Anda di halaman 1dari 4

Mereka itu akan mengundang teman-teman dekatnya untuk berpartisipasi dalam ritus korban ini.

Sesudah mengorbankan seeokor binatang (domba, kambing, sapi, atau merpati), para peserta diajak
makan daging korban binatang itu dengan roti dan anggur. Mengikuti pola Mazmur, mereka akan
melagukan suatu nyanyian yang menuturkan kembali karya Allah yang menyelamatkan, sambil
bersyukur kepada Tuhan karena telah menyelamatkan mereka dari kematian.

Doa Syukur Agung dalam Misa bersinambung dengan tradisi syukur biblis, tradisi syukur Yahudi.
Sungguh, kata “Ekaristi” itu berarti “syukur”. Doa Syukur Agung dalam Misa menggemakan tema yang
dikembangkan dalam Mazmur-mazmur dan diungkapan dengan korban todah Yahudi kuno. Perhatikan
Prefasi Doa Syukur Agung yang didaraskan imam sebelum melagukan “Kudus, kudus, kudus.” Bagaimana
doa itu secara eksplisit dimulai dengan tema syukur, “Sungguh layak dan dan sepantasnya, ya Bapa…
kami senantias bersyukur kepadaMu.” Seperti mazmur-mazmur selanjutnya, Doa Syukur Agung memuji
Allah karena menciptakan dunia lewat Sang Putra. Dialah Sabda-Mu. Dengan Sabda-Mu itu Engkau
menciptakan alam semesta.

Kemudian doa memusatkan diri pada alasan syukurnya, yakni bersyukur kepada Allah karena
menyelamatkan kami dari kematian. Seperti mazmur-mazmur dan ritual-ritual todah, Doa Syukur Agung
menuturkan kembali cerita tentang bagaimana Allah menyelamatkan kita. Dengan kuasa Roh Kudus, Ia
menjadi manusia dan untuk melaksanakan kehendakMu, dan untuk menghimpun umat kudus bagiMu.
Ia merentangkan tanganNya di kayu salib agar belenggu maut dipatahkan, dan cahaya kebangkitan
dipancarkan. Dengan memenuhi kehendak Bapa, Yesus telah menyelamatkan kita dari dosa dan
kematian, dan dalam Doa Syukur Agung ini kita bersyukur kepada Allah karena melalui korban Kristus
yang menyelamatkan, kita telah menjadi “suatu bangsa yang kudus”.

“Kudus, Kudus, Kudus” – Memasuki Liturgi Surgawi

Doa Syukur Agung mengingatkan kita bahwa Misa jauh lebih besar daripada peristiwa insani yang terjadi
di suatu gereja di atas bumi ini. Sesungguhnya Misa adalah suatu partisipasi dalam liturgi surgawi. Itulah
sebabnya imam berkata, “Maka bersama para malaikat dan semua orang kudus kami memuji dan
memuliakan Dia, dan sehati sesuara bernyanyi…”

Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemulianMu.
Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di
surga.

Bagian pertama pujian ini diambil bukan dari sembarang madah, tetapi mengikuti cara para malaikat
dan para orang kudus beribadat kepada Allah di surga. Ketika Nabi Yesaya mendapat pengelihatan, ia
mengucapkan kata-kata yang sama ini, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi
penuh kemuliaanNya (Yes 6:3). Rasul Yohanes menuturkan pengalaman yang sama dalam Kitab Wahyu.
Ketika diangkat untuk berpartisipasi dalam ibadat kepada Allah dalam liturgi surgawi, Yohanes
menyaksikan empat makhluk surgawi yang siang malam tak henti-hentinya bernyanyi, “kudus, kudus,
kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa.” (Why 4:8)

Jadi surga dan bumi berpadu dalam madah ini. Kalau kita melagukan “Kudus-kudus, kudus” dalam Misa
di sini, di bumi, kita sedang memadukan diri dengan nyanyian yang didengar oleh Yesaya dan Yohanes
sedang dilambungkan oleh para malaikat di sekeliling tahta Allah di surga.
Bagian kedua pujia itu juga diambil dari Kitab Suci. Inilah kata-kata yang digunakan oleh khalayak ramai
untuk menyalami Yesus sebagai raja nan jaya. Ketika Ia memasuki Yerusalem sambal menunggang
keledai. Sambil melambai-lambaikan daun palma dan membentangkan pakaian mereka di jalan yang
akan dilalui Yesus, rakyat berseru-seru, “Hosana!” (“berikanlah keselamatan”): “Hosana bagi Anak Daud,
diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Hosanna di tempat yang mahatinggi (Mat 21:9).
Dengan begitu, cocok sekali bahwa kata-kata ini menjadi bagia dari “Kudus, kudus, kudus”. Serupa orang
Yahudi yang menyambut Yesus masuk Yerusalem dengan puji-pujian ini, kita menggemakan salam ini
dalam Misa, tepat ketika kita mempersiapkan diri untuk menyambut Kristus Raja dalam hidup kita
sendiri dalam Ekaristi.

Paskah Baru – “Lakukanlah Ini sebagai Kenangan akan Daku”

Pusat Doa Syukur Agung ada saat dituturkannya Perjamuan Malam Terakhir. Sementara mengambil roti
dan anggur dalam tanganNya, imam mendaraskan kata-kata yang diucapkan Yesus ketika Ia menetapkan
Ekaristi pada malam sebelum Ia Wafat. “Inilah TubuhKu yang akan diserahkan bagimu. … Inilah piala
darahKu, darah perjanjian baru dan kekal yang akan ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi
pengampunan dosa.”

Dalam Yudaisme abad pertama, kata-kata Yesus itu kiranya mengingatkan orang akan ritual korban
binatang, daging binatang dipersembahkan dan dasrahnya dicurahkan pada altar di Bait Suci. Dengan
begitu, ketika Yesus berbicara tentang TubuhNya sendiri yang diserahkan, dan DarahNya yang
ditumpahkan demi pengampunan dosa, Ia menyatakan bahwa suatu jenis korban sedang dilaksanakan,
yakni Tubuh dan DarahNya sendiri. Karena kata-kata ini diucapkan dalam konteks perjamuan Paskah,
tentulah Yesus telah mengidentifikasi diriNya sebagai anak domba yang dikorbankan untuk perjamuan
Paskah. Dengan demikian Yesus adalah Anak Domba Paskah yang baru. Sama seperti anak domba
paskah dikorbankan di Mesir untuk menyelamatkan anak-anak sulung Israel dari belenggu perbudakan,
demikianlah Yesus dikorbankan di Kalvari untuk menyelamatkan keluarga umat manusia dari kematian.

Imam juga mengulangi kata-kata Yesus yang penting dari Perjamuan Malam Terakhir, “Lakukanlah ini
untuk mengenangkan Daku.” Dengan kata-kata ini Yesus menampilkan makna biblis dari kenangan.
Sangatlah penting untuk mencatat bahwa suatu kenangan Yahudia jauh lebih kaya darupada sekadar
mengingat masa lampau, mengenang berarti sungguh membuat masa lampau itu hadir pada saat
sekarang secara mistik melalui ibadat liturgis, sehingga generasi selanjutnya dapat berpartisipasi dalam
peristiwa-peristiwa dasariah dalm sejarah Israel. Maka bila oraqng Yahudi merayakan Paskah setiap
tahun sebagai suatu kenangan, mereka percaya bahwa saat puncak dalam sejarah mereka ini, yakni
Eksodus, tidak hanya dimunculkan dalam ingatan mereka, tetapi sungguh dihadirkan bagi mereka.
Sejumlah orang Yahudi kuno bahkan berkata bahwa kalau mereka mereka merayakan Paskah, mereka
merasa seolah-olah sedang berjalan keluar dari Mesir bersama nenek-moyam mereka dalam Eksodus.

Korban Misa

Ketika Yesus berkata, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku,” Ia memerintahkan para rasul untuk
merayakan perjamua Paskah yang baru ini dengan mempersembahkan Tubuh dan DarahNya sebagai
Anak Domba Paskah yang baru, sebagai suatu kenangan. Yesus memerintahkan kita untuk membuat
peristiwa dasariah Perjanjian Baru ini hadir di hadapan semua generasi Kristiani selanjutnya.
Latar belakang ini membantu menjelaskan mengapa Gereja Katolik mengatakan Misa sebagai suatu
korban. Ia bukan suatu korban yang baru, tapi penghadiran dari korban yang satu yang sempurna, yang
dipersembahkan Yesus sebagai suatu kenangan biblis. Lewat liturgi, ketika imam mendaraskan kata-
kata konsekrasi, peristiwa msa lampau Perjamuan Malam Terakhir dan Kalvari secara mistis dihadirkan
dihadapan kita. Dalam Misa, tindakan Kristus mempersembahkan Tubuh dan DarahNya dihadirkan
kembalu di hadapan kita secara unik (Katekismus n0 1366). Katekismus mengajarkan bahwa lewat Misa
kita memiliki kesempatan untuk menyatukan hidup kita dengan korban sempurna itu, yang dilakukan
Kristus dua ribu tahun lalu di Kalvari. “Dalam Ekaristi korban Kristus juga menjadi korban anggota
TubuhNya. Hidup kaum beriman, puji-pujian, penderitaan, doa, dan karya mereka disatukan dengan
hidup, pujian, penderitaan, doa, dan karya Yesus sendiri, dan dengan penyerahan totalNya; dengan
demikian semua itu memiliki suatu makna yang baru. Korban Kristus yang hadir di altar memungkinkan
semua generasi orang Kristiani disatukan dengan persembahanNya (Kompendium Katekismus Gereja
Katolik 1368).

Salam Damai – “Shalom” dengan Anak Domba

Sesudah Doa Syukur Agung, kita mempersiapka diri untuk menyambut Yeus, Anak Domba Paskah kita
dalam Komuni Kudus. Pertama, kita berdiri dan mendaraskan Bapa Kami. Doa ini menekankan
solidaritas kita sebagai saudara dan saudari dalam Kristus di bawah satu atap Bapa Surgawi (kita tidak
berkata, “Bapaku” tetapi “Bapa Kami”.) Maka pendarasan dosa yang diajarkan oleh Yesus sendiri itu
mengungkapkan kesatuan kita dalam doa, sebelum kita memperdalam kesatuan kita dalam Ekaristi.

Sesudah Bapa Kami, kita mengungkpkan kembali kesatuan ini lewat salam damai. Pemahaman biblis
tentang damai (shalom) jauh lebih luas dari sekadar tidak adanya permusuhan atau perang. Shalom
mengungkapna solidaritas perjanjian, persahabatan, dan relasi yang baik. Handai taulan yang masih
menyimpan keengganan satu sama lain, anggota keluarga yang belum saling mengampuni, dan
pasangan suami-istri yang tidak mau lagi saling memandang satu sama lain, tidak memiliki shalom. Ritual
salam damai menantang kita untuk benar-benar menghayati doa Bapa Kami, dengan memanggil kita
untuk mengampuni dan membawa damai ke dalam hati kita, dan ke dalam semua relasi kita, sebelum
kita menyambut Pangeran Perdamaian ke dalam jiwa kita lewat Komuni Kudus.

Kemudian kita mendaraskan, “Anak Domba allah yang menghapus dosa dunia, kasihanilah kami.”
Dengan doa ini kita menggemakan kata-kata Yohanes Pembaptis ketika pertama kali ia menyapa Yesus,
“Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya, dan ia berkata, “Lihatlah Anak
Domba Allah yang menghapus dosa dunia!” (Yoh 1:29). Sekali lagi dengan mengikuti teladan Yahudi,
inilah cara biblis yang tepat untuk menyambut Anak Domba Allah ke dalam kehidupan kita sendiri, selagi
kita mempersiapkan diri menyambut Dia dalam Ekaristi.

“Berbahagialah Mereka yang Diundang ke Perjamuan ini” – Pesta Perkawinan Anak Domba

Tepat sebelum menyambut komuni, imam memegang hosti yang sudah dikonsekrasi dan berkata,
“Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke
perjamuaNya”.

Kata-kata itu menggemakan doa-doa para malaikat dan orang kudus dalam liturgi surgawi. Dalam Kitab
Wahyu, Yohanes mendengar suara membahana dari himpunan besar surga yang bernyanyi, “Alleluya!”
dan memaklumkan perjamuan penyatuan Anak Domba, Yesus Kristus Anak Domba yang telahmenang
jaya, telah datang untuk mempersunting MempelaiNya, Gereka. Sepanjang sejarah keselamatan,
gambaran perkainan telah digunakan untuk melukiskan kesatuan yang mesra yang ingin dijalin Allah
dengan umatNya. Dalam Wahyu 19, persekutuan perjanjian yang mesra ini akhir diwujudkan dalam
pesta Paskah yang baru dengan Anak Domba, Yesus Kristus, yang menyatukan diriNya dengan
MempelaiNya, yaitu Gereja. Memaklumkan perjamuan penyatuan ini, malaikat berseru, “Berbahagialah
mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba.” (Why 19:9).

Persekutuan Kudus Kedua Mempelai

Ketika imam berseru, “Berbahagilah kita yang diundang ke perjamuan Tuhan,” ia bukanlah mengundang
kita ke suatu perjamuan biasa. Ia meneruskan maklumat perkawinan dalam Kitab Wahyu yang
disampikan oleh Malaikat. Dan ketika kita berjalan maju untuk menyambut Komuni Kudus, kita sedang
berperan sebagai Mempelai Perempuan yang berbahagia menyongsong keksasihnya Sang Mempelai
Pria. Sang Mempelai Illahi menyatukan diriNya dengan kita dengan cara yang paling mesra yang
mungkin diungkapkan di bumi dengan memberika kepada kita kehadiran nyataNya, TubuhNya,
DarahNya, JiwaNya, dan KeilahianNya dalam Ekaristi.

Jelas sudah Misa bukan sekadar ritual yang hampa atau sekadar tradisi buatan manusia. Misa adalah
partisipasi dalam persta perkawinan surgawi Anak Domba. Semua doa serta ritual Misa akhirnya
dimaksudkan untuk mempersiapkan kita untuk saat puncak dalam liturgi. Seperti seorang istri yang
rindu bersatu dengan suaminya, demikian hati kita hendaknya dipenuhi dengan kerinduan yang
menyala-nyala untuk persekutuan kudus dengan Sang Mempelai Ilahi, yakni tubuh EkaristiNya sendiri
masuk ke dalam tubuh kita dalam kesatuan yang paling mendalam. Sungguh kita menjadi orang-orang
yang paling diberkati karena boleh ambil bagian dalam persekutuan nyata dengan Allah, sebagaimana
dimaklumlah oleh malaikat dalam Kitab Wahyu. “Berbahagialah mereka yang diundang dalam
perjamuan kawin Anak Domba.” (Why 19:9)

Anda mungkin juga menyukai