dan ada minimal 1 gejala namun

kurang dari 5 dari gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan,

gangguan tidur, agitasi, kesusahan untuk konsentrasi, kelelahan,

kurang energy, kurang percaya diri, dan merasa bersalah

c. Gangguan distimia

Depresi ini merupakan depresi ringan tetapi dalam jangka

waktu yang lama (kronik). Seseorang baru dapat dikatakan

memiliki distimia bila telah memiliki gejala yang sama dengan

derpesi mayor paling tidak selama 2 tahun atau lebih. Jika

dibandingkan dengan depresi mayor, distimia ini lebih berat tetapi

individu dengan gangguan ini masih dapat berinteraksi dan

beraktivitas sehari-hari.
d. Gangguan depresi psikotik

Merupakan gangguan depresi berat yang telah ditandai dengan

gejala-gejala seperti halusinasi, delusi (gangguan menilai realita).

e. Gangguan depresi musiman

Dikatakan sebagai depresi musiman karena hanya muncul pada

saat musim dingin

C. Stigma

1. Definisi Stigma

Pengertian stigma menurut Goffman (2013) dalam (Purnama, 2016)

merupakan tanda-tanda yang dibuat tubuh seseorang yang diperlihatkan

dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang

mempunya tanda tersebut merupakan seorang criminal atau seorang

pengkhianat serta suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburuan status

moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu pada atribut

yang memperburuk citra seseorang.

2. Proses Stigma

Proses stigma menurut International Federation –Anti Leprocy

Association (ILEP,2011): Orang-orang yang dianggap berbeda sering

diberi label misalnya pasien gangguan jiwa, masyarakat cenderung

berprasangaka dengan pandangan tertentu dengan apa yang orang alami

seperti sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya, tidak dapat


diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus mental.

Masyarakat tidak lagi melihat penderita yang sebenarnya tetapi hanya

melihat label saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan

menggunakan istilah “kita” dan “mereka” sehingga menyebabkan

penderita terstigmatisasi dan mengalami diskriminasi. Menurut ILEP ada

beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang menghadapi stigma:

a. Pemahaman masyarakat yang positif atau negatif terhadap suatu

penyakit

b. Dukungan keluarga dan masyarakat

c. Sejauhmana stigma mempengaruhi kehidupan dan rutinitas

sehari-hari

d. Kepribadian dan kemampuan koping

3. Jenis Stigma

Rusch et.al (2005), menjelaskan bahwa stigma terbagi menjadi dua hal

yaitu stigma masyarakat (public stigma) dan stigma pada orang itu sendiri

(self stigma).

a. Stigma masyarakat (public stigma)

Komponen pada stigma masyarakat meliputi stereotype,

prejudice, dan discrimination. Komponen stereotype (label) pada

stigma masyarakat meliputi kepercayaan negatif tentang kelompok

masyarakat tertentu meliputi ketidakmampuan, kelemahan, dan

membahayakan. Sebutan orang gila digambarkan sebagai orang


yang tidak normal, tidak bertanggung jawab, dikucilkan dari

masyarakat dansulit untuk disembuhkan

 Pada komponen prejudice (prasangka) merupakan suatu sikap

sering kali mengarah pada evaluasi yang bersifat negatif terdapat

unsur persetujuan terhadap kepercayaan atau reaksi negatif seperti

marah dan takut. Prasangka yang timbul berupa prososial perasaan

(perlu untuk membantu, kasihan, simpati), perasaan 11 takut dan

terkait(tidak nyaman, tidak aman), perasaan marah dan jengkel

(Angermeyer, 2013)

 Pada komponen discrimination (mengucilkan) merupakan

perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan

untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok,

berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat katagorikal, atau atribut-

atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama atau

keanggotaan kelas-kelas sosial fulthoni, et al (2009).

b. Stigma pada orang itu sendiri (self stigma)

Corrigan & Watson (2002) menjelaskan bahwa stigma pada

diri sendiri mempunyai pandangan negatif pada diri sendiri,

bereaksi dengan emosional dan berperilaku menghindar. Sikap dan

perilaku stigma pada diri sendiri seperti merasa tidak mampu,

lemah, harga diri rendah, menganggap orang yang tidak beruntung,


berbeda dari orang lain dan gagal mendapatkan kesempatan kerja

(Angermeyer, 2013).

4. Dampak Stigma

Stigma dengan berbagai identitas negatif dari masyarakat akan

mempengaruhi interaksi dan dukungan social terhadap penderita,

sehingga penderita sering tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja

dan menjadi pengangguran. Dalam stigma diinternalisasi atau self-

stigma, proses bertahap asimilasi psikologis stereotip masyarakat

terhadap penyakit mental dikatakan terjadi sehingga orang dengan

penyakit mental semakin kehilangan apa yang mereka pikirkan dan

keinginan mereka di masa depan (Yanos PT et al, 2008).

Pada dasarnya, Orang tidak hanya percaya bahwa orang lain

berpikir bahwa dia berharga atau tidak, misalnya menikah, tapi juga

berpendapat bahwa ia tidak benar-benar layak dan tidak boleh menikah.

Hal ini akan mengubah fundamental persepsi orang tersebut tentang

diri mereka sendiri dan mengarah ke perubahan perilaku seseorang

dengan cara melakukan persepsi terinternalisasi yang dianggap sesuai

(Thornicroft G et al, 2007).

5. Stigma Depresi pada Remaja

Nearchou et al. (2018) menemukan bahwa stigma yang dirasakan,

tetapi tidak bersifat pribadi, memprediksi niat mencari bantuan remaja

untuk kecemasan dan melukai diri sendiri. Calear dkk. (2017)


menemukan bahwa stigma pribadi dan persepsi terhadap individu

dengan gangguan kecemasan umum diprediksi secara berbeda oleh

komposisi keluarga remaja, literasi kesehatan mental dan skor pada

ukuran gejala depresi. Literasi kesehatan mental diartikan sebagai

'memahami bagaimana memperoleh dan memelihara kesehatan mental

yang positif; memahami gangguan mental dan perawatannya;

mengurangi stigma terkait gangguan mental; dan meningkatkan

kemanjuran pencarian bantuan '(Kutcher et al., 2016 hal. 155).

Penelitian tentang stigma kesehatan mental remaja sangat penting

karena masa remaja adalah masa ketika pengaruh dan pentingnya

hubungan dan pendapat teman sebaya meningkat secara substansial

(Deater-Deakard, 2001), membuat remaja lebih sensitif terhadap

stigma. Masalah dengan hubungan teman sebaya telah dikaitkan

dengan psikopatologi termasuk kecemasan dan gangguan kecemasan

sosial (Masten et al., 2009; Festa dan Ginsburg, 2011). Selain itu, usia

puncak onset untuk gangguan mental adalah masa remaja awal, karena

perubahan kognitif dan emosional sedang terjadi saat ini (Hertzman dan

Boyce, 2010) dan ada bukti yang menunjukkan bahwa remaja

mengekspresikan berbagai tanggapan negatif terhadap deskripsi teman

sebaya yang cemas termasuk keyakinan bahwa mereka 'lemah', bahwa

mereka secara pribadi bertanggung jawab atas gejala mereka dan pantas

disalahkan (Hanlon dan Swords, 2019).


6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma pada Depresi

Faktor yang mempengaruhi stigma depresi adanya keyakinan

negatif yang memotivasi masyarakat umum untuk merasa takut,

menolak, menghindar, dan mendiskriminasi Orang Dengan Gangguan

Jiwa (ODGJ) (Stuart, 2016). Stigma menurut Shives (2012)

didefinisikan sebagai tanda dari aib atau malu, yang meliputi 4

komponen, yaitu:

a. Memberi label seseorang dengan suatu kondisi

b. Memiliki stereotip terhadap orang yang diberi label

c. Menciptakan divisi antara kelompok "kita" yang superior dan

kelompok "mereka" yang terdevaluasi

d. Mendiskriminasi seseorang atas dasar label mereka

D. Pengetahuan

1. Pengertian Definisi

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan

terhadap obyek terjadi melalui panca indera manusia yakni pengelihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu

penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2013).
Pengetahuan menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2013), merupakan

satu dari tiga domain yang mempengaruhi perilaku manusia. Pengetahuan

memiliki peranan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan.

2. Cara memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa faktor yang dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu cara tradisional dan cara modern

(Notoatmodjo, 2013).

a. Cara tradisional Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukannya

metode ilmiah, cara tersebut antara lain:

1) Cara coba salah

Cara coba salah dikenal dengan trial and error. Cara coba

salah ini dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah, apabila kemungkinan itu tidak

berhasil dicoba kemungkinan yang lain, dan apabila ketiga

gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai

masalah tersebut dapat dipecahkan.


2) Cara kekuasaan atau otoritas

Cara pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintah, tokoh

agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya

mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan

penegetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima

pendapat yang disampaikan oleh orang yang mempunyai

otoritas, tanpa menguji atau membuktikan kebenarannya

terlebih dahulu baik secara empiris ataupun berdasarkan

penalaran sendiri. Orang yang menerima pendapat

menganggap bahwa apa yang ditemukan orang yang

mempunyai otoritas selalu benar.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya

memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara

mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam

pemecahan masalah yang dihadapi pada masa-masa yang

lalu.

4) Melalui jalan pikiran

Seiring dengan perkembangan kebudayaan umat manusia,

cara berfikir manusia pun ikut berkembang, sehingga telah

mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh

pengetahuan, baik secara berpikir deduksi ataupun induksi.


b. Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan

dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut

metode penelitian. Melalui metode ini selanjutnya dikenal dengan

metode ilmiah penelitian.

3. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), ada enam tingkatan pengetahuan yang

dicapai dalam domain kognitif, yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

disepakati sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat

ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui.

c. Aplikasi (Appllication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

riil (sebenarnya).

d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menyatakan materi

atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di

dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya

satu sama lain.

e. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk melaksanakan

atau bagianbagian di dalam suatu keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Depkes R.I dalam Wawan dan Dewi (2013), pengetahuan

dipengaruhi oleh:

a. Faktor internal

1) Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap

pola hidup terutama dalam motivasi sikap. Semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka semakin mudah untuk

penerimaan informasi.

2) Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu cara mencari nafkah yang

membosankan, berulang, dan banyak tantangan. Pekerjaan

dilakukan untuk menunjang kehidupan pribadi maupun

keluarga. Bekerja dianggap kegiatan yang menyita waktu.

3) Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai dari

dilahirkan sampai berulang tahun, semakin cukup umur,

tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih

matang dalam berfikir.

b. Faktor eksternal

1) Faktor lingkungan

Lingkungan sekitar dapat mempengaruhi perkembangan dan

perilaku individu maupun kelompok. Jika lingkungan

mendukung ke arah positif, maka individu maupun kelompok

akan berperilaku positif, tetapi jika lingkungan sekitar tidak

kondusif, maka individu maupun kelompok tersebut akan

berperilaku kurang baik.

2) Sosial budaya Sistem sosial budaya yang ada dalam

masyarakat dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5. Indikator Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan diamati dalam penelitian ini adalah menurut Arikunto

(2010), pengetahuan seseorang dapat diketahuai dan diinterpretasikan

dengan skala, yaitu:

a. Baik apabila 76-100% pertanyaan dapat dijawab dengan benar

b. Cukup apabila 56-75% pertanyaan dapat dijawab dengan benar

c. Kurang apabila < 56% pertanyaan dapat dijawab dengan benar.

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Stigma merupakan tanda-tanda yang dibuat tubuh seseorang yang

diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang

yang mempunyai tanda tersebut merupakan seorang kriminal atau seorang

pengkhianat serta suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburuan status

moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu pada atribut

yang memperburuk citra seseorang (Purnama, 2016). Penelitian tentang

stigma kesehatan mental remaja sangat penting karena masa remaja adalah

masa ketika pengaruh dan pentingnya hubungan dan pendapat teman sebaya
meningkat secara substansial (Deater-Deakard, 2001), membuat remaja lebih

sensitif terhadap stigma. Masalah dengan hubungan teman sebaya telah

dikaitkan dengan psikopatologi termasuk kecemasan dan gangguan

kecemasan sosial (Masten et al., 2009; Festa dan Ginsburg, 2011).

Depresi adalah penyebab utama kecacatan di seluruh dunia dan

berkontribusi besar pada beban penyakit global. Efek depresi dapat

berlangsung lama atau berulang dan dapat secara dramatis memengaruhi

kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupannya. (World Health

Organization, 2020b). Usia yang paling rentan terjadinya depresi adalah

remaja dikarenakan separuh dari semua gangguan kesehatan mental di masa

dewasa dimulai pada usia 14 tahun.

Pengetahuan menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2013), merupakan

satu dari tiga domain yang mempengaruhi perilaku manusia. Pengetahuan

memiliki peranan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang,

karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan.

Penderita Depresi
Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)
Pengetahuan Stigma
1. Definisi 1. Definisi
2. Cara memperoleh 2. Jenis-jenis
Pengetahuan stigma
3. Tingkatan 3. Komponen
Pengetahuan Stigma
4. Faktor-faktor yang 4. Dampak
mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Stigma
pengetahuan 5. Faktor-faktor
5. Indikator Tingkat 1. Baik (76%-100%) yang
Pengetahuan mempengaruhi
2. cukup (56%-75%)
Stigma
3. kurang (<56%)
(A.Wawan dan Dewi
M, 2011).

= Tidak diteliti = Diteliti

Bagan 3.1 Kerangka Teori

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan abstraks dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti).

Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan

dengan teori (Nursalam, 2013).

Variabel Independen

Pengetahuan Remaja
tentang Depresi
Proses penyembuhan
Penderita Depresi

Variabel Dependen

Stigma Depresi pada


Remaja

Bagan 3.2 Kerangka Konsep

C. Hipotesa

H0 = Tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang depresi dengan stigma

remaja terhadap orang dengan depresi.

Ha = Ada hubungan antara pengetahuan tentang depresi dengan stigma remaja

terhadap orang dengan depresi.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian ini adalah analitik. Desain analitik ini merupakan suatu

penelitian untuk menganalisis suatu fenomena yang terjadi melalui sebuah

korelasi antara sebab dan akibat. Penelitian ini dilakukan menggunakan

pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian cross-sectional untuk

mengetahui hubungan pengetahuan sebagai variabel independen dan stigma

depresi sebagai variabel dependen.

B. Populasi dan Sample

1. Populasi
Populasi merupakan seluruh objek atau subyek yang memiliki kualitas dan

karakteristik tertentu yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya

(Donsu, 2016). Populasi pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMK ….

Padang.

Tabel 4.1 Jumlah Populasi

N Kelas Populasi

O
1. Kelas X
2. Kelas XI
3. Kelas XII
Total

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang di anggap mewakili populasinya

(Donsu, 2016). Teknik pengambilan sample adalah sistematik random

sampling. Metode ini dilakukan dengan cara membagi jumlah seluruh

anggota populasi dengan jumlah sampel yang dibutuhkan. Sampel dalam

penelitian ini adalah siswa-siswi SMK … Padang dari kelas X sampai

kelas XII. Rumus pengambilan sampel adalah dengan menggunakan

rumus Slovin, yaitu:

a. Rumus Slovin

N
n=
1+ N (e2 ) ¿
¿

Keterangan:
n = jumlah sampel yang akan diteliti

N = jumlah populasi

e = batas toleransi kesalahan (0.1)

b. Rumus tiap kelas

Tabel 4.2 Sampel Kelas

N Kelas Populasi

O
1. Kelas X
2. Kelas XI
3. Kelas XII
Total

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Bersedia menjadi responden penelitian

2) Tercatat sebagai siswa-siswi SMK …. Padang

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di SMK …. Lubuk Begalung dan waktu

penelitian dilakukan pada Maret sampai April 2021.

D. Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian yang dijadikan sebagai sasaran

penelitian. Variabel disebut juga sebagai gejala penelitian yang akan diteliti

(Donsu, 2016). Variabel dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Variabel Bebas (Variabel Independent)

Variabel bebas adalah variable yang menjadi penyebab terjdinya

variable terikat (Karlinger) dalam (Donsu, 2016). Variable bebas dalam

penelitian ini adalah pengetahuan tentang depresi.

b. Variabel Terikat (Variabel Dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.

Variabel terikat disebut juga sebagai variabel konsekuen, kriteria, dan

variabel output (Karlinger) dalam (Donsu, 2016). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah stigma depresi.

E. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah bagian yang digunakan untuk memberikan

batasan ruang lingkup atau pengertian variable-variabel yang akan diamati/diteliti.

Selain itu dapat bermanfaat untuk memberikan arahan dalam pengukuran atau

pengamatan terhadap beberapa variable yang bersangkutan dan untuk pengembangan

alat ukur (instrument) penelitian (Notoatmojo, 2012).

Tabel 4.3 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Alat Ukur Skala Hasil Ukur

Operasional Ukur Ukur


1. Variabel Hal-hal yang Angket Kuisioner Ordinal 1. Baik
Independen diketahui dan pengetahua (76%-

(Tingkat dipahami oleh n (KFMHS) 100%)

2. Cukup
Pengetahuan) remaja tentang
(56%-
depresi yang
75%)
meliputi
Kurang
pengertian
(<56%)
serta tanda dan

gejala depresi
2. Variabel Suatu bentuk Angket Kuisioner Ordinal 1. Stigma

Dependen penilaian Stigma rendah=

(Stigma) masyarakat (PMHSS) 40-64

terhadap orang 2. Stigma

dengan depresi tinggi =

yang berada di 16-39

lingkungan

sekolah SMA

… Padang

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah cara atau alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data dalam sebuah penelitian (Azwar, 2014). Instrumen dalam


penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua kuesioner yaitu:

a. Kuisioner Penelitian

Kuesioner yang dipakai untuk mengukur tingkat pengetahuan ini diadopsi

dari Kusioner KFMHS. Kuesioner tersebut terdiri dari pernyataan.

Pernyataan-pernyataan tersebut terdiri atas 2 pilihan jawaban yaitu benar

atau salah. Pernyataan yang benar akan diberi skor 2, dan pernyataan yang

salah akan diberi skor 1. Jadi skor tertinggi adalah 24 dan skor terendah

adalah 12. Maka rentang nilainya adalah sebagai berikut:

Pengetahuan kurang: 12-18

Pengetahuan baik : 19-24

b. Kuisioner Stigma

Kuesioner yang dipakai untuk mengukur stigma masyarakat diaadopsi dari

Peer Mental Health Stigmatization Scale. Kuesioner ini telah dimodifikasi

oleh penulis. Kuesioner stigma tersebut terdiri dari 8 pernyataan dan 4

pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak

setuju. Skor tertinggi pada kuesioner ini adalah 64 dan skor terendah

adalah 16. Maka rentang nilainya adalah sebagai berikut:

Stigma tinggi : 16-39

Stigma rendah: 40-64

G. Etika Penelitian
Semua penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek harus

menerapkan etika penelitian. Menurut Masturoh (2018), beberapa etika dalam

penelitian yang harus diterapkan yaitu:

1. Informed consent adalah proses dimana subjek penelitian secara sukarela

memberikan atau menyatakan keinginannya untuk berpartisipasi dalam

penelitian yang dilakukan peneliti, setelah diinformasikan atau dijelaskan

keseluruhan ruang lingkup, manfaat, serta risiko dari penelitian tersebut.

2. Menghormati atau Menghargai Subjek (Respect For Person)

Menghormati atau menghargai orang perlu memperhatikan beberapa hal,

diantaranya:

a. Peneliti harus mempertimbangkan secara mendalam terhadap

kemungkinan bahaya dan penyalahgunaan penelitian.

b. Terhadap subjek penelitian yang rentan terhadap bahaya penelitian maka

diperlukan perlindungan.

3. Manfaat (Beneficence)

Dalam penelitian hasil yang diharapkan memiliki manfaat yang sebesar-

besarnya dan mengurangi kerugian bagi subjek penelitian. Oleh karenanya

keselamatan dan kesehatan subjek penelitian harus diperhatikan peneliti.

4. Tidak Membahayakan Subjek Penelitian (Non Maleficence)

Penelitian harus mengurangi kerugian atau risiko bagi subjek penelitian,

dalam hal ini penting bagi peneliti memperkirakan kemungkinan-

kemungkinan apa yang akan terjadi dalam penelitian sehingga dapat

mencegah risiko yang membahayakan bagi subjek penelitian.


5. Keadilan (Justice)

Tidak membedakan subjek peenlitian, peneliti perlu memperhatikan bahwa

penelitian seimbang antara manfaat dan risikonya. Risiko yang dihadapi

sesuai dengan pengertian sehat, yang mencakup: fisik, mental, dan sosial.

H. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Notoatmodjo (2010), metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuisioner dengan angket.

1) Sumber Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data pertama yang diperoleh langsung dari subjek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan

data pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2013).

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data kedua yang diperoleh dri pihak lain dan

tidak langsung yang diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya, data

ini berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah tesedia (Saryono,

2013).

2) Langkah-langkah pengumpulan data

a. Persiapan

a) Peneliti mengurus surat izin pengambilan data dan penelitian

dari kampus dan mengajukan ke Dinas Kesehatan Kota Padang.


b) Peneliti mengambil data dari bagian perencanaan Dinas

Kesehatan Kota Padang.

c) Peneliti mengurus surat izin pengambilan data penelitian dari Dinas

Pendidikan Kota Padang

d) Dibagian seksi kurikulum peneliti melakukam studi pendahuluan

tentang pengetahuan tentang depresi dan stigma kepada orang depresi

e) Melakukan studi pendahuluan terhadap beberapa orang siswa di

sekolah SMK …. Padang tentang pengetahuan mengenai depresi dan

stigma depresi pada siswa

2. Pelaksanaan

a. Peneliti mengunjungi sekolah dan menemui pihak sekolah untuk

meminta persetujuan melakukan penelitian

b. Setelah peneliti mendapat izin penelitian, peneliti lanjut untuk melakukan

penelitian

c. Responden yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan

dijadikan sebagai sampel setelah menyetujui lembaran persetujuan

(informend concent) yang diajukan.

d. Responden diberi kuesioner mengenai pengetahuan tentang depresi

dan stigma kepada orang depresi.

e. Setelah diisi oleh responden kuesioner diambil kembali oleh peneliti.

3) Pengolahan Data
Menurut Supardi (2013) ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam

pengolahan data yaitu :

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Pemeriksaan kembali jawaban dari responden pada kuesioner yang

mencakup kelengkapan jawabana, keterbacaan tulisan, keseragaman

ukuran, dan sebagainya sebelum diberikan kode.

2. Pengkodean Data (Coding)

Kegiatan merubah data dalam bentuk huruf pada kuesioner tertutup atau

semi tertutup menurut macamnya menjadi bentuk angka untuk

pengolahan data komputer.

3. Memasukkan Data ( Entry Data)

Pengetikan kode jawaban responden pada kuesioner kedalam program

pengolahan data.

4. Membersihkan Data (Cleaning Data)

Pembersihan data hasil entry data agar terhindar dari ketidak sesuaian

dengan koding jawaban responden pada kuesioner.

5. Penyusunan Data (Tabulating)

Tahap ini peneliti melakukan pemindahan dari data kuesioner

kedalam tabel yang telah dipersiapkan yaitu data yang telah

didapatkan nilainya dan dimasukkan ke dalam tabel kemudian di

analisa.

I. Analisa Data
a. Analisa univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari

karakteristik responden yaitu umur, jenis kelamin, dan variabel penelitian

yaitu pengetahuan dan stigma remaja

b. Analisa bivariat dilakukan dengan uji korelasi. Uji korelasi digunakan

untuk mencari hubungan antara pengetahuan dengan stigma pada remaja.

Menurut Sugiyono (2012) pearson merupakan salah satu bentuk uji

statistik parametrik. Uji statistik parametrik adalah suatu uji yang

memerlukan sebaran data populasi berdistribusi normal.


DAFTAR PUSTAKA

Ahyani, L. N. (2018). Buku Ajar Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Badan

Penerbit Universitas Muria Kudus.

Anastasia et al. (2020). Pengetahuan mengenai Gangguan Depresi dan Stigma

mengenai Orang dengan Gangguan Depresi pada Orang Muda Usia 15 sampai

25 Tahun di Indonesia.

Asti, A. D. (2016). PUBLIC STIGMA TERHADAP ORANG DENGAN

GANGGUAN JIWA DI KABUPATEN KEBUMEN. Jurnal Ilmiah Kesehatan


Keperawatan, 12(3), 176.

CarlyJohnco. (2018). Depression literacy and stigma influence how parents perceive

and respond to adolescent depressive symptoms. Journal of Affective Disorders,

241, 599–607.

Dewi, E. I. (2019). STIGMA AGAINST PEOPLE WITH SEVERE MENTAL

DISORDER (PSMD) WITH CONFINEMENT “PEMASUNGAN.” NurseLine

Journal, 4(2), 131.

Global school-based student health survey (GSHS). (2015). Noncommunicable

diseases and their risk factors.

Koschorke, M. (2017). Experiences of stigma and discrimination faced by family

caregivers ofpeople with schizophrenia in India. Social Science & Medicine, 66–

77.

Laporan Riskesdas Sumbar. (2018). Laporan Provinsi Sumatera Barat, Riskesdas

2018.

Merriam-Webster. (2021). Adolescence. In Merriam-Webster.Com Dictionary.

https://www.merriam-webster.com/dictionary/adolescence

National Alliance on Mental Health. (2021). The Many Impacts of Self-Stigma.

National Alliance on Mental Health. https://www.nami.org/Blogs/NAMI-

Blog/February-2021/The-Many-Impacts-of-Self-Stigma?
fbclid=IwAR0B4mzj7e07I8QDOwAZJw7wOZkw8oSn9NPuU8jPrepLBwE2itw

CbVtL2Mc_aem_Aa-thqJPymJWXF8IC0B9zetskuzabKz11W10wxxWcQ2pet-

JleVpcwzJdMwxwCpHQMASFocmHFWnHUI_vM2EMdKxW9LTp0HKnQ4

National Institute of Mental Health. (2019). Mental Illness.

https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/mental-illness.shtml#part_154784

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2019). Info Datin Kesehatan Jiwa di

Indonesia.

Rika Sarfika. (2017). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

STIGMA SOSIAL TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA PADA REMAJA DI

SUMATERA BARAT.

Riset Tirto.id. (2018). Stigma Sosial Menghalangi Kesembuhan Penderita Gangguan

Jiwa. https://tirto.id/stigma-sosial-menghalangi-kesembuhan-penderita-

gangguan-jiwa-ekv2

Riskesdas. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018.

Schiller, Y. (2013). Increasing knowledge about depression in adolescents: effects of

an information booklet. Psychiatry Psychiatr Epidemiol, 49, 51–58.

Singh, S. (2019). A systematic review of depression literacy: Knowledge, help-

seeking and stigmatising attitudes among adolescents. Journal of Adolescence,

74, 154–172.
Sumiati. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Trans Info Medika.

World Health Organization. (2017). Disability-adjusted life years (DALYs)

attributable to the environment. Explore a World of Health Data.

https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-details/GHO/disability-

adjusted-life-years-(dalys)-attributable-to-the-environment

World Health Organization. (2019a). Mental disorders. https://www.who.int/news-

room/fact-sheets/detail/mental-disorders

World Health Organization. (2019b). World Suicide Prevention Day.

https://www.who.int/news-room/events/detail/2019/09/10/default-

calendar/world-suicide-prevention-day

World Health Organization. (2020a). Adolescent mental health.

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health

World Health Organization. (2020b). Depression. https://www.who.int/news-

room/fact-sheets/detail/depression

Anda mungkin juga menyukai