DISUSUN OLEH:
Akhsin Muzadi
NIM.11409719075
Mengetahui
A. Pengertian
Myastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi
trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-
otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Myastenia
gravis adalah penyakit autoimun yang dimanifestasikan adanya
kelemahan dan kelelahan otot akibat dari menurunnya jumlah dan
efektifitas reseptor asetilkoline (ACh) pada persambungan antar neuron
(neuromuscular junction) (Smeltzer & Bare, 2002).
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana
antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis
dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah
otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan,
batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol
gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat
terserang.
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem
sambungan saraf (synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi
tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang
mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang
mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor
mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga
komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan
kelemahan otot.
C. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung
antara unsur saraf dan unsur otot akibat reaksi autoimun. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel - partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung
akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor
(AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion
pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama
Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Kontraksi otot
mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.
Kadang kelemahan otot terjadi setelah sembuh dari suatu
penyakit dan seringkali timbul karena penuaan (sarkopenia). pada
miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang
reseptor yang terdapat di sisi otot dari neuro muscular junction.
Reseptor yang dirusak terutama adalah reseptror yang menerima
sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin (bahan kimia yang mengantarkan
impuls saraf melalui junction atau disebut juga neurotransmiter). Apa
yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya sendiri, tidak
diketahui. Tetapi faktor genetik pada kelainan kekebalan tampaknya
memegang peran yang penting. Antibodi ini ikut dalam sirkulasi darah dan
seorang ibu hamil yang menderita miastenia gravis bisa melalui plasenta
dan sampai ke janin yang dikandungnya. Pemindahan antibodi ini bisa
menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki kelemahan otot
yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
dilahirkan.
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi
a. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian
b. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan( onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun
menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan
tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian
rendah
c. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular,
lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-
otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah
lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan.
Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka
kematian rendah
d. Kelompok III: Miastenia berat fulminan akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan
bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis
miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi
e. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis
berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba.
Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
2. Bentuk varian miastenia gravis, antara lain:
a. Miastenia neonates
Pembimbing Lahan
E. Manifestasi Klinis
1. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot
ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan
diplopia (penglihatan ganda).
2. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)
3. Suara parau ( disfonia ) dan otot leher yang lemah yang selalu
membuat kepala
4. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif
menyebabkan gawat napas
5. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula pada batang tubuh,
lengan, tungkai dalam satu tahun pertama onset
6. Otot lengan biasanya yang paling parah. Kelemahan otot cenderung
memburuk setiap harinya, terutama setelah beraktivitas.
F. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya
kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada
sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sam bungan
neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai
penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin
(AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi
yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul
neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter
acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot terganggu.
Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-
reaksi autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan salah satu teori, kerusakan
kelenjar thymus kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu
pada sistem kekebalan belajar bagaimana membedakan antara tubuh
dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan
reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar thymus
bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi
yang menyerang acetylcholine. Orang bisa mewarisi kecendrungan
terhadap kelainan autoimun ini. sekitar 65% orang yang mengalami
myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar
10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah
thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan
tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan
pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti.
G. Pathway
H. Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang
terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah.
Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien
seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama
krisis berlangsung.
Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi
makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi
pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus
pada pernapasan), pasca operasi, pemakaian kortikosteroid yang
ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang
panas), kehamilan, dan stress emosional.
Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang
tidak diawasi.
Pneumonia
Bullous death
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba
tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda
yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada
miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
2. Electromyography
Penilaian fungsi otot dan saraf dengan cara perangsangan otot,
kemudian merekam kegiatan listrik mereka tes darah untuk
mendeteksi antibodi terhadap acetylcholine receptor dan kadangkala
antibodi lain hadir pada orang dengan gangguan tersebut. Tes darah
juga dilakukan untuk memeriksa gangguan lain
3. Computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI)
Pada dada dilakukan untuk menilai kelenjar thymus dan untuk
memastikan apakah thymoma ada. Beberapa penderita memiliki
tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang mungkin merupakan
penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya.
4. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian
sangat bergunauntuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini
meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB,
dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi
dengan beratnya penyakit.
5. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan
timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita
yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada
antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma
adlah sangat kecil
6. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini
sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor
asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif
sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis.
Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka
disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon.
J. Penatalaksanaan
1. Obat Antikolinesterase
Obat-obatan kemungkinan digunakan untuk membantu
meningkatkan kekuatan dengan cepat atau untuk menekan reaksi
autoimun dan memperlambat kemajuan gangguan tersebut.
Dapat diberikan piridostigmin bromide (mestinon) 30-120 mg
per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3
jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan
atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-
1,0 mg.
2. Kortikostreoid
Untuk menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody
yang menghambat, dokter bisa juga meresepkan kortikosteroid,
seperti prednison, atau immunosuppressant, seperti cyclosporine
atau azathioprine. Ketika kortikosteroid mulai diminum, gejala-gejala
awalnya bisa memburuk, tetapi kemajuan terjadi dalam beberapa
bulan. Dosis tersebut kemudian dikurangi hingga dosis minimum
yang masih efektif.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga
memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika
dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran
cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.
Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat
dianjurkan.
4. Timektomi
Jika thymoma ada, kelenjar thymus harus diangkat dengan
cara operasi untuk mencegah thymoma menyebar. Jika tidak
terdapat thymoma, manfaat mengangkat kelenjar thymus tidak pasti.
Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi)
menyebabkan remisi subtansial, terutama pada pasien dengan tumor
atau hiperlasia kalenjer timus. Perawatan pasca operasi dan kontrol
jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-
paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi
sementara dalam titer antibody. Ketika obat-obatan tidak
menghasilkan keringanan atau ketika myasthenic crisis terjadi,
plasmapheresis kemungkinan digunakan. Pada plasmapheresis, zat
beracun (pada kasus ini, kelainan antibodi) disaring dari darah.
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali
dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan
yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan
dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi
kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga
penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat
pada penanganan kasus kronik.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan yang Diperlukan
1. Identitas
Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
2. Keluahan Utama
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
minta pertolongan kesehatan sesuai kondisi dari adanya penurunan
atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan
ganda), ptosis ( jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama
dari 90% klien miestenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah
menelan, dan menguyah makanan. Pada kondisiberat keluhan utama
biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan
batuk efektif, dan dispenia.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
klien mencoba menelan (otot-otot palatum) menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut
yang dinamakan sebagi tanda rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk
yang lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan klien
tak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan cabang-
cabangnya.Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat
terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya
gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan memberikan obat antikolinesterase.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miastenia grafis seperti hipertensi dan diabetes
militus.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai
persamaan dengan keluhan klien saat ini.
6. Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor
asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular.
Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang
progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada
sekelompok otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat
berbeda pada masing-masisng klien, maka prognosisnya sulit
ditentukan.
a. Otot mata: diplopia, ptosis, kelemahan otot bola mata.
b. Otot wajah: kelemahan otot wajah, kesulitan tersenyum,
kesulitan mengunyah, menelan, suara dari hidung hilang.
b. Otot leher: kesulitan mempertahankan posisi kepala.
c. Otot pernapasan: pernapasan lambat, kegagalan pernapasan
dengan penurunan tidal volume dan vital capacity, tidak
efektifnya batuk.
d. Otot lain: kelemahan otot rangka dan ekstremitas.
e. Status nutrisi: penurunan berat badan, tanda-tanda kekurangan
nutrisi.
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
peningkatan produksi mokus dan penurunan kemampuan batuk
efektif
2. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan
otot pernafasan
3. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
4. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-
otot volunter
5. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, hilangnya
kontrol tonus otot fasial atau oral
6. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan adanya ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
C. Intervensi
DAFTAR PUSTAKA