Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma merupakan kejadian yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari.


Trauma tersebut sering menyebabkan luka. Dari segi medik, luka merupakan kerusakan
jaringan, baik disertai diskontinuitas jaringan atau tidak. Trauma memiliki dampak yang
bervariasi, mulai dari kerusakan jaringan yang kecil hingga gangguan yang dapat
menyebabkan seorang kehilangan nyawa.1
Dari segi hukum, trauma dapat disebabkan oleh tindakan pidana. Tindakan tersebut
dapat bersifat intentional (disengaja), recklessness (kecerobohan), atau negligence (kurang
hati-hati). Derajat kerusakan dapat dijadikan sebagai bahan untuk menentukan keringanan
hukuman. Untuk menentukan derajat luka tersebut, hakim perlu meminta dokter untuk
memeriksa korban dan member pandangan dari segi medik, sebagai bahan pertimbangan
hakim untuk menentukan hukuman. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk
menentukan derajat keringanan luka adalah trauma scores. Penggunaan metode ini masih
ditemui oleh beberapa kontroversi.1,2
Trauma scores merupakan metode penentuan derajat keparahan luka, yang bersifat
kuantitatif. Trauma scores dapat diklasifikasikan sebagai dalam tiga kelompok: physiologic
scores, anatomic scores, dan combined scores. Masing-masing kelompok memiliki
keunggulan dan kerugian.3
Dalam aplikasinya, trauma scores memiliki beberapa fungsi. Trauma scores dapat
membantu menentukan outcome trauma pasien, membantu menyediakan informasi yang
bersifat objektif untuk pasien dalam menentukan keputusan akhir, dan sebagai bahan rujukan
serta membantu menentukan triage prehospital yang rasional sehingga dapat dilakukan tata
laksana yang definitif. Trauma scores juga berguna dalam bidang hukum untuk membantu
menentukan derajat trauma secara objektif, standar, dan akurat sehingga dapat membantu
proses pengadilan dan penentuan sanksi.3
Melalui referat ini, kami akan mencoba menjelaskan beberapa metode trauma scores,
termasuk kelebihan dan kekurangan, serta peran metode tersebut dalam bidang forensik,
terutama demi kepentingan peradilan. Semoga tulisan ini dapat membantu pihak-pihak lain
untuk mengenal dan memahami trauma scores.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skoring Trauma

Sistem scoring telah dipublikasikan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Sistem
scoring digunakan untuk membantu klasifikasi derajat trauma pasien, terutama di lapangan,
ruang gawat darurat, dan ruang perawatan intensif. Skoring mengubah derajat trauma yang
menjadi bentuk kuantitatif berupa angka, sehingga membantu dokter untuk menjelaskan
secara umum.
Banyak sistem telah dikembangkan untuk mempermudah pembandingan trauma
pasien di dalam maupun antar institusi. Walaupun banyak sistem scoring tersedia, tidak ada
sistem yang sempurna.
Alasan dikembangkannya sistem skoring ini adalah timbulnya kebutuhan untuk
mempermudah identifikasi dan klasifikasi cedera pasien pada fase prehospital,
mempermudah prediksi mortalitas, hasil perawatan, serta meningkatkan komunikasi.
Salah satu cara untuk menglasifikasi pasien adalah dengan mengelompokkannya ke
dalam tiga kelompok terpisah berdasarkan tingkat keparahan trauma:
1. Pasien dengan cedera yang berakibat fatal dengan segera
2. Pasien dengan cedera yang berpotensi fatal
3. Pasien dengan cedera yang tidak fatal
Kelompok pertama termasuk pasien yang mengalami cedera yang menyebabkan
pengeluaran darah dalam jumlah yang besar, cedera masif kepala, cedera pada medulla
spinalis atas, atau hambatan besar pada jalur napas yang dapat menyebabkan kematian dalam
waktu kurang dari 10 menit. Sekitar 5,5% cedera traumatik yang menyebabkan kematian
masuk dalam golongan ini.
Kelompok ketiga mencakup 80% seluruh pasien trauma. Kelompok ketiga merupakan
kelompok pasien yang mengalami cedera minor atau terbatas pada bagian jaringan lunak dan
pasien yang mengalami fraktur tertutup pada daerah ekstremitas. Pada kelompok ini, pasien
jarang terancam nyawanya, sehingga penanganannya belum diutamakan. Pasien golongan ini
dapat bertahan tanpa mengalami disabilitas yang bermakna walaupun terapi yang definitif
tidak diberikan segera.
Pengaruh sistem skoring baru terlihat dari golongan kedua (sekitar 15%-20%). Pada
golongan kedua terdapat peningkatan perawatan prehospital dan pengenalan sistem trauma.
Pasien-pasien pada golongan ini dapat diselamatkan jika diberikan pelayanan medik yang
efektif. Untuk kelompok inilah, sistem skoring dikembangkan.
Sistem skoring trauma terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Anatomik: untuk melihat luas trauma

Abbreviated Injury Scale (AIS)


Injury Severity Score (ISS)
New Injury Severity Score (NISS)
Anatomic Profile

2. Fisilogik: untuk menilai pengaruh trauma pada fungsi tubuh terkait

Revised Trauma Score (RTS)


Glasgow Coma Score (GCS)
Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE)

3. Kombinasi
Trauma and Injury Severity Score (TRISS)
International Classification of Disease-based ISS (ICISS)

2.2 Injury Severity Score (ISS)


Injury Severity Score merupakan sistem skoring yang menilai secara menyeluruh
pasien yang memiliki cedera multipel. Tiap cedera dinilai dengan menggunakan skor
Abbreviated Injury Score (AIS). Sistem skoring ini diperkenalkan oleh Baker et al pada tahun
1974.
Abbreviated Injury Score (AIS) adalah sistem skoring anatomik yang diperkenalkan
pada tahun 1969. Sistem skoring ini terus menerus diperbarui dan diperbaiki sejak pertama
kali diperkenalkan. Versi terbarunya dikeluarkan pada tahun 1998. Pemantauan sistem ini
dilakukan oleh scaling committee dari Association for The Advancement of Automotive
Medicine. AIS bukan merupakan skala trauma.
Dalam skor ini, derajat keparahan cedera dibagi menjadi 6 skala dari 1-6, dengan
skala 1 berarti cedera minor, 5 cedera berat, dan 6 cedera yang tidak dapat ditangani. Skala-
skala ini mewakili seberapa besar ancaman kematian pasien, berhubungan dengan cedera
yang dialaminya, serta menggambarkan derajat keparahan trauma secara keseluruhan.

Tabel 1. Skoring menggunakan metode AIS

Cedera Skor AIS


1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Severe
5 Critical
6 Unsurvivable

Penilaian AIS didapat dari 6 regio tubuh (kepala, wajah, dada, perut, ekstremitas
termasuk pelvis, serta eksternal). Tiga regio dengan derajat tertinggi dikuadratkan dan
dijumlahkan untuk mendapatkan skor ISS.

Liver Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Subcapsular, <10% surface area 2
Laceration Capsular tear, <1 cm parenchymal depth 2
II Hematoma Subcapsular, 10-50% surface area 2
Laceration Intraparenchymal, <10 cm in diameter 2
Capsular tear, 1-3 cm parenchymal depth, <10 cm length 2
III Hematoma Subcapsular, >50% surface area or expanding 3
Laceration Ruptured subcapsular or parenchymal hematoma 3
Intraparenchymal hematoma >10 cm or expanding 3
>3 cm parenchymal depth 3
IV Laceration Parenchymal disruption involving 25-75% of hepatic lobe or 1-3 4
Couinaud’s segments within a single lobe
V Laceration Parenchymal disruption involving >75% of hepatic lobe or 5
Vascular >3 Couinaud’s segments within single lobe 5
Vascular Juxtahepatic venous injuries; i.e., retrohepatic vena cava/central major 6
hepatic veins
Hepatic avulsion

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multipel dengan batas tingkat III

Spleen Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Subcapsular, <10% surface area 2
Laceration Capsular tear, <1 cm parenchymal depth 2
II Hematoma Subcapsular, 10-50% surface area 2
Laceration Intraparenchymal, <5 cm in diameter 2
Capsular tear, 1-3 cm parenchymal depth which does not involve a 2
trabecular vessel
III Hematoma Subcapsular, >50% surface area or expanding 3
Laceration Ruptured subcapsular or parenchymal hematoma 3
Intraparenchymal hematoma >5 cm or expanding 3
>3 cm parenchymal depth or involving trabecular vessels 3
IV Laceration Laceration involving segemental or hilar vessels producing major 4
devascularization (>25% of spleen)
V Laceration Completely shattered spleen 5
Vascular Hilar vascular injury which devascularizes spleen 5

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multipel dengan batas tingkat III

Small Bowel Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Contusion or hematoma without devascularization 2
Laceration Partial thickness, no perforation 2
II Laceration Laceration <50% of circumference 3
III Laceration Laceration >50% of circumference without transection 3
IV Laceration Transection of small bowel 4
V Laceration Transection of small bowel with segmental tissue loss 4
Vascular Devascularized segment 4

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multipel dengan batas tingkat III

Colon Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Contusion or hematoma without devascularization 2
Laceration Partial thickness, no perforation 2
II Laceration Laceration <50% of circumference 3
III Laceration Laceration >50% of circumference without transection 3
IV Laceration Transection of the colon 4
V Laceration Transection of the colon with segmental tissue loss 4

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Rectum Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Contusion or hematoma without devascularization 2
Laceration Partial thickness laceration 2
II Laceration Laceration <50% of circumference 3
III Laceration Laceration ≥50% of circumference 4
IV Laceration Full-thickness laceration with extension into the perineum 5
V Laceration Devascularized segment 5

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Diaphragm Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Contusion 2
II Laceration ≤2 cm 3
III Laceration 2-10 cm 3
IV 2 3
Laceration >10 cm with tissue loss ≤25 cm
V 2 3
Laceration with tissue loss >25 cm

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Duodenum Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Involving single portion of duodenum 2
Laceration Partial thickness, no perforation 3
II Hematoma Involving more than one portion 2
Laceration Disruption <50% circumference 4
III Laceration Disruption 50-75% circumference of 2nd portion 4
Disruption 50-100% circumference of 1st, 3rd, 4th portion 4
IV Laceration Disruption >75% circumference of 2nd portion 5
Involving ampulla or distal common bile duct 5
V Laceration Massive disruption of duodenopancreatic complex 5
Vascular Devascularization of duodenum 5

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Pancreas Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Minor contusion without duct injury 2
Laceration Superficial laceration without duct injury 2
II Hematoma Major contusion without duct injury or tissue loss 2
Laceration Major laceration without duct injury or tissue loss 3
III Laceration Distal transection or parenchymal / duct injury 3
IV Laceration Proximal transection or parenchymal injury involving ampulla 4
V Laceration Massive disruption of pancreatic head 5

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat II


Kidney Injury Scale
Grade* Description AIS-90
I Contusion Microscopic or gross hematuria 2
Hematoma Subcapsular, nonexpanding without parenchymal laceration 2
II Hematoma Nonexpanding perirenal hematoma confined to renal retroperitoneum 2
Laceration <1 cm parenchymal depth of renal cortex without urinary extravasation 2

III Laceration <1 cm parenchymal depth of renal cortex without collecting system 3
rupture or urinary extravasation
IV Laceration Parenchymal laceration extending through the renal cortex, medulla, 4
Vascular and collecting system 4
Main renal artery or vein injury with contained hemorrhage
V Laceration Completely shattered kidney 5
Vascular Avulsion of renal hilum which devascularizes kidney 5

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Ureter Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Hematoma Contusion or hematoma without devascularization 2
II Laceration <50% transection 2
III Laceration >50% transection 3
IV Laceration Complete transection with <2 cm devascularization 3
V Laceration Avulsion with >2 cm devascularization 3

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III
Bladder Injury Scale
Grade* Description AIS-90
I Hematoma Contusion, intramural hematoma 2
Laceration Partial thickness 3
II Laceration Extraperitoneal bladder wall laceration <2 cm 4
III Laceration Extraperitoneal (>2 cm) or intraperitoneal (<2 cm) bladder wall 4
laceration
IV Laceration Intraperitoneal bladder wall laceration >2 cm 4
V Laceration Intraperitoneal or extraperitoneal bladder wall laceration extending into 4
the bladder neck or ureteral orifice (trigone)

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Urethra Injury Scale


Grade* Injury Type Description AIS-
90
I Contusion Blood at urethral meatus; urethrography normal 2
II Stretch Injury Elongation of urethra without extravasation on urethrography 2

III Partial Extravasation of urethrography contrast at injury site with contrast 2


Disruption visualized in the bladder
IV Complete Extravasation of urethrography contrast at injury site without contrast 3
Disruption visualization in the bladder; <2 cm of urethral separation
V Complete Complete transection with >2 cm urethral separation, or extension 4
Disruption into the prostate or vagina

* Dinaikkan satu tingkat untuk trauma multiple dengan batas tingkat III

Abdominal Vascular Injury Scale*


Grade† Description AIS-90
I Non-named SMA or SMV branches NS
Non-named IMA or IMV branches NS
Phrenic artery / vein NS
Lumbar artery / vein NS
Gonadal artery / vein NS
Ovarian artery / vein NS
Other non-named small arterial or venous structures requiring ligation NS
II Right, left, or common hepatic artery 3
Splenic artery/vein 3
Right or left gastric arteries 3
Gastroduodenal artery 3
IMA or IMV trunk 3
Primary named branches of mesenteric artery or vein 3
Other named abdominal vessels requiring ligation/repair 3
III SMV trunk 3
Renal artery/vein 3
Iliac artery vein 3
Hypogastric artery/vein 3
Vena cava, infrarenal 3
IV SMA trunk 3
Celiac axis proper 3
Vena cava, suprarenal and infrahepatic 3
Aorta, infrarenal 4
V Portal vein 3
Extraparenchymal hepatic vein 3/5
Vena cava, retrohepatic or suprahepatic 5
Aorta, suprarenal, subdiaphragmatic 4
*Sistem klasifikasi ini dapat digunakan untuk trauma vaskular extraparenkim. Jika trauma vaskular
berada 2 cm di dalam parenkim organ, gunakan skala yang spesifik terhadap trauma organ tersebut

Chest Wall Injury Scale*


Grade† Injury Type Description AIS-90
I Contusion Any size 1
Laceration Skin and subcutaneous 1
Fracture <3 ribs, closed; nondisplaced clavicle closed 1-2
II Laceration Skin, subcutaneous and muscle 1
Fracture ≥3 adjacent ribs, closed 2-3
Open or displaced clavicle 2
Nondisplaced sternum, closed 2
Scapular body, open or closed 2
III Laceration Full thickness including pleural penetration 2
Fracture Open or displaced sternum, flail sternum 2
Unilateral flail segment (<3 ribs) 3-4
IV Laceration Avulsion of chest wall tissues with underlying rib fractures 4
Fracture Unilateral flail chest (≥3 ribs) 3-4
V Fracture Bilateral flail chest (≥3 ribs on both sides) 5
* Skala ini digunakan khusus untuk dinding dada saja dan tidak menentukan trauma
intatorakal atau abdominal
† Untuk trauma multipel ditingkatkan satu tingkat dengan batas tingkat III

Extrahepatic Biliary Tree Injury Scale


Grade* Description AIS-90
I Gallbladder contusion/hematoma 2
Portal triad contusion/hematoma 2
II Partial gallbladder avulsion from liver bed; cystic duct intact 2
Laceration or perforation of the gallbladder 2
III Complete gallbladder avulsion from liver bed 3
Cystic duct laceration 2-3
IV Partial or complete right hepatic duct laceration 2-3
Partial or complete left hepatic duct laceration 2-3
Partial common hepatic duct laceration (<50%) 3
Partial common bile duct laceration (<50%) 3
V >50% transection of common hepatic duct 4
>50% transection of common bile duct 4

*Untuk trauma multipel ditingkatkan satu tingkat dengan batas tingkat III

Heart Injury Scale


Grade* Description AIS-
90
I Blunt cardiac injury with minor ECG abnormality (nonspecific ST or T wave changes, 3
premature atrial or ventricular contraction or persistent sinus tachycardia) 3
Blunt or penetrating pericardial wound without cardiac injury, cardiac tamponade, or
cardiac herniation
II Blunt cardiac injury with heart block (right or left bundle branch, left anterior fascicular, 3
or atrioventricular) or ischemic changes (ST depression or T wave inversion) without 3
cardiac failure
Penetrating tangential myocardial wound up to, but not extending through,
endocardium, without tamponade
III Blunt cardiac injury with sustained (≥5 beats/min) or multifocal ventricular contractions 3-4
Blunt or penetrating cardiac injury with septal rupture, pulmonary or tricuspid valvular 3-4
incompetence, papillary muscle dysfunction, or distal coronary arterial occlusion 3-4
without cardiac failure 3-4
Blunt pericardial laceration with cardiac herniation 3
Blunt cardiac injury with cardiac failure
Penetrating tangential myocardial wound up to, but not extending through,
endocardium, with tamponade
IV Blunt or penetrating cardiac injury with septal rupture, pulmonary or tricuspid valvular 3
incompetence, papillary muscle dysfunction, or distal coronary arterial occlusion 3
producing cardiac failure 5
Blunt or penetrating cardiac injury with aortic mitral valve incompetence
Blunt or penetrating cardiac injury of the right ventricle, right atrium, or left atrium
V Blunt or penetrating cardiac injury with proximal coronary arterial occlusion 5
Blunt or penetrating left ventricular perforation 5
Stellate wound with <50% tissue loss of the right ventricle, right atrium, or left atrium 5

VI Blunt avulsion of the heart 6


Penetrating wound producing >50% tissue loss of a chamber 6
*Naikkan satu tingkat untuk trauma tusuk multipel pada satu kamar jantung atau trauma yang
melibatkan kamar jantung

Lung Injury Scale


Grade* Injury Type Description AIS-90
I Contusion Unilateral, <1 lobe 3
II Contusion Unilateral, single lobe 3
Laceration Simple pneumothorax 3
III Contusion Unilateral, >1 lobe 3
Laceration Persistent (>72 hrs), air leak from distal airway 3-4
Hematoma Nonexpanding intraparenchymal
IV Laceration Major (segmental or lobar) air leak 4-5
Hematoma Expanding intraparenchymal 3-5
Vascular Primary branch intrapulmonary vessel disruption
V Vascular Hilar vessel disruption 4
VI Vascular Total, uncontained transection of pulmonary hilum 4

*Naikkan satu tingkat untuk trauma multipel hingga tingkat III


Hemothorax dinilai oleh skala trauma vaskular thorax
Thoracic Vascular Injury Scale
Grade* Description AIS-90
I Intercostal artery/vein 2-3
Internal mammary artery/vein 2-3
Bronchial artery/vein 2-3
Esophageal artery/vein 2-3
Hemiazygos vein 2-3
Unnamed artery/vein 2-3
II Azygos vein 2-3
Internal jugular vein 2-3
Subclavian vein 3-4
Innominate vein 3-4
III Carotid artery 3-5
Innominate artery 3-4
Subclavian artery 3-4
IV Thoracic aorta, descending 4-5
Inferior vena cava (intrathoracic) 3-4
Pulmonary artery, primary intraparenchymal branch 3
Pulmonary vein, primary intraparenchymal branch 3
V Thoracic aorta, ascending and arch 5
Superior vena cava 3-4
Pulmonary artery, main trunk 4
Pulmonary vein, main trunk 4
VI Uncontained total transection of thoracic aorta or pulmonary hilum 5

*Naikkan satu tingkat untuk trauma tingkat III dan IV jika >50% keliling pembuluh darah
terkena trauma, serta kurangi satu tingkat untuk truma tingkat IV dan V jika keliling
pembuluh darah <25%.

Head and Neck


Description Region AIS
cerebral injury with headache or dizziness but no loss of head and 1
consciousness neck
whiplash complaint with no anatomical or radiological head and 1
evidence neck
abrasions and contusions of ocular apparatus (lids, head and 1
conjunctivae, cornea, uveal injuries) neck
vitreous or retinal hemorrhages head and 1
neck
fractures and/or dislocation of teeth head and 1
neck
cerebral injury with/without skull fracture, less than 15 head and 2
minutes unconsciousness, no post-traumatic amnesia neck
undisplaced skull or facial bone fractures or compound head and 2
fracture of nose neck
laceration of the eye and appendages head and 2
neck
retinal detachment head and 2
neck
disfiguring lacerations head and 2
neck
whiplash severe complaints with anatomical and head and 2
radiologic evidence neck
cerebral injury with or without skull fracture, with head and 3
unconsciousness more than 15 minutes, without severe neck
neurological signs, brief post-traumatic amnesia (less
than 3 hours)
displaced closed skull fracture without unconsciousness head and 3
or other signs of intracranial injury neck
loss of eye head and 3
neck
avulsion of optic nerve head and 3
neck
displaced facial bone fractures or those with antral or head and 3
orbital involvement neck
cervical spine fractures without cord damage head and 3
neck
cerebral injury with or without skull fracture with head and 4
unconsciousness of more than 15 minutes, with definite neck
abnormal neurological signs; post-traumatic amnesia 3-
12 hours
compound skull fracture head and 4
neck
cerebral injury with or without skull fracture with head and 5
unconsciousness of more than 24 hours; post-traumatic neck
amnesia more than 12 hours
intracranial hemorrhage head and 5
neck
signs of increased intra-cranial pressure (decreasing state head and 5
of consciousness, bradycardia under 60, progressive rise neck
in blood pressure, or progressive pupil inequality)
cervical spine injury with quadraplegia head and 5
neck
major airway obstruction head and 5
neck

Contoh penghitungan skor ISS dapat dilihat pada tabel 3:

Tabel. 3. Contoh perhitungan skor ISS


Region Deksripsi trauma AIS Ku adrat dari tiga skor
tertinggi
Kepala dan leher Kontusio serebral 3 9
Wajah Tidak terdapat trauma 0
Dada Flail chest 4 16
Perut Kontusio minor hepar 2 25
Rupture lien 5
Ekstremitas Fraktur femur 3
Eksternal Tidak terdapat trauma 0
Injury severity score: 50
Skor ISS berkisar dari 0 sampai 75. Jika sebuah trauma diidentifikasi dengan skor AIS
berjumlah total skor 6 (trauma yang tidak dapat ditangani), skor ISS secara otomatis berjumlah 75.
Skor ISS ini digunakan dalam system scoring anatomis serta dapat digunakan untuk memperkirakan
kematian, keparahan, rawat rumah sakit, serta pengukuran derajat keparahan yang lain.
Kelemahan dari system ini adalah jika terdapat kesalahan dalam scoring AIS maka tingkat
kesalahan ISS juga meningkat. Bentuk trauma yang berbeda dapat menghasilkan skor ISS yang sama.
Selain itu deskripsi trauma yang lengkap tidak dapat diketahui. Oleh karena itu, dibandingkan s istem
penilaian anatomis lain, ISS tidak dapat digunakan sebagai alat triase. Kelemahan yang lain adalah
terdapatnya keterbatasan untuk menghitung trauma multipel pada region tubuh yang sama.

2.3 Revised Trauma Score (RTS)


Revised Trauma Score (RTS) merupakan salah satu sistem skor fisiologis yang umum
digunakan, dengan inter-rater reliabilitas yang tinggi dan mempertunjukkan keakuratan dalam
prediksi kematian. RTS menggunakan 3 parameter fisiologis spesifik yaitu Glasgow Coma Scale (GCS),
tekanan darah sistolik ( systolic blood pressure – SBP), dan laju pernafasan (respiratory rate – RR).
Setiap parameter diberi angka 0-4 berdasarkan besarnya gangguan fisiologis ( makin rendah angka,
makin buruk keadaan).

Glasgow Coma Scale (GCS)


Nilai Glasgow Coma Scale (GCS) antara 3 – 15, nilai terburuk : 3 dan nilai terbaik : 15. GCS disusun
oleh 3 parameter yaitu respon membuka mata (E), respon motorik terbaik (M), dan respon verbal
(V).
Tabel. 5. Glasgow Coma Scale (GCS)
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon membuka mata (E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1

Nilai GCS = E + M + V
Interpretasi : GCS ≥ 13 = cedera kepala ringan ( mild brain injury )
GCS 9–12 = cedera kepala sedang ( moderate brain injury )
GCS ≤ 8 = cedera kepala berat ( severe brain injury )
Penulisan frase “GCS 11” tidak memiliki arti, lebih penting penulisan GCS ditulis tiap-tiap komponen,
seperti E3V3M5 = GCS 11.

Tabel. 5. Revised Trauma Score


Glasgow Coma Scale Systemic Blood Respiratory Rate Angka
(GCS) Pressure (SBP) (RR)
(mmHg) (x/minute)
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0

RTS memiliki 2 bentuk perhitungan tergantung pada penggunaanya.


1. RTS sebagai alat triase,
RTS ditentukan dari jumlah semua angka masing-masing parameter. RTS ini dapat dihitung
dengan sangat mudah. Beratnya trauma diperkirakan berdasarkan nilai RTS, nilai RTS antara 0-12
(makin rendah angka, makin buruk keadaan).
RTS = RR + SBP + GCS
Interpretasi :
Skor maksimum (indicating least affected) = 12
Skor minimum (indicating most affected) = 0
Potentially important trauma ≤ 11  pasien sebaiknya dirawat di pusat pelayanan trauma.

2. RTS yang digunakan untuk quality assurance dan memprediksikan outcome,


Nilai RTS ini lebih rumit perhitungannya. Perhitungan tersebut lebih spesifik untuk pasien
yang mengalami cedera kepala. Nilai RTS dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
RTS = 0,9368 GCS + 0,7326 SBP + 0,2908 RR

Nilai RTS antara 0 – 7,8408. Jika pada RTS < 4 disarankan untuk mengidentifikasi pasien
tersebut sebagai pasien yang sebaiknya dirawat atau segera dirujuk ke pusat pelayanan trauma.
Nilai ini berguna untuk triage prehospital, evaluasi outcome, dan jaminan kualitas dalam
pelayanan critical service
.

RTS memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi kegunaannya. Keterbatasan


tersebut berkaitan dengan GCS. Sebagai gambaran original, GCS dimaksudkan untuk mengukur
status fungsionil sistem saraf pusat. Karena pentingnya cedera kepala dalam penentuan outcome
trauma, GCS juga digunakan sebagai komponen skoring trauma. Masalah inheren GCS (dan RTS)
adalah ketidakmampuan untuk menghitung skor akurat pada pasien yang diintubasi dan dibantu
dengan ventilator. Penentuan respon verbal pada GCS dan laju pernafasan sulit dinilai pada pasien
tersebut. Selain itu, pasien yang kondisinya sedang dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan yang
memepengaruhi syaraf pusat)atau dibawah pengaruh alkohol atau penyalahgunaan obat juga sulit
dinilai. Tindakan alternatif pada keadaan tersebut adalah menggunakan respon motorik terbaik dan
respon membuka mata untuk menghitung atau memprediksikan respon verbal. Penelitian
menunjukkan subtitusi respon motorik terbaik untuk GCS berakibat tidak kehilangan kemampuan
prediksi. Sekarang ini, peneliti telah menunjukkan bahwa respon motorik terbaik memprediksi
mortalitas trauma sama baiknya atau lebih baik daripada skoring trauma lain.
Penelitian terakhir membuktikan bahwa RTS dapat meprediksikan mortalitas. Namun, RTS akan
nilai undertriage yang tinggi, sehingga keuntungan yang didapat (dari kesederhanaan RTS) tidak
seimbang dengan kerugiannya (dalam undertriage). Undertriage adalah pengiriman penderita
dengan cedera berat ke pusat pelayanan trauma tang mempunyai kemampuan rendah sehingga
akan terjadi morbiditas dan mortalitas yang tidak perlu.

2.4 Trauma and Injury Severity Score (TRISS)


TRISS adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk menilai prognosis atau kelangsungan
hidup pasien dari keadaan trauma, serta memperkenalkan perbedaan antara luka tumpul dan luka
penetrasi, dan juga merupakan modifikasi dari bedah dan anestesi.

Komponen
- Bobot RTS (Revised Trauma Score)
- Injury Severity Score (ISS)
- Scor dari umur pasien
- Koefisien berdasarkan trauma tumpul dan trauma penetrasi

Cara penilaian TRISS


Untuk menghitung TRISS dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

P(s) = 1/(1+ e-b)

Ps : Probability of Survival

e = 2.718282

b = b0 + b1 (RTS) + b2 (ISS) + b3 (Age index)

Koefisien b0 – b3 berasal dari data dasar MTOS (Major Trauma Outcome Study).

Jika umur pasien kurang dari 55 tahun, index umur = 0, sedangkan jika umur pasien lebih dari 55
tahun, index umur =1. Koefisien yang digunakan b0 – b3 akan berbeda antara trauma tumpul dan
trauma penetrasi (dapat dilihat dari table dibawah ini). Jika pasien berumur kurang dari 15 tidak
memperhatikan mekanisme traumanya tapi langsung menggunakan koefisien trauma tumpul.
  Blunt Penetrating
b0 -0.4499 -2.5355
b1 0.8085 0.9934
b2 -0.0835 -0.0651
b3 -1.7430 -1.1360

Abbreviated Injury Scale:    


Head Face Systolic BP Age

Chest Abdomen Resp. Rate  

 
Extremity External Coma Score Probability of Survival:
Blunt Penetrating

ISS: RTS:

Keterbatasan

- memiliki akurasi yang sedang untuk memprediksi kelangsungan hidup


- adanya masalah pada ISS (misal inhomogenitas, tidak dapat digunakan untuk luka multipel
pada regio yang sama),
- tidak ada informasi yang menggambarkan kondisi sebelumnya (missal adanya penyakit
jantung, penyakit paru obstruktif kronik, sirosis).
- mirip dengan RTS : tidak dapat digunakan pada pasien yang diintubasi karena Respiratory
rate dan respon verbal tidak dapat diperoleh
- tidak dapat digunakan pada pasien mix
- faktor waktu tidak dimasukkan : hipotensi ringan (BP = 70, RTS code = 2) dan hypotensive
selama 3 jam (BP = 70, RTS code = 2) sehingga membuat perbedaan yang sangat besar

Kegagalan metodologi

- parameter GCS pada RTS tidak akurat. Score GCS condong terhadap pengaruh respon
motorik sehingga pasien dengan score yang sama bisa mempunya Ps yang berbeda secara
signifikan. Taksiran kegagalan penilaian score GCS kira – kira setinggi 50 %

- pada analisis regresi logistik tidak akan colinearity antara prediktor. Tapi RR, BP, dan GCS
digabungkan, padahal ketiga variabel tersebut sama – sama menjadi indikator kekurangan
oksigen sehingga dapat memberikan kesalahan yang tinggi pada prediksi TRISS

- Keuntungan TRISS yang sesuai pada populasi kita menjadi rendah, jika prediktor distribusi
berbeda signifikan dari referense populasi di US

2.5 Penerapan TRISS dalam Kualifikasi Luka

Dalam kasus forensik, penyelidikan tentang trauma berat penting untuk mengevaluasi
kematian, tergantung keadaan dalam manajemen klinis. Oleh karena itu, AIS dan ISS kebanyakan
digunakan baik dalam bidang forensik maupun klinik.
AIS memiliki skala nilai dari 1 sampai 6 untuk setiap cedera individual, yaitu 1 minor ; 2
moderat; 3 serious; 4 severe; 5 critical; 6 fatal. Sementara ISS merefleksikan cedera pada tubuh
secara keseluruhan. ISS dihitung dari nilai AIS dan menggambarkan korelasi yang bagus dengan hasil
survival or death.
Menggunakan metode TRISS, probabilitas keselamatan akan dihitung, dan pasien yang
meninggal dengan Ps > 0,5 merupakan kematian yang tidak terduga. Bagaimanapun kondisi ini tidak
dapat dengan kesalahan penanganan atau pengabaian medis.

Berikiut adalah pasal – pasal yang mengatur mengenai derajat trauma:


Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
- jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara
sempuma, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- untuk selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang
merupakan mata pencaharian;
- kehilangan salah satu pancaindera;
- mendapat cacat berat;
- menderita sakit lumpuh;
- terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
- gugurnya atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.
Pasal 360.
(s.d. u. dg. UU No. 1 / 1960.)
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
(2) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361.
Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pekerjaan, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk
menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan hakim dapat memerintahkan
supaya putusannya diumumkan. (KUHP 10, 35, 43, 92.)

Maka dari itu, dirasakan penting untuk menentukan derajat trauma dengan benar dengan tujuan
agar dapat menentukan hukuman yang tepat bagi pelaku.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan,S. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter Dan Penegak Hukum,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang; 2007.

2. Bilgin NG, Mert E, Camdeviren H. The usefulness of trauma scores in


determining the life threatening condition of trauma victims for writing medical-
legal reports. (Online) 2009 (cited 2009 Des 27); Available from: URL:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1726589/

3. Pohlman TH, Bjerke HS, Offner P. Trauma scoring system. (Online) 2009 (cited
2009 Des 27); available from: URL:
www.emedicine.medscape.com/article/434076-overview -

Anda mungkin juga menyukai