Anda di halaman 1dari 21

RANGKUMAN MATA KULIAH I

(ANALISIS 11 KASUS KEGIATAN)

BIODIVERSITAS DAN KONSERVASI PERAIRAN

SATRIANI
C2501202019

SEKOLAH PASCASARJANA
MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
ANALISIS 11 KASUS KEGIATAN

Gambar 1. Overfishing (Penangkapan Ikan Secara Berlebihan)

Overfishing atau penangkapan ikan berlebihan adalah salah satu bentuk


eksploitasi berlebihan terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat yang
membahayakan. Hilangnya sumber daya alam, laju pertumbuhan populasi yang
lambat, dan tingkat biomassa yang rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan
berlebih, dan hal tersebut telah dicontohkan dari perburuan sirip hiu yang belebihan
dan mengganggu ekosistem laut secara keseluruhan. Kemampuan usaha perikanan
menuju kepulihan dari jatuhnya hasil tangkapan akibat hal ini tergantung pada
kelentingan ekosistem ikan terhadap turunnya populasi. Perubahan komposisi spesies
di dalam suatu ekosistem dapat terjadi pasca penangkapan ikan berlebih di mana
energi pada ekosistem mengalir ke spesies yang tidak ditangkap. Penyebab utama
adalah meningkatnya jumlah armada dan kapasitas penangkapan, namun tidak diikuti
dengan upaya yang optimal untuk melakukan pengendalian dan penentuan jumlah
armada, kapasitas, metode, alat tangkap, wilayah, jenis ikan, dan kuota tangkap.
Umumnya ikan ditangkap ketika sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan
ikan berukuran kecil tidak tertangkap oleh jaring atau dilepaskan oleh nelayan. Ikan
yang ditangkap berlebih berdasarkan ukuran tubuh akan menyebabkan ikan yang
tersisa di populasi merupakan ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap
kematangan seksual sehingga sulit bagi populasi untuk mengembalikan populasi. Hal
ini akan menjadikan tangkapan berikutnya menjadi lebih sedikit, sehingga peraturan
dilonggarkan untuk menjaga pendapatan nelayan. Penurunan populasi terjadi ketika
penangkapan ikan berlebih mempengaruhi keseimbangan ekosistem, misal dengan
menghabisi satu tingkatan trofik tertentu sehingga tingkatan trofik di atasnya tidak
mendapatkan mangsa. Upaya konservasi yang bisa dilakukan seperti kebijakan
pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata jaring, penentuan
kawasan konservasi laut atau Marine Protect Area (MPA), dan kebijakan pengendalian
alat tangkap melalui mekanisme perizinan.

Studi Kasus :
• Judul : Overfishing pada Perikanan Pukat Cincin Semi Industri di Laut Jawa dan
Implikasi Pengelolaannya.
• Penulis : Suherman Banon Atmaja, Bambang Dahmoto, dan Duto Nugroho
• Hasil dan Pembahasan :
Krisis perikanan merupakan akibat langsung penangkapan yang berlebihan
pada sumber daya perikanan, yang antara lain disebabkan oleh teknologi
penangkapan modern. Kini kemungkinan terjadi overfishing karena teknologi telah
membuat armada penangkapan lebih mudah menuju ke lokasi gerombolan ikan besar.
Overfishing terjadi ketika suatu jenis ikan diambil lebih cepat dibanding dengan
pembiakan stok spesies tersebut untuk menghasilkan penggantinya. Pada perikanan
pukat cincin semi industri di Laut Jawa, paling sedikitnya telah terjadi economic
overfishing, biological overfishing, dan Malthusian overfishing, di mana biaya ekonomi
penangkapan yang mahal untuk hasil sedikit, dan nelayan mengorbankan biaya sosial
dengan meninggalkan keluarga semakin lama akibat sulit mencari gerombolan ikan.
• Kesimpulan :
Indonesia telah memiliki peraturan penangkapan ikan yang dikeluarkan
pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan), seperti peraturan ukuran mata
jaring, pengaturan daerah penangkapan ikan, alat tangkap. Namun pada kenyataannya
peraturan ini masih terkendala dalam pelaksanaan dilapangan, seperti perubahan
pukat cincing menjadi cantrang lebih berdasarkan atas aspek sosial dan ekonomi.
Gambar 2. Reklamasi Pantai

Studi Kasus :
• Judul : Dampak Reklamasi Pesisir Pantai Makassar
• Penulis : Roby Aditiya
• Hasil dan Pembahasan :
Kawasan Pantai Losari dan sepanjang pesisir Metro Tanjung Bunga merupakan
salah satu ikon Kota Makassar yang menjadi rempat rekreasi alternative bagi warga
kota Makassar yang telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Reklamasi Pantai
Losari dan Metro Tanjung Bunga telah mengalami perubahan kondisi pesisir pantai
yang dahulaunya agak kumuh menjadi lebih modern.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan air sekitar Pantai Losari dan
tanjung Bunga sudah tercemar cukup parah dengan dibuktikan data penelitian dari
Setiawan (2014) mengungkapkan bahwa :
1. Kandungan Timbal (Pb) di perairan sekitar kawasan Metro Tanjung Bunga sebesar
0,110 ppm. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun
2004 tentang Mutu Air Laut, ambang batas Pb pada air laut untuk wisata bahari
adalah 0,005 ppm, untuk biota laut 0,008 ppm dan untuk perairan pelabuhan 0,005
ppm. Dengan melihat kandungan ti bal perairan Metro Tanjung Bunga sebesar
0,110 ppm terllihat cukup tinggi diatas standar yang ditetapkan Menteri Lingkungan
Hidup.
2. Kandungan logam berat Cadmium (Cd) dikawasan tersebut adalah 0,020 ppm.
Standar untuk kandungan Caddmium yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup
adalah 0,002 ppm untuk wisata bahari, biota laut sebanyak 0,001 ppm dan 0,01
ppm untuk perairan pelabuhan. Hasil data diatas menunjukkan angka yang sangat
tinggi jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan air sekitar Pantai Losari dan
Tanjung Bunga sudah tercemar cukup parah. Pencemaran tersebut tentu tidak lepas
dari adanya program reklamasi yang mengakibatkan kawasna pesisir menjadi pusat
bisnis dan apriwisata sehingga menambah banyaknya pembuangan limbah ke perairan
tersebut. selain pencemaran lingkungan, lingkungan sekitar pantai juga mengalami
pendangkalan dan hitam berbau. Hal ini berdampak secara langsung ke nelayan yang
kesulitan untuk melewati jalur sungai yang menjadi alur utama dalam mencari ikan.
Selain pendangkalan dikawasan sungai, biota laut yang berada disekitar pantai
mengalami penurunan populasi. Terbukti sejak terjaidnya reklamasi tersebut, semakin
lama penghasilan para nelayan pencari kerang semakin berkurang. Sebelum terjadi
reklamasi, paran pencari kerang mampu mengumpulkan dua sampai tiga karung dalam
sehari.

Gambar 3. Keramba Jaring Apung (KJA)


Keramba jaring apung adalah salah satu wadah budidaya perairan yang cukup
ideal, yang ditempatkan di badan air dalam, seperti waduk, danau, dan laut. Keramba
jaring apung merupakan salah satu wadah untuk penerapan budidaya perairan sistem
intensif. Aktivitas budidaya perikanan sangat erat hubungannya dengan lingkungan.
Peranan lingkungan baru disadari jika degradasi lingkungan telah mengalami
perubahan. Dampak yang terlihat seperti penurunan pertumabuhan ikan, berbagai
penyakit menyerang bahkan sampai terjadinya kematian massal. Beberapa upaya
yang bisa dilakukan dalam mengontrol aktivitas keramba jaring apung seperti
menggunakak dosisi yang tepat dalam pemberian pakan, menggunakan bahan pakan
dengan tingkat kecernaan yang tinggi jika memungkinkan menggunakan prebiotik,
menggunakan komposisi nutrisi yang sesuai dengan organisme yang dipelihara,
dilakukan treatment limbah, dan perlu analisa kesesuaian lahan sebelum dilakukan
kegiatan budidaya.

Studi Kasus :
• Judul : Kajian Dampak Lingkungan Global dari Kegiatan Keramba Jaring Apung
Melalui Life Cycle Assessment (LCA)
• Penulis : Tri Heru Prihadi, Erlania, dan Iswari Ratna Astuti.
• Hasil dan Pembahasan :
Perubahan iklim global yang berlangsung saat ini memberikan pengaruh pada
berbagai bidang, termasuk perikanan yang menyebabkan terjadinya degradasi
lingkungan perairan. Hal ini berdampak pada muncul dan menyebarnya berbagai
penyakit ikan, menurunnya laju pertumbuhan organisme perairan, bahkan hingga
menimbulkan kematian massal ikan. Namun hal ini sepenuhnya belum dapat diatasi
oleh para ilmuwan, bahkan bisa dikatakan baru sebagian kecil saja. Penerapan Best
Management Practice (BMP) dengan aplikasi Life Cycle Assessment (LCA) akan
sangat berarti dalam upaya penerapan perikanan budidaya berkelanajutan, dengan
model pengelolaan kuantitatif. Dalam hal ini, metode LCA secara kuantitatif merupakan
pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
mengevaluasi kuantitas dan kategori dampak lingkungan akibat kegiatan budidaya
keramba jaring apung (KJA) melalui LCA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kegiatan budidaya KJA menimbulkan dampak yang signifikan terhadap lingkungan
perairan sekitar. Dari berbagai faktor yang berperan dalam kegiatan KJA, pakan ikan
merupakan faktor yang paling dominan dalam menghasilkan dampak lingkungan global
(di atas 70%), berupa pemanasan global, penurunan jumlah sumberdaya abiotic,
eutrofikasi, penipisan lapisan ozo, toksisitas pada manusia, dan penurunan jumlah
keanekaragaman hayati. Dari faktor pakan tersebut, soybean Brazil dan winter wheat
merupakan unsur yang paling berpengaruh dalam menghasilkan dampak lingkungan,
sehingga perlu di cari alternative bahan untuk mensubstitusi kedua unsur tersebut.
demikian juga faktor lainnya seperti polystyrene foams, drum plastic, bambu, jaring,
besi, skala budidaya, dan lain sebagainya masing-masing menpunyai peran terhadap
dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan perairan.

Gambar 4. Ekosistem Mangrove

Hutan Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung aktifitas kehidupan di


wilayah pantai dan memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan siklus
biologis di lingkungannya. Gangguan-gangguan keamanan hutan disebabkan adanya
penebangan hutan bakau liar, hal ini terjadi disebabkan belum tuntasnya penertiban
arang tanpa izin industri. Pembukaan lahan untuk pertambangan udang tanpa izin
terjadi karena belum efektifnya sasaran penyuluhan dan belum ada latihan ketelibatan
masyarakat dalam pengawasan oleh aparat-aparat yang terkait dan belum
direalisasikan batas kawasan hutan mengrove yang definitif.
Studi Kasus :
• Judul : Respon Mangrove Terhadap Perubahan iklim Global : Aspek Biologi dan
Ekologi Mangrove
• Penulis : Cecep Kusmana
• Hasil dan Pembahasan :

Respon Mangrove Terhadap Peningkatan Konsentrasi CO2 Di Atmosfir


Laju fotosintesis tanaman (termasuk mangrove) akan meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir. peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir
diperkirakan akan menstimulasi pertumbuhan tanaman dalam kondisi keterbatasan
ketersediaan air, karbon atau nitrogen, namun pertumbuhan tanaman tidak akan
meningkat apabila tingkat salinitas terlalu tinggi untuk lancarnya proses pengambilan
air oleh tanaman atau bila ketersediaan beberapa unsur hara terbatas ketersediaannya
(Field, 1995). Penelitian Kusmana et. al. (2010) bahwa semai R. mucronata yang
ditanam pada kondisi salinitas sekitar 10 ppt memperlihatkan tiap diameter dan tinggi
batang yang relatif lebih tinggi daripada semai yang ditanam pada kondisi salinitas
sekitar 28 ppt. Dengan demikian nampaknya efek dari peningkatan konsentrasi CO2
bervariasi dengan kondisi fisik dan kimia habitat dimana mangrove tumbuh seperti
dilaporkan oleh Ball and Munns (1992).

Gambar 5. Hiu Paus


Hiu paus merupakan ikan yang hidupnya soliter. Pada tahun 2013, Indonesia
sudah menetapkan hiu paus sebagai jenis ikan yang dilindungi melalui Keputusan
Menteri Kelautan dan PerikananNomor 18/MEN-KP/2013. Convention on International
Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan hiu paus
dalam daftar appendik II, artinya bahwa secara global hiu paus belum terancam punah,
tetapi mungkin dapat terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan. Manfaat : untuk menjaga keseimbangan ekosistem (rantai
makanan) perairan laut dan menjaga kelestarian biota laut langka (eksotik). Langkah
pengelolaan sumberdaya hiu paus di Indonesia dengan mengembangkan modelmodel
pengembangan wisaata bahari, sehingga tetap dapat me mberikan manfaatsecara
ekonomi bagi masyarakatsecara luas. Salah satu rencana aksi nasional yang telah
dibuat oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut adalah Rencana
Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2021-2025

Studi Pustaka :
• Judul : Biologi dan Konservasi Spesies Beruaya (Tinjauan Khusus Hiu Paus :
Rhincodon typus)
• Penulis : Frensly D Hukom.
• Hasil dan Pembahasan :
Indonesia tercatat sebagai negara yang memanfaatkan sumber daya ikan
bertulang rawan (hiu dan pari) terbesar di dunia. Hiu ini disebut hiu paus karena ukuran
tubuhnya yang sangat besar dan bentuk kepalanya tumpul mirip paus. Hiu paus
merupakan ikan terbesar yang masih hidup di dunia, ukuran rata-rata hewan dewasa
diperkirakan sekitar 9 m dengan berat mencapai 9 ton. Makanannya antara lain adalah
plankton, kril, larva kepiting pantai, makro alga, serta hewanhewan kecil nektonik
seperti cumicumi atau vertabra kecil. Hiu paus juga diketahui memangsa ikan-ikan kecil
serta hamburan jutaan telur dan sperma ikan yang melayang-layang di air laut selama
musim memijah, juga memangsa ubur-ubur dan larva ikan kakap (Clarke & Nelson,
1997; Wilson & Newbound, 2001). Berdasarkan konservasi dan managemen hiu paus
pada beberapa negara di dunia.
• Australia : Penetapan Undang-undang perlindungan keanekaragaman hayati
Laut, Penilaian pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, penetapan kawasan
konservasi laut daerah untuk jenis hiu paus, pembuatan rencana tahapan
pemulihan hiu paus
• Filipina : mendirikana proyek pengamatan hiu paus berbasis masyarakat,
pelatihan-pelatihan pada masyarakat lokal tentang produk ekowisata hiu paus,
kegiatan penelitian tentang aspek sebaran hiu paus dan aspek ekonomi sosial
nelayan.

Gambar 6. Ekositem Danau

Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang
yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,0001—0,01 m/detik. •
Ekosistem danau terdapat populasi yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Studi Pustaka :
• Judul : Zonasi Ekosistem Perairan Danau Toba Untuk Pemanfaatan perikanan
Berkelanjutan
• Penulis : Endi Setiadi Kartamihardja, Zulkarnaen Fahmi, dan Chairulwan Umar
• Hasil dan Pembahasan :
Danau Toba merupakan danau terluas (112.400 ha) dan termasuk salah satu
danau kritis dari 15 danau di Indonesia serta merupakan danau warisan dunia yang
perlu dilestarikan. Perairan danau ini dimanfaatkan oleh berbagai sektor pemanfaat
yaitu sumber bahan baku air minum, pariwisata, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA),
perikanan, dan transportasi (perhubungan). Di sektor perikanan, Danau Toba
dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan
perikanan tangkap yang berkembang adalah perikanan bilih (Mystacoleucus
padangensis) dan kegiatan perikanan budidaya dalam keramba jaring apung ikan nila
merah dan nila hitam (Oreochromis niloticus) serta ikan mas (Cyprinus carpio)
berkembang sejak tahun 1988. Pengembangan perikanan berkelanjutan di suatu
badan air adalah salah satu tujuan utama yang harus dilakukan dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan di antara sektor pemanfaat
lainnya. Untuk keperluan tersebut, zonasi perairan danau adalah prasyarat mutlak yang
harus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan ekosistem perairan Danau
Toba. Zonasi Danau Toba untuk pengembangan perikanan yang dibahas dalam
makalah ini merupakan salah satu rancangan zonasi yang tidak dapat dipisahkan dari
tata ruang ekosistem danau untuk pengembangan berkelanjutan bagi seluruh sektor
pemanfaat.

Gambar 7. Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem Terumbu Karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami


perubahan terus-menerus namun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang
berasal dari luar dan mempunyai produktivitas serta keanekaragman hayati yang tinggi
sehingga menjadi plasma nutfah bagi kehidupan biota laut.
Studi Kasus :
• Judul : Pemutihan Karang Akibat Pemanasan Global Tahun 2016 Terhadap
Ekosistem Terumbu Karang: Studi Kasus di WP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno dan
Gili Trawangan) Provinsi NTB
• Penulis : Fakhrizal Setiawan, Azhar Muttaqin, S. A Tarigan, Muhidin, Hotmariyah,
Abdus Sabil, dan Jessica Pinkan.
• Hasil dan Pembahasan :
Pemutihan karang merupakan respon yang biasa terjadi terhadap karang
sclreatina and alcyonaria, kima dan anemone yang menyebabkan populasi
symbiodinium (alga zooxanthellae) keluar/terdegradasi meninggalkan jaringan tissue
karang yang menyebabkan pucat atau putih. Peningkatan suhu air laut seringkali
diasosiasikan dengan pemanasan global dimana karang termasuk faunda dengan
toleransi suhu yang rendah. Pada tahun 2012 telah dilakukan kajian ekologi oleh
Wildlife Conservation Society (WCS) dan BKKPN satker TWP Gili Matra dengan tujuan
untuk mengetahui kondisi ekologi terumbu karang di TWP Giil Matra. Hasil kajian
digunakan sebagai dasar lokasi yang belum terkena bleaching.
Ancaman penurunan kualitas ekosistem terumbu di TWP Gili Matra saat ini
berasal dari perubahan iklim global yang mengakibatkan pemutihan karang masal.
Kondisi dari fenomena pemutihan karang ini berimbas pada kesehatan ekosistem
terumbu karang di TWP Gili Matra. Peningkatan suhu permukaan laut akibat
pemanasan global yang terjadi dari awal hingga pertengahan tahun2016 memberikan
dampak pemutihan karang di beberapa lokasi di TWP Gili Matra.
Hasil pengamatan pemutihan karang didapatkan komposisi dari koloni karang
yang terkena pemutihan (50%), pucat (18%),mati (1%) dan tidak
terdampak 31%. Implikasi ini mengakibatkan turunnya tutupan karang namun tidak
signifikan (P(1.013)=0.333,p> 0,05) dari 23,43% ± 2,61 SE di tahun 2012 menjadi 18,48
% ± 4,14 SE di tahun2016 serta penurunan signifikan (P (58,06) = 3,8e-06) rekruitmen
karang (Juvenil karang) dari 6,66 ind.m-1±1,04 SE di tahun 2012 menjadi 1,41 ind.m-
1± 0,16 SE di tahun 2016. Dampak lainnya yaitu penurunan signifikan
(P(20,84)=0,00053,p<0,001) kelimpahan ikan terumbu dari 28.733,26 ind.ha-1 ± 3.757,89
SE ditahun 2012 menjadi 11.431,18 ind.ha -1 ± 702,53 SE di tahun 2016 serta
penurunan biomassa ikan terumbu namun tidak signifikan (P(0,58)=0,46 ,P> 0,05) dari
506,56 kg.ha -1 ± 99,05 SE di tahun 2012 menjadi 438,41kg.ha -1 ± 45,69 SE di tahun
2016.
Hasil penelitian menunjukkan dampak bleaching menyebabkan sedikitnya
rekrutmen karang yang mengakibatkan proses recovery area terdampak menjadi
lambat dikarenakan juvenil karang baru sebagian besar mati. Dampak kedua dari
bleaching ini yaitu kelimpahan ikan yang turun signifikan, hal ini mengindikasikan yang
tersedia hanya ikan-ikan ukuran besar (dewasa) dan sedikitnya ikan-ikan kecil
termasuk juvenile yang ditemukan.

Gambar 8. Ekosistem Pesisir Pantai

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik dengan karakter yang spesifik.
Artinya bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis dengan
perubahan-perubahan biologis, kimiawi dan geologis yang sangat cepat. Ekosistem
Wilayah pesisir terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, estuari,
lamun yang merupakan pelindung alam dari erosi, banjir dan badai serta dapat
berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut. Disamping itu wilayah
pesisir juga menyediakan berbagai jasa lingkungan dan sebagai tempat tinggal
manusia, dan untuk sarana transportasi, tempat berlibur atau rekreasi (Dahuri., et al.
2001).
Berlawanan dengan hal tersebut, banyak aktivitas masyarakat pesisir yang
cenderung memanfaatkan ekosistem pesisir secara berlebihan yang menyebabkan
rusaknya ekosistem. Seperti penebangan tanaman pada hutan mangrove yang
dijadikan sebagai perluasan daerah pemukiman, untuk kayu bakar ataupun untuk
reklamasi pantai, penambangan pasir di sekitar ekosistem mangrove dan sebagainya,
sangat berpotensi menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut dan pesisir yang ada
di sekitarnya. Kerusakan yang ditimbulkan pada ekosistem pesisir tersebut akan
mengurangi jasa yang diberikan oleh ekosistem tersebut bagi manusia bahkan
cenderung akan membahayakan bagi manusia itu sendiri, khususnya nilai keindahan
yang diberikan oleh ekosistem pesisir (Sarawaswati, 2004).

Studi Pustaka :
• Judul : Potensi Pemanfaatan Ekosistem Pesisir pantai Labuhan Haji Lombok Timur
sebagai Daerah Ekowisata
• Penulis : Deni Apriana D. dan Daindo Milla
• Labuhan Haji Lombok Timur untuk dikembangkan menjadi daerah ekowisata.
Metode
• Hasil dan Pembahasan :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi-potensi yang dimiliki oleh
ekosistem pesisir pantai penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif melalui
kegiatan kajian pustaka/ literature yang dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait
dengan judul penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekosistem pesisir pantai
Labuhan Haji memiliki potensi yang besar dalam memberikan jasa/ layanan ekosistem
khususnya jasa kebudayaan dari ekosistem tersebut. Potensi yang dimiliki diantaranya
memiliki bentang alam indah yang banyak dimanfaatkan oleh wisatawan yang ingin
melihat keindahan matahari saat terbit, pantai dengan ombak yang tidak terlalu tinggi,
dikelilingi oleh persawahan dan perkebunan masyarakat yang masih alami. Banyaknya
potensi yang dimiliki oleh ekosistem pesisir Pantai Labuhan Haji yang didukung oleh
peran serta masyarakat sebagai pengelola dan wisawatan untuk memelihara dan
menjaga ekosistem tersebut dari kerusakan ataupun terhadap pencemaran lingkungan
mennyebabkan ekosistem pesisir pantai Labuhan Haji tepat jika dikembangkan
sebagai salah satu daerah ekowisata yang ada di Lombok Timur.
Kesimpulan : melihat potensi yang besar yang dimiliki oleh ekosistem pesisir
pantai labuhan haji kabupaten Lombok Timur, berpeluang besar untuk dikembangkan
menjadi daerah ekowisata. Bukan hanya sekedar daerah pariwisata yang tidak disertai
dengan upaya pemeliharaan yang dilakukan oleh pengelola dan masyarakat penerima
manfaat jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem pesisir pantai Labuhan Haji
Kabupaten Lombok Timur.

Gambar 9. Pemanasan Global

Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan


ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata-rata di
permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C. Meningkatnya suhu rata-rata
permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca,
seperti; karbondioksida, metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan
sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses pembakaran
bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat penggundulan dan
pembakaran hutan.
Pemanasan global diperkirakan telah menyebabkan perubahan-perubahan
sistem terhadap ekosistem di bumi, antara lain; perubahan iklim yang ekstrim,
mencairnya es sehingga permukaan air laut naik, serta perubahan jumlah dan pola
presipitasi. Adanya perubahan sistem dalam ekosistem ini telah memberi dampak pada
kehidupan di bumi seperti terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan
punahnya berbagai jenis hewan.

Studi Pustaka :
• Judul : Pemanasan Global (Dampak dan Upaya Meminimalisasinya)
• Penulis : Ramli Utina
• Hasil dan Pemabahasan :
Pemanasan global, atau yang disebut dengan efek rumah kaca, mengacu pada
peningkatan rata-rata suhu bumi, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan iklim.
Dampak pemanasan global telahh memicu terjadinya konsekuensi yang merugikan
baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia. Beberapa
diantaranya :
• Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan.
• Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim
menyebabkan musim sulit diprediksi.
• Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap
suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi
ini pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
• Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan
produktivitas primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk
menemukan habitat baru yang sesuai. Migrasi burung akan berubah disebabkan
perubahan musim, arah dan kecepatan angin, arus laut (yang membawa nutrien
dan migrasi ikan).
• Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
• Ketinggian gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada
puncaknya.
• Perubahan tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan
terjadinya perubahan arus laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan,
sehingga memberi dampak pada hasil perikanan tangkap.
Meminimalisir dampak pemanasan global sebagai berikut :
• Konservasi lingkungan, dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di
lahan-lahan kritis. Tumbuhan hijau memiliki peran dalam proses fotosintesis,
dalam proses ini tumbuhan memerlukan karbondioksida dan menghasilkan
oksigen. Akumulasi gas-gas karbon di atmosfer dapat dikurangi.
• Menggunakan energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi
penggunaan energi bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara).
• Daur ulang dan efisiensi energi. Penggunaan minyak tanah untuk menyalakan
kompor di rumah, menghasilkan asap dan jelaga yang mengandung karbon.
• Upaya pendidikan kepada masyarakat luas dengan memberikan pemahaman dan
penerapan atas prinsip-prinsip seperti dimensi manusia, penegakan hukum dan
keteladanan, keterpaduan, mengubah pola piker dan sikap, dan etika lingkungan.

Gambar 10. Penyu

Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yaitu
kira-kira 17.480 pulau dengan keadaan geografis dan topografi yang berbeda. Sebelum
adanya konservasi, penyu dimanfaatkan sebagai bahan baku perhiasan, daging dan
telurnya sebagai bahan makanan sehingga di khawatirkan akan menyebabkan
penurunan populasi penyu dan mengarah ke kepunahan. Ekowisata penyu menjadi
salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas dan terjaga
keasliannya, sekaligus menjadi suatu kunjungan wisata. Potensi yang ada adalah
suatu konsep pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan,
pemeliharaan dan konservasi alam.

Studi Pustaka :
• Judul : Kajian Pengembangan Kawasan Konservasi penyu Sebagai Kawasan
Ekowisata I Dusun Tulang Desa Barugaiya Kabupaten Kepulauan Selayar
• Penulis : Rismang, Abdul Rauf dan Rustam
• Hasil dan Pembahasan :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi aktual kesesuaian lahan
kawasan konservasi penyu sebagai kawasan ekowisata dan strategi pengembangan
kawasan konservasi penyu sebagai kawasan ekowisata di Dusun Tulang Desa
Barugaiya Kabupaten Kepulauan Kepulauan Selayar.Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Hasil analisis menunjukan bahwa kesesuaian lahan ekowisata mencakup
Wilayah Pesisir Dusun Tulang merupakan lokasi dengan kesesuaian lokasi ekowisata
penyu sesuai 1.92 Ha yang berada pada stasiun 1 dan satsiun 3 dan tidak sesuai 1.52
Ha berada pada stasiun 2. Prioritas Strategi Pengembangan ekowisata penyu
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ditetapkan 10 strategi Terbaik
pengembangan ekowisata penyu di Dusun Tulang Desa Barugaiya Kabupaten
Kepulauan Selayar antara lain (1) mendorong pemerintah dalam hal penetapan
kawasan konservasi penyu, (2) perlunya pendanaan lebih untuk menyediakan sarana
dan prasarana pendukung, (3) mensosialisasikan peraturan tata ruang pesisir kepada
stakeholder untuk menghindari konflik dan meningkatkan partisipasi masyarakat, (4)
perlunya perhatian lebih dari pemangku kebijakan (stakeholder) demi peningkatan
potensi wilayah, (5) pelatihan mengenai usaha- usaha yang terkait dengan wisata
terhadap SDM setempat, (6) penerapan pemahaman terkait penrusakan ekosistem
kawasan peneluran penyu serta adanya penegakan hukum dari pemerintah, (7)
perencanaan tataruang lokasi wisata (8) penyuluhan masayarakat tentang pentingnya
penyu, (9) penanaman jenis-jenis mangrove dan vegetasi pantai (10) penerapan sistem
yang adil dalam kebijakan pengelolaan.
Gambar 11. Abrasi

Pantai merupakan bagian wilayah pesisir yang bersifat dinamis, artinya ruang
pantai (bentuk dan lokasi) berubah dengan cepat sebagai respon terhadap proses
alam dan aktivitas manusia (Solehudin, 2011). Sebagian besar lahan dimanfaatkan
sebagai daerah pemukiman, perkebunan dan persawahan. Oleh karena aktifitas
pemanfaatan lahan di sepanjang pantai tidak terlepas dari pengaruh proses-proses
pantai yang berlangsung terus menerus, pemanfaatan lahan di daerah pantai sangat
rentan terhadap abrasi dan sedimentasi pantai.
Proses abrasi terjadi disebabkan diantaranya yaitu: adanya kegiatan
pengeksplorasian sumber daya alam pantai oleh manusia, intensitas gelombang air
laut, panas bumi secara global dan lain sebagainya. Akibat penebangan hutan
mangrove terjadinya pengikisan pantai atau pesisir mengakibatkan terjadinya abrasi
pantai di beberapa wilayah. Tindakan perbaikan ini bisa dilakukan dengan melakukan
perbaikan fisik yaitu membuat tanggul pencegah abrasi, menanam kembali wilayah
yang belum dan sudah terkena abrasi dengan tanaman mangrove, penyuluhan dan
pelatihan sosial berupa diskusi psikologi, pelatihan pembuatan pengelolaan hasil hutan
mangrove agar masyarakat yang terkena dampak abrasi bisa memulihkan
perekonomiannya kembali
Studi Pustaka :
• Judul : Penyuluhan dan Pelatihan upaya Pencegahan Abrasi Pantai pada
Masyarakat Muara Gembong, Bekasi.
• Penulis : Deni Nasir Ahmad.
• Hasil dan Pembahasan :
Tujuan kegiatan pengabdian masyarakat adalah melakukan sosialiasasi
perlunya penanaman tanaman mangrove pada wilayah terkena dampak, melakukan
penanaman kembali lahan yang terkena dampak abrasi yakni di mulai dari wilayah
tapal batas pantai sampai beberapa meter dari rumah penduduk, pemberian pelatihan
pencegahan dan perbaikan lahan kritis menjadi lahan yang dapat dipergunakan lagi
untuk pertanian. Metode yang digunakan adalah pemberian penyuluhan, diskusi dan
pelatihan perbaikan lahan. Hasil dari kegiatan pengabdian masyarakat bekerjasama
dengan masyarakat pecinta muara gembong yakni melakukan penanaman tanaman
mangrove berupa pemuliaan lahan, pemetaan lahan dan kegiatan diskusi interaktif
pada sebagian masyarakat muara gembong desa pantai bahagia. Hasil dari kegiatan
pengabdian masyarakat adalah masyarakat diajak untuk melakukan pemulihan kembali
ekosistem dan penanaman tanaman mangrove guna mencegah kembali pasang surut
air laut disekitar pesisir pantai muara gembong khususnya di desa pantai bahagia.
Kesimpulan dari kegiatan pengabdian masyarakat adalah terus dilakukan perbaikan
ekosistem guna memproduktifkan kembali lahan yang terkena abrasi dan
membangkitkan lagi perekonomian di muara gembong bekasi.
DAFTAR PUSTAKA

Clarke, E. and D.R. Nelson. 1997. Young whale sharks, Rhincodon typus, feeding on a
copepod bloomnear La Paz, Mexico. Environ. Biol. Fish., 50: 63–73.

Heru, et al., 2008. Kajian Dampak Lingkugan Global dari Kegiatan Keramba Jaring
Apung Melalui Life Cycle Assessment (LCA). Pusat Riset Perikanan Budidaya,
Jakarta.

Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu, M.J. (cet. 2), 2001 : Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu ; PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
Indonesia.

Saraswati, A.R. 2004. Konsep pengelolaan ekosistem pesisir (studi kasus kecamatan
ulu jami kabupaten pemalang jawa tengah). Jurnal teknologi lingkungan (4):

Setiawan, Heru. 2014. Pencemaran Logam Berat di Perairan Pesisir Kota


Makassardan Upaya Penanggulangannya. Info Teknis Eboni Vil. 11 No. 1 Mei
2014.Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Field, C. D. 1995. Impact of expected climate change on mangroves. Hydrobiologia


295, 75-81.

Wilson, S.G and D.R. Newbound. 2001. Two whale shark faecal samples from
Ningaloo Reef, Western Australia. Bull. Mar. Sci. 68: 361–362.

Anda mungkin juga menyukai