Pedoman Pemeriksaan Fisik Diagnostik
Pedoman Pemeriksaan Fisik Diagnostik
BAB 1
PENDAHULUAN
Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai status kesehatan
pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama, untuk mengidentifikasi status
“normal” dan kemudian mengetahui adanya variasi dari keadaan normal tersebut dengan cara
memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien, penapisan/skrining keadaan well-being
pasien, dan pemantauan masalah kesehatan/penyakit pasien saat ini.1
Tidak ada yang absolut mengenai metode yang digunakan dan sistem yang harus dicakup dalam
suatu pemeriksaan fisik. Penentuan pilihan dipengaruhi oleh usia pasien, gejala, data fisik dan
laboratorium lainnya, serta tujuan pemeriksaan itu sendiri (misalnya, penapisan/screening fisik
umum, pemeriksaan fisik spesifik, atau analisis gejala-gejala). Kunjungan berikutnya atau tindak
lanjut merupakan kunjungan yang terjadwal untuk mengkaji progresi atau kesembuhan dari suatu
masalah atau abnormalitas tertentu).1
Pemeriksaan klinis umum adalah pemeriksaan mengenai tanda-tanda patologis pada tubuh
dengan jalan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Keempat cara pemeriksaan ini
dilakukan dengan menggunakan semua indera dan dibantu oleh alat-alat pemeriksaan yang lazim
digunakan dibidang kedokteran.1
Diawal, kita melakukan pemeriksaan-pemeriksaan umum secara berurutan dan sistematis. Untuk
pemeriksaan ini perlu dilakukan agar didapat kesan secara umum disamping keluhan yang telah
dinyatakan oleh penderita sebelumnya.1,2
Pada pemeriksaan status presens kita lakukan pemeriksaan untuk menetapkan tingkat kesadaran
penderita, menetapkan keadaan umum, menetapkan keadaan penyakit, menetapkan keadaan gizi,
menetapkan bentuk badan dan habitus, serta menetapkan tanda vital.1,2
BAB 2
TUJUAN
Umum :
Khusus :
3.1 KESADARAN
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang wajar
terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat tertidur, tapi segera
terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat diperiksa dengan memberikan
rangsang nyeri.2,3
Tingkat Kesadaran
Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
Apatis, yaitu keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang
terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-ronta.
Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat
pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
Sopor (stupor), yaitu keadaaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak
dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih
baik. Respon terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada
respons terhadap rangsang nyeri.2,3
Inspeksi.
Inspeksi adalah pemeriksaan pertama yang dapat dilakukan dengan hanya melihat pasien.
Kelainan-kelainan inspeksi toraks dapat berupa:
1 Kelainan dinding dada
2 Kelainan bentuk dada
Frekuensi pernapasan:
Frekuensi pernafasan normal 14-20x/menit. Pernafasan kurang dari 14x/menit disebut bradipnea,
misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernafasan lebih dari
20x/menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
Jenis pernafasan:
Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
Abdominal, misalnya pasien PPOK lanjut.
Kombinasi (paling banyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal lebih
dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat pernapasan
abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan bentuk
anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah
terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru
lanjut atau PPOK. Disamping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dalam
permapasan, dan bila ada keadaan ini menunjukkan adanya gangguan pada daerah
tersebut.
Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus
sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping hidung,
misalnya pada pasien pneumonia.
Pola pernapasan:
Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai dengan
adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti.
Takipnea: napas cepat dan dangkal.
Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.
Bradipnea: napas yang lambat.
Pernapasan Cheyne Stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea
(berhantinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernapasan mula-
mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi). Siklus
ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia kronik.
Hal ini terjadi karena terlambatnya respon reseptor klinis medulla otak terhadap
pertukaran gas.
Pernapasan Biot (Ataxic breathing): jenis pernapasan ini tidak teratur, baik dalam hal
frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama
pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur.
Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang
dalam.4,5
Palpasi. Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
1 Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah
supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti kanker
paru.
Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat ditentukan
dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung. Pergeseran mediastinum
bagian atas dapat menyebabkan deviasi trakea. Deviasi pulsasi apeks jantung
menunjukkan adanya pergeseran mediastinum bagian bawah. Perpindahan pulsasi apeks
jantung tanpa disertai deviasi trakea biasanya disebabkan oleh pembesaran ventrikel kiri.
2 Palpasi dalam keadaan dinamis.
Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun inspirasi maksimal. Pengembangan paru
bagian atas dilakukan dengan mengamati pergerakan kedua klavikula.
Pemeriksaan vocal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua
telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebutkan
angka “77” atau “99”, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas.
Pada pemeriksaan kedua telapak tangan harus selalu disilang secara bergantian. Hasil
pemeriksaan fremitus ini dilaporkan sebagai normal, melemah, atau mengeras. Fremitus yang
melemah didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang
mengeras terjadi karena adanya infiltrate pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia,
tuberculosis paru aktif).4,5
Perkusi.
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketukan yang terdengar dapat bermacam-macam, yaitu:
a Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat paru
yang normal;
b Hipersonor (Hiperresonant): terjadi bila udara didalam paru/dada menjadi jauh lebih
banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superficial,
pneumotoraks dan bula yang besar;
c Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak dari pada udara, misalnya: adanya
infiltrate/konsolidasi akibat pneumonia, efusi pleura yang sedang;
d Pekak (flat/stony dull): terdapat pada jaringan yang tidak mengandung udara didalamnya,
misalnya pada tumor paru, efusi pleura massif;
e Bunyi timpani terdengar pada perkusi lambung akibat getaran udara di dalam lambung.
Pada paru bagian depan dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara bergantian kiri dan
kanan (zigzag). Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru.
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada paru depan adalah perkusi untuk menentukan batas paru
hati dan paru lambung.4,5
Batas Paru-Hati
Untuk menentukan batas paru hati dilakukan perkusi sepanjang garis midklavikula kanan sampai
didapatkan adanya perubahan bunyi dari sonor menjadi redup. Perubahan ini menunjukkan batas
antara paru dan hati. Tentukan batas tersebut dengan menghitung mulai dari sela iga ke 2 kanan,
dan umumnya didapatkan setinggi sela iga ke 6. Setelah batas paru hati diketahui, selanjutnya
dilakukan tes peranjakan antara inspirasi dan ekspirasi. Pertama-tama pasien dijelaskan
mengenai apa yang akan dilakukan, kemudian letakkan 2 jari tangan kiri tepat di bawah batas
tersebut. Pasien diminta untuk menarik napas dalam dan kemudian ditahan, sementara itu
dilakukan perkusi pada 2 jari tersebut. Dalam keadaan normal akan terjadi perubahan bunyi yaitu
dari yang tadinya redup kemudian sonor kembali. Dalam keadaan normal didapatkan peranjakan
sebesar 2 jari.
Untuk menentukan batas paru lambung dilakukan perkusi sepanjang garis aksilaris anterior kiri
sampai didapatkan perubahan bunyi dari sonor ke timpani. Biasanya didapatkan setinggi sela iga
ke 8. Batas ini sangat dipengaruhi oleh isi lambung.5
Pada paru belakang dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara zigzag. Selanjutnya
untuk menentukan batas paru belakang bawah kanan dan kiri dilakukan dengan pemeriksaan
perkusi sepanjang garis skapularis kanan dan kiri. Dalam keadaan normal didapatkan hasil
perkusi yang sonor pada kesua paru. Scapula sebaiknya dikesampingkan dengan cara meminta
pasien menyilang kedua lengannya di dada. Biasanya batasnya adalah setinggi vertebra torakalis
10 untuk paru kiri sedangkan paru kanan 1 jari lebih tinggi.5
Auskultasi.
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui
system trakeobronkial. Pemeriksaan auskultasi ini meliputi pemeriksaan suara napas pokok,
pemeriksaan suara napas tambahan, dan jika didapatkan adanya kelainan dilakukan pemeriksaan
untuk mendengarkan suara ucapan atau bisikan pasien yang dihantarkan melalui dinding dada.
Pola suara napas diuraikan berdasarkan intensitas, frekuensi serta lamanya fase inspirasi dan
ekspirasi.
DADA POSTERIOR4
Teknik Pemeriksaan Kemungkinan Temuan
Inspeksi dada untuk mengetahui
Deformitas atau asimetris Kifoskoliosis
Retraksi inspirasi abnormal dan interkostal Retraksi pada obstruksi jalan napas
Gangguan atau kelambanan gerakan Penyakit yang penyebab dasarnya di paru atau
pernapasan unilateral pleura, paralisis nervus frenikus
Palpasi dada untuk mengtahui
Area nyeri tekan Fraktur iga
Abnormalitas yang terlihat Massa, saluran sinus
Ekspansi dada Gangguan, kedua sisi pada PPOM dan
penyakit paru restriktif
Fremitus taktil ketika pasien mengatakan “aa” Peningkatan atau penurunan local atau umum
atau “uu”
Perkusi dada pada area yang digambarkan, Bunyi pekak terjadi bila cairan atau jaringan
dengan membandingkan satu sisi dengan sisi padat menggantikan bagian paru yang
yang lain pada tinggi yang sama, dengan normalnya terisi udara; bunyi hiperresonan
menggunakan “pola berjenjang” sisi ke sisi pada emfisema atau pneumotoraks
Identifikasi tingkat kepekaan diafragmatik Efusi pleura atau paralisis diafragma
pada setiap sisi dan perkirakan penurunan meningkatkan tingkat kepekakan bunyi yang
diafragmatik ditimbulkan
Dengarkan dada menggunakan stetoskop dengan pola berjenjang dari sisi ke sisi
Evaluasi bunyi napas Bunyi napas vesikular, bronkovesikular, atau
bronchial; penurunan bunyi napas akibat
berkurangnya aliran udara
Perhatikan setiap bunyi tambahan (adventisius) Crackles (halus dan kasar) dan bunyi yang
kontinu (mengi dan ronki)
Titik-titik Patokan:
Angulus Ludovici adalah perbatasan antara manubrium sterni dan korpus sterni, yang bila
diraba terasa menonjol. Titik ini merupakan perlengketan antara tulang iga II dengan
sternum. Titik ini dipakai juga sebagai patokan dalam mengukur tekanan vena jugularis
eksterna.
Area apeks: terletak di sela iga V sekitar 2 jari medial dari garis midklavikula kiri. Titik ini
merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup mitral, karena bunyi jantung dari katup mitral
paling optimal terdengar di titik tersebut.
Area trikuspidal: terletak di sela iga IV-V sterna kiri dan di sela iga IV-V sterna kanan. Titik
ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup trikuspidal.
Area septal terletak di sela iga III sterna kiri merupakan titik auskultasi optimal untuk
mendengarkan bising akibat aliran shunt di septum karena terdapat defek, yaitu pada ASD
dan VSD.
Area pulmonal terletak di sela iga II garis sterna kiri merupakan titik auskultasi optimal
untuk bunyi jantung katup pulmonal.
Area aorta terletak di sela iga II garis sterna kanan merupakan titik auskultasi optimal untuk
bunyi jantung aorta.
Titik carotis setinggi processus thyroideus kiri dan kanan untuk mendengarkan bila ada
bising yang menjalar dari katup aorta.
Pada area-area apeks, tricuspidal, pulmonal, dan aorta dapat dilihat pulsasi yang berlebihan,
getaran (thrill), gerakan-gerakan dinding jantung abnormal yang teraba.4,6
Inspeksi
Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung harus diamati, missal
tampak capai, kelelahan akibat cardiac output rendah, frekuensi napas meningkat, sesak yang
menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan clubbing finger
dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada tidaknya
edem.
Khusus inspeksi pada organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks, trikuspidal,
pulmonal, aorta.
Palpasi
Dengan mempergunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergnatung rasa sensitivitasnya,
meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang diperiksa adalah:
Pulsasi.
Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa. Hal ini dapat teraba karena adanya
bising yang minimal derajat 3. Dibedakan thrill sistolik atau thrill diastolic tergantung di fase
mana berada.
Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita. Hal ini karena overload
ventrikel kiri, misal pada insufisiensi mitral.
Lift yaitu rasa dorongan terhadap tangan pemeriksa. Hal ini karena adanya peningkatan
tekanan di ventrikel, misal pada stenosis mitral.
Ictus cordis yaitu pulsasi di apeks. Diukur berapa cm diameter, dimana normalnya adalah 2
cm dan ditentukan lokasinya yang biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis
midclavicula kiri.6
Perkusi
Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, pinggang jantung dan contour jantung.
Pinggang Jantung
Ditentukan lebih dulu garis parasternal kiri. Kemudian dilakukan perkusi kearah kaudal mulai
dari titik teratas garis tersebut, dengan posisi jari tengah sejajar iga. Yang dicari adalah
perubahan bunyi sonor-redup. Batas ini normal terletak pada sela iga III kiri.
Auskultasi:
Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah:
Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
Sela iga IV-V sterna kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang
berasal dari katup trikuspidal
Sela iga III kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septal bila ada
kelainan yaitu ASD atau VSD.
Sela iga II kiri untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal.
Sela iga II kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup aorta.
Arteri karotis kanan dan kiri untuk mendengarkan bila ada penjalaran bising dari katup aorta
ataupun kalau ada stenosis di arteri karotis sendiri.4,6
Bunyi jantung (BJ) normal terdiri atas bunyi jantung I dan II. Di area apeks dan trikuspidal BJ I
lebih keras daripada BJ II. Sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta, BJ I lebih lemah
daripada BJ II. BJ I merupakan suara yang dihasilkan dari penutupan katup-katup mitral dan
trikuspidal, sedangkan BJ II adalah karena menutupnya katup-katup aorta dan pulmonal. Untuk
menentukan yang mana BJ I adalah dengan meraba arteri radialis atau arteri karotis atau iktus
kordis, dimana BJ I sinkron dengan denyut nadi arteri-arteri tersebut atau dengan denyut iktus
kordis.
Fase antara BJ I dan BJ II disebut fase sistolik, sedangkan fase antara BJ II dan BJ I disebut fase
diastolik. Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik.
Irama Jantung
Normal adalah regular, dengan denyut jantung berkisar antara 60-100 per menit.
Irregular: terdengar ekstra sistol, yaitu irama dasarnya regular tetap diselingi oleh denyut
jantung ekstra. Irama dasarnya memang sudah tidak teratur, yaitu pada kelainan aritmia
fibrilasi atrial.
Irama gallop (derap kuda). Irama jantungnya cepat dan bunyi-bunyi jantungnya terdiri atas 3
atau 4 komponen, yaitu terdiri dari BJ I – BJ II dan BJ III atau terdiri atas BJ IV – BJ I – BJ
II atau keduanya yaitu BJ IV – BJ I – BJ II – BJ III. Biasanya dapat didengar di apeks dan
terdapat pada kasus gagal jantung.4,6
Bising Jantung
Pada tiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik area harus diperhatikan apakah ada bising
jantung. Bila ada bising, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Terletak di fase manakah bising tersebut, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu yang
mana BJ I dan setelah itu ditentukan letak bising tersebut.
Bagaimana kualitas bising tersebut, yaitu apakah: Kasar seperti ada gesekan yang sering
disebut rumble dan biasanya didapat pada kasus stenosis mitral sebagai bisisng diastolik.
Sekaligus ditentukan posisi bising diastolik tersebut, apakah: early-, mid diastolik atau pra
sistolik. Dicari juga bunyi jantung tambahan opening snap dan biasanya BJ I mengeras.
Kelainan ini didapat pada stenosis mitral. Halus seperti angin bertiup dan biasanya mengisi
fase sistolik. Tentukan posisi letak bising, yaitu early-, late sistolik ataupun pan (holo)
sistolik. Pan sistolik bising sering didapat pada kelainan insufisiensi mitral, disini juga BJ I
melemah dan cari juga apakah ada BJ III. Type ejection yaitu bising dengan nada keras,
karena dipompakan melalui celah yang sempit. Didapat pada kasus stenosis aorta. Continous
murmur yaitu bising yang terdengar terus menerus di fase sistolik dan fase diastolik,
didapatkan pada kasus PDA (Patent Ductus Arterious).
Punctum maksimum bising jantung harus ditentukan, missal pada apeks, trikuspidal, ataupun
lainya. Bila pada apeks kurang keras, missal karena obesitas, pasien dapat dimiringkan ke
kiri, sehingga bising jantung dapat terdengar lebih jelas. Untuk trikuspidal, supaya lebih
jelas, pasien disuruh bernapas dalam (inspirasi) kemudian tahan. Bising jantung akan
terdengar lebih keras pada inspirasi dan pada ekspirasi bising akan melemah. Untuk
mendengar bising di katup aorta dan pulmonal, pasien disuruh duduk dengan stetoskop tetap
di lokasi.
Penjalaran harus diperhatikan. Misal pada kasus insufisiensi mitral akan terjadi penjalaran ke
lateral dan aksila. Sedangkan pada kasus Mitral valve prolapse (MVP) tidak terjadi
penjalaran bising. Pada kasus dengan kelainan katup aorta akan menjalar ke arteri carotis,
sehingga perlu dilakukan auskultasi pada karotis.
Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu:
Derajat 1 terdengar samar-samar.
Derajat 2 terdengar halus.
Derajat 3 terdengar jelas dan agak keras.
Derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa diletakkan
missal di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop yang diletakkan pada
punggung telapak tangan tersebut.
Derajat 5 terdengar sangat keras. Dpat dilakukan dengan cara telapak tangan pemeriksa
diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan bagian bawah dan bising
jantung masih terdengar.
Derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding dada.4,6
Khusus untuk bising sistolik perlu diperhatikan bahwa tidak semuanya akibat dari kelainan
organik katup jantung. Ada kemungkinan karena over volume misal pada anemia berat,
perempuan hamil. Biasanya bising sistolik ini halus dan terdengar pada semua ostia. Pembesaran
ventrikel, biasanya pada ventrikel kanan terjadi dilatasi sekunder karena stenosis mitral, terjadi
pelebaran annulus trikuspidal sehingga akan terdengar arus regurgitasi pada katup trikuspidal.
Pada tumor miksoma yang menutupi katup mitral akan menyebabkan bising diastolik.6
Teknik-teknik Pemeriksaan4
Vena Jugularis
Identifikasi pulsasi vena jugularis dan titik
tertingginya di leher. Kepala tempat tidur harus
mulai ditinggikan dengan sudut 300, sesuaikan
sudut tempat tidur dengan kebutuhan.
Pelajari gelombang denyut vena. Perhatikan Tidak adanya gelombang a pada fibrilasi
adanya gelombang a pada kontraksi atrium dan atrium; gelombang v menonjol pada regurgitasi
gelombang v pada pengisian vena. trikuspidal.
Ukur tekanan vena jugularis jarak vertical Peninggian JVP pada gagal jantung kanan,
antara titik tertinggi dan sudut sternal, penurunan JVP pada hipovolemia karena
normalnya kurang dari 3-4 cm. dehidrasi atau perdarahan gastrointestinal.
Inspeksi dan Palpasi dada interior untuk adanya susah mengembangkan dada, henti gerakan,
atau thrill.4
Pulsus Alternans4
Raba nadi untuk adanya perubahan amplitude. Perubahan amplitude nadi atau bunyi
Turunkan manset tekanan darah perlahan Korotkoff ganda yang tiba-tiba menandakan
sampai ke tingkat sistolik sambil pulsus alternans yakni suatu tanda gagal
mendengarkan dengan stetoskop si atas arteri ventrikel kiri.
brakialis.
Denyut Paradoksikal4
Kurangi tekanan manset tekanan darah secara Nilai yang menurun tajam, yang lebih besar 10
perlahan dan perhatikan dua tingkat tekanan: mmHg selama inspirasi, merupakan tanda
denytu paradoksikal. Pertimbangkan adanya
(1) di mana bunyi Korotkoff tedengar pertama
penyakit paru obstruktif, tamponade
kali, dan (2) kapan bunyi tersebut terdengar
pericardial, atau perikarditis konstriktif.
menetap pertama kali sepanjang siklus
pernapasan. Perbedaan tingkat ini normalnya
tidak lebih dari 3-4 mmHg.
Pemeriksaan Inspeksi
Pemeriksaan ini yaitu melihat perut baik bagian depan ataupun belakang (pinggang). Pada
pemeriksaan tahap awal ini diperhatikan secara inspeksi kelainan-kelainan yang terlihat pada
perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut yang menunjukkan adanya masa
tumor, striae, vena yang berdilatasi. Cari kaput medusa (aliran berjalan keluar dari umbilikus)
atau obstruksi vena kava inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia.
Pada keadaan normal terlentang, dinding perut terlihat simetris. Bial ada tumor atau abses atau
pelebaran setempat lumen usus membuat perut terlihat tidak simteris. Bila terlihat gerakan
peristaltik usus maka dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai akibat
obstruksi lumen usus. Obstruksi lumen usus ini dapat disebabkan macam-macam kelainan antara
lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala.
Pada keadaan patologis, perut membuncit disebabkan oleh ileus paralitik, ileus obstruktif,
meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan kehamilan.
Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi
atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering disebut striae alba yang dapat terjadi setelah
kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites. Striae kemerahan dapat
terlihat padan sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien aneurisma
aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada epigastrium
pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis.
Kulit perut menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakala ditemukan garis-garis bekas
garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes mellitus.
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilicus disebut kaput
medusa yang terdapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava inferior
terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal ke umbilicus, sedang akibat obstruksi vena
kava superior aliran vena ke distal.7
Pemeriksaan Palpasi
Palpasi dilakukan secara sistematis, perhatikan ekspresi wajah pasien selama pemeriksaan
palpasi. Cari apakah ada pembesaran masa tumor, apakah hati, limpa dan kandung empedu
membesar atau teraba. Periksa apakah ginjal, ballottement positif atau negatif.
Palpasi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu palpasi permukaan (superficial) dan palpasi dalam (deep
palpation). Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan ataupun dua tangan (bimanual), terutama
pada pasien gemuk.
Palpasi superficial: posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya penekanan dilakukan
oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Palpasi dalam: palpasi
dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang tidak didapatkan pada palpasi
superficial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada palpasi superficial, dan yang
terpenting yaitu untuk palpasi organ spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal.
Perinci nyeri tekan abdomen antara lain berat ringannya, lokasi nyeri yang maksimal, apakah ada
tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan. Perinci masa tumor yang
ditemukan antara lain lokasi, ukuran (dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau ireguler),
konsistensi (lunak atau keras), pinggir (halus atau ireguler), nyeri tekan , melekat pada kulit atau
tidak, melekat pada jaringan dasar atau tidak, berpulsasi/exponsile (missal aneurisma aorta), lesi-
lesi satelit yang berhubungan (missal metastase), transiluminasi (missal kista), dan adanya bruit.
Pada palpasi hati, mulai dari fosa iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap respirasi, jari-jari
harus mengarah pada dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, yang teraba biasanya selalu
abnormal, pada keadaan ikterus kandung empedu yang teraba berarti bahwa penyebabnya bukan
hanya batu kandung empedu tapi juga harus dipikirkan karsinoma pancreas. Pada palpasi limpa,
mulai dekat umbilicus, raba limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap ke atas dan ke
kiri setelah tiap inspirasi dan jika teraba, baringkan pasien pada posisi left lateral, dengan
pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk.
Usahakan dapat membedakan limpa dengan ginjal. Bila limpa, tak dapat mencapai bagian
atasnya, bergerak dengan respirasi, redup-pekak pada perkusi, ada notch atau insisura limpa,
negatif pada ballottement. Bila ginjal, dapat mencapai bagian atasnya, tidak dapat digerakkan
(atau bergerak lambat), beresonansi pada perkusi, tidak ada notch atau insisura dan positif pada
ballottement.7
Pemeriksaan Perkusi
Pemeriksaan ini digunakan untuk:
Mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya redup/pekak
Menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
Menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), masa tumor (redup-pekak)
dan asites 1). Pekak pada pinggir dan timpani resonan pada bagian tengah/sentral, 2).
Shifting dullness menentukan letak pekak pada perkusi, miringkan pasien pada sisi
kanan/kiri, asites didemonstrasikan dengan adanya timpani pada perkusi setelah dimiringkan
kembali, 3). Demonstrasikan thrill cairan atau pemeriksaan gelombang.
Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu timpani, kecuali di daerah hati suara
perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan bertambahnya bunyi
timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas di dalam
rongga perut, missal perforasi usus.
Suatu keadaan yang disebut fenomenan papan catur (cheesboard phenomen) dimana pada
perkusi dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah, sering
ditemukan pada peritonitis tuberkulosa.7
Beberapa cara pemeriksaan asites:
Cara pemeriksaan gelombang cairan. Cara ini dilakukan pada pasein dengan asites yang
cukup banyak dan perut yang agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan
tangan pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding
perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan yang diteruskan melalui dinding
abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya diletakkan di tengah-tengah perut dengan
sedikit tekanan.
Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dullness):
Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi
pasien tengkurap dan menungging (knee-chest position). Setelah beberapa saat, pada perkusi
daerah perut yang terendah jika terdapat cairan akan didengar bunyi redup.
Pemeriksaan Puddle sign. Seperti pada posisi knee-chest dan dengan menggunakan stetoskop
yang diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang ditimbulkan karena
ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop digeserkan melalui perut tersebut ke sisi
lainnya.
Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian bawah.7
Pemeriksaan Auskultasi
Pemeriksaan ini untuk memeriksa:
Suara/bunyi usus: frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi, menghilang pada ileus
paralitik
Succession splash – untuk mendeteksi obstruksi pada tingkat lambung
Bruit arterial
Venous hum pada kaput medusa
Dalam keadaan normal, suara peristaltik usus kadang-kadang dapat didengar walaupun tanpa
menggunakan stetoskop, biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Dalam keadaan
normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit. Jika terdapat obstruksi usus, suara
peristaltik usus ini akan meningkat. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi. Pada ileus
onstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang tinggi dan suara logam (metallic
sound).
Suara murmur sistolik dan diastolik mungkin dapat didengar pada auskultasi abdomen. Bruit
sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena hepatoma. Bising
vena (venous hum) yang kadang-kadang disertai dengan terabanya getaran (thrill), dapat
didengar diantara umbilikus dan epigastrium. Pada keadaan fistula arteriovenosa intraabdominal
kadang-kadang dapat didengar suara murmur.7
Pemeriksaan Ginjal
Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga pemeriksaan harus dengan cara bimanual.
Tangan kiri diletakkan pada pinggang bagian belakang dan tangan kanan pada dinding abdomen
di ventralnya. Pembesaran ginjal (akibat tumor atau hidronefrosis) akan teraba di antara kedua
tangan tersebut, dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba benturannya di tangan lain.
Fenomena ini dinamakan ballottement positif. Pada keadaan normal ballottement negatif.7
Refleks Patologis
1 Refleks Babinski
Dengan sebuah benda yang berujung agak tajam seperti kunci, telapak kaki digores dari arah
tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari.
Respon refleks: dikatakan positif bila terjadi dorsofleksi dari ibu jari dan biasanya disertai
dengan pemekaran jari-jari lainnya. Tanda babinski ini dapat ditimbulkan juga dengan refleks
lain.
2 Refleks Chaddock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores bagian bawah dari maleolus lateral kaki ke
arah depan.
3 Refleks Oppenhelm
Dengan mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Positif bila akan
timbul tanda babinski.
4 Refleks Gordon
Otot gastroknemius dicubit. Positif akan timbul tanda babinski.
5 Refleks Schaefer
Tanda babinski dapat ditimbulkan dengan memijit tendon Achilles.
6 Refleks Rossolimo
Refleks patologik ini ditimbulkan dengan mengetok bagian basis telapak jari-jari kaki.
Sebagai respons positif akan tampak fleksi dari jari-jari kaki.
7 Refleks Mendel Rechterew
Dengan mengetok bagian dorsal basis jari-jari kaki akan disaksikan gerakan fleksi jari-jari
kaki.
8 Refleks Hoffman-Tromner
Refleks patologik ini positif bila timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari
telunjuk atau jari tengah jari tangan.
9 Refleks Leri
Bila pada pergelangan tangan dilakukan hiperfleksi maksimal, maka pada keadaan normal
akan terjadi fleksi dari sendi siku lengan.
Keadaan patologik bila fleksi siku lengan ini tidak terjadi (refleks negatif).
10 Refleks Mayor
Respon pada refleks Leri akan terjadi pada hiperfleksi basis jari tengah tangan. Penilaian
sama seperti refleks Leri.
11 Klonus
Bila refleks hiperaktif, refleks ini dapat terjadi berulang terus-menerus bila pemeriksa
mempertahankan suatu tegangan tertentu pada otot termaksud.
Dalam keadaan utngkai rileks, pemeriksa mendadak melakukan dorsofleksi kaki dan tetap
mempertahankan posisi dorsofleksi ini untuk sementara waktu. Klonus merupakan
manifestasi refleks regang otot yang hiperaktif.2,3
Sistem Motorik
Peringkat Kekuatan Otot3,4
Tingkat Deskripsi
0 Tidak terdapat kontraksi muscular yang terlihat
1 Sedikit jejak kontraksi dapat terdeteksi
2 Gerakan aktif dengan penghilangan gravitasi
3 Gerakan aktif terhadap gravitasi
4 Gerakan aktif terhadap gravitasi dan beberapa tahanan
5 Gerakan aktif terhadap tahanan penuh
Disamping gerak perlu dilakukan pengukuran bagian yang penting untuk membuat kesimpulan
kelainan, merupakan pembengkakan atau atrofi serta melihat adanya discrepancy (selisih
panjang).
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat:
- Sikatriks (jaringan parut alamiah atau post operasi)
- Cafe au lait spot (tanda lahir)
- Fistula
- Warna kemerahan/kebiruan atau hiperpigmentasi
- Benjol/pembengkakan/cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
- Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)
- Jalannya (gait waktu pasien masuk kamar periksa)8
2. Feel (palpasi)
Pada saat akan meraba posisi pasien perlu diperbaiki dulu agar dimulai dari posisi
netral/anatomis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dua arah karenanya perlu diperhatikan
wajah (mimik kesakitan) atau menanyakan rasa sakit.
Yang perlu dicatat adalah :
- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
- Bila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya edema terutama daerah
persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainannya (1/3 proksimal/tengah/ distal)
Otot: Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di permukaan tulang
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu di diskripsi (tentukan) permukaannya, konsistensinya dan pergerakan
terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.8
3. Move (gerak)
Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit
dulu, selain untuk mendapatkan kooperatif anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk
mengetahui gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita dapat
berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan yang abnormal di daerah fraktur (kecuali
pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada
gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankylosis dan hal ini dapat disebabkan oleh factor intra articuler atau
extra articuler
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan kerusakan tulang
subchondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament atau kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: Oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (apabila penderita sendiri disuruh
menggerakkan) dan pasif (dilakukan pemeriksa). Selain pencatatan pemeriksaan penting untuk
mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting untuk melihat kemajuan/kemunduran
pengobatan.
Dibedakan istilah contraction & contructure '
- Contraction : apabila perubahan fisiologis
- Contructure : apabila sudah ada perubahan anatomis
Selain diperiksa pada duduk, berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri & jalan.
Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena:
- instability
- nyeri
- discrepancy
- fixed deformity8
DAFTAR PUSTAKA
Raylene,M.R.; terj. D.Lyrawati. 2009. Prinsip dan Metode Pemeriksaan Fisik Dasar.
Available from: ebookbrowse.com/prinsip-dan-metode-pemeriksaan-fisik-
dasar-pdf-...
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 10 Pemeriksaan
Fisis Umum. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Bickley,L.S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 5. Jakarta: EGC
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 11 Pemeriksaan
Fisis Dada dan Paru. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 12 Pemeriksaan
Fisis Jantung. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I Bab 13 Pemeriksaan
Abdomen, Urogenital, dan Anorektal. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia